*Happy Reading*
"Apa?! Dibatalkan?" seruku dengan lantang, saat pagi itu mendapat kabar dari Lika tentang salah satu kontrak kerjaku, yang sudah terjadwal dari dua bulan yang lalu, namun tiba-tiba dibatalkan secara sepihak oleh sponsor.
Astaga. Ini masih pagi, loh. Tapi kenapa sudah ada kabar buruk seperti ini saja. Mood-ku langsung anjlok seketika.
"Bukan hanya itu, Dev. Kita juga kena denda gede banget dan diminta bayar secepatnya sama mereka. Soalnya, katanya kita sudah melakukan pembohongan data diri."
Hah?! Apa pula itu? Mereka yang membatalkan kontrak, mereka juga yang kini minta denda. Gila! Di sini kan aku yang dirugikan, kenapa aku pula yang harus keluar uang banyak? Otak mereka di mana, sih?
"Ya ampun, Lik. Kok bisa kayak gini, sih? Ini gimana ceritanya, coba? Kenapa kita bisa kena tuduhan itu? Emang pas adain kerja sama lo ngapain?" tanyaku kemudian, meminta penjelasan lebih detail pada Lika yang memang biasa mengurusi hal ini.
"Lah, gue juga gak ngerti, Dev. Gue terima kerja sama kek biasanya, kok. Nyiapin segala yang di butuhkan juga kek biasanya. Gak ada yang beda, dan biasanya juga gak kenapa-napa, kan? Makanya kali ini, gue juga bingung kenapa kita kayak gini?" terang Lika membela diri.
"Kalau memang sudah seperti yang seharusnya. Kenapa sampai ada tuduhan itu? Dan lagi ... data diri siapa yang di curigai?"
"Elo!"
Eh?
"Kok, gue?" beoku dengan bingung akhirnya. Saat Lika tiba-tiba menunjuk hidungku.
"Ya iyalah, elo. Kan modelnya elo. Jadi ya data diri elo lah yang di kasih. Ya kali gue. Siapalah diri ini, Dev? Cuma kangkung yang gak sengaja nyelip di gigi depan saat makan lalapan," jawab Lika santai, tapi sukses membuat aku kembali kesal.
Bisa-bisanya dia ingat makanan seenak itu saat begini. Kan aku jadi lapar. Kebetulan aku juga belum sarapan tadi.
Tentu saja, dapat masalah di saat lapar itu sangat menyebalkan!
"Nah, kalau gitu, kenapa bisa masalah, Lik? Lo kasih data diri gue bener-bener, kan? Gak ketuker sama data dirinya Si Murni, OB baru itu? Mentang-mentang nama depannya mirip, lo jadi salah kasih data. Mata lo masih waras, kan?" Akhirnya, aku pun mengembalikan topik.
"Nggak mungkinlah! Kan, tadi udah bilang. Gue nyiapin berkasnya seperti biasanya. Lagian, mana ada gue pegang data diri si Murni. Itu mah bagian agennya dialah, gak ada urusannya sama gue," bela Lika meyakinkan.
"Ya, terus? Kenapa bisa gini? Kenapa gue harus kena bayar denda, Lika! Gue gak punya duit ya Allah. Baru juga mau OTW beken. Masa udah tekor duluan." Aku menyugar rambutku karena hampir depresi.
Bagaimana tidak depresi? Jumlah dendanya itu besar banget! Saldo di ATM ku nggak ada seperempatnya dari jumlah itu. Nah, bagaimana coba, aku bayarnya?
Jual panci? Jual baskom? Atau jual kulkas, yang lebih mahal? Mana cukup!
"Kenapa gak dilaporin aja, Mbak? Siapa tahu klien Mbak itu cuma lagi nyari untung dari artis baru seperti Mbak Devi," ucap Toto, fotografer agensi yang menaungiku. Tiba-tiba ikut menyahut setelah dari tadi hanya nyimak sambil membenarkan lensa kameranya.
Plak!
Mendengar sahutan Toto. Tanganku pun auto melayang pada kepalanya. Soalnya aku gemas dengan jawabannya. Dia kira masalah ini mudah, apa?
