Kamar Laura diselimuti kegelapan yang pekat, hanya diterangi lampu tidur. Ia sengaja membuka tirai jendela kamarnya, membiarkan sinar bulan pucat yang menyelinap melalui celah dari tirai dan ventilasi jendela di sana. Laura baru saja memejamkan mata, berusaha melupakan kekerasan yang berhasil dilewatinya malam kemarin.
Ketika pintu kamarnya terbuka dengan perlahan, Reve muncul seperti bayangan. Siluetnya menutupi cahaya lampu kamar yang remang-remang.Laura ingin berteriak, tetapi Reve sudah berada di atas tempat tidurnya dengan gerakan cepat yang membuat Laura semakin gemetar. Tangan Reve yang besar menutup mulut Laura, menekan dengan kuat hingga napasnya tersendat.“Jangan bersuara,” desis Reve.Suaranya serak dan gelap, seperti orang asing yang tidak dikenalnya.Dengan gerakan kasar, Reve merobek baju tidur Laura, kain flanel sederhana itu terkoyak dengan suara yang memekakkan telinga di kesunyian malam. LauraArgo mencoba membuka pintu kamar itu. Namun, Laura masih tak bergeming. Pria itu khawatir, dan mendorong paksa pintu kamar Laura.Argo membeku di ambang pintu, jantungnya serasa berhenti berdetak. Pemandangan di depan matanya membuatnya hancur. Laura berdiri telanjang di depan cermin, tubuhnya gemetar, rambut cokelatnya yang indah terpotong tidak rata dan berantakan. Di tangannya, sebilah gunting masih tergenggam erat.“Laura!” teriak Argo, suaranya pecah oleh kepanikan dan rasa sakit.Dia bergerak cepat, meraih selimut dari tempat tidur dan langsung membungkus tubuh Laura dengan erat, menariknya menjauh dari cermin dan gunting itu. Laura tidak melawan, tubuhnya lemas dan terguncang, isak tangisnya akhirnya meledak.“Argo ... Aku ... Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku,” Laura merintih, bersembunyi di pelukan Argo. “Ada suara ... suara-suara itu terus bergema di kepalaku ... suara-suara itu menyiksaku ….”Argo
Sejak proses penyembuhan Reve ditangani oleh dokter Caleb, Shara belum bertemu dengannya. Bahkan setelah jatuhnya kerajaan bisnis Thomas Dalton di pasar saham, Shara belum menemui suaminya itu.Hari itu, berbekal penasaran dan sedikit harapan, Shara memutuskan untuk mengunjungi Reve di rumah sakit Harapan Baru. Saat dua orang perawat membawanya ke ruangan Reve, Shara merasakan aira berbeda dari sosoknya.‘Sosok yang dingin itu kembali,’ pikirnya.Shara berdiri di sana, di depan Reve yang duduk dengan tenang, wajahnya terlihat lelah. Shara telah mempersiapkan dirinya untuk kemarahan, untuk penolakan, bahkan untuk kebencian dari Reve, tetapi bukan untuk hal itu. Bukan untuk sebuah kejujuran yang dingin dan tanpa emosi.“Maaf, Shara,” ucap Reve, suaranya datar, seperti pembaca berita melaporkan cuaca. “Aku tidak mencintaimu. Pernikahan kita adalah pernikahan bisnis.”“Kenapa, Reve?” Shara mencoba bertanya alasannya,
Argo berdiri di kejauhan, menyaksikan adegan itu dari balik kerumunan. Dia tidak merasa senang. Sebaliknya, ada rasa hampa yang menyesakkan dalam hatinya.Langkah yang sudah dilewatinya adalah kemenangan untuk Ana, untuk Reve, untuk Laura, dan untuk keadilan. Namun kemenangan kecil itu adalah kemenangan yang dibayar dengan harga yang sangat mahal. Cinta seorang wanita, jiwa seorang pria, dan nyawa seorang wanita yang pernah dicintainya.Argo memutar tubuhnya dan berbalik pergi, meninggalkan keributan itu. Pekerjaannya di sana sudah selesai. Sekarang, saatnya untuk menghadapi konsekuensi dari kemenangan pahit itu dan mencoba memperbaiki apa yang masih bisa dia selamatkan. Setidaknya, dia harus berada di sisi Laura.***Di sebuah ruangan yang tenang di rumah sakit jiwa Harapan Baru, Reve duduk dengan postur sedikit membungkuk. Cahaya matahari sore menyelinap melalui jendela, menerangi debu-debu yang menari pelan di udara. Suasana
