LOGINKanara melangkah pergi. Setiap langkah terasa berat, tapi dia tetap menegakkan bahunya. Harga dirinya mungkin tercabik, tapi dia masih punya sisa keberanian untuk meninggalkan tempat itu tanpa mengemis pengertian.
Begitu melewati ambang pintu rumah mewah itu, udara terasa dingin menusuk. Dadanya sesak. Tarikan napas seperti tertahan di tenggorokan, menyakitkan dan sulit dilawan. Dia menunduk. Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh juga. Mengalir tanpa suara, berpadu dengan derasnya hujan yang membasahi seluruh tubuhnya. Entah itu air hujan atau air mata—semuanya menyatu, menyisakan perih yang sulit dijelaskan. Langkahnya terhenti di halaman depan. Pandangan kabur, bukan hanya karena hujan, tapi karena harapan yang luruh satu per satu. “Aku harus ke mana lagi?” Pertanyaan itu menggantung di benaknya, tanpa jawaban. Dunia terlalu sunyi, terlalu asing. Dia tidak tahu lagi harus ke mana. Tidak tahu lagi harus meminta bantuan kepada siapa. Ibunya yatim piatu. Sejak menikah dengan ayah Kanara, ibunya memutuskan menjauh dari keluarga besarnya. Tidak pernah berkunjung, tidak pernah menjaga silaturahmi. Hidup ibunya hanya berpusat pada satu orang: ayah Kanara, orang yang kini meninggalkan mereka tanpa sedikit pun rasa bersalah. Dan ketika pria itu mengkhianati segalanya, dunia ibunya runtuh, bersama masa depan Kanara. Kanara terisak, tangannya menghapus kasar air mata yang mengalir di pipinya. Air hujan, air mata, semuanya bercampur. Tangannya gemetar, tapi dia berusaha menguatkan diri. Dia baru menyadari, tetesan air hujan di tubuhnya perlahan berhenti. Padahal suara hujan masih riuh, deras, menghantam jalanan dan atap mobil-mobil yang berjejer di garasi. Kanara mendongak, matanya membulat saat melihat bayangan seseorang berdiri di dekatnya, memayungi tubuhnya dengan tenang. Sosok itu… Tubuh jangkung, wajah dingin yang terlalu familiar, tatapan tajam yang sulit ditebak. Dia berdiri memegang payung hitam besar, menunduk sedikit menatap Kanara dengan wajah datar. Pria itu tidak bicara, hanya menatap. Namun keberadaannya terasa cukup. Diamnya justru membuat hati Kanara berguncang. Arga. Anak dari wanita yang merebut ayahnya. Anak dari keluarga baru yang menghancurkan hidup Kanara. Kanara menatapnya tajam, penuh benci, seolah sorot matanya bisa melukai laki-laki itu. Tapi Arga tetap berdiri di sana, memayungi tubuhnya yang masih kuyup, dengan wajah tenang yang memuakkan. Tidak ada rasa bersalah di mata Arga. Tidak ada penyesalan. Hanya ketenangan khas orang yang selalu berada di atas, orang yang tidak pernah tahu rasanya kehilangan. “Jangan menatapku seperti itu.” Suara Arga terdengar datar, tanpa beban. “Siapa tahu… aku satu-satunya penolongmu.” Kanara nyaris tertawa miris kalau saja dadanya tidak terlalu sesak oleh amarah. Penolong? Lucu sekali. Laki-laki ini adalah bagian dari luka itu sendiri. Bagian dari orang-orang yang membuat hidupnya jungkir balik. Kanara menggeleng pelan, mencoba menahan emosi yang sudah di ujung tanduk. Tubuhnya lelah, pikirannya kacau, dan sekarang Arga muncul seolah dia penyelamat. Padahal… dia adalah bagian dari kehancuran itu sendiri. “Aku sudah dengar semuanya,” ucap Arga, suaranya tenang, seolah dia tidak mendengar luka paling dalam dalam hidup Kanara. “Dan aku bisa membantumu.” Kanara mendongak, matanya menatap Arga penuh kecurigaan. Hatinya sudah terlalu sering dipermainkan keadaan. Dia tidak mudah percaya. “Kau butuh berapa?” lanjut Arga, nada