"Lo kata lapor sama nyewa pengacara gak pake duit? Pake juga, ngab. Gak sedikit pula. Kan dibilang, gue lagi kere sekarang. Saldo gue udah tipis banget kayak baliho partai di pasar."
Toto pun mengusap kepalanya dramatis, seraya mencebik kesal padaku.
"Gak pake geplak berapa, sih? Perasaan dari awal kita kenal, tangan lo suka banget nemplok di kepala gue. Ngeri ayan gue lama-lama," sahutnya kemudian.
Aku pun memutar mata jengah menanggapinya. Karena bukan rahasia umum lagi, jika Toto ini selain menyebalkan. Juga lebay.
"Bodo! Makanya kalau gak bisa bantu, mingken! Gak usah banyak bacot kek sales asuransi."
Toto kembali mencebik kesal. Sebelum menaikan bahunya acuh. Tapi kali ini dia tidak menimpali lagi. Mungkin karena takut aku pukul season dua.
"Lagian mau laporin gimana? Lawan kita orang gede, To. Salah satu pemilik stasiun televisi negeri ini. Laporin dia, sama aja bunuh diri." Lika memperjelas masalah. Membuat aku makin kesal saja.
Asli! Kesalku sudah tingkat kabupaten karena masalah ini.
'Tuh orang siapa, sih? Dan ada masalah apa sama aku, coba? Kenal, kagak. Resek, iya. Sengaja banget kek nya mau jadi polisi tidur di jalan karierku.'
Gagal aku jadi artis OTW Beken?
"Terus gimana sekarang? Mbak Laras kasih solusi, gak?" Mendesah panjang, aku pun bertanya kembali pada Lika.
Mbak Laras itu pemilik Agensi yang menaungiku. Jadi sebagai atasan, tentunya dia pasti sudah tahu permasalahan ini. Semoga saja dia tidak lepas tangan.
"Mbak Laras juga bingung. Soalnya setelah di cek. Data lo sesuai yang ada di berkas office, kok. Makanya dia coba atur waktu buat kita ketemuan sama Pak Alexander. Ya ... siapa tahu ini cuma miscom doang?"
Syukurlah ... setidaknya, aku tidak berjuang sendiri.
"Lal--"
"Dev, di tunggu Mbak Laras di ruangannya."
Baru saja ingin bertanya lagi. Amanda, salah satu teman satu Agensi tiba-tiba muncul, dan memberikan info dari orang yang sedang kami bicarakan.
"Sekarang?"
"Nanti."
"Kapan?
"Saat Mbah surip bangkit kembali buat ngelamar lo."
Eh, si bego! Orang aku serius. Malah diajak becanda. Gak tahu apa, aku lagi stress begini? 'Ah ... gue sentil. Luntur dah susuk lo!'
"Jangan becanda, Man. Gue lagi pusing ini."
"Iya, iya, sorry. Becanda doang, Dev. Biar lo gak perlu suntik anti aging." Manda malah terkekeh tanpa rasa bersalah sama sekali.
"Iya, sekarang, Devia. Buruan sana temuin. Tapi ... lo sendiri aja. Gak usah ajak Lika," beritahu Manda lagi.
"Kenapa?" Tak ayal aku pun bertanya dengan kepo.
"Mana gue tahu. Mbak Laras cuma bilang gitu doang, tapi gak jelasin alasannya. Jadi ... turutin aja kenapa, sih? Udah ya, gue cabut dulu. Bye cinta!"
Setelah itu, Amanda pun pergi dengan riang. Meninggalkan aku yang kini malah bertukar pandang dengan Lika.
'Kenapa cuma aku yang di panggil? Kenapa Lika enggak? Kan, yang bertanggung jawab atas semua kontrak kerjaku si Lika. Lah, enak banget nih wedok tak berbiji lepas dari hukuman. Jadi, semua aku gitu yang harus nanggung? '
Duh ... ini sih beneran bakal gagal OTW beken.
"Elah, Mbak. Bukannya buruan ke ruangan Mbak Laras. Malah tatap-tatapan sama Lika. Bae-bae baper kalian. Nanti kalian jadi jeruk makan jeruk, deh."
