Abas sudah terjaga sejak subuh, duduk di sofa dengan kemeja putih yang sudah rapi kembali. Wajahnya segar, meski semalaman ia hampir tidak tidur. Ia menatap layar tablet di tangannya, membaca email pekerjaan, seakan pernikahan semalam hanyalah agenda kecil yang bisa ia letakkan di sudut pikirannya.
Sementara itu, Jena masih tertidur di ranjang besar dengan piyama berwarna pastel yang ia kenakan, selimut menutupi sebagian tubuhnya. Wajahnya terlihat lelah, mungkin karena semalaman ia bergulat dengan pikirannya sendiri. Abas melirik jam tangannya, lalu berdiri. Dengan langkah tenang, ia mendekati ranjang, berhenti tepat di sisi Jena. "Bangun," suaranya dalam, tegas, namun tidak keras. Jena mengerjap pelan, membuka mata dengan tatapan sayu. "Hm... Om?" "Kita perlu bicara sebelum saya ambil keputusan," ucap Abas tanpa basa-basi. Jena langsung terduduk, menyibakkan selimut, wajahnya masih agak kusut tapi matanya menatap serius. "Keputusan soal kontrak?" Abas mengangguk. Ia kembali duduk di kursi dekat meja kecil, menyilangkan kaki, dan meletakkan tablet di samping kontrak semalam yang masih terbuka. "Saya udah memikirkan pasal tambahan yang saya ajukan. Tapi sebelum saya tanda tangan, ada beberapa pertanyaan terakhir yang harus kamu jawab." Nada suaranya tenang, tapi dingin. Seperti seorang CEO yang sedang menguji kandidat penting. Jena menarik napas panjang. "Oke. Silakan." Abas mencondongkan tubuh, kedua tangannya bertaut. "Pertama. Kamu bilang semalam, pacar kamu—Radit—tahu soal pernikahan ini. Pertanyaan saya, kalau dia benar-benar cinta sama kamu, kenapa dia rela membiarkan kamu jadi istri orang lain?" Jena terdiam sejenak, lalu menunduk. "Karena dia percaya sama aku. Karena dia nggak mau melawan keluarga aku. Dia nggak mau bikin masalah." Abas mengamati wajahnya lekat-lekat. "Atau... karena dia nggak cukup berani memperjuangkan kamu?" Kata-kata itu menusuk. Jena mendongak cepat, matanya bergetar, tapi ia menahan diri untuk tidak menjawab. Abas melanjutkan. "Kedua. Kamu yakin bisa hidup setahun penuh tanpa menghubungi dia sama sekali? Ingat, pernikahan formalitas pun butuh konsistensi. Sekali kamu ketahuan menjalin kontak dengan dia, semua yang kita bangun bisa runtuh." Jena menggigit bibir bawahnya. "Aku bisa. Kalau itu syaratnya, aku bisa." Abas menyipitkan matanya, seolah menguji ketegasan ucapannya. "Dan kalau suatu saat, Radit datang, memohon supaya kamu kembali, kamu masih bisa bilang nggak?" Kali ini Jena terdiam lebih lama. Lalu, dengan suara pelan tapi mantap, ia berkata, "Kalau itu demi kontrak, iya. Aku akan bilang nggak." Abas menegakkan tubuhnya, ekspresinya tetap datar, tapi ada sesuatu yang berkilat samar di matanya. Ia mengetuk meja pelan dengan jarinya—tanda bahwa pikirannya hampir bulat. "Terakhir," suaranya lebih rendah. "Apa kamu siap menanggung risiko kalau pada akhirnya, kontrak ini justru mengubah cara pandang kamu terhadap saya? Karena saya ulangi, emosi manusia tidak bisa diprediksi." Jena tersenyum tipis, meski matanya tampak lelah. "Kamu terlalu percaya diri. Aku udah bilang, aku nggak mungkin jatuh cinta sama kamu. Aku cuma mau kontrak ini berjalan lancar." Abas menatapnya lama, lalu mengambil pulpen dari saku jasnya. Dengan gerakan mantap, ia menandatangani kontrak itu. "Baiklah," ucapnya singkat. "Mulai hari ini, kita sah