Home / Romansa / Terjerat Nafsu Kakak Tiri / Bab 1 — Antara Harga Diri dan Nyawa

Share

Terjerat Nafsu Kakak Tiri
Terjerat Nafsu Kakak Tiri
Author: Secret juju

Bab 1 — Antara Harga Diri dan Nyawa

Author: Secret juju
last update Last Updated: 2025-07-21 23:29:07

Hujan turun sejak sore. Sebuah taksi berhenti perlahan di depan rumah mewah berarsitektur modern. Gerimis mengguyur kaca jendela, memburamkan pandangan Kanara yang duduk diam di bangku belakang, menatap rumah itu dengan tatapan kosong.

Hari ini, Kanara menjejakkan kaki ke tempat yang seharusnya tidak perlu dia datangi, jika saja dunia bersikap sedikit lebih adil. Hujan yang membasahi tubuhnya tak seberapa dibanding dinginnya kenyataan yang harus dia telan.

Rumah besar di depannya berdiri megah. Berkali lipat lebih besar dari rumah masa kecilnya — rumah yang kini hanya tersisa dalam kenangan. Rumah itu telah dijual. Sekarang, dia dan ibunya tinggal di sebuah kosan kecil yang pengap dan sempit.

Kanara kini berdiri di depan pintu rumah itu. Rumah ayahnya yang baru bersama istri barunya yang kaya raya. Tangannya terangkat, tapi tak segera mengetuk. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Harga dirinya sudah dia kubur dalam-dalam hari ini, demi satu alasan yang tak bisa ditawar: nyawa ibunya.

Ibunya terbaring lemah di rumah sakit, tubuhnya perlahan rusak karena alkohol, stres, dan penyakit ginjal yang makin parah. Biaya cuci darah, obat-obatan, perawatan… semuanya menumpuk seperti utang luka yang memberatkan pundak Kanara seorang diri.

Dia mengetuk pintu.

Tak lama, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu, mempersilahkan masuk tanpa banyak bicara.

Di ruang tamu yang luas, ayahnya duduk santai di atas sofa mahal. Kaki disilangkan, kemeja licin tanpa cela, wajah puas seperti pria yang hidup tanpa beban.

Tatapan remeh itu menusuk seperti sembilu. Kanara duduk di hadapannya, tubuhnya masih basah kuyup, rambutnya meneteskan sisa air hujan ke lantai marmer putih yang mengilap.

Tangan Kanara mengepal di atas pahanya, menahan gemetar. Antara marah, benci, dan putus asa yang saling berkejaran dalam dadanya.

“Apa yang kau mau, Kanara?” suara pria itu terdengar malas, seolah berbicara dengan orang asing, bukan darah dagingnya sendiri yang dulu dia gendong, dia ajak bermain, dia sayangi. Setidaknya itu yang Kanara ingat sebelum semuanya hancur.

Butuh beberapa detik bagi Kanara untuk menelan egonya. Suaranya akhirnya keluar, parau, nyaris retak.

“Ibu… butuh biaya tambahan untuk perawatan. Cuci darahnya makin sering… obatnya mahal… Aku tidak sanggup lagi sendiri,” ucapnya, hampir berbisik, nyaris tercekik oleh perasaan malu yang tak tertahankan.

Ayahnya menaikkan satu alis, lalu tersenyum tipis. Senyum yang lebih mirip ejekan. “Bukankah kau sudah besar? Mandiri? Kenapa sekarang datang merengek ke sini?”

Darah Kanara mendidih. Sakit… Rasanya jauh lebih sakit dari dihina orang asing, karena yang melontarkan kata-kata itu adalah ayahnya sendiri, atau dulu dia memanggilnya begitu.

“Aku tidak datang untuk merengek,” Kanara berusaha mengontrol suaranya, meski suaranya bergetar, “Aku cuma minta tanggung jawab terakhirmu sebagai suami ibu.”

Pria itu tertawa kecil, nadanya sinis. “Tanggung jawab? Tanggung jawab itu udah selesai waktu kau dan ibumu memutuskan pergi dari hidupku. Hidup itu pilihan, Kanara. Dan aku sudah pilih jalanku.”

Kanara terdiam. Tenggorokannya tercekat. Dia tahu jawaban itu akan menyakitkan, tapi tetap saja, kenyataan terasa seperti ditampar berkali-kali.

Hujan di luar semakin deras, seolah ikut menertawakan keputusasaannya.

Saat itulah, sosok lain masuk ke ruang tamu. Istri muda ayahnya tapi usianya lebih tua dari ibunya. Perebut ayahnya. Di usianya yang menginjak hampir kepala 5 wanita itu masih cantik dan anggun. Di tambah dia janda kaya raya. Tentu saja ayahnya lebih memilih wanita itu. Dia tidak perlu bekerja keras banting tulang, tinggal menikmati hasilnya. Selain uang ayahnya juga mendapat kekuasaan di perusahaan yang Bu Jeniffer miliki.

