Início / Rumah Tangga / Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan / 5 – Hutang yang Tak Pernah Lunas

Compartilhar

5 – Hutang yang Tak Pernah Lunas

last update Última atualização: 2025-08-09 15:38:05

Suara Aira yang nyerocos di telepon semakin menjauh dari kesadaran Meira.

Kata-kata sepupunya itu hanya menjadi dengung samar di telinga. Pikirannya terlempar jauh ke masa lalu—ke masa SMA.

Mungkin… di sanalah akar dari ‘hutang’ yang dimaksud Hastan tadi.

Ingatan itu begitu jelas, seakan baru kemarin terjadi.

Hari itu, Meira duduk di bangku kelasnya, menunduk di atas buku catatan.

Bel berbunyi, tapi belum ada guru yang masuk. Suasana riuh rendah khas jam kosong mengisi ruangan.

Tiba-tiba, Sugi—teman sebangkunya—menyodorkan sebuah ponsel ke arahnya.

“Ra… ini pacar lo bukan?” suaranya penuh nada ‘gosip hangat’.

Meira menoleh sekilas. Di layar ponsel itu, terpampang foto Octavian—pacarnya—sedang mencium pipi seorang perempuan lain.

Darahnya mendidih. Matanya membulat, dan ia meraih ponsel itu untuk melihat lebih jelas.

“Ini belum apa-apa…” Sugi menambahkan, lalu menggeser layar, memperlihatkan status BBM Octavian yang dengan manis menuliskan nama perempuan lain itu di profilnya.

Genggaman Meira mengeras.

Ia mendengus kesal—bukan hanya karena pengkhianatan di foto itu. Tapi karena ia tahu persis: ponsel canggih yang dipakai Octavian itu adalah pemberiannya. Dan selama ini, pulsa serta paket datanya… juga ia yang bayar.

Sementara dirinya? Terpaksa bertahan dengan ponsel jadul tanpa internet, karena ia memilih mengutamakan kebutuhan pacarnya itu.

Kesal membara di dadanya. Tanpa pikir panjang, ia beranjak dari bangku, keluar kelas, dan menuju koridor yang agak sepi.

Ia menekan nomor Octavian. Sekali dering, terhubung.

“Hallo, sayang—” suara di seberang terdengar biasa saja, membuat Meira semakin muak.

“Sayang?” Meira memotong tajam. “Foto kamu sama perempuan itu apa? Dan nama dia di BBM kamu, maksudnya apa?”

Hening sejenak. Lalu Octavian tergagap, mencoba menjelaskan, “Itu cuma taruhan sama temen… aku gak ada apa-apa sama dia, Ra. Sumpah. Aku sayang kamu. Jangan marah, ya…”

Meira mengatupkan rahang. Amarahnya ingin meledak, tapi rasa lelah datang bersamaan.

Dan, seperti banyak gadis muda yang terlalu percaya cinta, ia memilih memaafkan—meski hatinya masih terasa perih.

Selesai menutup telepon, ia menarik napas panjang, berusaha meredam gejolak.

Ia memutuskan pergi ke kantin, berharap suasana ramai dan makanan bisa sedikit mengalihkan pikirannya.

Namun langkahnya terhenti di tengah jalan.

Seseorang menghadangnya—Hastan.

Siswa kelas dua, tinggi menjulang, tubuh atletis dari latihan basket. Tatapannya tenang tapi ada sinar tajam yang sulit diartikan.

“Hai, Kak. Bisa ngobrol sebentar?” suaranya rendah, tapi cukup untuk membuat Meira menoleh penuh tanya.

Meira menimbang sebentar, lalu mengangguk. “Oke. Tapi jangan panggil aku ‘Kak’. Aku rasa umurmu lebih tua dariku.”

Sudut bibir Hastan terangkat. “Kalau gitu… aku panggil kamu apa? Cinta?”

Meira sontak memutar bola mata. “Ih, dasar. Aku pergi aja, deh.”

Ia berbalik, tapi pergelangan tangannya diraih oleh tangan besar Hastan—erat, hangat, dan membuatnya berhenti.

“Aku mau ngomong serius.”

Ia menatapnya dalam-dalam. “Aku suka kamu. Mau nggak, kita… coba jalan bareng?”

Meira menahan napas. Kata-kata itu datang tanpa basa-basi, tanpa prolog panjang.

“Kenal aja enggak, kok bisa tiba-tiba suka?” nadanya dingin, mencoba menahan jarak.

Hastan hanya mengangkat bahu. “Kadang nggak perlu waktu lama buat tahu apa yang kita mau.”

Kalimat itu, entah kenapa, menancap.