bukan hanya di mata keluarga, tapi juga di atas kertas versi kita sendiri." Jena menghela napas lega, meski di dalam hatinya ada rasa getir yang tidak bisa ia definisikan. Abas meletakkan kontrak itu di meja, lalu bangkit. "Ingat semua jawaban kamu pagi ini. Karena saya akan menagihnya satu per satu kalau kamu melanggar." "Iya, bawel! Udah aku mau tidur lagi, masih ngantuk," ucap Jena, lalu kembali membaringkan tubuhnya dan menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Abas terdiam sejenak, menatap gundukan selimut yang menutupi tubuh Jena. Baru saja ia menandatangani kontrak serius yang bisa memengaruhi reputasinya, dan gadis itu... malah tidur lagi? Sudut bibirnya terangkat samar, entah karena jengkel atau geli. Ia menghela napas, lalu mengambil tablet dan kunci mobilnya. "Benar-benar anak kecil," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. ***** Pukul sembilan pagi. Jena mengerjap pelan, tubuhnya menggeliat malas di bawah selimut. Tangannya meraba ke arah meja kecil di samping ranjang, meraih ponsel yang semalam ia letakkan di sana. Layarnya menyala, menampilkan beberapa notifikasi pesan masuk. Sebagian besar ucapan selamat—entah dari teman lama, kerabat jauh, atau rekan bisnis keluarga. Namun yang paling menyita perhatian Jena hanya dua, Radit dan Yunita. Jena menatap layar itu cukup lama, jari-jarinya nyaris bergerak membuka pesan dari Radit. Jantungnya berdegup lebih cepat, seperti ada sesuatu yang mengikat perasaannya. Tapi sebelum ia sempat menekan layar, ia refleks menoleh ke kanan dan ke kiri. Pandangannya menyapu kamar hotel yang kini kosong. Sofa rapi, meja teratur, dan jas Abas sudah tidak ada. Aman. Pria itu sepertinya sudah pergi. Jena menghela napas lega, lalu segera membuka pesan. Pesan dari Radit masuk sejak pukul enam pagi: Radit: Sayang, kamu baik-baik aja? Aku nunggu kabar kamu dari tadi. Radit: Aku tahu ini berat, tapi aku percaya sama kamu. Tolong kabarin aku segera. Radit: Aku nggak bisa berhenti mikirin kamu. Tolong, walau cuma sebentar, kabarin aku. Jena menggigit bibir bawahnya. Perasaan bersalah langsung menghantam dada. Ia tahu perjanjian dengan Abas—semalam dan pagi tadi—jelas melarang adanya 'pihak ketiga'. Tapi membaca pesan Radit, hatinya mencelos. Belum sempat Jena membalas, notifikasi lain muncul. Kali ini dari Yunita, sahabat dekatnya. Yunita: Gila, Jen! Gue masih nggak nyangka lo beneran nikah. Yunita: Itu cowok beneran dingin banget kelihatannya. Tapi jujur, suami lo ganteng banget. Lo baik-baik aja kan? Yunita: Gue pengin ketemu lo. Cerita panjang kali lebar. Yunita: Jangan bilang lo udah lupa sahabat sendiri gara-gara jadi istri CEO ganteng itu. Jena mendesah berat, menjatuhkan tubuhnya lagi ke ranjang. Ponsel masih ia genggam di atas dada. Kepalanya penuh—antara janji pada Abas, rasa bersalah ke Radit, dan desakan sahabatnya yang pasti curiga. Matanya terpejam sesaat, lalu perlahan terbuka lagi. Ia menatap layar ponsel yang kini hanya menampilkan fotonya bersama Radit—selfie tiga bulan lalu saat mereka liburan ke Bali. Wajah Radit tersenyum cerah, tangan memeluk bahunya erat. Hatinya berdesir getir. "Abas nggak akan ngerti perasaan aku..." bisiknya lirih. Jena menatap layar ponselnya lama sekali. Pesan-pesan Radit terus terngiang di kepalanya, membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Ada dorongan kuat untuk menekan tombol hijau itu, walau ia tahu konsekuensinya bisa menghancurkan kesepakatannya dengan Abas. Akhirnya, dengan tangan bergetar, ia menyerah. Ia menekan nama Radit di layar, menempelkan ponsel ke telinganya. Nada sambung terdengar. