POV Hastan
Beberapa minggu yang lalu. Kota Arjuna Raya. Sudah hampir lima tahun terakhir Hastan berdinas di sini, kota metropolitan yang menjadi pusat komando beberapa satuan strategis negara. Hari ini ia sedang bertugas di Rumah Sakit Militer Bhayangkara Utama, fasilitas medis terbesar dan paling canggih di negeri ini—pusat rujukan nasional bagi prajurit aktif, veteran, dan keluarga mereka. Tugas utamanya di sini jelas: sebagai Letnan Kolonel Divisi Cyber, ia bertanggung jawab merancang dan mengawasi sistem keamanan siber rumah sakit ini. Bukan hanya melindungi data pasien dan catatan medis elektronik, tapi juga mencegah sabotase terhadap sistem penunjang nyawa—mulai dari jaringan peralatan bedah robotik, sistem monitoring ICU, hingga pengendalian perangkat implan digital. Dalam perang modern, serangan tidak selalu datang lewat peluru; kadang mereka menyusup lewat kabel data. Pagi ini, Hastan sedang menatap tiga monitor sekaligus di ruang kerjanya—jari-jari tangannya menari cepat di atas keyboard, menguji firewall buatan sendiri untuk mensimulasikan serangan ransomware. Pintu kantornya terbuka. Kapten Ragil, bawahannya yang bertugas di bagian integrasi sistem, melapor. “Siap, Letkol. Project Manager dari perusahaan pemasang elektronik medis sudah tiba. Tim manajemen menunggu di ruang rapat utama.” Hastan mengangguk, meraih map berisi rencana integrasi, lalu berdiri. Langkahnya mantap, seragam lapangan hijau tua membentuk garis tegas di bahu dan pinggang. Lorong rumah sakit itu panjang dan bercahaya dingin. Saat Hastan membuka pintu ruang rapat, langkahnya sempat terhenti. Di ujung meja, seorang wanita berdiri di sisi layar presentasi, sedang berbicara dengan Direktur RS. Rambut hitamnya yang halus jatuh di sisi bahu, wajahnya… terlalu familiar. Ia kenal garis rahang itu. Cara bibirnya bergerak. 'Dia.' Hanya perlu dua detik untuk memastikan. Tapi Hastan menjaga ekspresi. Tidak ada gunanya menampakkan keterkejutan. Wanita itu menghentikan obrolannya saat melihatnya. Matanya meneliti wajah Hastan, seperti mencoba mengingat di mana pernah bertemu. Ia mengulurkan tangan, profesional. “Perkenalkan, saya Meira Adistya Pramudita, Project Manager dari Medinova Teknosurgica.” Senyumnya hangat tapi formal. Telapak tangannya bertemu dengan tangan Hastan. Hangat. Sama seperti dulu. “Hastan Maheswara,” jawabnya singkat. Nama itu membuatnya terdiam sepersekian detik. Hastan melihat jelas perubahan kecil di wajahnya—matanya sedikit membesar, bibirnya mengatup membentuk huruf ‘O’. Direktur menambahkan, “Ini Letnan Kolonel Hastan, Divisi Cyber. Saat ini beliau memimpin perancangan dan pengamanan sistem keamanan siber rumah sakit kami.” Meira mengangguk, matanya masih sedikit menyipit, seperti mencoba mengurai kenangan. “Baiklah, mari kita mulai rapat,” ucap Wakil Direktur Operasional, memecah suasana. Lampu ruangan diredupkan, layar proyektor menyala. Meira mulai mempresentasikan. Slide demi slide menampilkan gambar 3D dan diagram penempatan perangkat: • Mechatronic Surgical Arm M9 untuk operasi presisi mikro. • BioSync ICU Monitor yang mampu membaca biometrik pasien hingga level genetik real-time. • NeuroHeal Stimulator untuk pasien trauma otak. • Sistem Medilink Hub yang menghubungkan semua peralatan langsung ke server pusat. Suaranya stabil, profesional. Ia menjelaskan posisi alat di setiap lantai, rute kabel data yang harus disterilkan, dan protokol backup jika jaringan utama terputus. Tapi Hastan nyaris tidak fokus pada isi presentasinya. Matanya mengunci pada wajah Meira, gerak tangannya, bahkan cara ia menarik napas sebelum berpindah ke slide berikutnya. Dari sudut pandang Hastan, ia masih sama seperti belasan tahun lalu… hanya saja sekarang, ada