BAB 2. PERTEMUAN
Ruang tamu rumah Damian terasa seperti ruang interogasi. Sunyi, tegang, dan panas meski AC menyala penuh. Pak Damian mondar-mandir gelisah. “Dia belum sampai?” “Baru mendarat,” jawab Istrinya pelan, duduk dengan tangan mengatup di pangkuan. Vernando Maheswara duduk tenang. Jas hitam, dasi rapi, jam tangan mahal. Ia tak bicara, tak bertanya. Hanya menunggu, matanya tajam menatap ke depan. Pak Damian meliriknya, gugup. “Pak Vernando… saya betul-betul minta maaf karena… keadaan ini terlalu mendadak. Saya seharusnya tidak… tidak sembarangan bicara saat itu. Tapi saya sangat menghargai kesediaan Anda…” Vernando tidak menjawab. Hanya anggukan tipis. “Saya tahu ini tidak ideal,” lanjut Damian gugup. “Tapi kami sangat… sangat berterima kasih karena Anda bersedia membantu menutupi kesalahan saya. Ariadna mungkin keras kepala, tapi dia anak baik, dan… saya jamin dia tidak akan merepotkan.” Vernando menurunkan cangkir, lalu menyandarkan tubuhnya. “Saya tidak tertarik pada anak baik, Pak Damian,” ucapnya pelan, nyaris datar. “Yang kubutuhkan hanya kerjasama yang rapi.Saya tak ingin terkena cipratan lebih besar” Pak Damian menelan ludah dan mengangguk cepat. Ketukan pintu menyela ketegangan. Asisten masuk memberi tahu bahwa Ariadna sudah tiba. Ariadna masuk ke ruang tamu dengan langkah pelan. Penampilannya rapi, tapi wajahnya menyiratkan kelelahan panjang. Matanya memindai ruangan—langsung terpaku pada pria yang duduk paling tenang di antara mereka. Vernando Maheswara. Dia tidak terlihat seperti mafia berdarah dingin. Tapi justru itulah yang membuatnya lebih menakutkan. Dingin. Tenang. Sangat terkontrol. Persis seperti karakter bos mafia di film-film yang tidak pernah tersenyum kecuali saat menembak kepala musuhnya. Dan Ariadna terbawa film-film itu. “Ah… Ariadna,” Pak Damian berdiri cepat, memasang senyum canggung. “Ini Pak Vernando, calon suamimu. Pak Vernando, ini Ariadna, putri saya.” Vernando berdiri. Tidak tersenyum. Tidak bicara. Keduanya berdiri berhadapan tanpa bersalaman. Ariadna mengangguk kecil. “Saya belum begitu paham apa yang terjadi. Boleh saya izin bicara dengan orang tua saya dulu?” Vernando menatapnya. Hanya satu detik, tapi cukup untuk membuat tulang belakang Ariadna terasa dingin. Tak ada perubahan ekspresi, tak ada respons berlebihan. Pak Damian tergelagap. “Ah, Ariadna… jangan tidak sopan—” “Baik.” Vernando bangkit, memotong. Suaranya datar namun penuh otoritas. “Aku juga sibuk hari ini. Kurasa pertemuan pertama ini cukup.” Asistennya dengan cepat menyodorkan jas yang langsung dikenakan Vernando. Ia menatap Ariadna satu kali lagi, anggukan kecil—sekilas seperti salam hormat, atau mungkin hanya kebiasaan profesional. Lalu ia melangkah pergi, diikuti langkah tergesa Pak Damian. “Eh, saya antarkan ke depan, Pak Vernando…!” Ariadna mengamati mereka pergi. Dalam hati, dia lega. Ternyata tidak sesulit itu bicara dengan mafia. Tinggalah ia dan ibunya di ruang tamu. “Ibu…” suara Ariadna rendah. “Ibu rela menghentikan kuliahku dan menikahkanku dengan mafia itu?” Ibunya menunduk, tak menjawab. Ariadna melanjutkan. “Selama ini aku diam. Tidak pernah bertanya kenapa adikku Adi selalu dibela, disayang, dibanggakan. Tapi sekarang… apakah aku bahkan tak pantas dibela ketika masa depanku diambil begitu saja?” Tak ada suara dari ibunya. Bahkan untuk sekadar berbisik pun tidak. Langkah kaki terdengar lagi dari lorong. Pak Damian kembali masuk dengan ekspresi murka. “Apa yang kamu lakukan tadi, Ariadna?” Ariadna bangkit berdiri. “Apa?” “Bersikap begitu pada tamu? Kamu pikir kamu siapa?” Ariadna menahan diri. “Aku hanya ingin berbicara dulu, Ayah. Itu salah?” “Kamu mengusir tamu. Itu tidak sopan!” Ariadna mendongak, menatap ayahnya tajam. “Lalu menjual anakmu ke mafia, itu sopan?” PLAK !!! Tamparan itu terdengar nyaring. Ariadna menahan