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Lalu suara berat yang familiar menyapanya. "Sayang?" Radit terdengar parau, masih setengah mengantuk. Jena langsung menutup mata rapat-rapat, dadanya sesak. "Radit..." suaranya lirih, nyaris pecah. Di seberang, Radit bangkit dari ranjang, mengusap wajahnya. Rambutnya masih berantakan. Ia berjalan pelan menuju balkon apartemen, berusaha menjauh dari ranjang tempat seorang wanita masih berbaring setengah tertutup selimut. "Sayang, akhirnya kamu telepon juga," suara Radit melembut, seakan lega. "Aku khawatir banget. Kamu baik-baik aja, kan? Gimana semalam?" Jena menggigit bibir, menahan air mata. "Aku... aku nggak tahu harus gimana. Semalam, Mas Abas—dia bikin syarat di kontrak. Dia bilang aku harus jauhin kamu, kalau nggak... kontraknya batal." Radit terdiam sejenak. Suara napasnya terdengar lebih berat di seberang. "Dia berani ngatur hidup kamu segitunya?" nada suaranya meninggi sedikit. "Kamu bukan barang, sayang. Kamu milik aku." Jena meremas selimut di pangkuannya. "Tapi aku udah janji, Radit. Aku takut kalau aku ingkar, dia bisa—" "Kamu nggak perlu takut." Radit memotong cepat, nadanya penuh keyakinan. "Aku janji, aku akan selalu ada buat kamu. Percaya sama aku." Jena terdiam. Kata-kata itu seharusnya menenangkan, tapi entah kenapa, hatinya terasa makin berat. Di sisi lain, Radit menoleh ke ranjang. Wanita itu mulai bergerak, menarik selimut sambil membuka mata perlahan. Rambut panjangnya terurai berantakan. Dengan mata setengah terpejam, wanita itu bergumam manja, "Masih pagi, Dit... balik ke sini lagi dong..." Radit buru-buru memberi isyarat dengan jarinya agar wanita itu diam. Ia menjauh ke balkon, menutup pintu kaca rapat-rapat agar suaranya tidak terdengar oleh Jena. "Sayang, kamu harus kuat. Jangan biarin dia menang. Ingat, apapun yang terjadi, hati kamu masih milik aku," ucap Radit lagi, kini lebih lembut. Jena menutup wajah dengan tangan, air matanya mulai jatuh. "Aku... aku nggak bisa kehilangan kamu." "Aku juga nggak bisa kehilangan kamu, sayang," ucap Radit. "Harusnya kamu berani ngomong ke Mama dan Papa aku. Kalau aku udah nikah sama Mas Abas kayak gini kan rumit," ucap Jena. "Kamu kan tahu sendiri, pekerjaan aku belum jelas, aku nggak berani memperjuangkan kamu. Pasti Mama dan Papa kamu nyari yang setara," jawab Radit. "Kalau kamu diam aja terus, aku yang habis, Dit..." suara Jena parau, matanya berkaca-kaca. "Aku kayak... sendirian di tengah semua ini." Radit menutup mata sejenak, meremas rambutnya sendiri. "Aku janji, sayang. Aku lagi cari cara. Aku nggak akan ninggalin kamu. Kamu percaya sama aku, kan?" Hening beberapa detik. Jena menggigit bibirnya, lalu mengangguk kecil, meski Radit tak bisa melihatnya. "Aku percaya." Di balik pintu balkon, wanita yang masih berbaring di ranjang menoleh malas, menatap punggung Radit yang sibuk berbicara dengan nada penuh kasih. Sepasang matanya berkilat samar, seolah menyimpan sesuatu. Tangannya mengusap rambutnya sendiri, lalu tersenyum tipis. "Dit..." panggilnya pelan, hampir