LOGINReve melepaskannya dengan gerakan tiba-tiba, seolah baru menyadari apa yang telah dilakukannya. Tubuh Laura yang lemas nyaris terjatuh ke lantai marmer yang basah sebelum akhirnya ia berpegangan pada dinginnya dinding. Reve sudah membelakanginya, melangkah ke dalam bathtub air hangat yang masih beruap, menyelam seolah ingin membersihkan keringat atau mungkin rasa kotor yang membuatnya jijik.
“Pergilah dari kamarku,” suaranya berat, terdistorsi oleh uap dan keengganan. “Ganti pakaianmu dengan pakaian kering. Kau bisa masuk angin.” Kata-kata itu seharusnya terdengar perhatian, tetapi nada di baliknya membuat Laura gemetar. Itu bukan kekhawatiran, melainkan perintah dari seorang tuan yang baru saja mengingatkan statusnya sebagai pelayan rendahan di rumah megah itu. Dengan kaki yang lemas dan masih gemetar, Laura terayun keluar dari kamar mandi. Seragam basahnya menempel di kulit, membentuk siluet yang memicu bisik-bisik. Setiap langkahnya di koridor yang megah terasa seperti perjalanan hukuman. Tatapan asisten rumah tangga lainnya membakarnya. Beberapa dari mereka menatap penuh kasihan, sebagian besar dengan pandangan jijik yang tak tersembunyi. Mereka melihat jejak air di lantai, baju yang terbuka sebagian, dan wajahnya yang masih memerah. ‘Mereka pikir aku meminta ini,’ pikir Laura, membuatnya menunduk lebih dalam. ‘Mereka pikir aku menginginkannya.’ Namun di balik semua itu, yang paling menyakitkan adalah suara kecil di kepalanya yang berbisik. ‘Bukankah kau memang merespons? Bukankah ada bagian dari dirimu yang terbangun dan berhasrat padanya?’ Namun, ia tetap harus bertahan. Rumah itu, sekeras apa pun ia berada di dalamnya, adalah tangga satu-satunya menjauh dari kehidupan lamanya. Dari kenangan buruk tangan kasar paman yang berdalih di balik kalimat tidak sengaja, dari bau alkohol yang menyengat, dari rasa lapar yang terus menggerogoti. ‘Aku harus bertahan di sini. Setidaknya aku masih memiliki mahkotaku. Itu cukup. Dia tidak akan berani lebih jauh. Aku yakin itu.’ Laura menguatkan diri, menggigit bibir sampai berdarah. ‘Hanya ini satu-satunya pekerjaan untuk membuat hidupku lebih baik. Aku tak akan kembali ke kehidupan lamaku. Tidak akan.’ Pintu kamarnya yang kecil dan sederhana akhirnya tertutup di belakangnya. Laura bersandar di sana, menghirup dalam-dalam udara yang sesak tetapi di sisi lain, bebas dari wewangian Reve. Di cermin kecil di atas wastafel, ia melihat bayangan seorang wanita dengan mata kosong dan baju basah yang sebagian kancingnya terlepas, masih terbuka. Dengan gemetar, ia mulai melepas pakaiannya yang basah. Lapisan demi lapisan perlindungan yang ternyata tidak bisa melindunginya dari bahaya yang justru datang dari dalam rumah itu. Rumah tempatnya berusaha berdiri di kaki sendiri. Laura menutup mata. Bertahan. Itu satu-satunya kata yang tersisa. Namun berapa lama lagi tembok pertahanannya bisa bertahan sebelum akhirnya runtuh sepenuhnya? *** Langkah Laura terhenti di tengah koridor yang sunyi ketika suara bass Reve yang khas menggema, memanggilnya kembali ke realitas yang ia coba lupakan. “Laura.” “Ya, Tuan?” jawabnya, berbalik dengan jantung berdebar tidak karuan. Reve meletakkan tabletnya dengan gerakan kasar di meja. “Kemarilah!” Dengan langkah tertatih, Laura mendekat, setiap inci menjauh dari pintu kamarnya terasa seperti pengorbanan. “Ada yang bisa saya