Beberapa hari setelah pertemuan pertama mereka kembali, Meira kembali mengunjungi Rumah Sakit Militer Bhayangkara Utama. Kali ini bukan hanya untuk bertatap muka, tapi untuk memastikan semua persiapan pemasangan alat elektronik medis dari perusahaannya berjalan lancar. Ia tahu betul bahwa di balik teknologi canggih itu, ada sosok Hastan yang menjaga keamanan sibernya.
Di ruang kerja Hastan yang tertata rapi, meja kayu besar diapit kursi empuk, mereka duduk berdampingan. Cahaya lembut lampu meja memantul di layar monitor yang menampilkan diagram rumit sistem keamanan siber. Aroma ringan kopi yang baru diseduh menambah kehangatan ruang itu. Hastan dengan santai memaparkan alur kerja sistemnya, jari-jarinya mengetuk ringan keyboard sambil menjelaskan. “Jadi, data dari BioSync ICU Monitor akan dienkripsi di node ini sebelum dikirim ke server pusat. Firewall aktif secara real-time, dan ada modul deteksi anomali berbasis AI yang akan mengirim peringatan otomatis jika ada percobaan penetrasi,” jelas Hastan, suaranya rendah dan tenang, seolah setiap kata mengalir begitu saja dari pikirannya. Meira menatap layar, lalu mengangkat alis, mengajukan pertanyaan dengan suara yang terukur. “Kalau begitu, bagaimana jika perangkat kita melakukan update firmware? Apakah ada risiko integrasi yang membuat sistem crash?” Hastan mengangguk. “Sudah kami siapkan patch kompatibilitas yang otomatis sinkron. Jadi tidak perlu khawatir akan downtime.” Meira mengeluarkan notes dari tasnya, menulis dengan rapi. “Bagaimana dengan redundansi data? Kita perlu backup yang benar-benar fail-safe.” “Backup dilakukan secara distributed di tiga lokasi berbeda. Jadi kalau satu server down, sistem langsung beralih ke server lain,” jawab Hastan, matanya sesekali melirik Meira. Ada ketenangan tapi juga rasa percaya diri yang tak terbantahkan dalam tutur katanya. Meira diam sesaat, menyentuh pelipisnya dengan jari-jari halus. Sinar matahari yang masuk melalui jendela kaca memantulkan hangatnya ruangan, membuat pipinya sedikit memerah. Meski AC berderu halus di sudut ruangan, udara terasa lengket dan panas. Meira mengipasi wajahnya perlahan dengan tangan, mencoba menepis rasa gerah yang mulai mengganggu. Ia enggan meminta Hastan menurunkan suhu AC, merasa itu akan mengganggu pria itu yang terlihat asyik dengan pekerjaannya. Namun Hastan memperhatikan gerak-geriknya, tatapannya yang biasanya dingin kini mengandung kilatan perhatian. Ia menyela pembicaraan dengan nada tenang tapi tegas. “Kita keluar sebentar, yuk. Sekalian istirahat makan siang.” Meira sedikit terkejut tapi mengangguk. “Baiklah, aku juga sudah mulai agak gerah.” Mereka melangkah keluar menuju sebuah restoran kecil di sudut gedung rumah sakit—tempat itu terkenal dengan gelatonya yang segar dan lembut, sempurna untuk mengusir panas hari yang menyengat. Begitu masuk, aroma manis vanila dan buah segar langsung menyambut. Meira tersenyum kecil, tak menyangka Hastan akan membawanya ke sini. Hastan langsung menuju konter dan memesan dengan suara pelan tapi tegas. “Dua gelato varian Strawberry Basil dan Pistachio Rose.” Meira mematung sejenak. “Kamu ingat?” Hastan tersenyum tipis, matanya redup dan penuh arti. “Iya, waktu kita ngedate dulu, aku selalu pesan itu buat kamu. Kamu nggak terlalu ingat, ya?” Meira menggeleng, senyum malu-malu merekah di bibirnya. Mereka duduk di meja kayu dekat jendela. Es gelato meleleh perlahan di sendok, dinginnya menyentuh lidah, menyeimbangkan panas yang tersisa di kulit. Meira mengaduk-aduk gelato dengan sendok, lalu menatap Hastan. “Aku… aku mau minta maaf