Di sisi lain, luka dari Octavian masih menganga. Ada dorongan nakal di dalam dirinya—pertanyaan yang selama ini ia pendam: gimana rasanya selingkuh?

Logikanya mengatakan untuk menolak. Tapi hatinya… terlalu ingin tahu.

“Baiklah,” ucapnya datar, “aku terima.”

Senyum Hastan merekah, bukan senyum anak SMA biasa—ada sesuatu yang lebih matang di sana.

“Nanti pulang sekolah… kita jalan.”

Meira menatapnya sejenak, lalu mengangguk singkat. “Oke.”

Di momen itu, ia tidak tahu bahwa keputusan isengnya akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih rumit daripada sekadar permainan hati.

Senyum Hastan merekah, matanya berkilat seperti anak kecil yang baru memenangkan permainan.

Tanpa bisa menahan diri, ia mengepalkan tangan dan meninju udara, gerakan spontan yang membuatnya terlihat konyol sekaligus… tulus.

“Oke, bye! See you,” ucapnya sambil melangkah pergi, masih dengan senyum lebar yang sulit dihapus dari wajahnya.

Meira hanya berdiri mematung sejenak, lalu tersenyum tipis.

Bukan senyum penuh arti, hanya sekelebat… tapi cukup untuk membuat bayangan ekspresi kegirangan Hastan itu menetap di kepalanya, tanpa ia sadari akan terus menghantuinya bertahun-tahun kemudian.

Continue a ler este livro gratuitamente
Escaneie o código para baixar o App

Último capítulo

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan    155 — Di Antara Diam dan Amarah

    Suara klakson mobil membelah udara malam, nyaring, berulang—hingga membuat beberapa kepala pelayan di rumah Angel menoleh dari jendela. Meira yang semula hendak berbincang sebentar dengan Angel dan Chris sontak menegang. Tatapan Angel yang semula ramah berubah sedikit heran. “Mei, itu Hastan ya?” tanyanya pelan. Meira menelan napas kesal, bibirnya menegang. “Iya…” jawabnya singkat, lalu memaksakan senyum. “Sepertinya dia... buru-buru.” Tanpa sempat menyesap teh yang baru dituangkan Angel, Meira menunduk pada Dio dan mengecup keningnya. “Tidur yang nyenyak, ya sayang. Jangan lupa berdoa sebelum tidur.” “Ma juga hati-hati di jalan,” jawab Dio riang, melambai. Ia tidak tahu, di balik senyum lembut Meira, ada bara yang siap meledak. Begitu keluar dari rumah, suara klakson itu terdengar lagi—lebih panjang. Meira berjalan cepat menuju mobil, membuka pintu dengan kasar. “Apaan sih, berisik banget tahu?! Nggak bisa sabar sedikit apa?!” serunya sambil menatap kesal ke arah Hastan.

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   154 - Pelarian yang Tertahan

    Suasana di ruang tamu keluarga Maheswara terasa berat. Clarissa masih di lantai atas, sementara aroma teh jahe dari dapur tak cukup menenangkan udara yang sejak tadi mencekam. Meira duduk di sofa, diam. Dio bermain di karpet, menyusun balok kayu yang baru dibelikan Nayla. Tapi batinnya… tak tenang sama sekali. Setiap suara langkah dari arah tangga membuat jantungnya berdebar, setiap bisik pelayan terasa seperti gemuruh. Ia tak tahan lagi. 'Aku tidak bisa terus di sini… tidak malam ini.' Meira menghela napas dalam, lalu menoleh ke arah putranya yang sedang menyusun balok menjadi menara tinggi. “Dio,” panggilnya lembut. Anak kecil itu menoleh dengan mata berbinar. “Ya, Ma?” “Kita siap-siap, ya? Malam ini kita tidur di rumah Tante Angel. Tante dan Om Chris baru pulang dari liburan mereka, kamu pasti mau ketemu, kan?” Mata Dio langsung berbinar lebih cerah. “Beneran, Ma? Tante Angel udah pulang? Aku mau banget! Tante Angel pasti bawain aku cokelat!” serunya riang

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   153 - Rencana di Balik Senja