berbisik. Radit menoleh cepat, kembali memberi isyarat agar wanita itu diam. Lalu kembali fokus pada telepon. "Sayang, kamu harus tahan sedikit lagi. Kita pasti bisa lewatin ini. Percaya sama aku, ya?" Jena mengangguk lagi, meski air matanya jatuh. "Aku takut, Radit. Aku takut Mas Abas tahu aku masih komunikasi sama kamu. Dia terlalu pintar. Kalau dia tahu..." "Aku akan lindungin kamu." Radit menekankan setiap kata, berusaha terdengar meyakinkan. "Dia cuma bisa menang kalau kamu nyerah. Tapi aku nggak akan biarin itu terjadi." Jena terisak kecil, memeluk lututnya di atas ranjang hotel. "Aku cinta kamu, Dit." Radit menatap ke dalam kamar, ke arah sosok wanita yang kini sudah duduk di ranjang sambil tersenyum samar padanya. Ia menelan ludah, lalu menjawab dengan suara lembut, seakan tulus. "Aku juga cinta kamu, sayang. Selalu." Telepon berakhir. Jena menjatuhkan ponsel ke dadanya, matanya terpejam rapat, hatinya berdenyut penuh konflik. Di apartemen, Radit menurunkan ponselnya, lalu menghela napas panjang. Ia kembali masuk kamar. Wanita itu sudah bersandar di kepala ranjang, menatapnya dengan senyum penuh arti. "Hebat juga kamu, Dit. Bisa ngomong manis kayak gitu di depan aku," ujarnya lirih, nada setengah mengejek. Wanita itu menyibakkan selimut, memperlihatkan bahunya yang sedikit terbuka. Rambut panjangnya jatuh berantakan, tapi senyumnya tetap terjaga. Ia menatap Radit lama, seolah menunggu penjelasan. "Kenapa harus repot-repot bohongin Jena kayak gitu, Dit?" suaranya pelan, nyaris berbisik. "Bukannya jelas kamu udah milik orang lain sekarang?" Radit menoleh cepat, wajahnya menegang. "Jangan ngomong sembarangan. Jena masih milik aku." Wanita itu terkekeh lirih, menyandarkan dagu ke punggung tangannya. "Milik kamu? Padahal barusan kamu sendiri yang bilang ke dia, nggak bisa berjuang karena pekerjaan kamu belum jelas." Ia mengangkat alis, tatapannya setengah meremehkan. "Kedengarannya lebih kayak alasan daripada janji." Radit mengusap wajahnya kasar, berdiri dari tepi ranjang. "Kamu nggak ngerti." Wanita itu memiringkan kepala, menatap Radit dengan pandangan penuh arti. "Aku ngerti banget, Dit. Justru karena aku ngerti, makanya aku di sini. Menemani kamu. Melengkapi yang Jena nggak bisa kasih." Radit membeku sejenak, lalu menatap wanita itu dengan campuran gelisah dan marah. "Jangan bawa-bawa Jena." Wanita itu hanya tersenyum samar, tidak terganggu sedikit pun. Ia bangkit perlahan, melangkah mendekat ke arah Radit, lalu berhenti hanya beberapa langkah darinya. "Kalau kamu beneran cinta sama Jena, kenapa setiap malam kamu baliknya ke sini?" bisiknya, suaranya manis tapi menusuk. Radit terdiam, tak mampu menjawab. Wanita itu mendekat lagi, jari-jarinya menyentuh dada Radit. "Tenang aja, aku nggak akan bilang apa-apa ke Jena. Aku justru pengen... jaga dia." "Kita harus main halus, aku masih butuh uang dari Jena. Aku belum bisa kehilangan Jena sekarang," ucap Radit. "Tapi.. kamu tahu sendiri kan, Jena udah menikah, udah punya suami sekarang," ucap wanita itu. Radit menatap wanita itu tajam, nadanya mendesak. "Suaminya itu cuma formalitas. Kamu pikir aku bakal rela Jena jatuh ke tangan pria lain? Nggak akan. Dia tetap milik aku." Wanita itu terkekeh pelan, tapi matanya berkilat penuh ironi. "Keras kepala banget kamu, Dit. Kadang aku heran... kamu sayang sama