soal waktu SMA dulu. Aku benar-benar childish, baru jadian seminggu, terus main putus dan ngilang gitu aja. Hehe, masih bocil soalnya,” ucap Meira ringan, mencoba mencairkan suasana. “Hmm,” balas Hastan singkat. Ada nada berat yang tersembunyi di balik suaranya, membuat udara di antara mereka sedikit menegang. Urat di leher Hastan berdenyut, mengingat luka lama yang belum sembuh sempurna. Ia mengalihkan pandangannya, kemudian membuka ponsel dari saku jaket. “Pinjam handphone kamu bentar,” ucap Hastan tanpa ekspresi. Meira, yang sudah terbiasa dengan sikapnya yang acuh, menyerahkan ponselnya tanpa banyak tanya. Ia pikir Hastan hanya akan menambahkan kontak atau melihat sesuatu yang penting. Namun Hastan tengah memasang alat peretas dan penyadap canggih pada ponsel Meira dan aplikasi pesannya. Setiap kali Meira membuka W******p Web di laptop atau perangkat lain, sinyal itu akan secara otomatis terhubung ke sistem pengawasan militer yang dibangun Hastan. Ruang makan itu terasa semakin sempit. Gelato yang dingin seolah menjadi kontras dengan panas yang menjalar dari tatapan Hastan, yang sekarang lebih tajam dari biasanya. Meira menelan ludah, sadar ada sesuatu yang berubah, tapi belum tahu apa.Suara klakson mobil membelah udara malam, nyaring, berulang—hingga membuat beberapa kepala pelayan di rumah Angel menoleh dari jendela. Meira yang semula hendak berbincang sebentar dengan Angel dan Chris sontak menegang. Tatapan Angel yang semula ramah berubah sedikit heran. “Mei, itu Hastan ya?” tanyanya pelan. Meira menelan napas kesal, bibirnya menegang. “Iya…” jawabnya singkat, lalu memaksakan senyum. “Sepertinya dia... buru-buru.” Tanpa sempat menyesap teh yang baru dituangkan Angel, Meira menunduk pada Dio dan mengecup keningnya. “Tidur yang nyenyak, ya sayang. Jangan lupa berdoa sebelum tidur.” “Ma juga hati-hati di jalan,” jawab Dio riang, melambai. Ia tidak tahu, di balik senyum lembut Meira, ada bara yang siap meledak. Begitu keluar dari rumah, suara klakson itu terdengar lagi—lebih panjang. Meira berjalan cepat menuju mobil, membuka pintu dengan kasar. “Apaan sih, berisik banget tahu?! Nggak bisa sabar sedikit apa?!” serunya sambil menatap kesal ke arah Hastan.
Suasana di ruang tamu keluarga Maheswara terasa berat. Clarissa masih di lantai atas, sementara aroma teh jahe dari dapur tak cukup menenangkan udara yang sejak tadi mencekam. Meira duduk di sofa, diam. Dio bermain di karpet, menyusun balok kayu yang baru dibelikan Nayla. Tapi batinnya… tak tenang sama sekali. Setiap suara langkah dari arah tangga membuat jantungnya berdebar, setiap bisik pelayan terasa seperti gemuruh. Ia tak tahan lagi. 'Aku tidak bisa terus di sini… tidak malam ini.' Meira menghela napas dalam, lalu menoleh ke arah putranya yang sedang menyusun balok menjadi menara tinggi. “Dio,” panggilnya lembut. Anak kecil itu menoleh dengan mata berbinar. “Ya, Ma?” “Kita siap-siap, ya? Malam ini kita tidur di rumah Tante Angel. Tante dan Om Chris baru pulang dari liburan mereka, kamu pasti mau ketemu, kan?” Mata Dio langsung berbinar lebih cerah. “Beneran, Ma? Tante Angel udah pulang? Aku mau banget! Tante Angel pasti bawain aku cokelat!” serunya riang
