Share

Bab 3

Penulis: Kata Semesta
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-12 01:29:13

Perut Jena mulai terasa kosong, suara lirih keroncongan terdengar jelas di tengah kesunyian kamar hotel. Ia mendesah, menatap sekilas menu room service yang tergeletak di meja, lalu menggeleng. "Aku nggak mau makanan hotel," gumamnya pelan.

Dengan langkah ringan, Jena keluar dari kamar. Udara pagi yang masih segar menyambutnya ketika ia menuruni lobi hotel. Matanya bergerak ke kanan dan kiri, seperti mencari sesuatu—atau mungkin sebenarnya hanya ingin melarikan diri dari penat yang menyesakkan di dadanya.

Di sisi lain, sebuah mobil hitam baru saja berhenti di parkiran hotel. Abas turun, ke keluar dari mobil. Namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok Jena yang keluar sendirian. Gadis itu berjalan dengan langkah malas, sesekali menunduk pada ponselnya, seolah tak peduli sekitar.

Abas merapatkan rahang, menghela napas panjang. Ia sempat berpikir untuk memanggilnya, tapi akhirnya urung. Sebaliknya, ia memilih langkah yang lebih diam-diam.

Abas mengikuti dari kejauhan. Tidak terlalu dekat, tidak pula terlalu jauh. Pandangannya tak lepas dari punggung mungil itu. "Kenapa Jena selalu bikin repot sih?" batinnya mendesah.

Jena sendiri berjalan tanpa tujuan pasti, membiarkan kaki membawanya ke arah jalanan ramai. Suara kendaraan, pedagang kaki lima yang baru membuka lapak, hingga aroma sarapan dari warung pinggir jalan membuat perutnya semakin keroncongan.

Jena tidak sadar ada sepasang mata yang terus mengawasinya.

Abas tetap melangkah di belakangnya, menjaga ritme langkah agar tidak terlalu mencolok. Gadis itu memang menyebalkan, pikirnya—keras kepala, penuh drama, dan selalu membuat situasi rumit.

Tapi di balik itu, entah kenapa, Abas tidak tega membiarkan Jena sendirian.

Jena berdiri di tepi trotoar, matanya menatap ke seberang jalan di mana beberapa kios kecil sudah mulai buka. Perutnya semakin menjerit, membuatnya ingin segera menyeberang tanpa pikir panjang.

Tanpa melihat kanan dan kiri, Jena melangkah begitu saja.

Dari kejauhan, Abas yang terus mengikutinya langsung memicingkan mata. Detik berikutnya, suara deru mesin motor terdengar kencang. Sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi, tepat ke arah Jena.

"Jena!" Abas terperanjat. Ia berlari refleks, detak jantungnya berpacu.

Namun, sebelum Abas sempat meraih gadis itu, Jena sendiri sudah sadar. Mata bulatnya membelalak, dan dengan cepat ia mundur beberapa langkah hingga kembali ke trotoar. Motor itu melintas hanya beberapa senti dari ujung jarinya, membuat rambutnya sedikit beterbangan karena hembusan angin.

Jena menepuk dadanya, napasnya terengah. "Astaga..." bisiknya, wajahnya pucat.

Abas berhenti, langkahnya melambat. Ia menatap Jena lama dari jauh, lalu menghela napas berat. "Dasar ceroboh," gerutunya pelan, rahangnya menegang.

Motor itu menghilang di ujung jalan, dan setelah beberapa detik menenangkan diri, Jena kembali melangkah. Seolah kejadian barusan hanyalah gangguan kecil di pagi hari.

Abas mengubah keputusannya. Kali ini ia memilih mengikuti lebih dekat. Jaraknya tidak lagi sejauh tadi—cukup dekat untuk bisa menjangkau Jena jika sesuatu terjadi lagi. Ia tahu betul sifat ceroboh gadis itu bisa membahayakan dirinya kapan saja.

Dari belakang, pandangan Abas tidak pernah lepas dari sosok Jena. Gadis itu berjalan ringan, sibuk dengan pikirannya sendiri, sementara Abas harus rela menyesuaikan langkah, menjaga tanpa ketahuan.

