“Theo, Lepaskan dia!” suara dingin Javas terdengar di keheningan. Orang-orang masih diam menunggu, berperan sebagai penonton yang tengah menyaksikan pertunjukan Opera mahal.
Seketika itu juga, lelaki yang bernama Theo melepaskan lengan Zehra, membuatnya hampir terjatuh karena kelelahan meronta-ronta. Zehra memberi gestur menolak saat ada yang mengulurkan tangannya yang ternyata milik Javas yang sudah ikut berdiri.
Mereka berdiri berhadap-hadapan di bawah tatapan mata banyak orang yang menanti. Javas masih berdiri dengan wajah dingin tak berekspresi sambil mengusap pipinya, bekas tamparan Zehra.
“Mari kita buat sederhana, temani aku minum dan aku akan membayarmu, gimana?” suara Javas terdengar tenang dan dingin.
Zehra mengernyitkan dahi, dengan wajah merah padam ia mengatakan "Maaf, Tuan tapi saya disini hanya sebagai pelayan bar, kami punya teman-teman lain yang memang menerima pelayanan khusus, sebentar saya panggilkan mereka,-"
"Bung!" panggil Javas pada bosnya dengan suara dalam.
Zehra terkesiap mendengarnya ia bergerak bingung dan melemparkan tatap tanya sekaligus memohon untuk menolak pada Bosnya yang diam menunggu dengan patuh
Menangkap kegusaran pada gestur dan mata Zehra membuat Javas menoleh pada si bos, "Persiapkan dia untuk ikut denganku!”
"Ah, iya tentu Tuan tapi saya khawatir Lyra nggak akan memuaskan anda karena dia belum pernah bertugas menemani tamu, gimana kalau saya pilihkan Monita, dia sudah berpengalaman dan tahu betul bagaimana menyenangkan para tamu disini, tapi jangan salah sangka dia pekerja kami yang eksklusif, bagaimana tuan?"
Monita, sang primadona di bar ini yang mendengar namanya disebut pun bangkit dari kursi meninggalkan perannya sebagai tamu palsu yang terbiasa memilah milih untuk ia jadikan target dan setelahnya akan ia rayu untuk menemani dan bercumbu lalu ia kuras uangnya.
Dia jugalah yang biasanya dipilih untuk menemani lelaki tampan nan mapan yang berkunjung hingga menjadi langganan di club malam ini, dan sekarang hatinya dipenuhi kecemburuan karena baik Regis atau Elkan dan teman-temannya tidak memilihnya bahkan Javas tampak begitu tertarik kepada anak baru itu yang bekerja hanya sebagai pelayan.
Padahal kalau dilihat dari kecantikannya, anak baru itu jauh lebih jelek daripada dirinya, “Selamat malam Javas, hai namaku Monita salam kenal,” Monita menyentuhkan tangannya di kerah baju Javas, “Si bos benar dia itu bekerja sebagai pelayan bahkan dia masih baru bekerja disini jadi aku yakin perempuan itu jelas tidak tahu caranya bersenang-senang, bukan?"
Monita tersenyum manja tangannya membelai kerah kemeja hitam pas badan milik Javas yang dikancing rendah tanpa dasi melingkar di leher, membuat Monita tak kuasa menahan menyentuh lengkungan leher dan, "Adduh..!"
Monita mengaduh karena Javas merenggut tangannya yang meraba leher Javas. Jemari Javas mencengkeramnya dengan kekuatan tak ditahan-tahan lagi, menyakitinya hingga terasa remuk ke tulang,
“Minggir,” gumam Javas dengan tatapan membunuh pada Monita, lalu menghempaskan tangan Monita dengan kasar sehingga tubuh Monita terdorong menjauh. Sambil meringis menahan nyeri dan rasa malu Monita lekas berbalik menabrak kasar pada mereka yang menghalangi jalannya.
“Nah,” Javas berbalik memusatkan mata dinginnya kembali ke Zehra,
Zehra yang masih menatap kepergian Monita lekas menoleh dan mendongak pada Javas yang tengah menatapnya dingin. Sekuat tenaga ia mencoba tenang walau khawatir Zehra akan diberi hukuman yang lebih dari Monita karena telah lancang menamparnya didepan banyak orang walau itu tindakan refleks yang seharusnya.
“Katakan berapa tarif yang kamu inginkan untuk menemaniku minum, dan aku akan membayarnya.”