Plak!
Tanganku dan Lika pun otomatis terangkat ke kearah Toto. Menggemplak dengan kompak mulut embernya yang memang lebay.
"Gue masih doyan batangan!" teriakku dan Lika tak kalah kompak.
"Tita juga suka batangan. Apalagi yang segede tangan. Ugh ... Tita suka banget. Nanti kapan-kapan kita beli batangan bareng ya, Tante?"
Mendengar sahutan asing itu. Kepalaku pun sontak berputar ke sumber suara, yaitu ambang pintu ruangan ini.
Dan di sana, aku menemukan Tita, bocah perempuan yang ingin membeliku beberapa hari lalu di toko jam.
Lalu, tak lama setelah kedatangan Tita. Bapaknya menyusul di belakangnya.
Ya ampun ... jangan-jangan ....
*Happy Reading*"Ada elu, Nur? Kapan pulang? Betah banget lo di negeri orang? Eh, gue ngomong begini lo masih ngarti, kagak?" celoteh Mak Kanjeng, saat menemukan aku di Rumah Nurbaeti. Nanti sore akan ada acara perayaan ulang tahun Arshaka, anaknya Nurbaeti. Makanya aku ceritanya sedang bantu-bantu di sini, gaes. Mumpung aku sedang di Indonesia. Mendengar celotehan Mak Kanjeng. Aku nyengir saja. Lalu menghampirinya dan mencium punggung tangannya dengan hormat. "Ngerti dong, Mak. Bahasa betawi kan udah mendarah daging di Nur. Yee kan? Lagian Nur kan nikahnya sama orang Indo juga. Jadi sekalipun tinggal di luar negeri. Kami tetep menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian.""Owh ... gitu." Mak Kanjeng bergumam. "Syukur dah kalau gitu. Jadi gue gak usah buka kamus kalau ngomong sama lo. Soalnya gue pan gak ngerti bahas bule. Taunya yess sama no, doang. Eh, sama money dah gue juga tahu."Dasar Mak Kanjeng. Kalau soal cuan aja. Mau pake bahasa apa pun ngerti aja. Dasar emak-emak. "I
*Happy Reading*"Bang, kayaknya kamu harus mulai miara tuyul, deh.""Tuyul? Buat apa?""Buat tambah-tambah penghasilan biar bisa beli pabrik celana dalam. Aku capek loh beli banyak bisa seminggu sekali. Kamu robekin terus," omelku, seraya memungut kain segitiga yang tadi Aaron robek saat percintaan. Menunjukannya pada pria itu yang kini malah tertawa terbahak di tempatnya."Maaf, Sayang." Aaron menarik pinggangku posesif. "Habisnya tadi udah gak tahan." Dia mencium pipiku dengan mesra. Hilih! Alesan saja. Perasaan mau slow motion atau grasak-grusuk motion pun. Tetap aja memang dia mah sukanya robekin celana aku. Bikin aku keabisan semvak mulu!"Turunin CD gak sampai dua jam loh, Bang.""Tetep lama buat aku, Sayang. Namanya udah gak tahan gimana, sih? Aku gak mau buang satu detik pun buat merasakan kamu, sayang.""Hih! Otakmu itu emang isinya nana nina mulu kalau sama aku." Aku mencibirnya dengan kesal."Emang!" Aaron tak menampik. "Kalau liat kamu, otak aku emang auto pengen ngungkep