"Mengurus diri saya sendiri aja udah repot. Perusahaan pun tiap hari bikin kepala saya pening. Dan sekarang..." Abas mendesah dalam hati, menatap punggung mungil itu dengan tatapan rumit. "Saya malah harus ikut menjaga istri yang—saya yakin—akan punya gebrakan setiap harinya."

Bibirnya mengerucut tipis, antara kesal dan pasrah. Namun kakinya tetap melangkah. Abas tahu, meski menyebalkan, ia tidak bisa membiarkan Jena lepas dari jangkauannya.

Jena akhirnya memilih sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan. Bangku panjang dari kayu, meja berlapis plastik bermotif bunga, dan aroma masakan rumahan langsung menyambutnya. Meski lahir dari keluarga kaya, ia tidak pernah pilih-pilih tempat makan. Justru tempat seperti ini membuatnya merasa lebih bebas, jauh dari aturan keluarga yang kaku.

Jena duduk, memesan seporsi nasi goreng dengan teh manis hangat. Tak lama, makanan pun datang, mengepul harum menggoda. Jena menatapnya dengan senyum kecil, perutnya semakin tidak sabar.

Di luar, Abas berdiri bersandar santai di dekat tiang warung. Dari balik kaca jendela kecil, matanya terus mengawasi Jena. Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat tipis. Ada rasa kagum melihat bagaimana istrinya yang manja itu bisa begitu sederhana.

Namun, senyum itu lenyap begitu saja ketika beberapa laki-laki masuk ke warung. Mereka tertawa keras, lalu duduk tak jauh dari Jena. Pandangan mereka segera tertuju pada gadis itu.

Bisikan-bisikan mulai terdengar.

"Cantik banget, bro."

"Liat kulitnya, mulus. Kayak bukan orang sini."

"Pantesan keliatan mahal. Liat tuh lesung pipinya."

Mata Abas menyipit. Rahangnya mengeras. Dari luar, ia bisa melihat jelas tatapan laki-laki itu—bukan sekadar kagum, tapi penuh niat melecehkan.

Salah satu dari mereka, lelaki berjaket hitam, bangkit dari kursinya. Dengan percaya diri, ia melangkah ke meja Jena.

"Halo, Neng..." suaranya dibuat seramah mungkin, meski matanya jelas-jelas menelanjangi. "Boleh kenalan? Kayaknya sayang banget kalau makan sendirian."

Jena mengangkat kepalanya, menatap singkat lalu menggeleng sopan. "Maaf, saya lebih suka sendiri."

Jena menggeser posisi duduknya, sedikit memiringkan tubuh agar menjauh dari lelaki itu. Namun, bukannya mundur, lelaki itu malah semakin mendekat, tangannya bahkan hampir menyentuh sandaran kursi Jena.

Jena menghela napas gugup, menunduk, berusaha tetap tenang.

Dari luar, Abas sudah tidak bisa menahan diri. Matanya menyala tajam, tubuhnya tegap penuh wibawa. Ia melangkah masuk ke dalam warung dengan langkah berat namun mantap, membuat lantai kayu berderit pelan.

Beberapa pasang mata langsung menoleh, termasuk Jena yang terkejut melihat sosok pria itu muncul.

Abas tidak berkata apa-apa. Ia berjalan lurus ke arah meja Jena, sorot matanya menusuk lelaki berjaket hitam itu.

Aura dinginnya begitu kuat, membuat suasana warung mendadak hening.

"Maaf, istri saya nggak perlu ditemani orang asing," ucap Abas dingin.

Abas mengangkat tangannya, menunjukkan cincin yang melingkar di jari manisnya. "Saya suaminya."

Lelaki berjaket hitam itu spontan menelan ludah, pandangannya bergeser ke arah cincin di jari Abas, lalu kembali menatap wajah pria itu. Sorot mata Abas begitu tajam, seolah menusuk sampai ke tulang.

Suasana warung hening. Bahkan sendok yang jatuh dari tangan salah satu pengunjung lain pun terdengar jelas.

Jena masih terdiam, matanya melebar. Antara terkejut, malu, dan entah kenapa... sedikit lega.

"T-tapi, Bang... saya cuma—" lelaki itu mencoba berkilah, suaranya bergetar.

"Cuma apa?" potong Abas, nadanya rendah tapi dingin. "Cuma ganggu perempuan yang jelas-jelas udah nolak kamu?"