air matanya dengan menggigit bibir. Di sisi lain ruangan, ibunya mengejang, namun tetap tidak bersuara. “Beraninya kau bilang ‘menjual’ !?” seru Damian. “Kau pikir semua yang kau nikmati selama ini datang dari langit? Pendidikanmu, apartemenmu, hidupmu… semuanya dari kerja keras Ayah! Sekarang, ketika Ayah butuh, kau seharusnya bersyukur bisa membalas.” Ariadna terdiam, pipinya memerah karena tamparan dan amarah yang tak bisa diluapkan. “Sebagai anak perempuan, kau tidak punya nilai. Tapi setidaknya, untuk sekali ini, kau bisa menyelamatkan keluarga.” Lidah Ariadna kelu. Kata-kata ayahnya bukan hanya menyakitkan, tapi juga membenarkan apa yang selama ini ia rasakan: bahwa ia tak pernah dianggap. Pak Damian berbalik dan pergi meninggalkan mereka, pintu dibanting pelan. Ariadna duduk kembali. Kali ini tidak kuat lagi menahan air matanya, tapi ia tidak menangis dalam suara. Ia hanya membiarkan satu tetes jatuh, lalu menghapusnya sebelum terlihat. ______________________________________ Berita di sosial media makin menggila. Bahkan ada rumor menyebar bahwa Ariadna menjadi korban pelecehan Vernando dan kini tengah hamil. Di ruang kerjanya, Pak Damian panik menerima panggilan dari asisten Vernando. “Ah iya, ini saya juga sedang menonton berita pak, benar…skandal makin panas rupanya. Hahaha….” Pak Damian tertawa kering “Kami tidak menyukai ini pak. Kami harap bapak setuju jika ini dibereskan secepatnya.” “Bereskan….maksud anda?” “Pernikahan dengan Nona Ariadna. Minimal tiga bulan lagi. Legal. Sah. Tanpa drama tambahan. Kalau tidak, reputasi bos kami ikut terciprat. Dan beliau tidak suka main air kotor, Pak. Beliau biasanya cuma tenggelamkan orang di dalamnya.”Ariadna menatap Vernando dengan pandangan tercengang. Tidak menyangka kata-kata semanis “rindu” bisa keluar juga dari bibir itu.“......Mungkin dia rindu” kata-kata itu menggema di kepalanya yang membuarnya menunduk sedikit, menyembunyikan ekspresi yang bahkan ia sendiri belum sempat pahami. Vernando mencondongkan badan lebih dekat, menatap Ariadna “Kenapa? Apa kau terganggu?” Ariadna tak menjawab. “Atau cemburu?”Ariadna berkedip, tapi dia masih diam.Vernando menyeringai tipis, memundurkan tubuhnya, bersandar ke sofa. “Jawaban diam yang cukup nyaring.”Ariadna menahan napas sejenak, lalu berkata ringan, “Cemburu adalah reaksi atas ancaman. Dan aku tidak menganggap perempuan yang berteriak dan mencakar sebagai ancaman.”Vernando tertawa kecil. “Jawaban diplomatis. Apa semua putri pejabat punya les pribadi bermain kata seperti ini?”“Aku juga heran, apa semua mafia juga bisa mengatakan istilah perasaan semacam “rindu” sepertimu?” “Mungkin agak berbeda artinya dengan kalian tapi kam
Vernando duduk diam di kursi belakang mobil, wajahnya tenang, tapi jari-jarinya mengetuk lututnya dengan ritme cepat—tanda bahwa pikirannya jauh dari damai."Lebih cepat," ucapnya pelan pada sopir, tanpa menoleh.Beberapa menit lalu, saat masih di kantor, ia menerima pesan itu. Cukup satu baris, tapi dampaknya langsung terasa.“Maaf, Pak. Nona Lysandra datang. Beliau memaksa masuk. Kami tak kuasa menghentikan.”Vernando langsung berdiri dari kursinya saat itu juga, menyuruh staf menyiapkan mobil tanpa basa-basi.Sekarang, di dalam mobil yang melaju menembus jalanan kota, ia memejamkan mata.Lysandra memang selalu seperti itu—impulsif, tak kenal waktu, dan suka membuat kekacauan yang harus dia sendiri yang bereskan.Beberapa menit kemudian, mobil berhenti tepat di depan mansion Maheswara. Vernando turun tanpa banyak bicara, langkahnya panjang dan mantap saat memasuki rumah. Ia membuka pintu utama—dan langsung disambut pemandangan yang membuatnya terkejut..Beberapa kursi ruang tamu ter