*Happy Reading*"Ya! Cukup untuk hari ini. Terima kasih dan see u tomorrow."Akhirnya hari ini berakhir. Aku mendesah lega kemudian segera merenggangkan tubuh sejenak demi untuk meredakan lelah yang menggelayuti tubuh. "Dev?" Celine, asistenku menghampiri seraya menyerahkan ponselku. "Aaron sejak tadi menghubungi," beritahunya, kemudian membuka botol kemasan yang dibawanya untukku. Senyumku pun langsung terurai lebar."Thanks, Celine." Aku menerima minuman darinya dengan senang hati, seraya mengecek ponsel. Ada lima panggilan tak terjawab dari Aaron. Sepuluh chat dari orang yang sama. Sisanya spam operator dan chat-chat dari sahabat, keluarga, dan beberapa nomor baru yang ingin memakai jasaku untuk produk mereka. Ya! Sebulan setelah menikah. Aku memang sudah kembali ke depan kamera. Menjadi model seperti sebelumnya, sekaligus menjadi Brand ambasador prodak kecantikan milik Aika. Mengabaikan nomor-nomor yang mencoba menjalin bisnis, yang pastinya sudah mendapat auto replay untuk
*Happy Reading*"Ya ampun. Beneran gak bisa berenti nangis, ya? Udahan kenapa, Yang? Kasian loh mata kamu." Aaron kembali memberikanku sehelai tissu kering, saat lagi-lagi air mataku mengalir tanpa bisa ku tahan. "Aku juga maunya berenti, Bang. Capek tahu, nangis kayak gini terus. Capek juga benerin riasannya. Tapi ... tapi ... mau gimana lagi. Aku masih gak percaya sama semua yang terjadi. Aku terharu parah. Kamu sih, ngasih kejutannya gak kira-kira! Kan aku ... aku ....""Nah? Nah? Kan? Minum dulu, minum dulu." Aaron lalu memberikan aku sebuah minum di botol. "Udah tahu suara hampir ilang. Masih aja ngomel," tambahnya disela kegiatan membantu aku minum lewat sedotan. "Aku gak ngomel, Abang!" Aku melayangkan protes dengan suara yang sebenarnya udah sengau. Kebanyakan nangis tadi bersama Intan dan Nurbaeti. "Lalu?""Menyuarakan kekesalan sama Abang aja.""Lah? Jadi, gak suka nih sama kejutan dari aku?" tuduh Aaron."Sukalah! Ya kali!" Aku menyahut cepat."Terus?""Gak ada terus-ter
*Happy Reading*Aku sudah siap! Sudah cantik sekali dengan gaun mahal yang Aika bawa, serta riasan sempurna hasil tangan MUA profesional yang juga Aika bawa. Pokoknya, aku sudah siap muncul menghipnotis semua tamu undangan malam ini. Akan tetapi, sayang mempelaiku tak kunjung datang menjemput. Meski ini sudah tiga jam berlalu sejak kepergiannya. Sang mempelai pria masih belum diketahui rimbanya. Membuat aku harus menunggu dengan hati gusar luar biasa. "Ck, ke mana, sih? Perasaan tadi bilangnya gak nyampe dua jam. Tapi ini kok malah gak muncul-muncul? Mana sekarang gak ada yang aktif lagi nomor-nomornya. Minta diuleg emang nih para pria berbiji."Lihat saja! Bahkan Aika yang awalnya santai, kini mulai emosi dan ngomel-ngomel pada ponselnya. Pun Papa yang sudah tidak bisa duduk tenang di tempatnya. Sementara para ibu-ibu, terlihat saling merangkul untuk saling menguatkan.Tolong jangan ditanya bagaimana kondisiku. Karena meski tampilanku sudah cetar membahana mengalahkan ratu sejagad.