Lelaki itu terdiam, keringatnya mulai muncul di pelipis. Teman-temannya yang duduk di meja lain hanya bisa saling pandang, tidak ada yang berani maju.

Abas mendekat setengah langkah, tubuh tegapnya semakin memberi tekanan. "Denger baik-baik. Lain kali kalau liat perempuan makan sendirian, jaga tatapan, jaga sikap. Apalagi kalau itu istri orang."

Lelaki berjaket hitam itu akhirnya mundur, kursinya bergeser berderit. Ia kembali ke meja teman-temannya dengan wajah menunduk, tak berani menatap Abas lagi.

Abas lalu mengalihkan pandangannya ke Jena. Sorotnya masih dingin, tapi ada kilatan lain yang tak bisa Jena artikan. Ia menarik kursi dan duduk tepat di samping istrinya.

"Lain kali kalau makan di luar, jangan sendirian," ucap Abas tanpa menoleh, suaranya tetap datar.

Jena menelan ludah, jemarinya meremas sendok di tangannya. "Aku... aku cuma lapar."

"Kalau lapar, bilang. Jangan bikin saya repot."

Nada dingin itu membuat Jena mendengus pelan, separuh jengkel, separuh bingung.

Abas masih duduk di samping Jena, tubuhnya tegap, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sementara Jena menatap piring nasi goreng di depannya, berusaha menenangkan detak jantung yang belum kembali normal setelah kejadian barusan.

Suasana warung kembali ramai, orang-orang mulai melanjutkan makan mereka, meski beberapa pandangan masih sesekali melirik ke arah pasangan itu.

Jena akhirnya menghela napas pelan. Ia menusukkan sendok ke nasi gorengnya, lalu melirik ke arah Abas. "Kalau nggak suka aku makan di luar, kenapa kamu malah duduk di sini? Nanti dibilang pasangan romantis lho, makan sepiring berdua."

Abas tidak menoleh, matanya masih lurus menatap meja. "Saya duduk di sini supaya nggak ada lagi orang iseng yang coba-coba ganggu kamu."

Jena mendengus, menyuap satu sendok nasi goreng. "Jadi bodyguard sekalian, ya?"

"Bodyguard yang kamu nggak bisa bayar," balas Abas cepat, nada suaranya tetap dingin.

Jena terbatuk kecil, hampir tersedak karena menahan tawa. "Ih, sombong banget. Kayak aku nggak bisa bayar gitu."

Abas akhirnya menoleh sekilas, menatap Jena dengan sorot mata menusuk. "Bisa bayar? Bayar saya pakai apa? Sikap keras kepala kamu?"

Jena melotot kecil, pipinya bersemu merah. "Dasar dingin! Kalau nggak mau makan, kenapa ikut duduk? Pergi aja sekalian."

Abas mengabaikan, lalu meraih gelas teh manis hangat yang tadi dipesan Jena. Tanpa basa-basi, ia meminumnya begitu saja.

"Hei! Itu teh aku!" protes Jena, matanya melebar.

Abas meletakkan gelas itu lagi dengan tenang. "Sekarang jadi teh kita."

Jena hanya bisa menganga, tidak percaya dengan kelancangan pria itu. Tapi di dalam hatinya, entah kenapa, sudut bibirnya hampir ingin tertarik.

Suasana canggung itu berlanjut beberapa menit. Jena pura-pura kesal, menyuap makanannya dengan cepat, sementara Abas duduk tenang, sekali-sekali melirik istrinya yang jelas terlihat masih kesal tapi tidak benar-benar marah.

"Kamu jangan lupa loh soal kontrak pernikahan kita. Kamu nggak boleh ikut campur di hidup aku, begitu juga sebaliknya," ucap Jena mengingatkan.

Abas mengangkat alis tipis, masih menatap Jena dengan tenang. "Saya ingat. Tapi kontrak itu nggak bilang saya harus diem aja kalau istri saya hampir celaka atau diganggu orang asing."

Jena berhenti mengunyah, menatapnya sebentar. "Tetep aja. Kamu terlalu ikut campur. Aku bisa jaga diri sendiri."

Abas terkekeh pendek, dingin. "Jaga diri? Kamu bahkan hampir keserempet motor barusan. Kalau saya nggak lihat, mungkin kamu udah di rumah sakit sekarang."

