Malam itu, setelah melewati pekerjaan yang sama, Laura membersihkan diri lalu mengganti seragam kerjanya dengan kaus dan celana yang nyaman. Ia berbaring, menyalakan televisi untuk menunggu kantuk.
Layar kecil televisi tua di kamar Laura menyala, memancarkan cahaya biru yang menyinari wajahnya yang pucat. Berita pertunangan Reve dan Shara ditayangkan dengan gemerlap, foto mereka berdua tersenyum bahagia, dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman yang setara. Laura menatap tanpa berkedip, jantungnya berdetak pelan namun terasa berat. “Mereka sangat cocok,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku yakin dia akan membawa Reve pada kebahagiaan yang layak didapatkannya.” Tiba-tiba, ketukan keras di pintu membuatnya terkejut. Suara ketukan itu tidak seperti biasanya. Berat, tidak teratur, dan disertai suara gesekan di pintu kayu. Laura membeku sesaat, tangannya masih menggenggam remote televisi erat-erat. “Siapa, ya?” Ia bertanya pada diri sendiri, sebelum mengubah posisinya dari berbaring ke duduk. Namun tiba-tiba, pintu terbuka dengan kasar, menyembulkan Reve yang berdiri terhuyung di ambang pintu. Bau alkohol menyengat memenuhi ruangan kecil itu. Bau yang bahkan lebih kuat dari parfum mahal yang biasa Reve kenakan. Matanya merah, rambutnya berantakan, dan kemejanya terbuka sebagian memperlihatkan sebagian kulit putih di dadanya. “Lau...ra,” ucapnya dengan suara rendah, tubuhnya bersandar pada pintu untuk menahan diri agar tak jatuh. Laura berdiri perlahan, rasa takut dan khawatir bertarung dalam dirinya. “Tuan ... Anda seharusnya beristirahat di kamar Anda,” katanya, suaranya bergetar. Namun Reve tak mendengarkan, justru sudah melangkah masuk, menjatuhkan diri di tempat tidur kecil Laura dengan erangan berat. “Dia ... mereka ... semua mengharapkan aku menjadi sempurna,” gumamnya. Tangan Reve menutupi wajah. Ia kembali berkata, “tapi aku tidak bisa ... tidak lagi.” Laura masih berdiri di sisi tempat tidurnya, tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, sosok Reve adalah seseorang yang sama yang telah menyakitinya. Di sisi lain, sosok Reve saat ini adalah Reve yang berbeda. Sosok rapuh, hancur, dan terlihat lebih manusiawi bagi Laura. “Mereka mempercepat acaranya,” kata Reve tiba-tiba tertawa, terdengar pahit. “Seolah-olah dengan menikahi Shara, semua orang akan bahagia. Mereka tidak bertanya apakah lukaku akan sembuh.” Reve menatap Laura dengan mata berkaca-kaca. “Kau tahu, Laura? Kadang aku berharap aku hanya seorang sopir seperti Argo. Atau tukang kebun. Atau ... siapa saja. Bukan seperti ini.” Laura masih diam, tetapi hatinya mulai sakit melihat Reve seperti itu. Mungkin, di balik semua kekerasan dan kemewahan, mereka berdua sama. Mereka adalah dua jiwa yang terluka, mencoba bertahan dengan cara mereka masing-masing. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Laura tidak melihat Reve sebagai tuannya. Ia melihatnya sebagai seseorang yang sama tersesatnya dengannya. Laura duduk di sisi ranjangnya. Membiarkan Reve terus meracau. Bau alkohol yang menyengat bercampur dengan wangi mahal yang masih melekat pada kulit Reve semakin memenuhi ruangan kecil itu, membuat Laura sesak. Tangan Reve tiba-tiba saja menariknya, membuat Laura berbaring di tempat tidur. Reve menatapnya dengan mata berkaca-kaca itu. Laura mencoba mendorongnya, tangan kecilnya menekan dada Reve yang keras, tetapi sia-sia. Tenaga Reve jauh terlalu kuat, seperti batu granit yang tak tergoyahkan. “Jangan, Tuan,” desis Laura, suaranya tertahan oleh ketakutan dan napas yang terengah. Namun Reve tak menghiraukan. Tangannya yang besar dengan kasar mulai menggerayangi tubuh Laura, merobek kain sederhana yang menutupi kulitnya. Setiap sentuhannya terasa seperti pesakitan, setiap ciumannya yang