*Happy Reading*Seperti yang sudah-sudah. Setelah puas menangis, aku tertidur. Akan tetapi tidak lama. Karena tiga puluh menit kemudian, bunda membangunkanku dan menyuruh bersiap untuk resepsi pernikahan yang akan segera di mulai. Entahlah. Aku gak tahu lagi harus bilang apa sekarang. Aku bingung harus sedih atau senang menerima pernikahan ini. Di satu sisi, tentu saja aku senang. Akhirnya bisa menikah dan melepas masa lajangku dengan pria sebaik Aaron. Akan tetapi di sisi lainnya. Aku juga sedih karena harus menikah secepat ini, tanpa kehadiran sahabat-sahabatku, juga merasakan euforia pranikah seperti mereka. Dari mulai lamaran, menunggu ijab kabul, dan pusing mengurusi pesta pernikahan. Aku kehilangan semua momen itu. Bagaimana tidak. Seingatku aku hanya pingsan seharian, pas bangun semua udah jadi aja. Rasanya kayak ... gimana, ya? Pokoknya aku gak merasakan euforia apa pun dalam pernikahan ini. Meski aku tahu dan mengerti pasti kenapa harus begini jalannya. Tetap saja, rasanya
*Happy Reading*Saat mendengar suara Malvino. Aku refleks mencari pegangan dan meremas tangan Bunda yang kutemukan di pangkuan. Aku takut! Takut sekali!"Coba saja kalau bisa. Gue tunggu!" Berbeda denganku. Sepertinya ancaman Malvino tidak berpengaruh apa pun untuk Aaron. Pria itu menjawab lugas tanpa rasa takut sedikit pun. "Kamu? Siapa kamu? Kenapa ponsel Devia ada pada kamu?" Malvino yang mendengar sahutan ternyata bukan dariku. Tentu saja langsung bertanya dengan penasaran. "Gue suaminya Devia." Aaron masih menjawab dengan santainya. Sementara aku makin gusar di tempatku. Bunda bahkan sampai harus merangkul dan membisikan kata tenang berkali-kali. Karena tanpa sadar tubuhku sudah bergetar hebat mendengar percakapan itu. Sepertinya Malvino sudah membuat aku trauma parah. Bahkan hanya mendengar suaranya saja, aku sudah ketakutan seperti ini. Kepalaku mulai pusing lagi jadinya. "Suami? Jangan bermimpi kamu! Devia itu milik saya! Selamanya akan jadi milik saya!"Tuhan ... pria it
*Happy Reading*"Memang itu tujuannya," sahut Aaron tanpa beban."Eh?"A-apa maksud kamu?" Aku bertanya dengan terbata. Sayangnya, bukannya menjelaskan. Aaron malah tersenyum manis dan mengangkat bahu dengan acuh. Membuat aku kesal sekali. Apa-apaan sih dia. "Ron, jangan becanda. Ini bukan hal yang bisa kami jadikan lelucon!" Tak ayal aku pun langsung menghardiknya. "Siapa juga yang sedang becanda? Aku serius, kok.""Lalu, kenapa--""Serahin aja semuanya sama aku. Aku punya cara sendiri buat ngadepin pria brengsek itu."Sayangnya, jawaban Aaron barusan. Meski disuarakan dengan sungguh-sungguh. Tetap saja tidak bisa membuat aku tenang. Karena Aaron tidak tahu seberapa gila si duda sableng itu. "Serahin semuanya sama kamu? Jangan gila, Ron! Kamu gak tahu seberapa nekadnya dia. Khanza, anaknya dan Tita sudah menjadi korbannya. Aku gak mau kamu juga ... ikut jadi korbannya, Ron. Aku ... gak mau." Aku mencoba menyuarakan kekhawatiranku. Tanpa sadar air mataku menetes lagi. Membayangkan
*Happy Reading*"Eugh ..." Aku melenguh pelan. Saat ingin membuka mata, tetapi tersita oleh denyut nyeri yang berasal dari kepalaku. Sakit dan pusing sekali. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Tak lama, aku merasa sebuah tangan memijat-mijat kepalaku. Menghantarkan rasa hangat yang membuat nyaman.Setelah cukup lama. Aku pun bisa membuka mataku. Bunda lah yang pertama aku lihat dengan senyumnya yang sehangat mentari. Namun, matanya membengkak khas orang baru nangis. Kenapa? Ada apa?"Alhamdulilah, Nur. Akhirnya kamu bangun juga," ucap Bunda. Bangun? Aku emang kenapa? Aku melirik sekitarku, dan baru sadar jika ini bukan di kamarku yang ada di rumah Papa. Ini ... kayaknya di kamar rumah sakit. Lah? Kenapa aku di sini? "Bun, akh--ekhem!" Baru saja aku ingin menyuarakan rasa penasaran dalam diri. Tiba-tiba aku tercekat. Tenggorokanku sakit sekali. Seperti kekeringan dan butuh air segera. Seakan mengerti, bunda dengan cepat meraih gelas berisi air putih di nakas, dan membantuku minum