jarak dan tembok profesional di antara mereka. Namun ia tahu, di balik semua itu, ada cerita yang belum selesai. -- Rapat berakhir menjelang tengah hari. Udara sejuk AC masih terasa di kulit ketika rombongan keluar menuju restoran dekat rumah sakit. Restoran itu elegan, bernuansa kayu dan kaca, meja bundar mereka penuh dengan hidangan khas kota Arjuna Raya. Saat semua mulai menyantap makanan, Meira menoleh pada Hastan. “Letnan, maaf kalau saya lancang, tapi… apakah Anda pernah sekolah di Ravensworth High School?” Hastan meletakkan sendoknya, mengangguk pelan. “Iya.” Mata Meira berbinar singkat. “Wah, ternyata benar. Pantas saja terasa tidak asing. Aku juga sekolah di sana.” Direktur RS ikut menimpali, tertawa. “Wah, ternyata kalian satu sekolah, hahaha!” “Iya,” sahut Hastan santai. “Dia kakak kelasku dulu.” Seketika semua mengerutkan kening, saling pandang. “Selera humor Letnan ini unik sekali,” ucap Wakil Direktur setengah tertawa. Meira tersenyum kecil lalu menjelaskan, “Hihi, iya benar. Letnan Hastan ini dulu memang adik kelasku. Aku waktu kecil ikut akselerasi, jadi begitulah. Kalau soal usia tentu saja Letnan Hastan lebih senior.” “Apakah kalian cukup dekat dulu?” tanya sang Direktur penasaran. Meira menggeleng ringan. “Tidak terlalu, hehe. Letnan Hastan dulu seangkatannya sama sepupu aku.” Hastan hanya menyeringai tipis, matanya redup tapi tajam, sambil bergumam dalam hati: 'Oh, hanya itu yang kau ingat… just wait and see. I’ll make sure you never forget'Suara klakson mobil membelah udara malam, nyaring, berulang—hingga membuat beberapa kepala pelayan di rumah Angel menoleh dari jendela. Meira yang semula hendak berbincang sebentar dengan Angel dan Chris sontak menegang. Tatapan Angel yang semula ramah berubah sedikit heran. “Mei, itu Hastan ya?” tanyanya pelan. Meira menelan napas kesal, bibirnya menegang. “Iya…” jawabnya singkat, lalu memaksakan senyum. “Sepertinya dia... buru-buru.” Tanpa sempat menyesap teh yang baru dituangkan Angel, Meira menunduk pada Dio dan mengecup keningnya. “Tidur yang nyenyak, ya sayang. Jangan lupa berdoa sebelum tidur.” “Ma juga hati-hati di jalan,” jawab Dio riang, melambai. Ia tidak tahu, di balik senyum lembut Meira, ada bara yang siap meledak. Begitu keluar dari rumah, suara klakson itu terdengar lagi—lebih panjang. Meira berjalan cepat menuju mobil, membuka pintu dengan kasar. “Apaan sih, berisik banget tahu?! Nggak bisa sabar sedikit apa?!” serunya sambil menatap kesal ke arah Hastan.
Suasana di ruang tamu keluarga Maheswara terasa berat. Clarissa masih di lantai atas, sementara aroma teh jahe dari dapur tak cukup menenangkan udara yang sejak tadi mencekam. Meira duduk di sofa, diam. Dio bermain di karpet, menyusun balok kayu yang baru dibelikan Nayla. Tapi batinnya… tak tenang sama sekali. Setiap suara langkah dari arah tangga membuat jantungnya berdebar, setiap bisik pelayan terasa seperti gemuruh. Ia tak tahan lagi. 'Aku tidak bisa terus di sini… tidak malam ini.' Meira menghela napas dalam, lalu menoleh ke arah putranya yang sedang menyusun balok menjadi menara tinggi. “Dio,” panggilnya lembut. Anak kecil itu menoleh dengan mata berbinar. “Ya, Ma?” “Kita siap-siap, ya? Malam ini kita tidur di rumah Tante Angel. Tante dan Om Chris baru pulang dari liburan mereka, kamu pasti mau ketemu, kan?” Mata Dio langsung berbinar lebih cerah. “Beneran, Ma? Tante Angel udah pulang? Aku mau banget! Tante Angel pasti bawain aku cokelat!” serunya riang