Zehra termangu dengan mulut agak terbuka sedetik ia sempat terpesona pada rupa yang terbalut rahang tegas, tulang hidung tinggi sepasang mata hitam pekat terlihat manis dan dingin secara bersamaan lalu pada kedua alis tebal dan panjang, wajah dan tubuh tingginya seperti aktor timur tengah dengan kulit sawo matang menampilkan sosoknya yang terlihat manly
"Lyra?"
"Ah, apa?" tanya Zehra tersadar namun ia mengernyitkan dahinya masih menatap Javas dan sedetik kemudian ia terkesiap merasakan sentuhan panas milik Javas yang menyentuh poninya lembut bergeser pada anak rambut yang tak diikat lalu menyimpannya dibelakang telinga terasa belaian begitu lembut.
"So, apa jawaban kamu?"
"Oh tentu saja, Tuan, Zehra disini bekerja dan tugas utamanya adalah melayani tamu hingga memastikan para tamu puas hingga berkesan dan menjadi member disini, jadi Lyra akan menemani anda, jadi selamat bekerja Lyra" tekan si bos diakhir kalimatnya serta tatapan dalam, menuntut Zehra melakukannya.
Sedangkan Zehra yang sudah kepalang takut hanya mampu mengangguk kecil, pasrah walau rasa bingung, risih menyergap karena ia tak pernah menemani siapapun minum alkohol di club malam yang berisik ini.
"Ayo, kita pindah ke atas, ke ruangan yang lebih pribadi!" Ajak seorang lelaki yang sedari tadi menjadi penonton di sofa U tanpa berkomentar. Lelaki itu memiliki tubuh yang proporsional walau dengan cahaya kelap kelip cenderung gelap Zehra bisa melihat warna kulit lelaki itu yang paling putih diantara sekumpulan lelaki yang datang bersama Javas.
"Ayo!" ajak Javas menarik pinggang Zehra merapat padanya menggiring berjalan bersama tanpa memperdulikan tubuh Zehra yang tegang dan setengah hati mengikutinya.
**
Setelah Zehra menuangkan sebotol Vodka pada gelas kecil ia memberikan gelas itu pada Javas tanpa menatapnya. Rupanya hal itu membuat Javas tak puas hingga diangkatnya dagu Zehra hingga mata mereka saling menatap dan Zehra bersumpah kilatan mata meremehkan Sekaligus berbahaya ia temukan kembali setelah kejadian tadi dan juga dibawah lampu yang lebih terang Zehra baru menyadari jika ada bekas tamparan tangan dirinya di pipi kanan Javas yang memerah pada bekas gambaran tangan, membuat ia kembali menunduk dalam.
"Kalau mau ngasih sesuatu atau berbicara pada orang lain, kamu harus menatap matanya biar lebih sopan." seru Javas dalam isi kalimat dan nada suara begitu kontra membuat Zehra kebingungan meresponnya jadi ia hanya mengangguk dua kali dan menunduk, beruntung Javas lekas melepasnya dan mulai sibuk pada segelas Vodka ditangan kanan.
"Jadi, Lyra kenapa kamu bekerja ditempat seperti ini?"
"Apa?" tanya Zehra cepat, sekaligus memastikan jika ia tak salah mendengar lelaki itu yang bergaya Flamboyan tengah menunggu antusias akan jawabannya.
"Kamu kelihatan perempuan baik-baik yang terdampar bekerja di club malam ini, apalagi sudah hampir tiga bulan bekerja, itu termasuk langgeng 'kan? Untuk ukuran perempuan sepolos dia?" tambah Alven meminta persetujuan.
"Polos? Lo terlalu cepat menyimpulkan, Bung!" sambar lelaki yang memiliki warna kulit paling gelap diantaranya, lelaki tadi yang hampir meremukkan lengannya.
"Kenapa lo kelihatan sinis sama dia, lo punya masalah apa sama cewek ini?" kali ini Regis yang bertanya lelaki yang memiliki aura dominan bak raja yang tengah menikmati singgasananya.
"Bukan, gue bahkan baru ketemu cewek ini, tapi gue udah kesel banget melihat dia dengan lancangnya menampar Javas didepan orang banyak, gila! Kalau gue jadi lo, Jav udah gue gampar balik dan pastikan dia dipecat malam ini juga."
Zehra termangu mendengarnya dengan tatapan masih kearah Theo yang baru saja memprovokasi atas dirinya. Namun Zehra tak bisa berbuat banyak dengan gusar ia menunduk.
