Home / Rumah Tangga / Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan / 9 - Rantai Data dan Nafas Malam

Share

9 - Rantai Data dan Nafas Malam

Author: Dualismdiary
last update Last Updated: 2025-08-09 20:26:11

Setelah Dio menutup teleponnya dengan suara putus yang pelan, suasana dalam mobil tiba-tiba terasa hening sejenak, hanya suara mesin dan dentingan jarum jam yang mengisi ruang sempit itu. Hastan menghela napas, lalu menatap ke arah Meira yang duduk di sampingnya. Matanya yang tajam menyembunyikan berjuta cerita yang tak mudah terucapkan.

“Anakmu cerdas sekali, seperti ibunya,” ucap Hastan dengan nada dingin khas seorang militer, tapi di balik itu ada sesuatu yang lembut, seperti doa yang tersembunyi.

Meira tersenyum, senyum kecil yang penuh rasa syukur. "Iya, thank God. Dia hadiah paling indah yang Tuhan titipkan buat aku," jawabnya dengan suara pelan namun penuh keyakinan. Seolah-olah kekuatan hidupnya hanya bertumpu pada sosok kecil yang kini menjadi seluruh dunianya. Matanya berkaca-kaca, tapi ia cepat-cepat menutupinya.

Hastan mengangguk, dan tatapannya melunak sedikit. “And what about your husband?” tanyanya dengan suara berat, menyelipkan rasa penasaran yang sudah lama terpendam.

Meira menunduk sebentar, lalu terkekeh kecil. “Dia, Octavian, hehe... Maaf ya waktu SMA dulu, aku waktu itu mutusin kamu karena ngerasa bersalah ngejadiin kamu selingkuhan. Waktu itu aku nerima kamu karena kesel diselingkuhin sama Octav. Waktu aku sadar aku gaboleh begitu, jadi aku mutusin kamu,” jelasnya pelan, wajahnya sedikit memerah mengingat masa lalu yang rumit.

Genggaman tangan Hastan mengerat, menahan geram dan kekecewaan yang dulu pernah membekas. “Oh, dia yang waktu dulu ngejemput kamu di hari kelulusan SMA?” tanyanya, suaranya seperti bergetar sedikit menahan amarah yang terpendam.

Meira mengangguk, sedikit terkejut, “Wah, kamu lihat dia waktu itu?”

“Sekilas,” jawab Hastan singkat, pandangannya menusuk ke depan.

“Iyaa, dia,” bisik Meira, suaranya serasa tenggelam dalam kenangan.

“Hows marriage life?” tanya Hastan, mencoba mengalihkan pembicaraan ke hal lain.

“Tough,” jawab Meira, singkat tapi penuh makna. Ada kepedihan yang terselip di antara kata itu.

“How about you? Sudah menikah juga?” lanjutnya, sedikit ingin tahu lebih dalam.

“Pernah, tapi sekarang sudah enggak,” jawab Hastan dengan ekspresi dingin yang membuat udara di dalam mobil semakin berat.

“Oh, I see. I’m sorry to hear that,” ucap Meira dengan penuh empati, hatinya ikut tercabik walau tak pernah mengatakannya.

“Nothing to sorry about. Cerita klise, dia selingkuh dan just end it there,” jelas Hastan singkat, nadanya datar, seolah luka itu sudah membatu dan bukan lagi sesuatu yang bisa membuatnya tersiksa.

Semakin lama, kantuk mulai merayapi Meira perlahan. Matanya yang besar dan bening itu mulai berat, suara mobil yang tenang seakan mengiringi langkahnya menuju dunia mimpi. Perjalanan mereka masih panjang, malam sudah semakin pekat di luar sana.