Sore itu, rumah keluarga Maheswara tampak sibuk. Pelayan lalu-lalang membawa kotak dekorasi dan bunga segar, bersiap untuk acara besar tiga hari lagi — anniversary Tuan dan Nyonya Maheswara. Mobil hitam Hastan meluncur masuk ke halaman dengan elegan, menembus cahaya senja yang keemasan. Dari balik kaca, Meira bisa melihat para pelayan menyambut dengan sopan. Ia menarik napas pelan, berusaha menata wajahnya agar terlihat tenang. Hari itu, ia datang bersama Hastan sepulang kerja, seperti biasanya. Tapi hatinya tidak tenang. Ada sesuatu di udara — sesuatu yang membuat jantungnya terasa berat sejak memasuki gerbang besar itu. Begitu mereka masuk ke ruang tamu, Meira membeku. Di sana, Clarissa sudah duduk manis di sofa empuk berwarna krem, mengenakan gaun maternity sederhana namun elegan. Ia tersenyum hangat—senyum yang tampak begitu wajar di rumah ini, seolah tak pernah ada jarak di antara dirinya dan keluarga Maheswara. “Clarissa sayang, sini, makan dulu sedikit sebelum ke atas,” u
“Kau di mana, Has? Suaramu… agak—aneh.” Suara Clarissa terdengar lagi, lembut, namun kali ini menusuk udara yang baru saja dilalui badai. Hastan menatap layar ponsel di dashboard, lalu menarik napas pelan, seolah baru sadar kembali pada dunia luar. “Aku sedang di parkiran,” jawabnya datar. “Mau pulang. Sudah dulu, ya.” Klik. Sambungan terputus. Keheningan kembali merayap, mengisi setiap sudut mobil dengan sisa napas yang masih belum pulih. Meira masih di pangkuannya. Tak ada lagi perlawanan. Kepalanya lunglai, menyandar di dada bidang itu—seolah semua kekuatan telah direnggut habis dari tubuhnya. Napasnya berat, mata terpejam, wajahnya basah oleh keringat dan sisa air mata. Untuk sesaat, Hastan hanya menatap. Diam. Tatapan itu bukan lagi milik seorang pria yang sedang menaklukkan, tapi seseorang yang seolah tak tahu bagaimana cara berhenti. Ia membuka laci di dashboard, mengambil tisu basah, dan dengan gerakan tenang, membersihkan kulit paha Meira. Sentuhannya ha
Denting nada dering itu masih menggema, menggantung di udara mobil yang mulai berembun. Bunyi sederhana—namun malam seolah bergetar karenanya. Meira membeku. Ujung jarinya gemetar, napasnya tersangkut di tenggorokan. Nama di layar itu bukan sekadar nama; itu ancaman, pengingat bahwa dunia luar masih ada—dan bisa meruntuhkan segalanya hanya dengan satu suara. Clarissa. Hastan tak segera bergerak, hanya diam dengan senyum samar yang sulit ditebak. Tatapannya seperti bayangan api, berpendar di balik iris gelapnya, memantul di kaca depan yang buram. Lalu tanpa memperingatkan, tangannya terulur, menekan tombol di layar besar mobil—layar yang kini menyalakan sambungan panggilan. Suara lembut perempuan itu memenuhi ruang sempit mobil, memecah udara yang sudah terlalu padat oleh napas mereka berdua. “Halo, Has?” Meira tersentak. Seluruh tubuhnya menegang, seolah suara itu datang dari kedalaman neraka yang tak ingin ia dengar. Namun sebelum ia bisa berbuat apa pun, jemari Has
Suara robekan halus itu masih bergema di telinga Meira, bagai tanda bahwa garis batas antara waras dan gila baru saja dilangkahi. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun tak beraturan, sementara tatapan Hastan menusuk dalam, tajam bagai bilah yang siap melukai.“Kenapa… harus dengan cara ini, Hastan…” bisik Meira, suaranya bergetar.Hastan tidak menjawab dengan kata. Justru jemarinya yang keras dan panas menyusuri belahan lembah kenikmatan terlarang itu, seolah menuliskan vonis di kulitnya. Tubuh Meira bergetar hebat, setengah ingin mendorong pergi, setengah ingin menyerah saja pada arus liar yang mengikatnya.Hastan menunduk, menciumi bibir Meira dengan brutal, menghisap setiap helaan nafasnya hingga gadis itu tercekik oleh campuran ngeri dan nikmat. Tangan di pinggangnya mengunci, tangan lain menekan tengkuknya, membuat Meira nyaris tak bisa bergerak.Lalu, seolah seluruh dunia bersekongkol dalam kegilaan itu—Hastan mendorong masuk batang keras besarnya ke dalam lembah kenikmatan Meira