Setelah mereka meninggalkan restoran gelato dengan rasa manis yang masih membekas di lidah, Meira dan Hastan kembali melangkah menuju ruang kerja Hastan. Udara luar yang panas berangsur-angsur tertinggal di belakang pintu, berganti dengan kesejukan AC yang lembut namun tidak cukup dingin—setidaknya begitu yang dirasakan Meira.
Begitu masuk, Hastan tanpa bicara langsung menurunkan suhu AC hingga derajat yang lebih dingin. Embusan udara sejuk itu segera menyelimuti ruangan, menghilangkan sisa-sisa gerah yang menempel di kulit Meira. Ia menatap Hastan, senyum tipis terukir di bibirnya. “Terima kasih,” ucap Meira pelan, suara yang nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk didengar oleh Hastan. Hastan hanya mengangguk tanpa ekspresi, matanya sudah kembali tenggelam di layar monitor yang menampilkan data dan kode-kode kompleks. Suasana hening, hanya suara ketukan keyboard dan deru AC yang saling beriringan. Waktu berputar cepat tanpa terasa. Sore pun menjelang, sinar mentari yang mulai merunduk menyusup tipis lewat celah tirai jendela, mewarnai ruangan dengan rona jingga hangat. Saat jam kerja usai, Hastan menutup laptopnya, beranjak dari kursi dengan gerakan yang tenang namun penuh otoritas. Matanya tertuju pada Meira yang masih mengemas barang-barangnya. “Kalau boleh tahu, kamu pulang ke mana?” tanya Hastan, suaranya berat tapi lembut, seperti ada rasa ingin tahu yang sulit disembunyikan. Meira menoleh, menyunggingkan senyum. “Aku langsung pulang ke kota Selaras,” jawabnya. Kota Selaras adalah kota kecil di pesisir yang jaraknya sekitar tiga hingga empat jam berkendara dari Arjuna Raya—tempatnya bernaung saat ini. Hastan mengernyit, sedikit tak percaya. “Kamu menyetir sendiri dari Selaras ke sini, dan pulang lagi sendiri? Tanpa supir?” Meira mengangguk mantap. “Iya, dan tidak masalah. Aku sudah terbiasa.” Senyum di wajahnya sedikit menantang, seolah berkata, Aku kuat. Aku bisa. Namun, Hastan tidak terbujuk oleh itu. Dengan sigap, ia melangkah mendekat, meraih kunci mobil yang tergenggam Meira dengan sentuhan ringan tapi tegas. “Aku yang menyetir,” ucapnya, suaranya serak penuh kepastian. “Sekalian aku mau ke rumah lama orang tuaku di Selaras.” Tanpa menunggu jawaban Meira, ia sudah berbalik dan melangkah cepat meninggalkan ruangan menuju parkiran. Meira hanya bisa mengangkat alisnya, terpaku antara heran dan sedikit geli. Sikap Hastan yang tiba-tiba mengambil alih ini membuatnya teringat pada masa-masa SMA dulu, saat Hastan selalu menjadi sosok yang dominan, sulit ditebak. Namun ada sesuatu yang berbeda kini—bukan sekadar dominasi, melainkan ada sentuhan lembut dan perhatian yang sulit disembunyikan di balik tatapan dinginnya. Meira mengusap pelipisnya, membiarkan rasa panas dan dingin itu bergumul di dalam dirinya, sebelum akhirnya mengikuti langkah Hastan ke tempat parkir. Sinar matahari senja yang hangat menyusup lewat jendela mobil, menusuk langsung ke arah mata Meira yang mulai mengerutkan dahi. Hastan, yang duduk di sampingnya dengan tenang, segera mengangkat visor—pelindung kecil di atas kaca depan yang bisa digeser untuk menghalangi cahaya matahari itu. Gerakannya cepat dan refleks, tapi penuh perhatian, membuat Meira tak bisa menahan senyum tipis di bibirnya. Sudah lama sekali sejak ia merasakan perhatian kecil seperti ini. Meira, yang terbiasa melakukan banyak hal sendiri, tiba-tiba merasa getaran halus di dadanya, hangat dan familiar, seperti sentuhan yang lama terlupakan. Mereka melaju di jalan raya, suara mesin mobil yang mantap dan deru angin yang menampar lembut jendela menemani perjalanan. Tiba-tiba, ponsel