“Laura.”
Suara Reve yang dalam dan familiar itu memotong kesunyian dapur, membuat Laura menegakkan punggungnya seketika. Sendok kayu di tangannya berhenti mengaduk sup, seolah dunia berhenti berputar selama beberapa detik. Dengan jantung berdebar, ia menoleh perlahan, menemukan Reve berdiri di ambang pintu dapur, ekspresi wajahnya tak terbaca seperti biasa. “Ya, Tuan?” sahut Laura, suaranya lembut namun bergetar halus, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mendadak menyergap. Reve tak langsung menjawab. Matanya yang keabuan menyapu ruang dapur sejenak, seolah memastikan tak ada orang lain di sekitar mereka, sebelum akhirnya berfokus kembali pada Laura. “Siapkan air untukku berendam. Setelah aku selesai berendam, antarkan teh chamomile ke ruang kerjaku.” “Baik, Tuan.” Laura mengangguk patuh, menundukkan pandangannya ke lantai, menghindari kontak mata yang bisa membuatnya semakin gugup sekaligus takut. Reve tak segera pergi. Ia masih berdiri di sana, seolah ingin mengatakan sesuatu lebih, tetapi akhirnya hanya membalikkan badan dan meninggalkan dapur dengan langkah pasti. Laura mendengarkan langkah kaki itu menjauh, baru kemudian ia berani menghela napas panjang yang ditahannya selama Reve berada di dekatnya. “Aku harus segera menyiapkan air hangat. Celaka kalau sampai terlambat,” gumam Laura. Ia segera memutar tungku kompor hingga padam, meninggalkan supnya di sana sebelum bergegas melangkah ke kamar tuannya itu. Laura membuka pintu kamar mandi mewah Reve dengan hati-hati, uap air hangat sudah mulai mengisi ruangan. Tangannya yang putih pucat mulai membuka keran untuk mengisi bak mandi marmer itu. Laura memastikan setiap langkah kecil untuk pekerjaannya tepat dan efisien, hasil dari minggu-minggu panjang menghafal ritual kebiasaan Reve. Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, ia mulai menyiapkan air hangat untuk Reve. Laura mengukur suhu air dengan siku seperti yang diajarkan Bi Inah saat ia masih berada di tempat lamanya. Setiap gerakannya sangat hati-hati, karena ia takut melakukan kesalahan. Di kepalanya penuh dengan ingatan akan malam-malam sebelumnya. Sentuhan kasar, cambukan, kata-kata kasar, dan air mata yang ditahannya sendiri. Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka. Reve masuk tanpa basa-basi, jari-jarinya langsung membuka kancing kemeja linennya. Laura menunduk cepat, berusaha fokus pada air yang mengalir. “Sudah hampir siap, Tuan,” bisiknya, suaranya hampir tertutup desiran air. Namun Reve tidak menjawab dengan kalimat apa pun. Dia terus membuka pakaiannya, melepas kemeja sepenuhnya. Laura memejamkan mata, berharap hal itu akan segera berakhir. Saat dia memberanikan diri untuk membuka matanya, pemandangan yang dilihatnya sekilas itu membuat napasnya tersangkut. Di punggung Reve yang ia kira selalu terlihat sempurna itu, sekarang terlihat jejak-jejak luka lama. Garis-garis putih seperti cakar yang sudah memudar, dan beberapa bekas yang lebih baru yang masih kemerahan. Bekas-bekas itu bercerita tentang kekerasan yang tidak pernah ia duga. Reve menangkap pandangan Laura di cermin. “Luka-luka ini jejak masa lalu,” ujarnya datar, tanpa menoleh. “Peninggalan ayahku.” Laura berdiri membeku, tangannya masih memegang keran air. Untuk pertama kalinya, ia melihat Reve bukan sebagai monster, tetapi sebagai seorang korban. Seorang lelaki yang mungkin sama terlukanya dengannya. “Tuan ….” bisik Laura. “Jangan,” Reve menyela dengan kasar, akhirnya menoleh untuk menatap Laura. “Jangan lihat aku dengan belas kasihan itu. Aku sama sekali tidak selemah itu.” Namun sudah terlambat. Dalam sekejap, dinamika antara mereka berubah, mungkin selamanya. Laura kini mengetahui, di balik kemewahan dan kekuasaan, Reve menyimpan luka yang mungkin lebih dalam dari lukanya sendiri. Dia membalikkan badan, berusaha menyembunyikan matanya yang