dia, atau kamu cuma manfaatin uang dia aja?" "Bukan urusan kamu," ucap Radit. "Jelas jadi urusan aku dong. Kamu harus ingat, kamu selingkuh sama aku setelah kamu dan Jena pacaran satu tahun," ucap wanita itu. Radit menghela napasnya berat. "Apapun yang terjadi, kamu harus tutup mulut dulu. Aku masih perlu Jena untuk memenuhi semua kebutuhan hidup aku." Wanita itu tersenyum miring. "Jena... dasar bodoh! Pasti dia pikir Radit beneran sayang sama dia. Bagus deh, suatu hari nanti kalau Jena tahu yang sebenarnya, dia bakalan benar-benar hancur! Dia pikir hidup akan selalu berpihak ke dia. Dia akan hancur sehancur-hancurnya," batin wanita itu.Abas kembali melajukan mobilnya, roda berputar mulus di atas aspal tol yang panjang. Lampu-lampu jalan berbaris rapi, sementara suara mesin mobil berpadu dengan aliran angin dari AC.Sejak tadi, Jena duduk gelisah di kursinya. Matanya berulang kali melirik ke arah Abas, lalu buru-buru berpaling lagi setiap kali hampir ketahuan. Namun rasa khawatirnya jauh lebih besar daripada gengsi yang ia simpan.Akhirnya, dengan suara pelan tapi jelas terdengar, Jena memberanikan diri bertanya, "Mas... dada kamu sakit nggak?"Abas tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap fokus ke jalan, wajahnya tenang tanpa menunjukkan ekspresi berarti. Hanya jemari tangannya yang sempat mengecilkan genggaman di setir, sebelum kembali menguat."Sakit sedikit," jawabnya datar, seolah itu bukan hal penting. "Tapi masih bisa nyetir. Kamu tenang aja."Jena mengerutkan kening, tangannya meremas tas di pangkuan. "Kok bisa bilang 'tenang aja'? Mas tadi kebentur keras, lho. Harusnya kamu jangan sok kuat gitu. Gimana kala
Beberapa menit kemudian, pintu kayu berwarna biru itu akhirnya berderit terbuka. Jena keluar dengan wajah merah padam, rambut sedikit berantakan karena buru-buru, dan langkahnya canggung. Ia bahkan tidak berani menatap orang-orang di warung yang jelas-jelas masih melirik sambil menahan tawa kecil.Abas yang sedari tadi bersandar dengan tangan bersedekap di dekat pintu, langsung menegakkan tubuhnya. Tatapannya menelusuri Jena sebentar, lalu sudut bibirnya terangkat tipis."Udah lega?" tanyanya datar, tapi nada suaranya penuh sindiran halus.Jena terhenti, menoleh cepat sambil melotot. "Hush! Jangan ngomong keras-keras!" bisiknya panik. "Nanti semua orang tahu!"Abas mengangkat alis santai, menunduk sedikit mendekat ke telinga Jena. Suaranya pelan, tapi jelas menusuk."Semua orang juga udah tahu, soalnya muka kamu nggak bisa bohong."Pipi Jena langsung memanas. Ia meremas tas kecil di tangannya, menahan diri untuk tidak menampar lengan suaminya itu. "Dasar dingin nyebelin! Kamu seneng b
Jena berjalan cepat di trotoar, wajahnya masih cemberut. Bibirnya mengerucut, maju seperti paruh bebek, seakan-akan dengan begitu ia bisa melampiaskan kekesalannya pada udara. Sandalnya menghentak-hentak kecil setiap kali melangkah, menandakan mood-nya yang jelas masih buruk.Jena memilih sisi kanan jalan, padahal persis di sampingnya kendaraan lalu-lalang, sesekali mobil melintas cukup dekat.Abas yang berjalan setengah langkah di belakangnya hanya mengamati tanpa suara. Mata dinginnya memperhatikan betapa sembrono gadis itu, seolah tidak sadar betapa rawannya posisi di tepi jalan.Tanpa berkata apa-apa, Abas tiba-tiba mengulurkan tangannya. Dengan gerakan tegas namun tak kasar, ia menahan lengan Jena dan memindahkannya ke sisi kiri—menempatkan dirinya di sisi kanan, berhadapan langsung dengan lalu lintas.Jena terbelalak, menoleh cepat. "Mas Abas! Kamu ngapain sih?!"Abas tidak menatapnya. Pandangannya tetap lurus ke depan, langkahnya mantap. "Kamu jalan di pinggir banget. Kalau ada