"Kamu belum jawab pertanyaan Alven, jadi kenapa, Lyra?" tanya Javas dengan suara lembut berbalut merendahkan sambil mengangkat dagunya kembali.
"Ah, karena sulit dapat pekerjaan dan juga karena tuntutan ekonomi yang membuat aku bertahan bekerja disini" jawab Zehra sejelas mungkin agar tak lagi ditanya lebih jauh.
"Kamu manis dan tubuh kamu ngga terlalu gemuk aku yakin kamu bisa bekerja ditempat yang lebih positif dari disini, kenapa malah bertahan disini, Lyra?" tanya Alven tak menutupi pandangannya yang memindai tubuh Zehra seolah tengah menilai.
Zehra balas memandang Alven dengan menahan omelan untuk berhenti lancang memindai tubuhnya seolah ia adalah barang yang ditimbang untuk dibeli, "Saya punya beberapa alasan yang lain Tuan."
"Beberapa alasan? Jadi apa aja alasannya?"
"Stop asking Al, you making her not comfortable." seru Elkan dingin.
"Okay, i'm done." balas Alven sembari mengangkat dua tangannya bak penjahat yang menyerahkan diri.
"Lebih baik lo mulai Al, info apa yang lo bawa?" tanya Regis mode serius terbukti ia sudah menyingkirkan tangan wanita yang bergelayut manja di dadanya yang terbuka.
Regis, Elkan dan Theo mencondongkan tubuhnya ke arah Alven yang berlagak petinggi Intel memulai presentasi hasil penyidikannya.
Zehra menoleh pada Javas yang seakan tak berpengaruh pada sekitarnya, Javas masih memandang ke lantai bawah, menatap kumpulan manusia yang tenggelam pada hingar bingar club malam dengan tatapan tenang dan dinginnya.
Sejenak Zehra sibuk mengamati tingkah tanduknya para pria kaya dan mapan tengah bersenang-senang.
“Lyra,” Zehra tersentak kaku ditempatnya lantaran menyadari wajah Javas yang terlampau dekat pada kepalanya, bahkan deru napas mint bercampur aroma jantan menyerbu masuk indra penciumannya.
“Lyra,”
“Apa?” spontan Zehra menoleh dan matanya membola karena tanpa sengaja, ia mencium ujung hidung mancung milik Javas. Detik yang sama mata mereka saling bertaut dalam.
Beberapa bulan kemudian“Jadi, kenapa kamu masih aja terlambat?”Zehra senyum tertahan atas sambutan Javas padanya yang terkesan sinis. “Aku… itu karena aku agak kesulitan dapat taxi onlinenya.”“Oh, ya? Bukannya karena kamu abis bertemu dengan teman kencanmu itu?”Zehra mengerjapkan matanya dua kali, ingatannya berputar saat ia kepergok sedang makan berdua di restoran mall oleh Elkan, salah satu sahabat Javas, dan tentu saja itu ia ia lakukan saat Javas tengah keluar kota dan menarik napas sebelum bicara. “Teman-temanku adalah teman-teman dia juga, dan jelas aku nggak bisa menghindari dia begitu aja ketika kami nggak sengaja makan siang di tempat yang sama, Jav!” Zehra lekas menjelaskan. Berharap kejujurannya bisa dipercaya oleh pria itu meski dengan kemungkinan yang sangat tipis."Kami… Cuma makan siang, nggak lebih…" Mata Javas menyipit tajam. Geraman terdengar dari dalam dadanya. Pengakuan Zehra membuat kecemburuan di dadanya semakin bergemuruh. Javas bangkit dari singgasananya
“Halo,”“Ra, akhirnya kamu angkat telpon aku juga! Ra, tolong bantu aku bicarakan pada pria itu untuk berhenti mengacaukan pekerjaanku! Aku sudah merelakanmu ‘kan? Jadi seharusnya dia menghentikan semuanya ‘kan?”Zehra menghela napas gusar dan menatap balik Javas yang menyeringai ringan kemudian mengangguk kecil. “Ya, aku akan menolongmu untuk bicara sama dia, ada lagi?”“Apa?... Ah, kamu mengerti ‘kan? Posisi aku? Kamu nggak marah sama aku ‘kan?”Zehra menahan nafasnya saat Javas menyambar ponsel dan mematikannya. ***Javas membuka kancing kemeja nya, melonggarkan ikat pinggangnya. "Apalagi yang bisa kulakukan selain ngobrol dengannya di tempat kerjamu. Kamu melarangku bicara dengan orang lain," balas Zehra berbaring di sofa panjang depan tv. "Entah kenapa aku nggak suka melihatmu bersamanya." Javas tiba-tiba menindih Zehra. Remote tv yang dipegangnya terjatuh karena kaget. Serangan Javas membungkam mulutnya sebelum protes. Awalnya Zehra meronta memukul dada Javas tapi lama-lama b