Pipi Jena memanas. Ia menunduk, menusuk-nusuk nasi gorengnya tanpa arah. "Itu kan cuma nggak sengaja. Lagian aku mundur kok."

"Ya, mundur setelah panik," potong Abas. Nada suaranya masih datar, tapi ada sedikit sindiran yang menusuk.

Jena mendengus, kesal karena tak bisa membantah. Ia meneguk teh yang tersisa—lalu baru sadar kalau gelasnya sudah kosong setengah karena ulah Abas tadi.

"Tunggu... tunggu... kok kamu bisa tahu kalau tadi aku hampir ditabrak motor? Jangan-jangan kamu ngikutin aku daritadi ya?" tatap Jena curiga.

Abas menoleh pelan, menatap Jena dengan tatapan datar tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Kalau iya?"

Jena membelalakkan mata. "Hah?! Jadi kamu beneran ngikutin aku?"

"Ngikutin?" Abas mengangkat bahu acuh. "Lebih tepatnya mengawasi. Karena saya tahu kamu pasti bikin ulah kalau dibiarin sendirian."

Jena mendesah keras, hampir meletakkan sendoknya dengan kasar. "Ih! Nyebelin banget. Aku bukan anak kecil yang harus dijagain, tahu!"

Abas mencondongkan tubuh, menatap Jena tajam. Suaranya rendah, dingin, tapi sarat makna.

"Kamu bukan anak kecil. Kamu istri saya."

Abas menyandarkan tubuhnya kembali, seolah ucapan barusan tidak berarti apa-apa. Ia mengambil gelas teh Jena lagi, menyesapnya tenang.

"Dan, mau kamu suka atau nggak, istri saya berarti tanggung jawab saya."

Jena menggertakkan gigi, wajahnya memerah entah karena marah atau... sesuatu yang lain. Ia buru-buru menunduk, menyuap nasi gorengnya lagi, berusaha menyembunyikan perasaan yang berantakan.

"Mas Abas, please! Kamu tahu sendiri kan kita nikah karena terpaksa, kamu nggak cinta sama aku, aku juga nggak cinta sama kamu. Apalagi kamu tahu juga, aku punya pacar," ucap Jena.

"Terus kenapa emangnya? Dimata hukum, negara dan agama, kamu adalah istri saya. Terlepas kamu cinta saya atau nggak, begitu juga sebaliknya," jawab Abas santai.

Jena mendongak cepat, menatap Abas dengan mata melebar. "Kamu... kamu sadar nggak sih status pernikahan kita itu cuma di atas kertas aja. Kamu udah setuju untuk tanda tangan."

Abas menatap balik tanpa gentar, wajahnya tetap tenang meski nada suaranya sedikit lebih tegas.

"Status di kertas itu yang bikin kamu bisa duduk di sini dengan aman. Yang bikin saya punya hak penuh buat jaga kamu. Jadi, iya—kalau kamu anggap itu cuma kertas, buat saya kertas itu berarti tanggung jawab."

Akhirnya Jena bersuara lirih, tapi nadanya sinis. "Kamu ngomong tanggung jawab seakan-akan aku beban aja."

Abas menegakkan tubuhnya, menatap Jena dalam-dalam. Ada kilatan aneh di matanya, dingin.

"Bukan beban. Lebih tepatnya... kewajiban. Dan saya bukan tipe orang yang lari dari kewajiban."

"Udah ah! Aku mau balik ke hotel aja! Males ngomong sama kamu, nggak mau kalah!" kesal Jena.

Jena bangkit terburu-buru, kursi kayu bergeser berderit keras ke lantai. Wajahnya masih merah karena emosi, langkahnya cepat menuju ibu penjaga warung untuk membayar. Namun baru dua langkah, kakinya justru tersandung kaki meja kayu. Tubuhnya oleng ke depan.

"Hhh—!" Jena refleks menutup mata, siap menahan rasa sakit karena jatuh.

Tapi sebelum sempat menyentuh lantai, sebuah tangan kokoh sudah lebih dulu menangkap lengannya. Tarikan kuat membuat tubuhnya terhuyung balik—dan kini terperangkap di dada Abas yang tegap.

Suasana warung mendadak hening beberapa detik. Beberapa orang menoleh, memperhatikan mereka.