Jemarinya turun perlahan, menyusuri garis rahang gadis itu, turun ke dagu… dan akhirnya berhenti di bibirnya. Ia menekan pelan, membuka bibir lemb,ut gadis itu, kemudian menunduk.Bibir Vernando menyentuh bibir Ariadna, pertama pelan, kemudian melumatnya dengan cara yang membuat tubuh Ariadna mendadak panas, penuh kuasa. Tangan Vernando turun, menyentuh lehernya, lalu turun lagi—menemukan dadanya. Diremasnya dada gadis itu yang sudah mengeras karena hasrat. Dengan sekali gerakan, satu kancing baju Ariadna terlepas.Disusul yang kedua, hingga setengahnya terbuka, memperlihatkan kulit putih halus dibaliknya.Ariadna bergidik ketika udara dingin kamar menyentuh kulitnya, namun Vernando tidak memberi waktu untuk berpikir. Ia mendorong tubuh Ariadna perlahan ke belakang, membuat gadis itu rebah di atas kasur, lalu menindihnya. Tubuhnya hangat, aroma khas tembakau mahal dan tubuh pria dewasa menguar dekat sekali di antara mereka. Jemari Vernando menjalar dari dada menelusuri pinggangnya, l
Tiga hari sejak penculikan Ariadna, Vernando duduk di ruang kerjanya—dengan balutan jas hitam, wajah dingin, dan sebatang rokok yang bahkan takut terbakar terlalu cepat. Saingan bisnisnya banyak, tapi tidak sulit untuk langsung mengetahui kelompok yang berani menyentuh Ariadna kemarin. Apalagi selevel preman kelas bawah. Baik yang menembak dirinya dan yang menculik Ariadna adalah suruhan Owell, pengusaha beberapa tempat hiburan permainan yang sebenarnya adalah tempat judi dan transaksi obat terlarang. Kebetulan, dia memang ingin melenyapkan usaha itu sejak didengarnya Owell mulai melakukan jual beli wanita yang digelapkan dari luar negeri. “Sebastian.” panggil Vernando, pelan tapi dalam. “Perintah, Pak. ” jawab Sebastian sigap. Vernando bangkit, berdiri membelakanginya, menghadap jendela besar kantornya yang ada di lantai 20 itu. “Serang.Terbuka.” Sebastian mengangkat kepala. Tidak perlu bertanya untuk tau perintah itu ditargetkan untuk siapa. "Baik, Pak. Serang versi frontal
Ariadna baru saja berhasil mengambil langkah seribu setelah sejenak tidak bisa bergerak saking terkejutnya ketika tiba-tiba dia menabrak sesorang.Vernando?Sosok itu mendorongnya kasar.“Aww!” Ariadna terjatuh ke belakang, pantatnya menghantam tanah.“Ha! Ketemu juga kau!” seru pria yang ditabraknya, tertawa puas. Salah satu penculik. Ariadna menatap wajahnya yang kotor dan berkeringat. Sial. Bukan orang yang diharapkan.Namun teringat sesuatu yang membuatnya berteriak tadi, Ariadna segera bangkit, hendak berlari ketika lengannya dicengkeram keras oleh pria itu. “Mau kemana, tuan putri?” desisnya Ariadna meronta. Pria itu tinggi besar, tenaganya tak sebanding. . “ADA ULAR! DI BELAKANGKU ADA ULAR! BESAR! BESAR BANGET!”Agak kewalahan menghadapi Ariadna yang membabi buta karena panik, si penculik mengernyit, “Hei! Hei! Diam! Apa-apaan sih ni cewek…”Suaranya berhenti.Mata pria itu melebar seperti mau copot.Ia mematung.Ariadna ikut menoleh perlahan ke belakang. Di balik rumput ilal
Ariadna menarik napas panjang dan menguatkan kakinya di atas lantai berdebu. Ia mengambil sebatang kayu dari sudut rak, lalu berjalan mendekati pintu besar gudang tua itu. Ditempelkannya batang kayu ke sela kecil di antara pintu tua itu mencoba mengikis celah sedikit demi sedikit untuk menciptakan celah—cukup agar bisa mengintip.Sepi.Tak tampak penjaga di depan pintu. Mungkin mereka terlalu percaya diri, menganggap Ariadna tidak akan mungkin kabur, karena dia sendiri yang tadi menyarankan dibawa ke pertemuan. Lucu sekali. Mereka menyekap Ariadna Maheswara dan berharap dia diam? Memangnya ini program karantina idol?Ia berputar, menyusuri dinding gudang. Matanya menangkap jendela kecil di pojok atas, diapit dinding kayu lapuk dan tumpukan rak usang. Jendela ventilasi bertingkap. Cukup besar untuk badannya.Ariadna menatap jendela itu. Jaraknya kira-kira dua meter dari lantai. Dia mengecek rak-rak kayu yang tersisa, menarik salah satunya mendekati tembok, dan mulai memanjat.Tangan k