“Mau kemana?”refleks “Kenapa kamu harus menyamar jadi orang lain, hah? Apa tujuan kamu sebenarnya?”“Tujuan? Ckk… itu cuma sekedar nama panggung Jav! Lagian kamu tahu dari mana nama asli aku?”Javas memandang Zehra lamat lalu menjawab, “Aku jelas mendengar mantan pacarmu itu yang memanggil kamu Zehra.” “Oh, ya…. Kami saling mengenal sebelum aku bekerja di club malam,”“Lalu?”“Lalu, bukan cuma kamu orang yang memanggil aku dengan panggilan Lyra. Semua orang yang memakai jasaku, jga memanggil nama itu. Jadi apa kamu udah paham? Apa pembahasan kita udah selesai?”“Pergilah, setelah kamu, aku juga harus mandi atau kita bisa mandi berdu-”“Aku duluan!” potong Zehra segera berlalu.***"Iya Mah, aku paham. Tapi untuk kali ini aku lagi fokus membiayai urusan rumah sakit papah yang ternyata cukup banyak dan masih panjang. Tapi aku yakin aku bisa mengatasinya satu persatu." ucap Zehra sebelum ia memutuskan panggilan. Zehra menarik napas lega. Karena masalahnya sudah teratasi satu persatu d
Mataku mengerjap menyaksikan benda mencuat dengan begitu gagahnya. “Jadi?” Alis Javas terangkat menggoda.“Udah bereaksi ternyata,” refleks jawaban itu meluncur dari bibirku.“Yeah, I know" Javas mengangguk membuat bola mataku berputar. Dia terkekeh melihat wajah sebalku, sementara aku hanya bisa terpaku saat menyaksikan telapak tangannya perlahan melingkari miliknya lalu dengan santai mulai bergerak.Ya ampun, aku terpesona, seperti terhipnotis melihat pemandangan di hadapanku. Ada sesuatu yang sangat seksi melihat seorang laki-laki memuaskan dirinya sendiri, apalagi laki-laki setampan Javas, dengan tubuh tegap, rambut berantakan, dan cambang tipis yang membuatnya semakin maskulin, dengan celana yang ditarik ke bawah dan sepasang mata berkabut oleh gairah, dengan kepercayaan dirinya yang terpancar jelas.Tanpa ragu apalagi malu-malu, tangannya bergerak mantap mengurut miliknya yang semakin “Jadi mau mulai kapan? Karena milikku udah siap,” Suara serak Javas membuyarkan lamunanku. K
“dan mulai sekarang kamu hanya akan jadi milikku!”Zehra menjauhkan tubuhnya, menatap Javas dengan ekspresi kecewa. Dia berniat protes tapi ditarik kembali masuk dalam dekapan pria itu. "Aku akan meminta Theo menarik proposal kerjasama itu. Jadi nggak ada alasan dia buat nyalahin kamu kalau dia nggak kepilih jadi penanggung jawab di kantornya." "Jav, walau gimanapun kamu nggak boleh mencari masalah sama pekerjaan orang lain yang udah diperjuangin oleh siapapun itu, bahkan kamu sadar nggak sih? Kalau kamu udah ngerepotin teman kamu hanya untuk menyingkirkan Ricky dari tender itu. Maksud aku siapapun orangny, tolong jangan usik pekerjaan mereka demi Maslah pribadi. Karena kalau ada orang yang melakukan hal yang sama, aku yakin nggak ada orang yang terima dengan hal itu." bisik Zehra membujuk. Javas menarik napas berat menyadari betapa gigihnya perempuan ini mempermainkan logika dan simpatinya. Dia membaringkan tubuh Zehra di sampingnya lalu tangannya berusaha mengambil ponsel di atas
