Home / Romansa / Terjerat Nafsu Kakak Tiri / Bab 2 — Di Bawah Bayang-Bayang Luka

Share

Bab 2 — Di Bawah Bayang-Bayang Luka

Author: Secret juju
last update Last Updated: 2025-07-21 23:37:08

Kanara melangkah pergi. Setiap langkah terasa berat, tapi dia tetap menegakkan bahunya. Harga dirinya mungkin tercabik, tapi dia masih punya sisa keberanian untuk meninggalkan tempat itu tanpa mengemis pengertian.

Begitu melewati ambang pintu rumah mewah itu, udara terasa dingin menusuk. Dadanya sesak. Tarikan napas seperti tertahan di tenggorokan, menyakitkan dan sulit dilawan.

Dia menunduk. Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh juga. Mengalir tanpa suara, berpadu dengan derasnya hujan yang membasahi seluruh tubuhnya. Entah itu air hujan atau air mata—semuanya menyatu, menyisakan perih yang sulit dijelaskan.

Langkahnya terhenti di halaman depan. Pandangan kabur, bukan hanya karena hujan, tapi karena harapan yang luruh satu per satu.

“Aku harus ke mana lagi?”

Pertanyaan itu menggantung di benaknya, tanpa jawaban. Dunia terlalu sunyi, terlalu asing.

Dia tidak tahu lagi harus ke mana. Tidak tahu lagi harus meminta bantuan kepada siapa.

Ibunya yatim piatu. Sejak menikah dengan ayah Kanara, ibunya memutuskan menjauh dari keluarga besarnya. Tidak pernah berkunjung, tidak pernah menjaga silaturahmi. Hidup ibunya hanya berpusat pada satu orang: ayah Kanara, orang yang kini meninggalkan mereka tanpa sedikit pun rasa bersalah.

Dan ketika pria itu mengkhianati segalanya, dunia ibunya runtuh, bersama masa depan Kanara.

Kanara terisak, tangannya menghapus kasar air mata yang mengalir di pipinya. Air hujan, air mata, semuanya bercampur. Tangannya gemetar, tapi dia berusaha menguatkan diri.

Dia baru menyadari, tetesan air hujan di tubuhnya perlahan berhenti. Padahal suara hujan masih riuh, deras, menghantam jalanan dan atap mobil-mobil yang berjejer di garasi.

Kanara mendongak, matanya membulat saat melihat bayangan seseorang berdiri di dekatnya, memayungi tubuhnya dengan tenang.

Sosok itu…

Tubuh jangkung, wajah dingin yang terlalu familiar, tatapan tajam yang sulit ditebak. Dia berdiri memegang payung hitam besar, menunduk sedikit menatap Kanara dengan wajah datar.

Pria itu tidak bicara, hanya menatap. Namun keberadaannya terasa cukup. Diamnya justru membuat hati Kanara berguncang.

Arga.

Anak dari wanita yang merebut ayahnya.

Anak dari keluarga baru yang menghancurkan hidup Kanara.

Kanara menatapnya tajam, penuh benci, seolah sorot matanya bisa melukai laki-laki itu. Tapi Arga tetap berdiri di sana, memayungi tubuhnya yang masih kuyup, dengan wajah tenang yang memuakkan.

Tidak ada rasa bersalah di mata Arga. Tidak ada penyesalan. Hanya ketenangan khas orang yang selalu berada di atas, orang yang tidak pernah tahu rasanya kehilangan.

“Jangan menatapku seperti itu.” Suara Arga terdengar datar, tanpa beban. “Siapa tahu… aku satu-satunya penolongmu.”

Kanara nyaris tertawa miris kalau saja dadanya tidak terlalu sesak oleh amarah.

Penolong?

Lucu sekali.

Laki-laki ini adalah bagian dari luka itu sendiri. Bagian dari orang-orang yang membuat hidupnya jungkir balik.

Kanara menggeleng pelan, mencoba menahan emosi yang sudah di ujung tanduk. Tubuhnya lelah, pikirannya kacau, dan sekarang Arga muncul seolah dia penyelamat.

Padahal… dia adalah bagian dari kehancuran itu sendiri.

“Aku sudah dengar semuanya,” ucap Arga, suaranya tenang, seolah dia tidak mendengar luka paling dalam dalam hidup Kanara. “Dan aku bisa membantumu.”

Kanara mendongak, matanya menatap Arga penuh kecurigaan. Hatinya sudah terlalu sering dipermainkan keadaan. Dia tidak mudah percaya.

“Kau butuh berapa?” lanjut Arga, nada bicaranya ringan, seperti menawarkan bantuan kecil yang tak berarti baginya. “Sebutkan saja nominalnya. Aku bisa transfer detik ini juga.”

