Reve memasang dasinya sedangkan Laura masih sibuk mendandani anak perempuan mereka.
“Sudah selesai belum? Ayah harus segera ke kantor,” kata Reve. “Tunggu, Ayah. Ibu sedang membuat kepang di rambutku,” gadis kecil yang usianya empat tahun lima bulan itu protes. Laura tertawa. “Tunggu sebentar lagi, Ayah. Michelle tidak akan lama.” °°° Senyum masih mengembang di bibir Reve saat matanya terbuka. Untuk beberapa detik, ia masih merasakan kehangatan imajiner dari adegan mimpi yang baru saja dialaminya itu. Tawa Laura yang jernih, tangan kecil anak perempuan mereka yang memegangi jarinya, dan perasaan menjadi keluarga yang utuh. Namun kemudian, realitas kembali menghentakkan mimpinya ke dasar. Kamar hotelnya yang mewah terasa sunyi dan dingin. Tidak ada Laura yang sedang mengepang rambut putri mereka. Tidak ada Michelle—putri mereka yang cerewet memprotes. Hanya kesendirian yang menusuk, dan bau alkohol yang masih menyengat dari botol yang berserak di lantai. Reve duduk di tempat tidur, tangannya yang gemetar meraih foto di meja samping—foto Laura yang diambil diam-diam saat gadis itu sedang tertawa di kebun belakang. Foto yang dicetaknya diam-diam untuk pelampiasan perasaan yang tak dimengertinya. Jari-jarinya menelusuri wajah Laura di dalam foto, seolah bisa menyentuh bayangan gadis itu yang tak berada di sisinya. “Laura,” bisiknya, suaranya serak karena mabuk dan penyesalan. Dia terjatuh dari tempat tidur, berjalan terhuyung ke kamar mandi. Air dingin yang ia guyurkan ke wajahnya tidak bisa menghapus kenangan mimpi itu. Mimpi yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan, dan terlalu menyakitkan untuk dilupakan. Di cermin, ia melihat bayangan seorang lelaki dengan mata merah dan wajah yang terlihat berantakan. Lelaki yang telah kehilangan segalanya karena ego dan kesombongannya sendiri. “Kau pantas menderita,” katanya pada bayangannya sendiri. “Kau pantas merasakan kesepian ini selamanya.” Dia meraih handuk dan mengeringkan wajahnya dengan kasar, berusaha mengusir bayangan keluarga yang tidak akan pernah ia miliki. Namun di dalam hatinya, Reve berharap mimpinya tadi bukanlah sebuah kutukan terbesar, karena itu mengingatkannya pada segala sesuatu yang bisa ia dapatkan, tetapi dengan bodoh ia hancurkan. Dan pagi itu, Reve tidak pergi ke kantor. Dia hanya duduk di lantai kamar mandi, menatap foto Laura yang basah oleh air dari shower head dan matanya sendiri. Seorang lelaki yang memiliki segalanya, tetapi kehilangan satu-satunya hal yang benar-benar berarti. Reve masih terduduk di lantai kamar mandi, tubuhnya bersandar pada wastafel marmer yang dingin. Foto Laura masih tergenggam erat di tangannya, sudutnya sudah lembap oleh keringat dan mungkin air mata. Ia mengangkat kepala, matanya merah dan bingung, seolah baru tersadar dari alam pikirannya yang dalam. Ketukan yang berirama dan tak tergesa-gesa terdengar di pintu kamar hotel suite-nya setelah ia kembali dengan rambut basah dan tubuh telanjangnya, duduk di kamar hotelnya itu. Suara Gerald yang tenang namun penuh wibawa menyusul, memotong kesunyian yang menyelimuti Reve. “Tuan Muda? Ini Gerald. Saya datang untuk mengingatkan jadwal makan siang Anda dengan Nona Shara dalam tiga puluh menit lagi.” “Tuan Muda,” Gerald mengetuk sekali lagi, nada suaranya sedikit berubah, mulai menunjukkan kekhawatiran. Reve berdiri dengan gemetar, memakai kemejanya yang kusut. Ia menatap dirinya di cermin. Wajah pucat, mata berkantung, dan aura berantakan. Dengan napas berat, ia berjalan ke pintu dan membukanya. Gerald berdiri di sana, rapi dalam setelan jasnya, tatapannya profesional namun