Meira yang tergeletak di pangkuannya bergetar keras. Sebuah video call masuk dari nomor ibunya. Tanpa ragu, Meira mengangkatnya dan layar langsung menampilkan sosok anak kecil berusia sekitar tiga tahun dengan mata berbinar dan pipi chubby yang menggemaskan. “Mama! Kapan pulang?! Lama banget kerjanya!” seru suara riang anak itu, yang ternyata bernama Dio. Hastan melempar pandang ke Meira dengan ekspresi sedikit terkejut, menyadari bahwa Meira sudah menjadi seorang ibu. Namun, melihat usianya yang kini 27 tahun, hal itu tidak terlalu aneh baginya. Meira mengusap rambut anaknya di layar dengan lembut, suaranya menurun menjadi manis penuh kasih sayang. “Maaf ya, Dio. Mama ada pekerjaan ke luar kota yang cukup jauh. Gimana hari ini?” Sambil menyetir, Hastan mendengarkan percakapan hangat itu. “Nenek Zoya marahin aku tadi gara-gara jajan permen,” jawab Dio sambil cemberut. Meira tersenyum simpul. “Wah, kamu sedih ya nggak bisa makan permen? Tapi permen itu nggak baik kalau dimakan terlalu banyak, bisa bikin gigi kamu sakit. Nenek Zoya sayang kamu, makanya nggak mau kamu sakit.” Hastan menyimpan senyum tak sadar di wajahnya. Cara Meira berbicara, penuh kelembutan dan ketegasan, benar-benar sosok ibu yang hebat. Dia memandang lurus ke jalan, tapi pikirannya melayang tentang sosok Meira yang selama ini ia kenal—yang kini jauh lebih dewasa dan penuh tanggung jawab. “Oooh begitu. Oh iya, Ma, kalau merokok itu baik nggak?” tanya Dio polos. Meira menghela napas kecil. “Tidak baik, sayang.” “Lalu kenapa nenek Siska merokok?” Dio bertanya lagi, menyebut nama ibu mertua dan suami Meira yang memang perokok berat. Meira agak bingung, tapi berusaha menjawab dengan jujur. “Mm iya, karena sudah terbiasa jadi susah berhenti. Tapi rokok itu berbahaya, bisa merusak paru-paru dan bikin seseorang meninggal.” Dio tidak langsung diam. Dengan nada penuh rasa ingin tahu dan sedikit nakal, ia menimpali, “Tapi, Ayah nggak meninggal, kan?” Suasana tiba-tiba hening. Meira terkejut dengan pertanyaan cerdas itu. Namun, yang lebih mengejutkan adalah ledakan tawa keras dari Hastan yang tiba-tiba pecah di sebelahnya. Meira menoleh, sedikit malu. “Itu siapa, Mama?” tanya Dio di seberang telepon, masih penasaran. “Ooh iya, ini teman mama, Om Hastan,” jawab Meira sambil mengarahkan kamera ke wajah Hastan. Hastan tersenyum lebar, wajahnya berubah hangat dan ramah. Ia melambaikan tangan ke kamera dengan santai. “What’s up, bro!” sapa Hastan dengan nada bercanda, membuat Meira tertawa kecil. Dio tertawa riang mendengar sapaan itu, dan suara mereka berdua mengisi kabin mobil dengan kehangatan yang berbeda.Suara klakson mobil membelah udara malam, nyaring, berulang—hingga membuat beberapa kepala pelayan di rumah Angel menoleh dari jendela. Meira yang semula hendak berbincang sebentar dengan Angel dan Chris sontak menegang. Tatapan Angel yang semula ramah berubah sedikit heran. “Mei, itu Hastan ya?” tanyanya pelan. Meira menelan napas kesal, bibirnya menegang. “Iya…” jawabnya singkat, lalu memaksakan senyum. “Sepertinya dia... buru-buru.” Tanpa sempat menyesap teh yang baru dituangkan Angel, Meira menunduk pada Dio dan mengecup keningnya. “Tidur yang nyenyak, ya sayang. Jangan lupa berdoa sebelum tidur.” “Ma juga hati-hati di jalan,” jawab Dio riang, melambai. Ia tidak tahu, di balik senyum lembut Meira, ada bara yang siap meledak. Begitu keluar dari rumah, suara klakson itu terdengar lagi—lebih panjang. Meira berjalan cepat menuju mobil, membuka pintu dengan kasar. “Apaan sih, berisik banget tahu?! Nggak bisa sabar sedikit apa?!” serunya sambil menatap kesal ke arah Hastan.