Zehra berguling-guling di tempat tidur, menutup tubuhnya dengan selimut berusaha menghilangkan pikiran aneh di kepalanya. Dia bingung apa yang harus dilakukan. Semuanya jadi rumit saat dia berencana menata masa depannya dan malah bertemu dengan Javas. Jam di dinding berdetak cukup nyaring dalam kekalutan Zehra, jam 22:15. Dia memperhatikan jarum jam itu terus berputar, sementara pikirannya bermain tarik-menarik antara akan kembali atau tidak ke apartemen Javas. Jika Zehra kembali, dia bisa membujuk Javas agar tak bermain-main dengan rekaman CCTV mereka yang sedang bercinta di berbagai sudut apartemen Javas, terlebih jika Zehra bisa kembali memanfaatkan Javas, dengan begitu masa depannya tak akan terancam, bukan? Zehra mengacak rambutnya frustasi, kembali berguling-guling di tempat tidur sambil menutup mata. Apa dia harus bertahan dengan keputusannya, tapi apakah dengan begitu Javas akan melupakan ancamannya? Dia yang pertama menawarkan diri. Karena panik setelah mendengar keadaan
"Sayang, aku punya berita bahagia buat kamu, sesuatu yang selalu kamu tunggu-tunggu.”Perlahan Gista mendongak, ia menunggu tanpa antusias dan benar saja.“Minggu depan aku ambil cuti, udah disetujui" bisik Eno mengecup kepala Gista. "Akhirnya kita bisa liburan berdua."“Minggu depan? Mas, baru kemarin aku ambil cuti. Aku udah pernah bilang ‘kan sebelumnya kalau aku nggak diizinkan ambil cuti dua kali di bulan yang sama.”“Dan aku udah mengupayakan untuk dapat cuti itu, biar kita bisa berlibur bersama, supaya kamu nggak merasa kesepian seperti kemarin.”“Tapi, Mas. Tetap aja aku nggak enak sama teman kerjaku-”"Udahlah kamu nurut aja apa kata aku, kalau gaji kamu dipotong, biar aku yang ganti, ok!” potong Eno mulai tak sabar.Perasaan Gista kembali terasa diremas-remas. Pria ini, selalu saja mengatur hubungan mereka sendiri. Tak banyak pendapat Gista yang didengar olehnya. Jika dulu ia menikmatinya namun semakin lama Gista semakin merasa tak dihargai pendapatnya. “Aku lapar, hari ini
"Siapa pun pria itu yang menghabiskan malamnya di sini." Alven berdesis. Gista tersentak, memandang Alven dalam.Alven mengerti tatapan Gista yang terkejut dan kecewa padanya. Tetapi hal itu mengganggunya. Dia akan menarik rambut wanita ini dan bercinta habis-habisan di sofa itu jika saja keesokan harinya nama wanita ini akan menghilang dari ingatannya. Namun, saat ini berbeda, yang di hadapannya adalah Gista, wanita yang bisa-bisanya demikian cepat membuat hatinya berdenyut, rasa itu, rasa ingin memiliki seutuhnya menggedor-gedor dinding pertahanannya. Dan keinginan itu demikian besarnya, berbanding lurus dengan gairahnya yang belum tersalurkan. Alven menggeram, mengusap wajahnya kasar, lalu mengedarkan matanya ke sekeliling ruangan. "Hanya ini yang diberikannya untukmu?" Kepala Gista belum bisa mencerna apa maksud perkataan Alven. "Berapa dia membiayaimu per bulan? Aku bisa memberikanmu uang bulanan dua kali lipat dari dia, dan tempat tinggal yang lebih layak. Jadi berapa dia ka
Gista tersenyum terlalu lebar saat mendapat pesan bahwa Alven sedang menuju ke tempat ia berada, tak selang berapa lama mereka berbalas pesan suara bel berbunyi, detak jantung Gista berdetak lebih cepat, bergegas membuka pintu."Lebih awal dari perkiraan, kan?" Kata Eno saat mendekat. "Kaget?" ucapnya seraya mengecup pelipis Gista. Menarik pinggang Gista merapat ke tubuhnya. "Mas memang pengin kasih kamu kejutan dengan pulang lebih awal dan lebih lama, tapi sayangnya ini nggak sepenuhnya kejutan. Atasan Mas, mendadak telepon, ada rencana bisnis yang mau dibahas, meeting mendadak." Gista masih akan melanjutkan keluh kesahnya jika saja matanya tak menangkap Gista yang masih bergeming. Senyum timbul di bibirnya. "Beneran bikin kaget, ya?" Bola mata Gista akhirnya bergerak penuh kesadaran. Senyum tipis Gista mengulum sebelum mengangguk kaku. "Jadi... nanti malam, Mas mau pulang ke sini lagi?" tanya Gista penuh antisipasi. "Hmm... itu dia, Anne langsung pesan tiket begitu tahu aku bali