memaksa terasa seperti penghinaan bagi Laura. Laura memalingkan wajah, mencoba menghindari bibir Reve yang dengan buas mencari bibirnya. Air matanya mulai mengalir, membasahi bantal tua yang selalu menemaninya tidur. Di atasnya, Reve seperti orang yang kesurupan, gerakannya dipenuhi amarah dan keputusasaan yang tak terbendung. “Kau ... harus ... mengerti ...,” ucap Reve di antara ciuman paksa nya, napasnya berat dan tak teratur. “Aku ... tidak bisa ... lagi ….” Laura memejamkan mata, mencoba memisahkan pikiran dari tubuhnya. Dia membayangkan Bi Inah, membayangkan kampung halaman, membayangkan apa pun yang bisa menjauhkannya dari kenyataan mengerikan saat itu. Namun sentuhan Reve yang semakin liar membawanya kembali ke realita. Tangannya kini mencoba membuka kancing celana Laura, gerakan kasar dan terburu-buru. “Tolong … jangan lakukan itu, Tuan,” Laura berbisik terakhir kalinya, suaranya hancur dan penuh keputusasaan. Namun kata ‘tolong’ itu justru menghadirkan sosok yang lebih gelap dalam diri Reve. Dia mengangkat wajahnya, matanya yang merah memandangi Laura dengan tatapan yang menakutkan. “Tolong?” Reve tersenyum mengejek, suaranya parau. “Kau pikir ada yang akan menolongmu? Di sini aku yang berkuasa. Kau pelayanku. Dan kau dan aku sama-sama menginginkan ini, Laura. Selamanya.” Dan setelah mengucapkan kata-kata itu, Laura akhirnya menyerah. Dia berhenti melawan, membiarkan tubuhnya lemas di bawah berat Reve. Ia tak lagi menangis, pikirannya terus berusaha untuk tak mengingat apa pun yang terjadi malam itu. “Kau milikku, Laura,” bisik Reve sebelum melepaskan diri dari tubuh tanpa busana Laura. Langit gelap malam itu. Bulan bersembunyi di balik awan, seolah menolak menjadi saksi bagi kehancuran yang terjadi untuk kesekian kalinya di kamar kecil itu. Menyisakan dua jiwa yang terluka bersama, satu jiwa mencoba melukai untuk merasa hidup, satu jiwa lainnya mencoba bertahan dengan cara mati rasa. ***Usai makan siang bersama itu, Shara mengajak Reve menuju butik untuk memilih gaun pernikahan mereka. Butik pernikahan yang eksklusif terasa sunyi meski dipenuhi gaun-gaun mewah yang berkilauan di bawah lampu kristal. Shara dengan semangat memilih-milih koleksi gaun pengantin, sementara Reve berdiri di dekat pintu, tangannya berada di saku celana.“Reve, Sayang, lihat yang ini!” seru Shara sambil mengangkat gaun berenda payet yang memantulkan cahaya. “Desainer gaun ini khusus terbang dari Paris kemarin. Apa menurutmu ini cocok untukku?”Reve mengangguk tanpa antusiasme, matanya kosong. “Ya, bagus. Pakai itu saja.” Shara mengerutkan kening, meletakkan gaun itu dengan sedikit kesal. “Kau bahkan tidak melihatnya, Reve. Ini penting bagiku. Bagi kita. Karena ini untuk pernikahan kita.”Dia mendekati Reve, tangannya yang halus meraih lengan Reve. Shara mencoba menenangkan dengan bertanya dalam nada lembut. “Ada apa? Kau sudah aneh se
Reve memasang dasinya sedangkan Laura masih sibuk mendandani anak perempuan mereka.“Sudah selesai belum? Ayah harus segera ke kantor,” kata Reve.“Tunggu, Ayah. Ibu sedang membuat kepang di rambutku,” gadis kecil yang usianya empat tahun lima bulan itu protes.Laura tertawa. “Tunggu sebentar lagi, Ayah. Michelle tidak akan lama.”°°°Senyum masih mengembang di bibir Reve saat matanya terbuka. Untuk beberapa detik, ia masih merasakan kehangatan imajiner dari adegan mimpi yang baru saja dialaminya itu. Tawa Laura yang jernih, tangan kecil anak perempuan mereka yang memegangi jarinya, dan perasaan menjadi keluarga yang utuh.Namun kemudian, realitas kembali menghentakkan mimpinya ke dasar.Kamar hotelnya yang mewah terasa sunyi dan dingin. Tidak ada Laura yang sedang mengepang rambut putri mereka. Tidak ada Michelle—putri mereka yang cerewet memprotes. Hanya kesendirian yang menusuk, dan