Hastan melepas jaket hitamnya dengan hati-hati, lalu menyelimuti Meira yang mulai terpejam. Tangannya sedikit bergetar ketika menutupi tubuhnya yang kecil dan hangat itu dengan pelan. Sesekali, matanya menatap wajah cantik Meira yang memiliki babyface—wajah polos yang seperti belum pernah tersentuh waktu. Jika Meira masih memakai seragam SMA, bahkan mungkin ia akan dengan mudah dipercaya sebagai murid yang tak beranjak dewasa.

Mata Hastan berkedip perlahan, merasakan hangat yang mengalir dari tubuh Meira di bawah jaketnya. Detak jantungnya seakan berdetak lebih keras dari biasanya, namun ia tetap berusaha menyembunyikan perasaan itu.

Mobil melaju pelan memasuki halaman rumah Meira. Hastan terdiam sejenak, pandangannya terpaku pada sosok yang mulai membuka matanya dengan mata yang sedikit sembab.

Meira tersenyum malu-malu, sedikit bingung melihat dirinya diselimuti jaket tebal. Matanya segera beralih ke jendela, melihat rumahnya sudah dekat di depan sana.

“Oh, kita sudah sampai ya. Ayo, mau mampir dulu?” tawarnya dengan suara serak, nada manis yang mengundang rasa hangat.

“Tidak, lain kali saja. Sudah terlalu larut. Aku akan pesan taxi online,” jawab Hastan tegas namun lembut.

Meira tersenyum dan membungkuk pelan, "Terima kasih ya, Hastan."

Hastan mengangguk, matanya masih tertuju padanya sampai Meira masuk ke dalam rumah. Lampu di dalam mobil menyala redup, menyisakan kesan hangat dan intim yang sulit untuk dilupakan.

---

Sesampainya Hastan di rumah lama orang tuanya, sebuah bangunan sederhana yang kini lebih sunyi dari biasanya, ia langsung memasuki ruang kerjanya. Di meja yang penuh dengan berkas dan perangkat elektronik, laptop hitam tebal sudah menanti. Hastan duduk dan menyalakannya tanpa basa-basi. Dengan cepat, jari-jarinya menari di atas keyboard, membuka aplikasi sadapan yang selama ini ia siapkan.

Layar laptop menampilkan berbagai data yang tersambung ke ponsel Meira — ponsel yang sudah berhasil ia retas sebelumnya. Kini, akses penuh di tangan Hastan. Semua pesan, foto, bahkan data lama yang dulu pernah Meira hapus dengan susah payah kini muncul kembali, lengkap tanpa cela.

Namun, rasa penasaran Hastan belum cukup terpuaskan. Dengan ekspresi serius, ia mengetik pesan singkat di W******p:

> "Tolong kirim dokumen alat elektronik medis yang kita diskusikan tadi."<

Sementara itu, Meira yang sudah hampir terlelap di kamar tidurnya, merasakan getaran ponselnya yang tak henti berdering. Dengan berat hati, ia membuka matanya, menarik tubuhnya yang lelah, dan duduk di depan meja rias. Laptopnya menyala, dan ia segera membuka W******p Web untuk membalas pesan tersebut.

Tanpa Meira sadari, saat ia log in, sebuah celah baru terbuka. Hastan sekarang memiliki akses ke laptop Meira. Kamera laptop yang semula hanya menjadi alat komunikasi, berubah menjadi CCTV pribadi di tangan Hastan.

Layar laptop di ruang kerja Hastan tiba-tiba menampilkan wajah Meira secara jelas. Di depan kamera, Meira terlihat mengenakan baju tidur tipis yang membalut tubuhnya dengan pas. Lekuk-lekuk sensualnya terpancar dalam cahaya redup kamar.

Hastan menatap tajam, dadanya berdebar keras. Sensasi yang tiba-tiba mengalir membuatnya tegang, terpikat oleh pesona Meira yang kini jauh berbeda dari gadis kurus waktu SMA dulu.

"Damn, Meira! Ini versi tubuh yang lebih baik daripada jaman SMA," gumam Hastan dengan nada setengah terpesona.