lakukan untuk Anda, Tuan?” “Buatkan aku teh chamomile,” perintahnya, jari-jarinya menekan pelipisnya yang tampak tegang. “Aku butuh sesuatu untuk menenangkan pikiran.” “Baik, Tuan,” Laura mengangguk, berbalik untuk segera melaksanakan tugasnya. Untuk segera melarikan diri dari sana. Namun sebelum ia bisa mengambil langkah ketiga, seorang pria berjas hitam rapi dengan kacamata itu melangkah melewatinya, aromanya adalah campuran dokumen hukum dan keseriusan. Laura memeluk pinggir koridor, berusaha menjadi tidak terlihat, tetapi telinganya menangkap pecahan percakapan yang membuat darahnya membeku. “... pembicaraan dengan keluarga Shara sudah final. Kontrak merger akan ditandatangani bersamaan dengan acara pertunangan,” suara pria itu datar. Sangat profesional. Reve menghela napas, suaranya rendah tapi cukup jelas untuk didengar Laura. “Pastikan acaranya tertutup untuk media. Aku tidak ingin ada kebocoran sebelum waktunya.” “Tentu, Pak. Semua sudah diatur sesuai keinginan Anda ... dan keinginan calon mertua Anda.” Laura berjalan menjauh, kakinya terasa seperti diisi beton. Setiap langkahnya menjauh dari Reve terasa seperti menarik diri dari pusaran yang hampir menelannya hidup-hidup. Di dapur, tangannya dengan cekatan menyiapkan teh chamomile, bunga kering yang direndam air panas, persis seperti nasibnya yang tenggelam dalam bahaya yang ia pilih sendiri. Ketika ia kembali dengan nampan, Reve sudah kembali sendiri. Matanya mengikuti setiap gerakan Laura saat menuangkan teh, seolah mencari sesuatu. Sebuah penyesalan, atau mungkin keberanian. Namun Laura kembali mengenakan topengnya lagi. Topeng pelayan yang patuh, yang tidak mendengar, yang tidak peduli. Karena itulah satu-satunya cara untuk bertahan di istana indah yang ternyata adalah kandang berlapis emas. Dan ketika Reve menerima cangkir tanpa menyentuh jarinya, Laura tahu, permainan itu akan berlanjut. Dan ia masih harus memutuskan apakah akan menjadi pemain atau sekadar bidak yang suatu hari akan dikorbankan. ‘Dia akan bertunangan,’ batin Laura. Melihat perempuan itu masih berada di dekatnya saat pikirannya kacau membuat Reve tak bisa menahan dirinya. Suara Reve menggelegar seperti guntur di tengah kesunyian koridor yang megah. “Apa kau ingin aku mengusirmu?” Laura membeku, setiap otot di tubuhnya mengencang. Pertanyaan itu menggantung di antara mereka seperti pisau yang diayunkan. “Tidak, Tuan,” jawabnya, suaranya nyaris tak terdengar. “Saya akan kembali ke dapur.” Dia berbalik, berusaha melarikan diri dari ketegangan yang hampir membuatnya patah. Napasnya terasa sesak dalam dadanya, setiap langkah terasa seperti menginjak pecahan kaca. Namun sebelum dia bisa mengambil langkah kelima, Reve sudah bergerak. Dengan kecepatan yang tak terduga, lengannya yang kekar melingkari pinggang Laura, menariknya kembali dengan kasar hingga punggungnya menempel ke dada Reve. Panas tubuhnya membakar melalui seragam Laura, mengingatkannya pada betapa rapuhnya jarak antara mereka. “Kau pikir kau bisa lari semudah itu?” desis Reve di telinganya, napasnya hangat. “Apa kau selalu lari setiap kali kau merasa takut?” Laura mencoba melepaskan diri, tetapi cengkeraman Reve terlalu kuat. “Tuan, tolong ….” Reve melayangkan sebuah tamparan ke pipi kirinya tiba-tiba. Membuat Laura tersentak dan tak bisa mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Ia terduduk. Sambil