    Sore itu, rumah keluarga Maheswara tampak sibuk. Pelayan lalu-lalang membawa kotak dekorasi dan bunga segar, bersiap untuk acara besar tiga hari lagi — anniversary Tuan dan Nyonya Maheswara. Mobil hitam Hastan meluncur masuk ke halaman dengan elegan, menembus cahaya senja yang keemasan. Dari balik kaca, Meira bisa melihat para pelayan menyambut dengan sopan. Ia menarik napas pelan, berusaha menata wajahnya agar terlihat tenang. Hari itu, ia datang bersama Hastan sepulang kerja, seperti biasanya. Tapi hatinya tidak tenang. Ada sesuatu di udara — sesuatu yang membuat jantungnya terasa berat sejak memasuki gerbang besar itu. Begitu mereka masuk ke ruang tamu, Meira membeku. Di sana, Clarissa sudah duduk manis di sofa empuk berwarna krem, mengenakan gaun maternity sederhana namun elegan. Ia tersenyum hangat—senyum yang tampak begitu wajar di rumah ini, seolah tak pernah ada jarak di antara dirinya dan keluarga Maheswara. “Clarissa sayang, sini, makan dulu sedikit sebelum ke atas,” u

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   152 — Sisa Api di Dalam Diam

    “Kau di mana, Has? Suaramu… agak—aneh.” Suara Clarissa terdengar lagi, lembut, namun kali ini menusuk udara yang baru saja dilalui badai. Hastan menatap layar ponsel di dashboard, lalu menarik napas pelan, seolah baru sadar kembali pada dunia luar. “Aku sedang di parkiran,” jawabnya datar. “Mau pulang. Sudah dulu, ya.” Klik. Sambungan terputus. Keheningan kembali merayap, mengisi setiap sudut mobil dengan sisa napas yang masih belum pulih. Meira masih di pangkuannya. Tak ada lagi perlawanan. Kepalanya lunglai, menyandar di dada bidang itu—seolah semua kekuatan telah direnggut habis dari tubuhnya. Napasnya berat, mata terpejam, wajahnya basah oleh keringat dan sisa air mata. Untuk sesaat, Hastan hanya menatap. Diam. Tatapan itu bukan lagi milik seorang pria yang sedang menaklukkan, tapi seseorang yang seolah tak tahu bagaimana cara berhenti. Ia membuka laci di dashboard, mengambil tisu basah, dan dengan gerakan tenang, membersihkan kulit paha Meira. Sentuhannya ha

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   151 — Denting Rahasia di Antara Napas

    Denting nada dering itu masih menggema, menggantung di udara mobil yang mulai berembun. Bunyi sederhana—namun malam seolah bergetar karenanya. Meira membeku. Ujung jarinya gemetar, napasnya tersangkut di tenggorokan. Nama di layar itu bukan sekadar nama; itu ancaman, pengingat bahwa dunia luar masih ada—dan bisa meruntuhkan segalanya hanya dengan satu suara. Clarissa. Hastan tak segera bergerak, hanya diam dengan senyum samar yang sulit ditebak. Tatapannya seperti bayangan api, berpendar di balik iris gelapnya, memantul di kaca depan yang buram. Lalu tanpa memperingatkan, tangannya terulur, menekan tombol di layar besar mobil—layar yang kini menyalakan sambungan panggilan. Suara lembut perempuan itu memenuhi ruang sempit mobil, memecah udara yang sudah terlalu padat oleh napas mereka berdua. “Halo, Has?” Meira tersentak. Seluruh tubuhnya menegang, seolah suara itu datang dari kedalaman neraka yang tak ingin ia dengar. Namun sebelum ia bisa berbuat apa pun, jemari Has

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   150 - Terkurung di Pangkuan Gelapnya

    Suara robekan halus itu masih bergema di telinga Meira, bagai tanda bahwa garis batas antara waras dan gila baru saja dilangkahi. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun tak beraturan, sementara tatapan Hastan menusuk dalam, tajam bagai bilah yang siap melukai.“Kenapa… harus dengan cara ini, Hastan…” bisik Meira, suaranya bergetar.Hastan tidak menjawab dengan kata. Justru jemarinya yang keras dan panas menyusuri belahan lembah kenikmatan terlarang itu, seolah menuliskan vonis di kulitnya. Tubuh Meira bergetar hebat, setengah ingin mendorong pergi, setengah ingin menyerah saja pada arus liar yang mengikatnya.Hastan menunduk, menciumi bibir Meira dengan brutal, menghisap setiap helaan nafasnya hingga gadis itu tercekik oleh campuran ngeri dan nikmat. Tangan di pinggangnya mengunci, tangan lain menekan tengkuknya, membuat Meira nyaris tak bisa bergerak.Lalu, seolah seluruh dunia bersekongkol dalam kegilaan itu—Hastan mendorong masuk batang keras besarnya ke dalam lembah kenikmatan Meira

Mais capítulos
Explore e leia bons romances gratuitamente
Acesso gratuito a um vasto número de bons romances no app GoodNovel. Baixe os livros que você gosta e leia em qualquer lugar e a qualquer hora.
Leia livros gratuitamente no app
ESCANEIE O CÓDIGO PARA LER NO APP
DMCA.com Protection Status