"Tamu tak diundang rupanya," ucap Jennifer saat memasuki ruang tamu. Senyumnya manis, tapi tajam.

Reza langsung berdiri dan menyambut istrinya dengan hangat. Ia menggandeng tangan Jennifer, membawanya duduk di sebelahnya seperti pasangan baru yang tak peduli dunia.

"Apa yang membawamu kemari?" tanya Jennifer santai, tatapannya lurus ke arah Kanara.

Kanara diam. Rahangnya mengeras. Ia menahan diri agar tidak menunjukkan rasa muaknya. Mereka terlihat sangat menikmati hidup, sementara ibunya menderita.

"Dia minta aku bayarkan biaya rumah sakit ibunya," sahut Reza ringan, seolah yang diminta hanya hal sepele.

Jennifer tertawa kecil. "Masih berharap belas kasihan dari mantan suami rupanya."

Kanara menatap keduanya. Matanya dingin, tapi suaranya tetap tenang.

"Ibu masih istrimu."

Reza menjawab tanpa ragu,

"Aku akan segera menceraikannya."

"Ibu jadi seperti ini juga karena ulah kalian berdua."

Nadanya tak meninggi, tapi tegas dan jelas.

"Kalau bukan karena pengkhianatan ini, dia tidak akan hancur sampai segitunya. Jadi kalau kalian mau cuci tangan, silakan. Tapi jangan pura-pura bersih."

Kanara bangkit berdiri. Sudah cukup. Dia sudah membiarkan dirinya dihina, direndahkan, diabaikan. Dia tidak mendapatkan sepeserpun, bahkan seulas rasa kasihan.

Tenggorokannya tercekat menahan tangis dan amarah. Tapi dia tidak akan menangis di depan mereka. Tidak lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Nafsu Kakak Tiri   Bab 9 Pertahanan Terakhir

    Kanara menelan ludah, tenggorokannya kering. Ada tekanan di dadanya yang membuat napasnya terasa berat. Dengan gerakan kaku, ia bangkit dari ranjang. Bathrobe yang longgar di bahunya melorot perlahan hingga jatuh ke lantai tanpa suara. Ia tidak berusaha mengambilnya kembali.Demi Ibu… hanya untuk Ibu, batinnya.Arga menatapnya dalam diam. Sudut bibirnya terangkat sedikit. Ia tahu, ia menang malam ini. Ia berhasil menggoyahkan pertahanan terakhir Kanara.Perlahan, Kanara melangkah mendekat. Kepalanya sedikit tertunduk, jemari yang bergetar mulai membuka kancing kemeja Arga satu per satu. Arga hanya diam, matanya mengikuti setiap gerak Kanara, seolah menunggu tanda terakhir dari keraguannya.Saat kancing terakhir terlepas, Kanara perlahan duduk di pangkuan Arga di atas ranjang. Tubuhnya kaku, napasnya belum stabil. Namun, ia memberanikan diri memajukan wajahnya. Ia menempelkan bibirnya ke bibir Arga, seperti meniru apa yang Arga lakukan sebelumnya. Hati-hati, penuh rasa asing, tapi tak

  • Terjerat Nafsu Kakak Tiri   Bab 8 Nafas yang Tertahan

    Sentuhan Arga semakin dalam, jarak di antara mereka hampir menghilang. Nafas Kanara memburu, tubuhnya menegang namun tidak bergerak. Hatinya berteriak menolak, tapi otot-ototnya kaku, tak mampu mendorong pergi.Cengkraman di pinggangnya menguat. Arga menunduk, bibirnya kembali mendekat. Kanara menahan napas, matanya terpejam rapat, menunggu momen itu lewat begitu saja.Namun suara getaran ponsel memecah keheningan. Samar, tapi cukup jelas berasal dari saku celana Arga.Arga mengabaikannya, jemarinya tetap bertahan di bathrobe Kanara, siap menariknya lagi. Getaran kedua menyusul, lebih lama dari sebelumnya. Arga masih tidak bergeming.Getaran ketiga akhirnya membuatnya mendecak pelan. Dia melepaskan Kanara, melangkah ke meja, lalu merogoh ponsel dari saku celananya.“Tidak usah kemana-mana,” ucapnya singkat, sebelum menggeser ikon hijau di layar ponselnya dan mengangkat panggilan.Kanara berdiri mematung, dada naik-turun cepat. Napasnya masih berat, bukan hanya karena ketegangan barusa