memegangi pipinya, Laura berusaha untuk kembali berdiri. Dan lengan Reve memaksanya berdiri dengan kasar. “Tolong apa?” Reve memutarnya hingga mereka berhadapan, tangannya sekarang menahan kedua lengan Laura. “Tolong berhenti membuatku jadi gila? Atau tolong jangan mengingatkanmu bahwa kau bukan siapa-siapa di rumah ini tanpa izinku?” Mata Laura berkaca-kaca, tetapi dia tidak menangis. “Saya tahu tempat saya, Tuan.” “Benarkah?” Reve mendekatkan wajahnya, hingga hidung mereka hampir bersentuhan. “Karena dari caramu memandangku, sepertinya kau lupa.” Dengan gerakan kasar, Reve menepis tubuh Laura dengan kasar. Laura beruntung lututnya menyentuh karpet, meski rasa sakit di pipinya membuatnya sangat ingin berteriak. Di kejauhan, langkah kaki terdengar mendekat. Namun Reve tidak menghiraukannya. Dia hanya berdiri di sana, memandangi Laura seperti kolektor yang memandangi barang buruannya. Sementara dunia di sekitar mereka terus berputar, tak peduli pada drama yang terjadi di koridor marmer yang dingin itu. ‘Bertahan, Laura. Kau kuat. Ini semua demi masa depanmu,’ batin Laura menguatkan diri. ***Di kantornya yang sudah sepi. Hanya lampu meja Laura yang masih menyala, menerangi sketsa-sketsa digital di layar komputernya. Kyle muncul dari balik pintu ruang kerjanya, wajahnya tampak lebih serius dari biasanya. Dia mendekati meja Laura. “Laura,” suara Kyle memenuhi ruangan. Suaranya membuat Laura menoleh dari layar. “Ya?” Kyle berhenti di samping mejanya, tidak duduk. Ada ketegangan yang berbeda di udara, bukan seperti atasan dan bawahan, tapi seperti dua orang yang terhubung oleh masa lalu yang rumit. “Kau tahu status kita sebenarnya ‘kan?” Kyle berhenti, seolah menimbang kata-katanya. “Kenapa kau tidak ingin kembali?” Laura menutup tabletnya. Dia tahu pertanyaan ini akan datang, cepat atau lambat. Dia menarik napas. “Tidak.” Jawabannya tegas. “Aku tidak ingin terlibat lebih jauh dengan keluargamu, Kyle.” Kyle mengerutkan kening. “Tapi kau juga keluarga kami. Selama bertahun-tahun, ibuku memperlakukanmu seperti anaknya sendiri.” Kenangan itu menyakitkan. Laura memandang l
Suasana di klinik Dylan yang biasanya tenang dan steril, pagi itu pecah oleh kehadiran yang tak terduga. Reve berdiri di ruang konsultasi, memakai kemeja sederhana yang menyembunyikan sebagian besar luka-lukanya, meski balutan di kepala masih terlihat. Wajahnya masih sedikit pucat, tetapi sorot matanya sudah kembali tajam dan penuh kehidupan. Saat Dylan memasuki ruangan, secangkir kopi di tangannya hampir terjatuh. Matanya membelalak, seolah melihat hantu. Dia tertegun, tak mampu berkata-kata. Reve tersenyum, mengulurkan tangannya. “Hai, Bro. Sudah lama.” Dylan perlahan mendekat, masih tak percaya. Dia menjabat tangan Reve dengan kuat, seakan memastikan bahwa Reve di depannya adalah nyata. “Bro ... ini benar-benar kamu? Bukannya kamu .....” Suara Dylan tercekat. Selama ini, seperti semua orang, dia percaya Reve telah tiada. Reve tertawa pelan, ada sedikit keringanan di nadanya. “Kau k
