Share

Bab 3

Author: Mita Yoo
last update Huling Na-update: 2025-08-10 12:30:34

Reve melepaskannya dengan gerakan tiba-tiba, seolah baru menyadari apa yang telah dilakukannya. Tubuh Laura yang lemas nyaris terjatuh ke lantai marmer yang basah sebelum akhirnya ia berpegangan pada dinginnya dinding. Reve sudah membelakanginya, melangkah ke dalam bathtub air hangat yang masih beruap, menyelam seolah ingin membersihkan keringat atau mungkin rasa kotor yang membuatnya jijik.

“Pergilah dari kamarku,” suaranya berat, terdistorsi oleh uap dan keengganan. “Ganti pakaianmu dengan pakaian kering. Kau bisa masuk angin.”

Kata-kata itu seharusnya terdengar perhatian, tetapi nada di baliknya membuat Laura gemetar. Itu bukan kekhawatiran, melainkan perintah dari seorang tuan yang baru saja mengingatkan statusnya sebagai pelayan rendahan di rumah megah itu.

Dengan kaki yang lemas dan masih gemetar, Laura terayun keluar dari kamar mandi. Seragam basahnya menempel di kulit, membentuk siluet yang memicu bisik-bisik. Setiap langkahnya di koridor yang megah terasa seperti perjalanan hukuman. Tatapan asisten rumah tangga lainnya membakarnya. Beberapa dari mereka menatap penuh kasihan, sebagian besar dengan pandangan jijik yang tak tersembunyi. Mereka melihat jejak air di lantai, baju yang terbuka sebagian, dan wajahnya yang masih memerah.

‘Mereka pikir aku meminta ini,’ pikir Laura, membuatnya menunduk lebih dalam. ‘Mereka pikir aku menginginkannya.’

Namun di balik semua itu, yang paling menyakitkan adalah suara kecil di kepalanya yang berbisik.

‘Bukankah kau memang merespons? Bukankah ada bagian dari dirimu yang terbangun dan berhasrat padanya?’

Namun, ia tetap harus bertahan. Rumah itu, sekeras apa pun ia berada di dalamnya, adalah tangga satu-satunya menjauh dari kehidupan lamanya. Dari kenangan buruk tangan kasar paman yang berdalih di balik kalimat tidak sengaja, dari bau alkohol yang menyengat, dari rasa lapar yang terus menggerogoti.

‘Aku harus bertahan di sini. Setidaknya aku masih memiliki mahkotaku. Itu cukup. Dia tidak akan berani lebih jauh. Aku yakin itu.’ Laura menguatkan diri, menggigit bibir sampai berdarah.

‘Hanya ini satu-satunya pekerjaan untuk membuat hidupku lebih baik. Aku tak akan kembali ke kehidupan lamaku. Tidak akan.’

Pintu kamarnya yang kecil dan sederhana akhirnya tertutup di belakangnya. Laura bersandar di sana, menghirup dalam-dalam udara yang sesak tetapi di sisi lain, bebas dari wewangian Reve. Di cermin kecil di atas wastafel, ia melihat bayangan seorang wanita dengan mata kosong dan baju basah yang sebagian kancingnya terlepas, masih terbuka.

Dengan gemetar, ia mulai melepas pakaiannya yang basah. Lapisan demi lapisan perlindungan yang ternyata tidak bisa melindunginya dari bahaya yang justru datang dari dalam rumah itu. Rumah tempatnya berusaha berdiri di kaki sendiri.

Laura menutup mata. Bertahan. Itu satu-satunya kata yang tersisa. Namun berapa lama lagi tembok pertahanannya bisa bertahan sebelum akhirnya runtuh sepenuhnya?

***

Langkah Laura terhenti di tengah koridor yang sunyi ketika suara bass Reve yang khas menggema, memanggilnya kembali ke realitas yang ia coba lupakan. “Laura.”

“Ya, Tuan?” jawabnya, berbalik dengan jantung berdebar tidak karuan.

Reve meletakkan tabletnya dengan gerakan kasar di meja. “Kemarilah!”