bicaranya ringan, seperti menawarkan bantuan kecil yang tak berarti baginya. “Sebutkan saja nominalnya. Aku bisa transfer detik ini juga.” Kanara mendekus. Senyum masam terbit di bibirnya, sinis, getir, penuh rasa muak. “Kau akan membantuku?” suaranya pelan, tapi nadanya jelas menyiratkan ketidakpercayaan. “Iya,” Arga mengangguk, ekspresinya tetap datar. “Berapa? Seratus? Dua ratus? Satu miliar? Semua tinggal sebut angka.” Tatapan Kanara sedikit melembut. Ada celah kecil harapan yang mencoba menyusup ke dalam dadanya. Mungkin… mungkin memang Arga adalah satu-satunya penolongnya saat ini. Ironis, mengingat siapa dia. Anak dari wanita yang merebut ayahnya. Namun sebelum harapan itu tumbuh lebih besar, Arga kembali membuka mulutnya. “Tapi ada syaratnya.” Sudah Kanara duga. Tidak ada yang gratis di dunia ini, apalagi dari pria yang hubungan masa lalu mereka pun tak lebih baik dari luka yang menganga. Kalau Arga menawarkan bantuan, pasti ada maksud tersembunyi di baliknya. “Apa?” tanya Kanara, mencoba tetap tenang meski dadanya kembali bergemuruh. Dia tidak bodoh, tapi dia juga putus asa. Dan orang putus asa, kadang harus mempertimbangkan segala kemungkinan, seburuk apa pun itu. Arga menyipitkan matanya, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Senyum yang di mata Kanara terlihat sangat memuakkan. “Hangatkan ranjangku malam ini,” ucap Arga tanpa ragu, suaranya terdengar santai seolah dia baru saja mengucapkan hal paling biasa di dunia ini.Arga kembali ke rumah sakit dengan langkah cepat, sisa kecemasan masih terasa di dadanya meski pertemuan dengan ibunya memberi sedikit ketenangan. Begitu sampai di depan kamar Kanara, ia berhenti sejenak. Napasnya tertahan, tangannya mengusap wajah, seakan menyiapkan diri untuk apa pun yang mungkin ia lihat di balik pintu.Saat ia membuka pintu perlahan, tubuhnya langsung terpaku.Kanara duduk bersandar di ranjang, posisi setengah tegak. Wajahnya jelas masih pucat, tetapi sorot matanya hangat. Di pelukannya, bayi mereka menyusu dengan tenang. Gerakan Kanara lembut, matanya sesekali menatap anak itu dengan senyum kecil yang tulus.Ketika melihat Arga berdiri di ambang pintu, Kanara tertegun sebentar sebelum tersenyum. Senyum itu sederhana, tapi membuat matanya berbinar, seolah seluruh ruangan ikut terang.“Arga…” panggilnya pelan.Arga tidak langsung menjawab. Hanya berdiri diam, mengunci pandangan pada Kanara dan bayinya seperti takut keduanya akan menghilang jika ia berkedip. Rasanya
Arga duduk di kursi pengunjung Lapas, kedua tangannya saling menggenggam di atas meja kecil. Bau logam dan deterjen menyengat ruangan, membuat dadanya terasa sesak. Begitu pintu besi terbuka, Arga langsung berdiri.Jennifer muncul diantar seorang petugas. Rambutnya diikat sederhana, wajahnya tampak lebih tirus, tetapi tatapannya tetap tajam seperti dulu. Ketika melihat kondisi Arga, wajah pucat, mata sembab, dan seragam pasien yang masih ia kenakan di balik jaketnya. Jennifer spontan berhenti melangkah.“Arga?” suaranya merendah. “Apa yang terjadi denganmu—”Belum sempat kalimatnya selesai, Arga tiba-tiba berlutut. Bahkan sebelum Jennifer sempat bereaksi, Arga sudah bersujud di kakinya.Petugas pun tersentak, tapi Jennifer memberi isyarat untuk tidak ikut campur.“Arga. Bangun,” ucapnya cepat, meski suaranya ikut bergetar. Ini bukan Arga yang ia kenal. Anaknya keras kepala, selalu menjaga harga diri. Tidak pernah ia melihat Arga seperti ini, gemetar, menangis, dan kehilangan kendali.