Suasana di ruang tamu keluarga Maheswara terasa berat. Clarissa masih di lantai atas, sementara aroma teh jahe dari dapur tak cukup menenangkan udara yang sejak tadi mencekam. Meira duduk di sofa, diam. Dio bermain di karpet, menyusun balok kayu yang baru dibelikan Nayla. Tapi batinnya… tak tenang sama sekali. Setiap suara langkah dari arah tangga membuat jantungnya berdebar, setiap bisik pelayan terasa seperti gemuruh. Ia tak tahan lagi. 'Aku tidak bisa terus di sini… tidak malam ini.' Meira menghela napas dalam, lalu menoleh ke arah putranya yang sedang menyusun balok menjadi menara tinggi. “Dio,” panggilnya lembut. Anak kecil itu menoleh dengan mata berbinar. “Ya, Ma?” “Kita siap-siap, ya? Malam ini kita tidur di rumah Tante Angel. Tante dan Om Chris baru pulang dari liburan mereka, kamu pasti mau ketemu, kan?” Mata Dio langsung berbinar lebih cerah. “Beneran, Ma? Tante Angel udah pulang? Aku mau banget! Tante Angel pasti bawain aku cokelat!” serunya riang
Sore itu, rumah keluarga Maheswara tampak sibuk. Pelayan lalu-lalang membawa kotak dekorasi dan bunga segar, bersiap untuk acara besar tiga hari lagi — anniversary Tuan dan Nyonya Maheswara. Mobil hitam Hastan meluncur masuk ke halaman dengan elegan, menembus cahaya senja yang keemasan. Dari balik kaca, Meira bisa melihat para pelayan menyambut dengan sopan. Ia menarik napas pelan, berusaha menata wajahnya agar terlihat tenang. Hari itu, ia datang bersama Hastan sepulang kerja, seperti biasanya. Tapi hatinya tidak tenang. Ada sesuatu di udara — sesuatu yang membuat jantungnya terasa berat sejak memasuki gerbang besar itu. Begitu mereka masuk ke ruang tamu, Meira membeku. Di sana, Clarissa sudah duduk manis di sofa empuk berwarna krem, mengenakan gaun maternity sederhana namun elegan. Ia tersenyum hangat—senyum yang tampak begitu wajar di rumah ini, seolah tak pernah ada jarak di antara dirinya dan keluarga Maheswara. “Clarissa sayang, sini, makan dulu sedikit sebelum ke atas,” u
“Kau di mana, Has? Suaramu… agak—aneh.” Suara Clarissa terdengar lagi, lembut, namun kali ini menusuk udara yang baru saja dilalui badai. Hastan menatap layar ponsel di dashboard, lalu menarik napas pelan, seolah baru sadar kembali pada dunia luar. “Aku sedang di parkiran,” jawabnya datar. “Mau pulang. Sudah dulu, ya.” Klik. Sambungan terputus. Keheningan kembali merayap, mengisi setiap sudut mobil dengan sisa napas yang masih belum pulih. Meira masih di pangkuannya. Tak ada lagi perlawanan. Kepalanya lunglai, menyandar di dada bidang itu—seolah semua kekuatan telah direnggut habis dari tubuhnya. Napasnya berat, mata terpejam, wajahnya basah oleh keringat dan sisa air mata. Untuk sesaat, Hastan hanya menatap. Diam. Tatapan itu bukan lagi milik seorang pria yang sedang menaklukkan, tapi seseorang yang seolah tak tahu bagaimana cara berhenti. Ia membuka laci di dashboard, mengambil tisu basah, dan dengan gerakan tenang, membersihkan kulit paha Meira. Sentuhannya ha
Denting nada dering itu masih menggema, menggantung di udara mobil yang mulai berembun. Bunyi sederhana—namun malam seolah bergetar karenanya. Meira membeku. Ujung jarinya gemetar, napasnya tersangkut di tenggorokan. Nama di layar itu bukan sekadar nama; itu ancaman, pengingat bahwa dunia luar masih ada—dan bisa meruntuhkan segalanya hanya dengan satu suara. Clarissa. Hastan tak segera bergerak, hanya diam dengan senyum samar yang sulit ditebak. Tatapannya seperti bayangan api, berpendar di balik iris gelapnya, memantul di kaca depan yang buram. Lalu tanpa memperingatkan, tangannya terulur, menekan tombol di layar besar mobil—layar yang kini menyalakan sambungan panggilan. Suara lembut perempuan itu memenuhi ruang sempit mobil, memecah udara yang sudah terlalu padat oleh napas mereka berdua. “Halo, Has?” Meira tersentak. Seluruh tubuhnya menegang, seolah suara itu datang dari kedalaman neraka yang tak ingin ia dengar. Namun sebelum ia bisa berbuat apa pun, jemari Has
Suara robekan halus itu masih bergema di telinga Meira, bagai tanda bahwa garis batas antara waras dan gila baru saja dilangkahi. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun tak beraturan, sementara tatapan Hastan menusuk dalam, tajam bagai bilah yang siap melukai.“Kenapa… harus dengan cara ini, Hastan…” bisik Meira, suaranya bergetar.Hastan tidak menjawab dengan kata. Justru jemarinya yang keras dan panas menyusuri belahan lembah kenikmatan terlarang itu, seolah menuliskan vonis di kulitnya. Tubuh Meira bergetar hebat, setengah ingin mendorong pergi, setengah ingin menyerah saja pada arus liar yang mengikatnya.Hastan menunduk, menciumi bibir Meira dengan brutal, menghisap setiap helaan nafasnya hingga gadis itu tercekik oleh campuran ngeri dan nikmat. Tangan di pinggangnya mengunci, tangan lain menekan tengkuknya, membuat Meira nyaris tak bisa bergerak.Lalu, seolah seluruh dunia bersekongkol dalam kegilaan itu—Hastan mendorong masuk batang keras besarnya ke dalam lembah kenikmatan Meira