Irene menyatukan dokumen-dokumen itu dengan gerakan tegas, suaranya dingin dan profesional. “Thomas. Anda bisa menyangkal semuanya. Tapi semua bukti ini jelas," katanya, menatapnya tanpa emosi. “Rantai bukti ini sudah lengkap. Anda memiliki motif, kesempatan, kekuasaan. Dan bukti-bukti yang kami dapatkan ... semuanya mengarah pada Anda.”Argo melangkah lebih dekat ke arah Thomas. Dia mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan yang penuh bara dari dendam yang selama ini dipendamnya. “Saya tidak bisa membiarkan Anda hidup tenang,” katanya, matanya membara dengan amarah yang tertahan selama bertahun-tahun, “sedangkan nama baik Ana masih tercoreng. Dia bukan pelacur rendahan. Dia adalah seorang wanita yang mencintai anak Anda, dan Anda merenggut nyawanya.”Argo berdiri tegak, menatap Thomas yang mulai goyah. “Saya bersumpah, pada jiwa Ana, bahwa saya akan selalu mengejar Anda. Di pengadilan, di penjara, bahkan sampai ke neraka sekalipun. Saya tidak akan berhe
Reve membuka matanya perlahan. Dan kali ini, bukan dengan tatapan kosong. Sebuah api menyala di kedalaman pupilnya. Api kemarahan yang terlihat lebih besar dari apa yang ada di bayangannya. Dan dia merasakan hal itu sepenuhnya miliknya.“Aku marah …” ujarnya, suaranya rendah dan bergetar, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Aku marah karena ... karena aku merasa dikhianati.”Reve menatap tangannya yang masih mengepal, seolah bisa melihat batu kemarahan itu di telapak tangannya.“Oleh siapa, Reve? Siapa yang berkhianat?” tanya Caleb dengan lembut, membimbingnya.Reve menggeleng, frustrasi karena tidak bisa memberitahu nama seseorang atau hal apa yang membuatnya merasa dikhianati dan marah. “Aku tidak tahu! Tapi … rasanya seperti ... seperti ada yang mengambil sesuatu dariku. Sesuatu yang sangat berharga.” Dia menatap Caleb, matanya penuh penderitaan. “Seperti ada yang masuk ke kepalaku dan ... mencuri diriku.”
Caleb menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Reve, menciptakan ruang yang lebih intim di dalam ruang interogasi yang steril dari orang selain Argo dan Irene. Suaranya lembut, seperti seorang teman yang siap menjadi pendengar untuk cerita Reve.“Baiklah, Reve. Mari kita tinggalkan foto ini untuk sementara,” ujarnya, dengan sengaja menggeser foto Ana ke samping. “Mari kita fokus pada Laura. Katakan padaku tentang dia. Apa hal pertama yang muncul di pikiranmu ketika mendengar namanya?”Reve menutup matanya, dahinya berkerut. Sebuah gambaran samar muncul. Sebuah senyuman, tawa yang berderai, perasaan hangat yang tiba-tiba menyergapnya, diikuti oleh rasa sakit yang tajam di kepalanya. Dia mengerang.“Itu ... rasanya kepalaku sakit,” gumamnya, tangannya menekan pelipisnya.“Sakit itu biasa, Reve,” Caleb membimbing dengan tenang. “Itu sering kali terjadi saat kau sedang dalam mode pertahanan. Otakmu sedang berusaha bertahan. Coba l