Arga duduk di kursi tunggu rumah sakit. Telapak tangannya dingin, dan di punggung tangannya masih ada noda darah kering dari infus yang tadi ia lepas paksa. Pintu ruang tindakan tertutup rapat. Suara langkah dokter dan perawat hanya terdengar samar, cukup untuk membuat dadanya makin sesak.Setiap detik terasa seperti menunggu vonis.Langkah cepat terdengar mendekat. Arga menoleh.Athalla muncul dengan setelan jas lengkapnya, dasi masih rapi seolah baru keluar dari ruang sidang. Wajahnya tegang, tapi tatapannya langsung melunak ketika melihat Arga.“Arga…” panggilnya pelan.Hanya satu kata, tapi cukup untuk meruntuhkan pertahanan yang sejak tadi Arga paksa bangun.Ia menunduk lagi, bahunya bergetar. Air mata yang ia tahan di hadapan Kanara akhirnya jatuh juga. Pelan, tapi tidak bisa dihentikan. Bukan tangis pecah, hanya kelelahan, ketakutan, dan kecemasan yang akhirnya menemukan tempatnya.Athalla mendekat tanpa banyak tanya. Ia duduk di samping Arga, lalu menepuk bahunya pelan, sekali
Waktu terasa berjalan lambat. Kontraksi datang semakin dekat dan semakin kuat, membuat Kanara hampir tidak sempat menarik napas dengan benar. Setiap kali rasa sakit itu datang, tubuhnya refleks menegang dan membungkuk.Arga tetap berada di sampingnya tanpa berpindah sedikit pun. Genggaman tangan Kanara pada dirinya makin erat, sementara napas Arga sendiri tidak kalah kacau, seakan ikut merasakan setiap gelombang rasa sakit yang menyerang perempuan itu.“Bu Kanara, saya periksa lagi, ya,” ujar dokter.Kanara mengangguk. Perawat membantu memposisikan kakinya. Begitu dokter memulai pemeriksaan, Kanara mengerang pelan, menahan rasa tidak nyaman.Beberapa detik kemudian, raut dokter berubah serius.“Pembukaan lengkap,” katanya tegas. “Kita mulai proses mengejan sekarang.”Arga menegang seketika. Kanara menutup mata, mencoba menstabilkan napasnya yang tersengal.“Sekarang?” tanya Arga, suaranya terdengar pecah meski berusaha tenang.“Ya. Bayinya sudah turun.”Dokter dan perawat bergerak cep
Baru beberapa langkah keluar dari kamar mandi, Kanara tiba-tiba berhenti. Tubuhnya menegang, tangannya otomatis meraih lengan Arga.“Arga…” suaranya bergetar.Arga melihat ke bawah, cairan hangat mengalir dari sela kaki Kanara, deras dan tidak bisa dihentikan. Mata mereka saling bertemu, dan kepanikan langsung muncul di wajah Kanara. “Air ketuban,” bisik Kanara, hampir tidak percaya.Arga tidak menunggu penjelasan tambahan. Ia langsung meraih pinggang Kanara dan membopongnya. Rasa ngilu di perutnya menusuk, tapi ia tidak memberi ruang untuk itu. Fokusnya hanya pada Kanara.Ia membaringkan Kanara di ranjang pasien miliknya, membetulkan posisi tubuh perempuan itu agar nyaman. Kanara mengerang pelan, memegangi perut yang kembali menegang.Kanara menggenggam lengan Arga erat. “Arga, sakitnya beda.”“Aku tahu.” Suara Arga rendah, sukar disamarkan ketegangannya. Ia menangkup pipi Kanara sebentar, mencoba memastikan perempuan itu tetap melihatnya. Arga berdiri di samping ranjang, bingung se
Arga kembali menautkan bibirnya pada Kanara. Kali ini ciumannya lebih dalam, lebih yakin, seolah seluruh rindu yang terpendam sejak malam itu akhirnya menemukan tempatnya. Kanara membalas dengan lembut, satu tangannya bertumpu pada bahu Arga, sementara yang lain terangkat menyentuh rahangnya.Arga menggeser kepalanya sedikit, mencari sudut yang lebih nyaman, mencium Kanara perlahan namun intens. Napas mereka berbaur, hangat dan saling mengejar. Sesekali Kanara mengeluarkan napas kecil yang terputus, membuat Arga semakin menahan pinggangnya dengan hati-hati agar ia tetap berada dekat.Kanara merapat sedikit, mencium Arga kembali. Kali ini lebih berani. Jemarinya menyentuh tengkuk Arga, membelai rambut pendek di sana. Arga menahan napas, matanya terpejam, menyesap moment itu seolah takut semuanya hanya mimpi.“Pelan dikit,” bisik Arga di sela ciuman, suaranya rendah dan agak terputus karena menahan sakit di perutnya. “Lukaku masih sedikit ngilu.”Kanara tertawa kecil, ujung hidungnya ha