Sore itu, rumah keluarga Maheswara tampak sibuk. Pelayan lalu-lalang membawa kotak dekorasi dan bunga segar, bersiap untuk acara besar tiga hari lagi — anniversary Tuan dan Nyonya Maheswara. Mobil hitam Hastan meluncur masuk ke halaman dengan elegan, menembus cahaya senja yang keemasan. Dari balik kaca, Meira bisa melihat para pelayan menyambut dengan sopan. Ia menarik napas pelan, berusaha menata wajahnya agar terlihat tenang. Hari itu, ia datang bersama Hastan sepulang kerja, seperti biasanya. Tapi hatinya tidak tenang. Ada sesuatu di udara — sesuatu yang membuat jantungnya terasa berat sejak memasuki gerbang besar itu. Begitu mereka masuk ke ruang tamu, Meira membeku. Di sana, Clarissa sudah duduk manis di sofa empuk berwarna krem, mengenakan gaun maternity sederhana namun elegan. Ia tersenyum hangat—senyum yang tampak begitu wajar di rumah ini, seolah tak pernah ada jarak di antara dirinya dan keluarga Maheswara. “Clarissa sayang, sini, makan dulu sedikit sebelum ke atas,” u
“Kau di mana, Has? Suaramu… agak—aneh.” Suara Clarissa terdengar lagi, lembut, namun kali ini menusuk udara yang baru saja dilalui badai. Hastan menatap layar ponsel di dashboard, lalu menarik napas pelan, seolah baru sadar kembali pada dunia luar. “Aku sedang di parkiran,” jawabnya datar. “Mau pulang. Sudah dulu, ya.” Klik. Sambungan terputus. Keheningan kembali merayap, mengisi setiap sudut mobil dengan sisa napas yang masih belum pulih. Meira masih di pangkuannya. Tak ada lagi perlawanan. Kepalanya lunglai, menyandar di dada bidang itu—seolah semua kekuatan telah direnggut habis dari tubuhnya. Napasnya berat, mata terpejam, wajahnya basah oleh keringat dan sisa air mata. Untuk sesaat, Hastan hanya menatap. Diam. Tatapan itu bukan lagi milik seorang pria yang sedang menaklukkan, tapi seseorang yang seolah tak tahu bagaimana cara berhenti. Ia membuka laci di dashboard, mengambil tisu basah, dan dengan gerakan tenang, membersihkan kulit paha Meira. Sentuhannya ha
Denting nada dering itu masih menggema, menggantung di udara mobil yang mulai berembun. Bunyi sederhana—namun malam seolah bergetar karenanya. Meira membeku. Ujung jarinya gemetar, napasnya tersangkut di tenggorokan. Nama di layar itu bukan sekadar nama; itu ancaman, pengingat bahwa dunia luar masih ada—dan bisa meruntuhkan segalanya hanya dengan satu suara. Clarissa. Hastan tak segera bergerak, hanya diam dengan senyum samar yang sulit ditebak. Tatapannya seperti bayangan api, berpendar di balik iris gelapnya, memantul di kaca depan yang buram. Lalu tanpa memperingatkan, tangannya terulur, menekan tombol di layar besar mobil—layar yang kini menyalakan sambungan panggilan. Suara lembut perempuan itu memenuhi ruang sempit mobil, memecah udara yang sudah terlalu padat oleh napas mereka berdua. “Halo, Has?” Meira tersentak. Seluruh tubuhnya menegang, seolah suara itu datang dari kedalaman neraka yang tak ingin ia dengar. Namun sebelum ia bisa berbuat apa pun, jemari Has
Suara robekan halus itu masih bergema di telinga Meira, bagai tanda bahwa garis batas antara waras dan gila baru saja dilangkahi. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun tak beraturan, sementara tatapan Hastan menusuk dalam, tajam bagai bilah yang siap melukai.“Kenapa… harus dengan cara ini, Hastan…” bisik Meira, suaranya bergetar.Hastan tidak menjawab dengan kata. Justru jemarinya yang keras dan panas menyusuri belahan lembah kenikmatan terlarang itu, seolah menuliskan vonis di kulitnya. Tubuh Meira bergetar hebat, setengah ingin mendorong pergi, setengah ingin menyerah saja pada arus liar yang mengikatnya.Hastan menunduk, menciumi bibir Meira dengan brutal, menghisap setiap helaan nafasnya hingga gadis itu tercekik oleh campuran ngeri dan nikmat. Tangan di pinggangnya mengunci, tangan lain menekan tengkuknya, membuat Meira nyaris tak bisa bergerak.Lalu, seolah seluruh dunia bersekongkol dalam kegilaan itu—Hastan mendorong masuk batang keras besarnya ke dalam lembah kenikmatan Meira