Dengan langkah tertatih, Laura mendekat, setiap inci menjauh dari pintu kamarnya terasa seperti pengorbanan. “Ada yang bisa saya lakukan untuk Anda, Tuan?”

“Buatkan aku teh chamomile,” perintahnya, jari-jarinya menekan pelipisnya yang tampak tegang. “Aku butuh sesuatu untuk menenangkan pikiran.”

“Baik, Tuan,” Laura mengangguk, berbalik untuk segera melaksanakan tugasnya. Untuk segera melarikan diri dari sana.

Namun sebelum ia bisa mengambil langkah ketiga, seorang pria berjas hitam rapi dengan kacamata itu melangkah melewatinya, aromanya adalah campuran dokumen hukum dan keseriusan. Laura memeluk pinggir koridor, berusaha menjadi tidak terlihat, tetapi telinganya menangkap pecahan percakapan yang membuat darahnya membeku.

“... pembicaraan dengan keluarga Shara sudah final. Kontrak merger akan ditandatangani bersamaan dengan acara pertunangan,” suara pria itu datar. Sangat profesional.

Reve menghela napas, suaranya rendah tapi cukup jelas untuk didengar Laura. “Pastikan acaranya tertutup untuk media. Aku tidak ingin ada kebocoran sebelum waktunya.”

“Tentu, Pak. Semua sudah diatur sesuai keinginan Anda ... dan keinginan calon mertua Anda.”

Laura berjalan menjauh, kakinya terasa seperti diisi beton. Setiap langkahnya menjauh dari Reve terasa seperti menarik diri dari pusaran yang hampir menelannya hidup-hidup. Di dapur, tangannya dengan cekatan menyiapkan teh chamomile, bunga kering yang direndam air panas, persis seperti nasibnya yang tenggelam dalam bahaya yang ia pilih sendiri.

Ketika ia kembali dengan nampan, Reve sudah kembali sendiri. Matanya mengikuti setiap gerakan Laura saat menuangkan teh, seolah mencari sesuatu. Sebuah penyesalan, atau mungkin keberanian.

Namun Laura kembali mengenakan topengnya lagi. Topeng pelayan yang patuh, yang tidak mendengar, yang tidak peduli. Karena itulah satu-satunya cara untuk bertahan di istana indah yang ternyata adalah kandang berlapis emas.

Dan ketika Reve menerima cangkir tanpa menyentuh jarinya, Laura tahu, permainan itu akan berlanjut. Dan ia masih harus memutuskan apakah akan menjadi pemain atau sekadar bidak yang suatu hari akan dikorbankan.

‘Dia akan bertunangan,’ batin Laura.

Melihat perempuan itu masih berada di dekatnya saat pikirannya kacau membuat Reve tak bisa menahan dirinya. Suara Reve menggelegar seperti guntur di tengah kesunyian koridor yang megah. “Apa kau ingin aku mengusirmu?”

Laura membeku, setiap otot di tubuhnya mengencang. Pertanyaan itu menggantung di antara mereka seperti pisau yang diayunkan.

“Tidak, Tuan,” jawabnya, suaranya nyaris tak terdengar. “Saya akan kembali ke dapur.”

Dia berbalik, berusaha melarikan diri dari ketegangan yang hampir membuatnya patah. Napasnya terasa sesak dalam dadanya, setiap langkah terasa seperti menginjak pecahan kaca.

Namun sebelum dia bisa mengambil langkah kelima, Reve sudah bergerak. Dengan kecepatan yang tak terduga, lengannya yang kekar melingkari pinggang Laura, menariknya kembali dengan kasar hingga punggungnya menempel ke dada Reve. Panas tubuhnya membakar melalui seragam Laura, mengingatkannya pada betapa rapuhnya jarak antara mereka.

“Kau pikir kau bisa lari semudah itu?” desis Reve di telinganya, napasnya hangat.

“Apa kau selalu lari setiap kali kau merasa takut?”

Laura mencoba melepaskan diri, tetapi cengkeraman Reve terlalu kuat. “Tuan, tolong ….”

