*Happy Reading*
"Jadi Bapak yang sudah membatalkan kontrak secara sepihak, bahkan menuntut saya dengan denda besar?"
Seperti dugaan, ternyata kekacauan hari ini, ulah si papa yang seenaknya menuduh aku menyalahi kontrak yang sudah dibuat. Hanya karena ucapanku tempo hari pada Tita yang mengaku akan menikah segera.
Memang sih, dalam kontrak itu, aku diharuskan masih singel, dan dilarang menikah sebelum kontrak berakhir. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang menyalahi aturan. Hanya saja, kebohonganku tempo hari yang membuat si papa seenaknya membatalkan kontrak, dan ... memang sepertinya pria ini sedang kurang kerjaan.
"Saya hanya melakukan apa yang sudah seharunya saya lakukan pada artis nakal seperti kamu," jawabnya acuh, seraya menatap aku intens dari balik meja di ruangan Mbak Laras yang akhirnya kami pinjam untuk diskusi berdua saja.
Akan tetapi, kalian dengar sendiri bagaimana jawabannya barusan, kan? Dia memang sepertinya ingin cari gara-gara denganku saja. Padahal kan, waktu itu aku hanya berbohong pada Tita. Agar tidak ditawar, dan di bawa pulang untuk dijadikan mama barunya.
Siapa sangka? Aku sudah berbohong pada orang yang salah, karena ternyata si papa ini orang yang cukup berpengaruh di dunia entertainment yang sedang aku geluti.
Aksha Malvino Putra Alexander.
Owner dari sebuah perusahaan, yang menaungi beberapa agensi, juga perusahaan lain yang bergerak di dunia hiburan.
'Aku kayak cari mati, ya?'
Tetapi, wajar sih, jika aku sampai tidak mengenali pria hebat seperti dia, pada perjumpaan pertama kami. Itu semua karena Pak Aksa ini biasa berkerja di balik layar, jarang muncul di media dan ... sedikit misterius, katanya.
Ya ... pokoknya, setipe dengan Ammar, suami Si Nurbaeti. Bedanya, dari orok Ammar itu sudah sering show off ke media. Sementara keluarga Pak Aksha terkesan tertutup dan tidak suka tampil di publik. Jadi untuk namanya, mungkin aku sering mendengar, tapi untuk wajahnya, tidak.
Jadi, ini bukan sepenuhnya salah aku. Siapa suruh waktu itu gak ngajakin kenalan?
"Tapi, saya bukan artis nakal, Pak!" bantahku keras.
"Tapi kamu berbohong pada Tita," sahutnya cepat.
Benar dugaanku. Itu adalah biang utamanya. Hanya karena kebohonganku tempo hari, dia bikin aku hampir stress hari ini.
Aneh. Dia usia berapa, coba? Kenapa tidak bisa membedakan ucapan candaan dan keseriusan? Kenapa pula harus mencampur aduk kan masalah pribadi dan kerjaan?
Tidak profesional!
"Saya gak bermaksud berbohong, Bapak."
"Lalu?"
"Saya hanya ... ya ... tidak tahu cara menolak keinginan anak Bapak itu."
"Kenapa kamu harus menolak?"
Eh? Kok?
"Kenapa pula saya harus terima?" Akhirnya aku bertanya balik, karena bingung harus menanggapi apa pertanyaan Pak Akhsa yang terakhir.
Aku gak mungkin jawab karena dia sudah berbuntut dua, dan aku gak mau nasibku sama kayak si Intan, kan? Nanti dia sakit hati, bagaimana?
Duda itu bukan aib. Tapi juga tidak bisa dibanggakan. Jadinya, aku bingung jika harus menghadapi seorang duda.
"Karena saya tampan dan punya masa depan bagus. Saya bisa mewujudkan mimpi kamu jadi bintang, bahkan jadi super bintang pun, saya sanggup. Yakin kamu tidak tertarik?"
Aku pun seketika speechless.
Ya ampun, aku gak nyangka seorang bisnisman kenamaan seperti Pak Aksa ini, ternyata punya kepercayaan diri yang mengkhawatirkan.
Memang sih, apa yang disebutkannya tadi gak ada yang salah. Tapi tetap saja, aku gak nyangka dia sesombong itu. Lagipula, aku bukan tipe orang yang suka ambil jalan pintas.
Moto hidupku adalah, kalau ada yang sulit kenapa harus ambil yang mudah? Gak ada tantangannya kalau mudah, ya kan? Jadi mending ambil yang susah aja biar kelihatan kerja. Bener, gak?