Benar, dulu Meira hanya sosok kurus yang polos. Tapi kini, tubuhnya berisi sempurna, lekuk yang menggoda tanpa sedikit pun terlihat gemuk. Proporsi yang pas dan menggairahkan.

Hastan membiarkan matanya mengelilingi setiap detail yang terpampang di layar, menikmati pemandangan yang membuatnya sulit untuk berpaling.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan    155 — Di Antara Diam dan Amarah

    Suara klakson mobil membelah udara malam, nyaring, berulang—hingga membuat beberapa kepala pelayan di rumah Angel menoleh dari jendela. Meira yang semula hendak berbincang sebentar dengan Angel dan Chris sontak menegang. Tatapan Angel yang semula ramah berubah sedikit heran. “Mei, itu Hastan ya?” tanyanya pelan. Meira menelan napas kesal, bibirnya menegang. “Iya…” jawabnya singkat, lalu memaksakan senyum. “Sepertinya dia... buru-buru.” Tanpa sempat menyesap teh yang baru dituangkan Angel, Meira menunduk pada Dio dan mengecup keningnya. “Tidur yang nyenyak, ya sayang. Jangan lupa berdoa sebelum tidur.” “Ma juga hati-hati di jalan,” jawab Dio riang, melambai. Ia tidak tahu, di balik senyum lembut Meira, ada bara yang siap meledak. Begitu keluar dari rumah, suara klakson itu terdengar lagi—lebih panjang. Meira berjalan cepat menuju mobil, membuka pintu dengan kasar. “Apaan sih, berisik banget tahu?! Nggak bisa sabar sedikit apa?!” serunya sambil menatap kesal ke arah Hastan.

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   154 - Pelarian yang Tertahan

    Suasana di ruang tamu keluarga Maheswara terasa berat. Clarissa masih di lantai atas, sementara aroma teh jahe dari dapur tak cukup menenangkan udara yang sejak tadi mencekam. Meira duduk di sofa, diam. Dio bermain di karpet, menyusun balok kayu yang baru dibelikan Nayla. Tapi batinnya… tak tenang sama sekali. Setiap suara langkah dari arah tangga membuat jantungnya berdebar, setiap bisik pelayan terasa seperti gemuruh. Ia tak tahan lagi. 'Aku tidak bisa terus di sini… tidak malam ini.' Meira menghela napas dalam, lalu menoleh ke arah putranya yang sedang menyusun balok menjadi menara tinggi. “Dio,” panggilnya lembut. Anak kecil itu menoleh dengan mata berbinar. “Ya, Ma?” “Kita siap-siap, ya? Malam ini kita tidur di rumah Tante Angel. Tante dan Om Chris baru pulang dari liburan mereka, kamu pasti mau ketemu, kan?” Mata Dio langsung berbinar lebih cerah. “Beneran, Ma? Tante Angel udah pulang? Aku mau banget! Tante Angel pasti bawain aku cokelat!” serunya riang

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   153 - Rencana di Balik Senja

    Sore itu, rumah keluarga Maheswara tampak sibuk. Pelayan lalu-lalang membawa kotak dekorasi dan bunga segar, bersiap untuk acara besar tiga hari lagi — anniversary Tuan dan Nyonya Maheswara. Mobil hitam Hastan meluncur masuk ke halaman dengan elegan, menembus cahaya senja yang keemasan. Dari balik kaca, Meira bisa melihat para pelayan menyambut dengan sopan. Ia menarik napas pelan, berusaha menata wajahnya agar terlihat tenang. Hari itu, ia datang bersama Hastan sepulang kerja, seperti biasanya. Tapi hatinya tidak tenang. Ada sesuatu di udara — sesuatu yang membuat jantungnya terasa berat sejak memasuki gerbang besar itu. Begitu mereka masuk ke ruang tamu, Meira membeku. Di sana, Clarissa sudah duduk manis di sofa empuk berwarna krem, mengenakan gaun maternity sederhana namun elegan. Ia tersenyum hangat—senyum yang tampak begitu wajar di rumah ini, seolah tak pernah ada jarak di antara dirinya dan keluarga Maheswara. “Clarissa sayang, sini, makan dulu sedikit sebelum ke atas,” u