Reve melayangkan sebuah tamparan ke pipi kirinya tiba-tiba. Membuat Laura tersentak dan tak bisa mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Ia terduduk.

Sambil memegangi pipinya, Laura berusaha untuk kembali berdiri. Dan lengan Reve memaksanya berdiri dengan kasar.

“Tolong apa?” Reve memutarnya hingga mereka berhadapan, tangannya sekarang menahan kedua lengan Laura. “Tolong berhenti membuatku jadi gila? Atau tolong jangan mengingatkanmu bahwa kau bukan siapa-siapa di rumah ini tanpa izinku?”

Mata Laura berkaca-kaca, tetapi dia tidak menangis. “Saya tahu tempat saya, Tuan.”

“Benarkah?” Reve mendekatkan wajahnya, hingga hidung mereka hampir bersentuhan. “Karena dari caramu memandangku, sepertinya kau lupa.”

Dengan gerakan kasar, Reve menepis tubuh Laura dengan kasar. Laura beruntung lututnya menyentuh karpet, meski rasa sakit di pipinya membuatnya sangat ingin berteriak.

Di kejauhan, langkah kaki terdengar mendekat. Namun Reve tidak menghiraukannya. Dia hanya berdiri di sana, memandangi Laura seperti kolektor yang memandangi barang buruannya. Sementara dunia di sekitar mereka terus berputar, tak peduli pada drama yang terjadi di koridor marmer yang dingin itu.

‘Bertahan, Laura. Kau kuat. Ini semua demi masa depanmu,’ batin Laura menguatkan diri.

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 12

    Reve memasang dasinya sedangkan Laura masih sibuk mendandani anak perempuan mereka.“Sudah selesai belum? Ayah harus segera ke kantor,” kata Reve.“Tunggu, Ayah. Ibu sedang membuat kepang di rambutku,” gadis kecil yang usianya empat tahun lima bulan itu protes.Laura tertawa. “Tunggu sebentar lagi, Ayah. Michelle tidak akan lama.”°°°Senyum masih mengembang di bibir Reve saat matanya terbuka. Untuk beberapa detik, ia masih merasakan kehangatan imajiner dari adegan mimpi yang baru saja dialaminya itu. Tawa Laura yang jernih, tangan kecil anak perempuan mereka yang memegangi jarinya, dan perasaan menjadi keluarga yang utuh.Namun kemudian, realitas kembali menghentakkan mimpinya ke dasar.Kamar hotelnya yang mewah terasa sunyi dan dingin. Tidak ada Laura yang sedang mengepang rambut putri mereka. Tidak ada Michelle—putri mereka yang cerewet memprotes. Hanya kesendirian yang menusuk, dan

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 11

    Kamar Laura diselimuti kegelapan yang pekat, hanya diterangi lampu tidur. Ia sengaja membuka tirai jendela kamarnya, membiarkan sinar bulan pucat yang menyelinap melalui celah dari tirai dan ventilasi jendela di sana. Laura baru saja memejamkan mata, berusaha melupakan kekerasan yang berhasil dilewatinya malam kemarin.Ketika pintu kamarnya terbuka dengan perlahan, Reve muncul seperti bayangan. Siluetnya menutupi cahaya lampu kamar yang remang-remang.Laura ingin berteriak, tetapi Reve sudah berada di atas tempat tidurnya dengan gerakan cepat yang membuat Laura semakin gemetar. Tangan Reve yang besar menutup mulut Laura, menekan dengan kuat hingga napasnya tersendat.“Jangan bersuara,” desis Reve.Suaranya serak dan gelap, seperti orang asing yang tidak dikenalnya.Dengan gerakan kasar, Reve merobek baju tidur Laura, kain flanel sederhana itu terkoyak dengan suara yang memekakkan telinga di kesunyian malam. Laura