"Munafik jika saya bilang tidak tertarik. Sebagai manusia yang punya ambisi, saya pun punya cita-cita seperti yang anda tawarkan. Hanya saja, jika taruhannya adalah pernikahan dan masa depan sampai tua. Saya lebih baik mundur," tolakku dengan tegas.
"Kenapa?" tuntutnya.
"Karena pernikahan bukan hal sepele. Bagi saya, Pernikahan adalah hal luar biasa yang harus saya pikirkan secara serius. Karena saya hanya ingin menikah dengan orang yang tepat, dan waktu yang tepat." Aku mencoba menjawab sebijak mungkin.
"Dan menurut kamu, saya bukan orang yang tepat?" cecarnya lagi.
"Saya tidak bilang begitu," bantahku cepat.
"Lalu?" Dia masih mengejar.
"Saya tidak tahu. Karena saya kan, belum mengenal Bapak dengan baik."
"Kalau begitu kenali saya lebih baik lagi."
"Maksudnya?" Aku bertanya dengan bingung.
"Ayo kita pacaran."
Hah?!
Satu detik
Dua detik
Tiga detik, dan ....
"Haaahh ...." Aku pun akhirnya mendesah panjang setelahnya.
Capek aku ngadepin yang kayak gini. Mentang-mentang punya duit, punya nama besar, dan punya jabatan. Seenaknya aja kalau ambil keputusan.
'Dia kira pacaran itu gampang?' Aku membatin dengan kesal seraya mencebik diam-diam.
Tidak, Sebenarnya emang gampang, sih? Cuma butuh satu orang cewek dan cowok. Lalu kata, "mau gak jadi pacarku?" Dan ... tara ... jadilah pasangan.
Namun masalahnya adalah, aku udah capek pacaran. Karena membuka hati dan kembali menyesuaikan dengan orang baru itu melelahkan.
Iya, kalau pacarannya langgeng. Lalu bisa sampai ke pelaminan. Nah, kalau tidak cocok? Putus lagi, nyari orang baru lagi, buka hati lagi, penyesuaian lagi, Aahhh ... buang tenaga.
Capek tahu kayak gitu, tuh. Buang-buang waktu saja. Menurutku lebih baik sendirian saja. Menunggu jodoh tepat sambil memperkaya diri, agar bisa shoping tanpa melihat bandrol.
"Saya gak mau!" Aku kembali menolak dengan tegas.
"Kenapa lagi?" Pak Aksa mulai terlihat kesal dengan jawabanku.
"Karena di usia saya yang sekarang bukan waktunya lagi buat pacaran." Aku masih berbohong.
"Ya kalau begitu ayo kita menikah!" jawabnya dengan santai.
Astaga! Nih duda kenapa gigih sekali seperti si Bella, ya? Punya hubungan apa mereka sebenarnya? Sifat memaksanya sama!
"Bapak, ih. Pacaran aja saya gak mau, ini ditawarin menikah. Saya gak mau, Bapak!"
"Ya, tapi kenapa? Saya kurang apalagi sampai kamu terus menolak?"
Kurang single!
Maunya aku menyahut seperti itu. Biar dia sadar diri sekalian. Beruntung aku masih punya hati, dan otak waras hingga tidak mau semakin cari ribut dengan orang ini. Soalnya, aku masih butuh cuan dari dunia entertaiment yang dia kuasai, agar bisa shoping tanpa lihat bandrol harga.
"Gak ada yang kurang kok sama Bapak. Bapak itu udah perpect 100%. Justru di sini masalahnya adalah saya! Saya yang belum mau punya hubungan apa pun, dengan pria manapun." Aku masih berbohong.
"Termasuk sama saya?" Wajah pria itu benar-benar tak terima dengan keputusanku.
Anda justru yang paling khusus!
"Iya! Termasuk Bapak, dan pria manapun!" Aku pun akhirnya memberi ketegasan pada Pak Aksa agar dia tahu, jika aku serius dalam hal ini.
Pak Aksa pun terdiam sejenak, seraya mengetuk-ngetuk jarinya pada dagu sambil menatap aku lekat.
"Saya heran, kok ada wanita bodoh seperti kamu?"
Heh? Maksudnya?
"Padahal ada berlian di depan mata. Bukannya diambil dan disimpan, malah di tolak. Waras kamu?"
What the hell!
Kepercayaan diri pria ini benar-benar mengkhawatirkan. Sangat mengundang sekali untuk dijitak, atau dilempari sendal bakiak sekalian.