tiba-tiba berkaca-kaca. Namun, Reve sudah melihatnya. Dengan gerakan kasar, ia meraih handuk dan membalutnya di pinggang. “Keluar dari sini dan lakukan pekerjaanmu yang lain,” perintahnya, dengan suara serak. “Sekarang! Sebelum aku berubah pikiran!” Laura bergegas pergi, tetapi gambar bekas luka di punggung Reve terekam di benaknya. Seolah menjadi pengingat bahwa terkadang, monster paling menakutkan adalah monster yang diciptakan oleh monster lainnya. Laura keluar dari kamar tuannya, melangkah pelan ke dapur untuk menyiapkan teh chamomile. Saat menuangkan chamomile ke dalam cangkir porselen favorit Reve, aromanya yang menenangkan justru terasa ironis baginya. “Sebenarnya apa yang ada di pikiran orang itu? Kenapa lukanya banyak sekali?” gumam Laura, menyebut Reve dengan sebutan ‘orang itu’. Namun, hatinya kembali mengingatkan jika ia sama sekali tak punya hak untuk ikut campur dalam masalah tuannya. Laura meletakkan cangkir teh di nampan perak, membawanya menuju ruang kerja Reve. Ketika ia mengetuk pintu ruang kerja Reve, suara bass dari dalam menyuruhnya masuk. Reve sedang berdiri di depan jendela, masih dengan handuk kimononya sambil memandangi kota yang mulai diterangi lampu-lampu malam. “Teh chamomile-nya, Tuan,” ucap Laura pelan, menaruh nampan itu di meja kerjanya. Reve berbalik, mata keabuan milik lelaki itu menatap Laura. “Kau masih menggunakan parfum yang sama,” ujarnya tiba-tiba, suaranya rendah.* Laura membeku, tak menyangka komentar itu akan keluar dari bibir Reve. “Ya, Tuan.” Ia menjawab singkat, lalu berusaha pergi secepat mungkin. Namun sebelum langkahnya mencapai pintu, suara Reve kembali terdengar. “Laura ….” Langkah Laura terhenti. Ia menyahut tanpa menoleh. “Ya, Tuan?” Terdengar dengusan kasar dari Reve sebelum suara bassnya menjawab. “Tidak apa-apa. Kau boleh pergi.” Laura segera keluar dari ruangan itu, meninggalkan Reve sendirian dengan teh chamomile-nya dan aroma parfum Laura yang masih tersisa di udara. Reve mengepalkan tangannya. “Sampai kapan aku harus menahan diri seperti ini?” bisiknya. ***Usai makan siang bersama itu, Shara mengajak Reve menuju butik untuk memilih gaun pernikahan mereka. Butik pernikahan yang eksklusif terasa sunyi meski dipenuhi gaun-gaun mewah yang berkilauan di bawah lampu kristal. Shara dengan semangat memilih-milih koleksi gaun pengantin, sementara Reve berdiri di dekat pintu, tangannya berada di saku celana.“Reve, Sayang, lihat yang ini!” seru Shara sambil mengangkat gaun berenda payet yang memantulkan cahaya. “Desainer gaun ini khusus terbang dari Paris kemarin. Apa menurutmu ini cocok untukku?”Reve mengangguk tanpa antusiasme, matanya kosong. “Ya, bagus. Pakai itu saja.” Shara mengerutkan kening, meletakkan gaun itu dengan sedikit kesal. “Kau bahkan tidak melihatnya, Reve. Ini penting bagiku. Bagi kita. Karena ini untuk pernikahan kita.”Dia mendekati Reve, tangannya yang halus meraih lengan Reve. Shara mencoba menenangkan dengan bertanya dalam nada lembut. “Ada apa? Kau sudah aneh se
Reve memasang dasinya sedangkan Laura masih sibuk mendandani anak perempuan mereka.“Sudah selesai belum? Ayah harus segera ke kantor,” kata Reve.“Tunggu, Ayah. Ibu sedang membuat kepang di rambutku,” gadis kecil yang usianya empat tahun lima bulan itu protes.Laura tertawa. “Tunggu sebentar lagi, Ayah. Michelle tidak akan lama.”°°°Senyum masih mengembang di bibir Reve saat matanya terbuka. Untuk beberapa detik, ia masih merasakan kehangatan imajiner dari adegan mimpi yang baru saja dialaminya itu. Tawa Laura yang jernih, tangan kecil anak perempuan mereka yang memegangi jarinya, dan perasaan menjadi keluarga yang utuh.Namun kemudian, realitas kembali menghentakkan mimpinya ke dasar.Kamar hotelnya yang mewah terasa sunyi dan dingin. Tidak ada Laura yang sedang mengepang rambut putri mereka. Tidak ada Michelle—putri mereka yang cerewet memprotes. Hanya kesendirian yang menusuk, dan