Kamar Laura diselimuti kegelapan yang pekat, hanya diterangi lampu tidur. Ia sengaja membuka tirai jendela kamarnya, membiarkan sinar bulan pucat yang menyelinap melalui celah dari tirai dan ventilasi jendela di sana. Laura baru saja memejamkan mata, berusaha melupakan kekerasan yang berhasil dilewatinya malam kemarin.Ketika pintu kamarnya terbuka dengan perlahan, Reve muncul seperti bayangan. Siluetnya menutupi cahaya lampu kamar yang remang-remang.Laura ingin berteriak, tetapi Reve sudah berada di atas tempat tidurnya dengan gerakan cepat yang membuat Laura semakin gemetar. Tangan Reve yang besar menutup mulut Laura, menekan dengan kuat hingga napasnya tersendat.“Jangan bersuara,” desis Reve.Suaranya serak dan gelap, seperti orang asing yang tidak dikenalnya.Dengan gerakan kasar, Reve merobek baju tidur Laura, kain flanel sederhana itu terkoyak dengan suara yang memekakkan telinga di kesunyian malam. Laura
Malam itu, setelah melewati pekerjaan yang sama, Laura membersihkan diri lalu mengganti seragam kerjanya dengan kaus dan celana yang nyaman. Ia berbaring, menyalakan televisi untuk menunggu kantuk.Layar kecil televisi tua di kamar Laura menyala, memancarkan cahaya biru yang menyinari wajahnya yang pucat. Berita pertunangan Reve dan Shara ditayangkan dengan gemerlap, foto mereka berdua tersenyum bahagia, dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman yang setara. Laura menatap tanpa berkedip, jantungnya berdetak pelan namun terasa berat.“Mereka sangat cocok,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku yakin dia akan membawa Reve pada kebahagiaan yang layak didapatkannya.”Tiba-tiba, ketukan keras di pintu membuatnya terkejut. Suara ketukan itu tidak seperti biasanya. Berat, tidak teratur, dan disertai suara gesekan di pintu kayu. Laura membeku sesaat, tangannya masih menggenggam remote televisi erat-erat.“Siapa, ya?” Ia bertanya pada diri s
“Laura.”Suara Reve yang dalam dan familiar itu memotong kesunyian dapur, membuat Laura menegakkan punggungnya seketika. Sendok kayu di tangannya berhenti mengaduk sup, seolah dunia berhenti berputar selama beberapa detik. Dengan jantung berdebar, ia menoleh perlahan, menemukan Reve berdiri di ambang pintu dapur, ekspresi wajahnya tak terbaca seperti biasa.“Ya, Tuan?” sahut Laura, suaranya lembut namun bergetar halus, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mendadak menyergap.Reve tak langsung menjawab. Matanya yang keabuan menyapu ruang dapur sejenak, seolah memastikan tak ada orang lain di sekitar mereka, sebelum akhirnya berfokus kembali pada Laura.“Siapkan air untukku berendam. Setelah aku selesai berendam, antarkan teh chamomile ke ruang kerjaku.” “Baik, Tuan.” Laura mengangguk patuh, menundukkan pandangannya ke lantai, menghindari kontak mata yang bisa membuatnya semakin gugup sekaligus takut.
Di luar ruangan, suara oven berbunyi menandakan kue sudah matang. Namun di dalam kamar yang pengap itu, waktu terasa berhenti. Laura memejamkan mata, air mata mengalir di pipinya. Air mata untuk harga diri yang sekali lagi direnggut, untuk tubuh yang sekali lagi diklaim tanpa izin.Dan yang paling menyakitkan, di balik rasa sakit dan penghinaan, ada bagian dirinya yang masih merespons sentuhan Reve, masih menginginkannya seperti api menginginkan oksigen.Itulah monster terbesarnya. Bukan Reve, tetapi keinginannya sendiri yang tak pernah bisa ia kendalikan.Dengan langkah anggun, Shara melangkah masuk ke dapur, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Reve, yang sejenak sebelumnya masih seperti badai yang hendak meluluhlantakkan segala sesuatu, kini telah berubah menjadi lautan yang tenang. Senyum manisnya begitu sempurna, seolah tak ada yang terjadi di balik pintu kamar kecil yang baru saja tertutup.“Kuenya baru matang, Sayang,” uj