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 10

    Malam itu, setelah melewati pekerjaan yang sama, Laura membersihkan diri lalu mengganti seragam kerjanya dengan kaus dan celana yang nyaman. Ia berbaring, menyalakan televisi untuk menunggu kantuk.Layar kecil televisi tua di kamar Laura menyala, memancarkan cahaya biru yang menyinari wajahnya yang pucat. Berita pertunangan Reve dan Shara ditayangkan dengan gemerlap, foto mereka berdua tersenyum bahagia, dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman yang setara. Laura menatap tanpa berkedip, jantungnya berdetak pelan namun terasa berat.“Mereka sangat cocok,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku yakin dia akan membawa Reve pada kebahagiaan yang layak didapatkannya.”Tiba-tiba, ketukan keras di pintu membuatnya terkejut. Suara ketukan itu tidak seperti biasanya. Berat, tidak teratur, dan disertai suara gesekan di pintu kayu. Laura membeku sesaat, tangannya masih menggenggam remote televisi erat-erat.“Siapa, ya?” Ia bertanya pada diri s

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 9

    “Laura.”Suara Reve yang dalam dan familiar itu memotong kesunyian dapur, membuat Laura menegakkan punggungnya seketika. Sendok kayu di tangannya berhenti mengaduk sup, seolah dunia berhenti berputar selama beberapa detik. Dengan jantung berdebar, ia menoleh perlahan, menemukan Reve berdiri di ambang pintu dapur, ekspresi wajahnya tak terbaca seperti biasa.“Ya, Tuan?” sahut Laura, suaranya lembut namun bergetar halus, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mendadak menyergap.Reve tak langsung menjawab. Matanya yang keabuan menyapu ruang dapur sejenak, seolah memastikan tak ada orang lain di sekitar mereka, sebelum akhirnya berfokus kembali pada Laura.“Siapkan air untukku berendam. Setelah aku selesai berendam, antarkan teh chamomile ke ruang kerjaku.” “Baik, Tuan.” Laura mengangguk patuh, menundukkan pandangannya ke lantai, menghindari kontak mata yang bisa membuatnya semakin gugup sekaligus takut. 

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 8

    Di luar ruangan, suara oven berbunyi menandakan kue sudah matang. Namun di dalam kamar yang pengap itu, waktu terasa berhenti. Laura memejamkan mata, air mata mengalir di pipinya. Air mata untuk harga diri yang sekali lagi direnggut, untuk tubuh yang sekali lagi diklaim tanpa izin.Dan yang paling menyakitkan, di balik rasa sakit dan penghinaan, ada bagian dirinya yang masih merespons sentuhan Reve, masih menginginkannya seperti api menginginkan oksigen.Itulah monster terbesarnya. Bukan Reve, tetapi keinginannya sendiri yang tak pernah bisa ia kendalikan.Dengan langkah anggun, Shara melangkah masuk ke dapur, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Reve, yang sejenak sebelumnya masih seperti badai yang hendak meluluhlantakkan segala sesuatu, kini telah berubah menjadi lautan yang tenang. Senyum manisnya begitu sempurna, seolah tak ada yang terjadi di balik pintu kamar kecil yang baru saja tertutup.“Kuenya baru matang, Sayang,” uj

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 7

    Argo membuka pintu mobil dengan sikap hormat, kepalanya tertunduk rendah saat Shara melangkah keluar dengan anggun. Gaun sutra warna lavender yang dikenakannya berkilauan lembut di bawah sinar matahari, menciptakan siluet yang sempurna dari seorang wanita dari kalangan elit. Dengan senyum tipis yang dipraktikkan ribuan kali, Argo memandu Shara menuju ruang tamu utama, di mana Reve sudah menunggu dengan pose yang penuh wibawa.Reve berdiri begitu Shara masuk, wajahnya yang biasanya dingin mencair menjadi senyum yang telah dilatih untuk kesempurnaan. Ia mengambil tangan Shara, menekankan kecupan ringan di atasnya. Sebuah gestur klasik yang penuh dengan nuansa kepemilikan dan kesopanan yang dingin.“Senang sekali bisa bertemu dengan calon istriku di hari ini,” ujar Reve, suara bass-nya terdengar halus dan memesona, seolah tidak ada jejak kekacauan dan kegelapan yang baru saja terjadi di antara ruang kerjanya dan Laura.  Shara tersipu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status