Kamar Laura diselimuti kegelapan yang pekat, hanya diterangi lampu tidur. Ia sengaja membuka tirai jendela kamarnya, membiarkan sinar bulan pucat yang menyelinap melalui celah dari tirai dan ventilasi jendela di sana. Laura baru saja memejamkan mata, berusaha melupakan kekerasan yang berhasil dilewatinya malam kemarin.Ketika pintu kamarnya terbuka dengan perlahan, Reve muncul seperti bayangan. Siluetnya menutupi cahaya lampu kamar yang remang-remang.Laura ingin berteriak, tetapi Reve sudah berada di atas tempat tidurnya dengan gerakan cepat yang membuat Laura semakin gemetar. Tangan Reve yang besar menutup mulut Laura, menekan dengan kuat hingga napasnya tersendat.“Jangan bersuara,” desis Reve.Suaranya serak dan gelap, seperti orang asing yang tidak dikenalnya.Dengan gerakan kasar, Reve merobek baju tidur Laura, kain flanel sederhana itu terkoyak dengan suara yang memekakkan telinga di kesunyian malam. Laura
Malam itu, setelah melewati pekerjaan yang sama, Laura membersihkan diri lalu mengganti seragam kerjanya dengan kaus dan celana yang nyaman. Ia berbaring, menyalakan televisi untuk menunggu kantuk.Layar kecil televisi tua di kamar Laura menyala, memancarkan cahaya biru yang menyinari wajahnya yang pucat. Berita pertunangan Reve dan Shara ditayangkan dengan gemerlap, foto mereka berdua tersenyum bahagia, dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman yang setara. Laura menatap tanpa berkedip, jantungnya berdetak pelan namun terasa berat.“Mereka sangat cocok,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku yakin dia akan membawa Reve pada kebahagiaan yang layak didapatkannya.”Tiba-tiba, ketukan keras di pintu membuatnya terkejut. Suara ketukan itu tidak seperti biasanya. Berat, tidak teratur, dan disertai suara gesekan di pintu kayu. Laura membeku sesaat, tangannya masih menggenggam remote televisi erat-erat.“Siapa, ya?” Ia bertanya pada diri s
“Laura.”Suara Reve yang dalam dan familiar itu memotong kesunyian dapur, membuat Laura menegakkan punggungnya seketika. Sendok kayu di tangannya berhenti mengaduk sup, seolah dunia berhenti berputar selama beberapa detik. Dengan jantung berdebar, ia menoleh perlahan, menemukan Reve berdiri di ambang pintu dapur, ekspresi wajahnya tak terbaca seperti biasa.“Ya, Tuan?” sahut Laura, suaranya lembut namun bergetar halus, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mendadak menyergap.Reve tak langsung menjawab. Matanya yang keabuan menyapu ruang dapur sejenak, seolah memastikan tak ada orang lain di sekitar mereka, sebelum akhirnya berfokus kembali pada Laura.“Siapkan air untukku berendam. Setelah aku selesai berendam, antarkan teh chamomile ke ruang kerjaku.” “Baik, Tuan.” Laura mengangguk patuh, menundukkan pandangannya ke lantai, menghindari kontak mata yang bisa membuatnya semakin gugup sekaligus takut.
Di luar ruangan, suara oven berbunyi menandakan kue sudah matang. Namun di dalam kamar yang pengap itu, waktu terasa berhenti. Laura memejamkan mata, air mata mengalir di pipinya. Air mata untuk harga diri yang sekali lagi direnggut, untuk tubuh yang sekali lagi diklaim tanpa izin.Dan yang paling menyakitkan, di balik rasa sakit dan penghinaan, ada bagian dirinya yang masih merespons sentuhan Reve, masih menginginkannya seperti api menginginkan oksigen.Itulah monster terbesarnya. Bukan Reve, tetapi keinginannya sendiri yang tak pernah bisa ia kendalikan.Dengan langkah anggun, Shara melangkah masuk ke dapur, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Reve, yang sejenak sebelumnya masih seperti badai yang hendak meluluhlantakkan segala sesuatu, kini telah berubah menjadi lautan yang tenang. Senyum manisnya begitu sempurna, seolah tak ada yang terjadi di balik pintu kamar kecil yang baru saja tertutup.“Kuenya baru matang, Sayang,” uj