Jena membuka mata perlahan, mendapati wajah Abas begitu dekat dengannya. Nafasnya tercekat. Ia bisa merasakan degup jantung pria itu—tenang, konstan, seakan berbeda jauh dengan detak jantungnya yang kacau balau.

"Dasar ceroboh." Suara Abas rendah, dingin, tapi entah kenapa justru membuat bulu kuduk Jena meremang.

Jena buru-buru melepaskan diri, wajahnya makin memanas. "Aku bisa jalan sendiri!" bentaknya, meski jelas tadi ia hampir jatuh.

Abas menatapnya tajam, tapi bibirnya menahan senyum tipis yang nyaris tak terlihat. Ia merogoh dompet, lalu meletakkan beberapa lembar uang di meja ibu warung. "Ini bayar, Bu. Terima kasih."

Jena melotot. "Hei! Aku yang mau bayar!"

Abas hanya berjalan duluan keluar warung, tangannya masuk ke saku celana, tenang seakan tidak terjadi apa-apa. "Istri saya makan, berarti saya yang bayar. Jangan banyak protes."

Jena mengepalkan tangannya, mendengus keras. "Nyebelin banget!" gumamnya, lalu buru-buru menyusul ke luar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 6

    Abas kembali melajukan mobilnya, roda berputar mulus di atas aspal tol yang panjang. Lampu-lampu jalan berbaris rapi, sementara suara mesin mobil berpadu dengan aliran angin dari AC.Sejak tadi, Jena duduk gelisah di kursinya. Matanya berulang kali melirik ke arah Abas, lalu buru-buru berpaling lagi setiap kali hampir ketahuan. Namun rasa khawatirnya jauh lebih besar daripada gengsi yang ia simpan.Akhirnya, dengan suara pelan tapi jelas terdengar, Jena memberanikan diri bertanya, "Mas... dada kamu sakit nggak?"Abas tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap fokus ke jalan, wajahnya tenang tanpa menunjukkan ekspresi berarti. Hanya jemari tangannya yang sempat mengecilkan genggaman di setir, sebelum kembali menguat."Sakit sedikit," jawabnya datar, seolah itu bukan hal penting. "Tapi masih bisa nyetir. Kamu tenang aja."Jena mengerutkan kening, tangannya meremas tas di pangkuan. "Kok bisa bilang 'tenang aja'? Mas tadi kebentur keras, lho. Harusnya kamu jangan sok kuat gitu. Gimana kala

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 5

    Beberapa menit kemudian, pintu kayu berwarna biru itu akhirnya berderit terbuka. Jena keluar dengan wajah merah padam, rambut sedikit berantakan karena buru-buru, dan langkahnya canggung. Ia bahkan tidak berani menatap orang-orang di warung yang jelas-jelas masih melirik sambil menahan tawa kecil.Abas yang sedari tadi bersandar dengan tangan bersedekap di dekat pintu, langsung menegakkan tubuhnya. Tatapannya menelusuri Jena sebentar, lalu sudut bibirnya terangkat tipis."Udah lega?" tanyanya datar, tapi nada suaranya penuh sindiran halus.Jena terhenti, menoleh cepat sambil melotot. "Hush! Jangan ngomong keras-keras!" bisiknya panik. "Nanti semua orang tahu!"Abas mengangkat alis santai, menunduk sedikit mendekat ke telinga Jena. Suaranya pelan, tapi jelas menusuk."Semua orang juga udah tahu, soalnya muka kamu nggak bisa bohong."Pipi Jena langsung memanas. Ia meremas tas kecil di tangannya, menahan diri untuk tidak menampar lengan suaminya itu. "Dasar dingin nyebelin! Kamu seneng b