Kanara mendekus. Senyum masam terbit di bibirnya, sinis, getir, penuh rasa muak.

“Kau akan membantuku?” suaranya pelan, tapi nadanya jelas menyiratkan ketidakpercayaan.

“Iya,” Arga mengangguk, ekspresinya tetap datar. “Berapa? Seratus? Dua ratus? Satu miliar? Semua tinggal sebut angka.”

Tatapan Kanara sedikit melembut. Ada celah kecil harapan yang mencoba menyusup ke dalam dadanya. Mungkin… mungkin memang Arga adalah satu-satunya penolongnya saat ini. Ironis, mengingat siapa dia. Anak dari wanita yang merebut ayahnya.

Namun sebelum harapan itu tumbuh lebih besar, Arga kembali membuka mulutnya. “Tapi ada syaratnya.”

Sudah Kanara duga. Tidak ada yang gratis di dunia ini, apalagi dari pria yang hubungan masa lalu mereka pun tak lebih baik dari luka yang menganga. Kalau Arga menawarkan bantuan, pasti ada maksud tersembunyi di baliknya.

“Apa?” tanya Kanara, mencoba tetap tenang meski dadanya kembali bergemuruh. Dia tidak bodoh, tapi dia juga putus asa. Dan orang putus asa, kadang harus mempertimbangkan segala kemungkinan, seburuk apa pun itu.

Arga menyipitkan matanya, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Senyum yang di mata Kanara terlihat sangat memuakkan.

“Hangatkan ranjangku malam ini,” ucap Arga tanpa ragu, suaranya terdengar santai seolah dia baru saja mengucapkan hal paling biasa di dunia ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Nafsu Kakak Tiri   Bab 9 Pertahanan Terakhir

    Kanara menelan ludah, tenggorokannya kering. Ada tekanan di dadanya yang membuat napasnya terasa berat. Dengan gerakan kaku, ia bangkit dari ranjang. Bathrobe yang longgar di bahunya melorot perlahan hingga jatuh ke lantai tanpa suara. Ia tidak berusaha mengambilnya kembali.Demi Ibu… hanya untuk Ibu, batinnya.Arga menatapnya dalam diam. Sudut bibirnya terangkat sedikit. Ia tahu, ia menang malam ini. Ia berhasil menggoyahkan pertahanan terakhir Kanara.Perlahan, Kanara melangkah mendekat. Kepalanya sedikit tertunduk, jemari yang bergetar mulai membuka kancing kemeja Arga satu per satu. Arga hanya diam, matanya mengikuti setiap gerak Kanara, seolah menunggu tanda terakhir dari keraguannya.Saat kancing terakhir terlepas, Kanara perlahan duduk di pangkuan Arga di atas ranjang. Tubuhnya kaku, napasnya belum stabil. Namun, ia memberanikan diri memajukan wajahnya. Ia menempelkan bibirnya ke bibir Arga, seperti meniru apa yang Arga lakukan sebelumnya. Hati-hati, penuh rasa asing, tapi tak

  • Terjerat Nafsu Kakak Tiri   Bab 8 Nafas yang Tertahan

    Sentuhan Arga semakin dalam, jarak di antara mereka hampir menghilang. Nafas Kanara memburu, tubuhnya menegang namun tidak bergerak. Hatinya berteriak menolak, tapi otot-ototnya kaku, tak mampu mendorong pergi.Cengkraman di pinggangnya menguat. Arga menunduk, bibirnya kembali mendekat. Kanara menahan napas, matanya terpejam rapat, menunggu momen itu lewat begitu saja.Namun suara getaran ponsel memecah keheningan. Samar, tapi cukup jelas berasal dari saku celana Arga.Arga mengabaikannya, jemarinya tetap bertahan di bathrobe Kanara, siap menariknya lagi. Getaran kedua menyusul, lebih lama dari sebelumnya. Arga masih tidak bergeming.Getaran ketiga akhirnya membuatnya mendecak pelan. Dia melepaskan Kanara, melangkah ke meja, lalu merogoh ponsel dari saku celananya.“Tidak usah kemana-mana,” ucapnya singkat, sebelum menggeser ikon hijau di layar ponselnya dan mengangkat panggilan.Kanara berdiri mematung, dada naik-turun cepat. Napasnya masih berat, bukan hanya karena ketegangan barusa