Reve mengangguk, air mata akhirnya mengalir. “Ya. Dan aku tahu, alasan apa pun tidak akan pernah cukup. Aku tidak memintamu untuk memaafkanku sekarang. Aku hanya ... ingin kau tahu kebenarannya.”Laura diam sejenak. Lalu, perlahan, dia melepaskan tangannya dari genggaman Reve, dan justru meraih wajah Reve, memaksanya menatap matanya.“Aku marah. Aku sangat terluka. Tapi …” kata Laura.Dia menarik napas dalam-dalam, “Aku juga mengerti. Dan aku masih mencintaimu, Reve. Mungkin itu yang paling menyakitkan dari semua ini.”Di sanalah, di ruangan yang dipenuhi oleh bayangan masa lalu dan luka, sebuah awal yang baru mulai tumbuh. Bukan dari pengampunan yang terjadi begitu saja, tetapi dari kejujuran yang akhirnya terungkap.Dan cinta yang ternyata mampu bertahan bahkan di balik kepalsuan dan pengorbanan yang paling menyakitkan sekalipun.Reve tiba-tiba saja tersedu-sedu. “Aku menyesal karena kita harus keh
Kain perban putih membalut rapi luka di kepala Reve, menjadi kontras yang mencolok dengan wajahnya yang masih dipenuhi debu dan noda darah kering. Laura tidak bisa mengalihkan pandangannya dari balutan itu, setiap helai kain putih mengingatkannya pada resiko yang baru saja diambil Reve untuknya.Dia menggenggam tangan Reve yang tidak terluka, mengangkatnya, dan meletakkan sebuah ciuman lembut di atas buku-buku jarinya. Air mata masih menggenang di matanya, namun kali ini bukan karena ketakutan, melainkan karena rasa syukur yang sangat dalam.Laura berbicara dengan suara serak penuh emosi. “Terima kasih, Reve ... terima kasih.”Ucapan itu diulanginya berkali-kali, seolah-olah kata-kata lain sudah tidak cukup. Namun, di balik rasa syukur itu, sebuah pertanyaan besar dan menyakitkan akhirnya mencuat. Pertanyaan yang telah menggerogoti pikirannya sejak tahu Reve masih hidup.Laura menatap Reve, matanya memancarkan kebingungan dan k
Reve menatap detonator itu, darahnya kembali membeku. Gerry sudah mempersiapkan segalanya, sampai ke skenario terburuk ini. Dia terjebak di dalam jebakan.Sekarang, pilihannya bukan lagi tentang pengakuan atau saham. Ini tentang hidup dan mati mereka semua.Waktu seakan melambat. Lampu merah detonator di tangan Alistair berkedip seperti mata iblis yang menantang. Percakapan, ancaman, teriakan, semuanya memudar menjadi desisan putih di telinga Reve. Hanya ada satu tujuan yang harus dilakukannya. Menyelamatkan Laura.Dengan lesatan tenaga yang memuncak, Reve melesat maju. Bukan ke arah Gerry, tetapi melintasi ruangan dengan kecepatan angin, langsung menuju kursi tempat Laura terikat. Tendangannya yang kuat dan terarah menghantam bahu salah seorang preman yang menjaga Laura, membuatnya terlempar.Gerry berteriak. “Jangan!”Namun sudah terlambat. Reve tidak peduli dengan detonator, tidak peduli dengan tembakan yang mu
“Gerry …” bisik Reve.Gerry Crane. Mantan partner bisnisnya. Orang yang pernah dia anggap saudara, sebelum pengkhianatan itu. Wajah yang dulu selalu dihiasi senyum ramah itu sekarang dingin dan tajam seperti pisau. Matanya, yang dulu penuh semangat, kini kosong dan penuh perhitungan.“Sudah lama, Reve. Atau harusnya aku memanggilmu ‘saudara’?” ucap Gerry dengan sarkasme yang menusuk. “Tapi, kita bukan saudara lagi, bukan? Bukan sejak kau memilih untuk menyelamatkan perusahaan itu dan membiarkanku jatuh.”“Itu bukan pilihan, Gerry. Kau yang menggelapkan dana, kau yang mengambil risiko gila! Aku menyelamatkan apa yang tersisa!” bantah Reve.Gerry mengangkat tangan, menghentikan sanggahan Reve. “Dan hasilnya? Aku kehilangan segalanya. Reputasi, kekayaan, bahkan keluargaku.” Tatapannya beralih ke Laura yang terduduk tak berdaya. “Sekarang, aku akan mengambil sesuatu yang paling berharga darimu. Seperti yang kau lakuk