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 4

    Jena berjalan cepat di trotoar, wajahnya masih cemberut. Bibirnya mengerucut, maju seperti paruh bebek, seakan-akan dengan begitu ia bisa melampiaskan kekesalannya pada udara. Sandalnya menghentak-hentak kecil setiap kali melangkah, menandakan mood-nya yang jelas masih buruk.Jena memilih sisi kanan jalan, padahal persis di sampingnya kendaraan lalu-lalang, sesekali mobil melintas cukup dekat.Abas yang berjalan setengah langkah di belakangnya hanya mengamati tanpa suara. Mata dinginnya memperhatikan betapa sembrono gadis itu, seolah tidak sadar betapa rawannya posisi di tepi jalan.Tanpa berkata apa-apa, Abas tiba-tiba mengulurkan tangannya. Dengan gerakan tegas namun tak kasar, ia menahan lengan Jena dan memindahkannya ke sisi kiri—menempatkan dirinya di sisi kanan, berhadapan langsung dengan lalu lintas.Jena terbelalak, menoleh cepat. "Mas Abas! Kamu ngapain sih?!"Abas tidak menatapnya. Pandangannya tetap lurus ke depan, langkahnya mantap. "Kamu jalan di pinggir banget. Kalau ada

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 3

    Perut Jena mulai terasa kosong, suara lirih keroncongan terdengar jelas di tengah kesunyian kamar hotel. Ia mendesah, menatap sekilas menu room service yang tergeletak di meja, lalu menggeleng. "Aku nggak mau makanan hotel," gumamnya pelan.Dengan langkah ringan, Jena keluar dari kamar. Udara pagi yang masih segar menyambutnya ketika ia menuruni lobi hotel. Matanya bergerak ke kanan dan kiri, seperti mencari sesuatu—atau mungkin sebenarnya hanya ingin melarikan diri dari penat yang menyesakkan di dadanya.Di sisi lain, sebuah mobil hitam baru saja berhenti di parkiran hotel. Abas turun, ke keluar dari mobil. Namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok Jena yang keluar sendirian. Gadis itu berjalan dengan langkah malas, sesekali menunduk pada ponselnya, seolah tak peduli sekitar.Abas merapatkan rahang, menghela napas panjang. Ia sempat berpikir untuk memanggilnya, tapi akhirnya urung. Sebaliknya, ia memilih langkah yang lebih diam-diam.Abas mengikuti dari kejauhan. Tidak

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 2

    Abas sudah terjaga sejak subuh, duduk di sofa dengan kemeja putih yang sudah rapi kembali. Wajahnya segar, meski semalaman ia hampir tidak tidur. Ia menatap layar tablet di tangannya, membaca email pekerjaan, seakan pernikahan semalam hanyalah agenda kecil yang bisa ia letakkan di sudut pikirannya.Sementara itu, Jena masih tertidur di ranjang besar dengan piyama berwarna pastel yang ia kenakan, selimut menutupi sebagian tubuhnya. Wajahnya terlihat lelah, mungkin karena semalaman ia bergulat dengan pikirannya sendiri.Abas melirik jam tangannya, lalu berdiri. Dengan langkah tenang, ia mendekati ranjang, berhenti tepat di sisi Jena."Bangun," suaranya dalam, tegas, namun tidak keras.Jena mengerjap pelan, membuka mata dengan tatapan sayu. "Hm... Om?""Kita perlu bicara sebelum saya ambil keputusan," ucap Abas tanpa basa-basi.Jena langsung terduduk, menyibakkan selimut, wajahnya masih agak kusut tapi matanya menatap serius. "Keputusan soal kontrak?"Abas mengangguk. Ia kembali duduk di

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 1

    Resepsi pernikahan megah selesai. Musik yang sedari tadi riuh di ballroom kini berganti dengan senyap malam. Lampu-lampu gantung kristal masih berkilau, namun para tamu sudah satu per satu meninggalkan tempat.Bastian Lengkara Samudra, atau yang sering dikenal Abas, CEO berusia tiga puluh lima tahun yang dikenal dingin, cuek, dan selalu berpikir logis, berdiri tegak dengan wajah datar di samping pengantin wanitanya. Ia masih mengenakan jas hitam elegan, dasinya terikat rapi, dan sorot matanya dingin.Di sebelahnya, Jenara Cerelia Praratya—atau Jena—gadis berusia dua puluh empat tahun yang cantik dengan gaun pengantin putih sederhana, melangkah pelan. Senyumnya tadi di depan tamu hanyalah formalitas, sama seperti Abas yang menahan ekspresi apapun.Tidak ada romantisme. Tidak ada tatapan hangat.Hanya dua orang asing yang dipaksa oleh keluarga untuk menikah.*****Setelah acara usai, Abas dan Jena ke sebuah hotel mewah yang sudah disiapkan oleh orang tua Abas.Di kamar pengantin, Abas m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status