  • Terjerat Nafsu Kakak Tiri   Bab 7 Harga yang Harus di bayar

    Kanara melangkah keluar dari kamar mandi, tubuhnya dibalut bathrobe putih yang sudah tersedia di sana. Bahan kain itu hangat, tapi tetap saja tidak mampu meredam dinginnya perasaan di dalam dadanya.Di ruang tengah, Arga sudah menunggunya.Pria itu duduk santai di sofa, satu tangan memegang gelas tinggi berisi wine merah, sesekali dia menyesapnya perlahan. Botol wine masih terbuka di atas meja kaca, menciptakan kontras tajam dengan suasana tegang yang memenuhi ruangan.Tatapan mata Arga bergerak menelusuri tubuh Kanara, dari kepala hingga kaki. Ada kilatan puas di sana, seperti pemilik yang baru saja menerima barang pesanannya."Kemari," ucap Arga, nada suaranya tenang tapi tegas, tak memberi ruang untuk penolakan.Di depannya, sudah tersedia gelas kedua, setengah penuh berisi wine merah pekat. Arga menggeser gelas itu ke arah Kanara, isyarat halus tapi jelas.Kanara menatap gelas itu, lalu menatap Arga."Aku tidak minum alkohol," ucapnya singkat, suaranya sedikit serak, ada penolakan

  • Terjerat Nafsu Kakak Tiri   Bab 6 Tekad

    Sesampainya di unit apartemen, Arga menekan sandi pintu dengan santai. Bunyi klik terdengar sebelum pintu terbuka perlahan, memperlihatkan interior mewah dengan pencahayaan temaram.Kanara berdiri terpaku di ambang pintu, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Jantungnya berdetak tidak beraturan, rasa takut menyelusup, tapi dia menahannya mati-matian.Memperlihatkan ketakutan atau kelemahan di hadapan Arga hanya akan membuatnya semakin kehilangan harga diri. Meski, dia sadar… sebagian besar harga diri itu sudah terkubur sejak notifikasi transferan Arga masuk ke layar ponselnya.Arga sudah lebih dulu masuk, langkahnya santai, seperti pria yang baru saja tiba di rumah usai bekerja. Dia melepas dasi dari leher, melemparkannya sembarangan ke sofa. Lalu, satu per satu kancing kemejanya dia buka perlahan, memperlihatkan tubuhnya yang terlatih.Tatapan Arga terarah ke Kanara yang masih berdiri di depan pintu, ragu melangkah.“Kenapa diam saja di situ? Masuk,” ucap Arga, suaranya tenang tapi

  • Terjerat Nafsu Kakak Tiri   Bab 5 Kesepakatan yang Tak Terucap

    Kanara berdiri di halte dekat rumah sakit tempat ibunya dirawat. Tubuhnya lelah, pikirannya kosong, namun setidaknya satu hal sudah sedikit teratasi.Beberapa menit setelah dia menghubungi Arga, pria itu langsung mentransfer sejumlah uang yang dia sebutkan. Tanpa basa-basi, tanpa pertanyaan tambahan. Cepat, bersih, dingin.Kanara segera mengurus ke bagian administrasi. Begitu biaya dilunasi, perawat langsung bergerak, membawa ibunya ke ruang tindakan untuk mendapat penanganan lanjutan.Dan sekarang… dia menunggu.Menunggu Arga menjemputnya, seperti kesepakatan mereka.Hampir satu jam berlalu. Hujan gerimis mulai turun, angin dingin berhembus, namun mobil yang dia tunggu belum juga muncul.Perempuan itu menoleh saat mobil berhenti, tatapannya kosong, lelah, menyerah. Arga menurunkan kaca jendela mobil, cukup untuk bicara, suaranya dingin seperti biasanya.“Masuk.”Tanpa banyak bicara, Kanara membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Hening sepanjang perjalanan, hanya suara hujan dan mesi

  • Terjerat Nafsu Kakak Tiri   Bab 4 — Jalan Buntu

    Kanara bekerja di salah satu kafe kecil di pusat kota, menjadi pramusaji demi menyambung hidup dan biaya pengobatan ibunya. Kurang tidur, tubuh remuk, jiwa hancur, tapi dia harus tetap berdiri, harus tetap tersenyum seolah semuanya baik-baik saja.Pagi ini, wajahnya masih bengkak sisa tangis semalam. Dikelabui seadanya dengan riasan tipis agar setidaknya wajah pucatnya tak terlalu mencolok di tengah ruangan penuh pengunjung.“Ra, ada yang mencarimu,” ucap Lusi, teman kerjanya saat Kanara baru kembali dari jam istirahat.“Siapa?” tanya Kanara, suaranya serak karena lelah dan kurang tidur.“Laki-laki. Duduk di meja paling pojok.”Kanara menghela nafas pelan. Dia bergegas menuju area meja yang dimaksud, langkahnya melambat seketika saat melihat siapa yang duduk di sana.Arga.Pria itu duduk santai di pojok ruangan, mengenakan kemeja hitam yang pas di tubuhnya, wajahnya menoleh ke arah Kanara, tersenyum, dan melambaikan tangan dengan percaya diri.Jika bukan karena statusnya sebagai karya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status