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   152 — Sisa Api di Dalam Diam

    “Kau di mana, Has? Suaramu… agak—aneh.” Suara Clarissa terdengar lagi, lembut, namun kali ini menusuk udara yang baru saja dilalui badai. Hastan menatap layar ponsel di dashboard, lalu menarik napas pelan, seolah baru sadar kembali pada dunia luar. “Aku sedang di parkiran,” jawabnya datar. “Mau pulang. Sudah dulu, ya.” Klik. Sambungan terputus. Keheningan kembali merayap, mengisi setiap sudut mobil dengan sisa napas yang masih belum pulih. Meira masih di pangkuannya. Tak ada lagi perlawanan. Kepalanya lunglai, menyandar di dada bidang itu—seolah semua kekuatan telah direnggut habis dari tubuhnya. Napasnya berat, mata terpejam, wajahnya basah oleh keringat dan sisa air mata. Untuk sesaat, Hastan hanya menatap. Diam. Tatapan itu bukan lagi milik seorang pria yang sedang menaklukkan, tapi seseorang yang seolah tak tahu bagaimana cara berhenti. Ia membuka laci di dashboard, mengambil tisu basah, dan dengan gerakan tenang, membersihkan kulit paha Meira. Sentuhannya ha

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   151 — Denting Rahasia di Antara Napas

    Denting nada dering itu masih menggema, menggantung di udara mobil yang mulai berembun. Bunyi sederhana—namun malam seolah bergetar karenanya. Meira membeku. Ujung jarinya gemetar, napasnya tersangkut di tenggorokan. Nama di layar itu bukan sekadar nama; itu ancaman, pengingat bahwa dunia luar masih ada—dan bisa meruntuhkan segalanya hanya dengan satu suara. Clarissa. Hastan tak segera bergerak, hanya diam dengan senyum samar yang sulit ditebak. Tatapannya seperti bayangan api, berpendar di balik iris gelapnya, memantul di kaca depan yang buram. Lalu tanpa memperingatkan, tangannya terulur, menekan tombol di layar besar mobil—layar yang kini menyalakan sambungan panggilan. Suara lembut perempuan itu memenuhi ruang sempit mobil, memecah udara yang sudah terlalu padat oleh napas mereka berdua. “Halo, Has?” Meira tersentak. Seluruh tubuhnya menegang, seolah suara itu datang dari kedalaman neraka yang tak ingin ia dengar. Namun sebelum ia bisa berbuat apa pun, jemari Has

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   150 - Terkurung di Pangkuan Gelapnya

    Suara robekan halus itu masih bergema di telinga Meira, bagai tanda bahwa garis batas antara waras dan gila baru saja dilangkahi. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun tak beraturan, sementara tatapan Hastan menusuk dalam, tajam bagai bilah yang siap melukai.“Kenapa… harus dengan cara ini, Hastan…” bisik Meira, suaranya bergetar.Hastan tidak menjawab dengan kata. Justru jemarinya yang keras dan panas menyusuri belahan lembah kenikmatan terlarang itu, seolah menuliskan vonis di kulitnya. Tubuh Meira bergetar hebat, setengah ingin mendorong pergi, setengah ingin menyerah saja pada arus liar yang mengikatnya.Hastan menunduk, menciumi bibir Meira dengan brutal, menghisap setiap helaan nafasnya hingga gadis itu tercekik oleh campuran ngeri dan nikmat. Tangan di pinggangnya mengunci, tangan lain menekan tengkuknya, membuat Meira nyaris tak bisa bergerak.Lalu, seolah seluruh dunia bersekongkol dalam kegilaan itu—Hastan mendorong masuk batang keras besarnya ke dalam lembah kenikmatan Meira

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status