Perut Jena mulai terasa kosong, suara lirih keroncongan terdengar jelas di tengah kesunyian kamar hotel. Ia mendesah, menatap sekilas menu room service yang tergeletak di meja, lalu menggeleng. "Aku nggak mau makanan hotel," gumamnya pelan.Dengan langkah ringan, Jena keluar dari kamar. Udara pagi yang masih segar menyambutnya ketika ia menuruni lobi hotel. Matanya bergerak ke kanan dan kiri, seperti mencari sesuatu—atau mungkin sebenarnya hanya ingin melarikan diri dari penat yang menyesakkan di dadanya.Di sisi lain, sebuah mobil hitam baru saja berhenti di parkiran hotel. Abas turun, ke keluar dari mobil. Namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok Jena yang keluar sendirian. Gadis itu berjalan dengan langkah malas, sesekali menunduk pada ponselnya, seolah tak peduli sekitar.Abas merapatkan rahang, menghela napas panjang. Ia sempat berpikir untuk memanggilnya, tapi akhirnya urung. Sebaliknya, ia memilih langkah yang lebih diam-diam.Abas mengikuti dari kejauhan. Tidak
Abas sudah terjaga sejak subuh, duduk di sofa dengan kemeja putih yang sudah rapi kembali. Wajahnya segar, meski semalaman ia hampir tidak tidur. Ia menatap layar tablet di tangannya, membaca email pekerjaan, seakan pernikahan semalam hanyalah agenda kecil yang bisa ia letakkan di sudut pikirannya.Sementara itu, Jena masih tertidur di ranjang besar dengan piyama berwarna pastel yang ia kenakan, selimut menutupi sebagian tubuhnya. Wajahnya terlihat lelah, mungkin karena semalaman ia bergulat dengan pikirannya sendiri.Abas melirik jam tangannya, lalu berdiri. Dengan langkah tenang, ia mendekati ranjang, berhenti tepat di sisi Jena."Bangun," suaranya dalam, tegas, namun tidak keras.Jena mengerjap pelan, membuka mata dengan tatapan sayu. "Hm... Om?""Kita perlu bicara sebelum saya ambil keputusan," ucap Abas tanpa basa-basi.Jena langsung terduduk, menyibakkan selimut, wajahnya masih agak kusut tapi matanya menatap serius. "Keputusan soal kontrak?"Abas mengangguk. Ia kembali duduk di
Resepsi pernikahan megah selesai. Musik yang sedari tadi riuh di ballroom kini berganti dengan senyap malam. Lampu-lampu gantung kristal masih berkilau, namun para tamu sudah satu per satu meninggalkan tempat.Bastian Lengkara Samudra, atau yang sering dikenal Abas, CEO berusia tiga puluh lima tahun yang dikenal dingin, cuek, dan selalu berpikir logis, berdiri tegak dengan wajah datar di samping pengantin wanitanya. Ia masih mengenakan jas hitam elegan, dasinya terikat rapi, dan sorot matanya dingin.Di sebelahnya, Jenara Cerelia Praratya—atau Jena—gadis berusia dua puluh empat tahun yang cantik dengan gaun pengantin putih sederhana, melangkah pelan. Senyumnya tadi di depan tamu hanyalah formalitas, sama seperti Abas yang menahan ekspresi apapun.Tidak ada romantisme. Tidak ada tatapan hangat.Hanya dua orang asing yang dipaksa oleh keluarga untuk menikah.*****Setelah acara usai, Abas dan Jena ke sebuah hotel mewah yang sudah disiapkan oleh orang tua Abas.Di kamar pengantin, Abas m