tajam. Matanya dengan cepat menyapu kondisi Reve, dan sedikit kerutan muncul di dahinya. “Apakah Anda baik-baik saja, Tuan Muda? Anda terlihat ... tidak sehat.” “Aku baik-baik saja,” jawab Reve pendek, suaranya serak. “Beri aku waktu sepuluh menit.” Gerald mengangguk, tetapi matanya masih waspada. “Nona Shara sudah menunggu di lobi. Dia sangat menantikan makan siang ini. Katanya ada yang ingin didiskusikan tentang acara pertunangan kalian nanti.” Reve menghela napas, rasa mual tiba-tiba menyerangnya. Pertunangan. Shara. Merger perusahaan. Semuanya terasa seperti beban yang menghimpit dadanya. “Katakan padanya aku akan segera turun,” ucap Reve sambil menutup pintu perlahan. Gerald dengan segera berlalu dari depan kamar hotel Reve. Dia berbalik dan kembali ke cermin, berusaha menyusun kembali dirinya. menyisir rambut, mengikat dasi, menyemprotkan parfum untuk menutupi sisa bau alkohol. Namun yang ia lihat di cermin tetaplah sama. Seorang lelaki yang terjebak dalam kehidupan yang tidak ia inginkan. Saat ia berjalan keluar, foto Laura ia simpan kembali ke dalam saku jasnya, tepat di atas dada kirinya. Sebuah pengingat diam-diam bahwa di tengah semua kemewahan dan kepalsuan ini, ada satu hal nyata yang pernah ia miliki, sekaligus telah ia hancurkan dengan tangannya sendiri. Dan hari itu, seperti hari-hari lainnya, ia harus memainkan perannya. Reve yang sempurna untuk calon istrinya, sementara jiwa nya tetap terperangkap dalam mimpi tentang seorang gadis rendahan yang ditawannya di dalam rumah megahnya. Gadis bernama Laura dan kehidupan yang tidak pernah menjadi milik mereka. ***Argo terkejut, tetapi segera mengubah rute laju mobilnya. Reve menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam kelelahan dan konflik batin. Alasan yang ia berikan pada Shara memang mulia. Namun alasan sebenarnya adalah, d ia tidak bisa membayangkan berbagi ranjang dengan siapapun saat pikiran dan hatinya masih dipenuhi oleh Laura.Mobil yang dikemudian Argo berbelok ke rumah megah itu, berhenti di garasi. Reve buru-buru keluar dari mobil. Tanpa mengucapkan kata-kata apa pun, ia meninggalkan Argo yang masih kebingungan dengan sikap tuannya yang tampak berbeda.Lorong yang sunyi itu terasa begitu panjang dan dingin. Reve berdiri di depan kamar Laura. Kamar di sisi dapur. Kamarnya yang sederhana, terlihat tanpa cahaya.Reve bertanya dalam hati bagaimana Laura akan menatapnya setelah malam itu. Namun, aroma sabun cuci yang biasa melekat pada Laura masih tersisa, membuatnya yakin jika Laura berada di dalam kamarnya.Dengan tubuh
Usai makan siang bersama itu, Shara mengajak Reve menuju butik untuk memilih gaun pernikahan mereka. Butik pernikahan yang eksklusif terasa sunyi meski dipenuhi gaun-gaun mewah yang berkilauan di bawah lampu kristal. Shara dengan semangat memilih-milih koleksi gaun pengantin, sementara Reve berdiri di dekat pintu, tangannya berada di saku celana.“Reve, Sayang, lihat yang ini!” seru Shara sambil mengangkat gaun berenda payet yang memantulkan cahaya. “Desainer gaun ini khusus terbang dari Paris kemarin. Apa menurutmu ini cocok untukku?”Reve mengangguk tanpa antusiasme, matanya kosong. “Ya, bagus. Pakai itu saja.” Shara mengerutkan kening, meletakkan gaun itu dengan sedikit kesal. “Kau bahkan tidak melihatnya, Reve. Ini penting bagiku. Bagi kita. Karena ini untuk pernikahan kita.”Dia mendekati Reve, tangannya yang halus meraih lengan Reve. Shara mencoba menenangkan dengan bertanya dalam nada lembut. “Ada apa? Kau sudah aneh se