  • Terjerat Nafsu Kakak Tiri   Bab 7 Harga yang Harus di bayar

    Kanara melangkah keluar dari kamar mandi, tubuhnya dibalut bathrobe putih yang sudah tersedia di sana. Bahan kain itu hangat, tapi tetap saja tidak mampu meredam dinginnya perasaan di dalam dadanya.Di ruang tengah, Arga sudah menunggunya.Pria itu duduk santai di sofa, satu tangan memegang gelas tinggi berisi wine merah, sesekali dia menyesapnya perlahan. Botol wine masih terbuka di atas meja kaca, menciptakan kontras tajam dengan suasana tegang yang memenuhi ruangan.Tatapan mata Arga bergerak menelusuri tubuh Kanara, dari kepala hingga kaki. Ada kilatan puas di sana, seperti pemilik yang baru saja menerima barang pesanannya."Kemari," ucap Arga, nada suaranya tenang tapi tegas, tak memberi ruang untuk penolakan.Di depannya, sudah tersedia gelas kedua, setengah penuh berisi wine merah pekat. Arga menggeser gelas itu ke arah Kanara, isyarat halus tapi jelas.Kanara menatap gelas itu, lalu menatap Arga."Aku tidak minum alkohol," ucapnya singkat, suaranya sedikit serak, ada penolakan

  • Terjerat Nafsu Kakak Tiri   Bab 6 Tekad

    Sesampainya di unit apartemen, Arga menekan sandi pintu dengan santai. Bunyi klik terdengar sebelum pintu terbuka perlahan, memperlihatkan interior mewah dengan pencahayaan temaram.Kanara berdiri terpaku di ambang pintu, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Jantungnya berdetak tidak beraturan, rasa takut menyelusup, tapi dia menahannya mati-matian.Memperlihatkan ketakutan atau kelemahan di hadapan Arga hanya akan membuatnya semakin kehilangan harga diri. Meski, dia sadar… sebagian besar harga diri itu sudah terkubur sejak notifikasi transferan Arga masuk ke layar ponselnya.Arga sudah lebih dulu masuk, langkahnya santai, seperti pria yang baru saja tiba di rumah usai bekerja. Dia melepas dasi dari leher, melemparkannya sembarangan ke sofa. Lalu, satu per satu kancing kemejanya dia buka perlahan, memperlihatkan tubuhnya yang terlatih.Tatapan Arga terarah ke Kanara yang masih berdiri di depan pintu, ragu melangkah.“Kenapa diam saja di situ? Masuk,” ucap Arga, suaranya tenang tapi

  • Terjerat Nafsu Kakak Tiri   Bab 5 Kesepakatan yang Tak Terucap

    Kanara berdiri di halte dekat rumah sakit tempat ibunya dirawat. Tubuhnya lelah, pikirannya kosong, namun setidaknya satu hal sudah sedikit teratasi.Beberapa menit setelah dia menghubungi Arga, pria itu langsung mentransfer sejumlah uang yang dia sebutkan. Tanpa basa-basi, tanpa pertanyaan tambahan. Cepat, bersih, dingin.Kanara segera mengurus ke bagian administrasi. Begitu biaya dilunasi, perawat langsung bergerak, membawa ibunya ke ruang tindakan untuk mendapat penanganan lanjutan.Dan sekarang… dia menunggu.Menunggu Arga menjemputnya, seperti kesepakatan mereka.Hampir satu jam berlalu. Hujan gerimis mulai turun, angin dingin berhembus, namun mobil yang dia tunggu belum juga muncul.Perempuan itu menoleh saat mobil berhenti, tatapannya kosong, lelah, menyerah. Arga menurunkan kaca jendela mobil, cukup untuk bicara, suaranya dingin seperti biasanya.“Masuk.”Tanpa banyak bicara, Kanara membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Hening sepanjang perjalanan, hanya suara hujan dan mesi

  • Terjerat Nafsu Kakak Tiri   Bab 4 — Jalan Buntu

    Kanara bekerja di salah satu kafe kecil di pusat kota, menjadi pramusaji demi menyambung hidup dan biaya pengobatan ibunya. Kurang tidur, tubuh remuk, jiwa hancur, tapi dia harus tetap berdiri, harus tetap tersenyum seolah semuanya baik-baik saja.Pagi ini, wajahnya masih bengkak sisa tangis semalam. Dikelabui seadanya dengan riasan tipis agar setidaknya wajah pucatnya tak terlalu mencolok di tengah ruangan penuh pengunjung.“Ra, ada yang mencarimu,” ucap Lusi, teman kerjanya saat Kanara baru kembali dari jam istirahat.“Siapa?” tanya Kanara, suaranya serak karena lelah dan kurang tidur.“Laki-laki. Duduk di meja paling pojok.”Kanara menghela nafas pelan. Dia bergegas menuju area meja yang dimaksud, langkahnya melambat seketika saat melihat siapa yang duduk di sana.Arga.Pria itu duduk santai di pojok ruangan, mengenakan kemeja hitam yang pas di tubuhnya, wajahnya menoleh ke arah Kanara, tersenyum, dan melambaikan tangan dengan percaya diri.Jika bukan karena statusnya sebagai karya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status