Reve memasang dasinya sedangkan Laura masih sibuk mendandani anak perempuan mereka.“Sudah selesai belum? Ayah harus segera ke kantor,” kata Reve.“Tunggu, Ayah. Ibu sedang membuat kepang di rambutku,” gadis kecil yang usianya empat tahun lima bulan itu protes.Laura tertawa. “Tunggu sebentar lagi, Ayah. Michelle tidak akan lama.”°°°Senyum masih mengembang di bibir Reve saat matanya terbuka. Untuk beberapa detik, ia masih merasakan kehangatan imajiner dari adegan mimpi yang baru saja dialaminya itu. Tawa Laura yang jernih, tangan kecil anak perempuan mereka yang memegangi jarinya, dan perasaan menjadi keluarga yang utuh.Namun kemudian, realitas kembali menghentakkan mimpinya ke dasar.Kamar hotelnya yang mewah terasa sunyi dan dingin. Tidak ada Laura yang sedang mengepang rambut putri mereka. Tidak ada Michelle—putri mereka yang cerewet memprotes. Hanya kesendirian yang menusuk, dan
Kamar Laura diselimuti kegelapan yang pekat, hanya diterangi lampu tidur. Ia sengaja membuka tirai jendela kamarnya, membiarkan sinar bulan pucat yang menyelinap melalui celah dari tirai dan ventilasi jendela di sana. Laura baru saja memejamkan mata, berusaha melupakan kekerasan yang berhasil dilewatinya malam kemarin.Ketika pintu kamarnya terbuka dengan perlahan, Reve muncul seperti bayangan. Siluetnya menutupi cahaya lampu kamar yang remang-remang.Laura ingin berteriak, tetapi Reve sudah berada di atas tempat tidurnya dengan gerakan cepat yang membuat Laura semakin gemetar. Tangan Reve yang besar menutup mulut Laura, menekan dengan kuat hingga napasnya tersendat.“Jangan bersuara,” desis Reve.Suaranya serak dan gelap, seperti orang asing yang tidak dikenalnya.Dengan gerakan kasar, Reve merobek baju tidur Laura, kain flanel sederhana itu terkoyak dengan suara yang memekakkan telinga di kesunyian malam. Laura
Malam itu, setelah melewati pekerjaan yang sama, Laura membersihkan diri lalu mengganti seragam kerjanya dengan kaus dan celana yang nyaman. Ia berbaring, menyalakan televisi untuk menunggu kantuk.Layar kecil televisi tua di kamar Laura menyala, memancarkan cahaya biru yang menyinari wajahnya yang pucat. Berita pertunangan Reve dan Shara ditayangkan dengan gemerlap, foto mereka berdua tersenyum bahagia, dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman yang setara. Laura menatap tanpa berkedip, jantungnya berdetak pelan namun terasa berat.“Mereka sangat cocok,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku yakin dia akan membawa Reve pada kebahagiaan yang layak didapatkannya.”Tiba-tiba, ketukan keras di pintu membuatnya terkejut. Suara ketukan itu tidak seperti biasanya. Berat, tidak teratur, dan disertai suara gesekan di pintu kayu. Laura membeku sesaat, tangannya masih menggenggam remote televisi erat-erat.“Siapa, ya?” Ia bertanya pada diri s
“Laura.”Suara Reve yang dalam dan familiar itu memotong kesunyian dapur, membuat Laura menegakkan punggungnya seketika. Sendok kayu di tangannya berhenti mengaduk sup, seolah dunia berhenti berputar selama beberapa detik. Dengan jantung berdebar, ia menoleh perlahan, menemukan Reve berdiri di ambang pintu dapur, ekspresi wajahnya tak terbaca seperti biasa.“Ya, Tuan?” sahut Laura, suaranya lembut namun bergetar halus, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mendadak menyergap.Reve tak langsung menjawab. Matanya yang keabuan menyapu ruang dapur sejenak, seolah memastikan tak ada orang lain di sekitar mereka, sebelum akhirnya berfokus kembali pada Laura.“Siapkan air untukku berendam. Setelah aku selesai berendam, antarkan teh chamomile ke ruang kerjaku.” “Baik, Tuan.” Laura mengangguk patuh, menundukkan pandangannya ke lantai, menghindari kontak mata yang bisa membuatnya semakin gugup sekaligus takut.