*Happy Reading*"Ada elu, Nur? Kapan pulang? Betah banget lo di negeri orang? Eh, gue ngomong begini lo masih ngarti, kagak?" celoteh Mak Kanjeng, saat menemukan aku di Rumah Nurbaeti. Nanti sore akan ada acara perayaan ulang tahun Arshaka, anaknya Nurbaeti. Makanya aku ceritanya sedang bantu-bantu di sini, gaes. Mumpung aku sedang di Indonesia. Mendengar celotehan Mak Kanjeng. Aku nyengir saja. Lalu menghampirinya dan mencium punggung tangannya dengan hormat. "Ngerti dong, Mak. Bahasa betawi kan udah mendarah daging di Nur. Yee kan? Lagian Nur kan nikahnya sama orang Indo juga. Jadi sekalipun tinggal di luar negeri. Kami tetep menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian.""Owh ... gitu." Mak Kanjeng bergumam. "Syukur dah kalau gitu. Jadi gue gak usah buka kamus kalau ngomong sama lo. Soalnya gue pan gak ngerti bahas bule. Taunya yess sama no, doang. Eh, sama money dah gue juga tahu."Dasar Mak Kanjeng. Kalau soal cuan aja. Mau pake bahasa apa pun ngerti aja. Dasar emak-emak. "I
*Happy Reading*"Bang, kayaknya kamu harus mulai miara tuyul, deh.""Tuyul? Buat apa?""Buat tambah-tambah penghasilan biar bisa beli pabrik celana dalam. Aku capek loh beli banyak bisa seminggu sekali. Kamu robekin terus," omelku, seraya memungut kain segitiga yang tadi Aaron robek saat percintaan. Menunjukannya pada pria itu yang kini malah tertawa terbahak di tempatnya."Maaf, Sayang." Aaron menarik pinggangku posesif. "Habisnya tadi udah gak tahan." Dia mencium pipiku dengan mesra. Hilih! Alesan saja. Perasaan mau slow motion atau grasak-grusuk motion pun. Tetap aja memang dia mah sukanya robekin celana aku. Bikin aku keabisan semvak mulu!"Turunin CD gak sampai dua jam loh, Bang.""Tetep lama buat aku, Sayang. Namanya udah gak tahan gimana, sih? Aku gak mau buang satu detik pun buat merasakan kamu, sayang.""Hih! Otakmu itu emang isinya nana nina mulu kalau sama aku." Aku mencibirnya dengan kesal."Emang!" Aaron tak menampik. "Kalau liat kamu, otak aku emang auto pengen ngungkep
*Happy Reading*"Ya! Cukup untuk hari ini. Terima kasih dan see u tomorrow."Akhirnya hari ini berakhir. Aku mendesah lega kemudian segera merenggangkan tubuh sejenak demi untuk meredakan lelah yang menggelayuti tubuh. "Dev?" Celine, asistenku menghampiri seraya menyerahkan ponselku. "Aaron sejak tadi menghubungi," beritahunya, kemudian membuka botol kemasan yang dibawanya untukku. Senyumku pun langsung terurai lebar."Thanks, Celine." Aku menerima minuman darinya dengan senang hati, seraya mengecek ponsel. Ada lima panggilan tak terjawab dari Aaron. Sepuluh chat dari orang yang sama. Sisanya spam operator dan chat-chat dari sahabat, keluarga, dan beberapa nomor baru yang ingin memakai jasaku untuk produk mereka. Ya! Sebulan setelah menikah. Aku memang sudah kembali ke depan kamera. Menjadi model seperti sebelumnya, sekaligus menjadi Brand ambasador prodak kecantikan milik Aika. Mengabaikan nomor-nomor yang mencoba menjalin bisnis, yang pastinya sudah mendapat auto replay untuk
*Happy Reading*"Ya ampun. Beneran gak bisa berenti nangis, ya? Udahan kenapa, Yang? Kasian loh mata kamu." Aaron kembali memberikanku sehelai tissu kering, saat lagi-lagi air mataku mengalir tanpa bisa ku tahan. "Aku juga maunya berenti, Bang. Capek tahu, nangis kayak gini terus. Capek juga benerin riasannya. Tapi ... tapi ... mau gimana lagi. Aku masih gak percaya sama semua yang terjadi. Aku terharu parah. Kamu sih, ngasih kejutannya gak kira-kira! Kan aku ... aku ....""Nah? Nah? Kan? Minum dulu, minum dulu." Aaron lalu memberikan aku sebuah minum di botol. "Udah tahu suara hampir ilang. Masih aja ngomel," tambahnya disela kegiatan membantu aku minum lewat sedotan. "Aku gak ngomel, Abang!" Aku melayangkan protes dengan suara yang sebenarnya udah sengau. Kebanyakan nangis tadi bersama Intan dan Nurbaeti. "Lalu?""Menyuarakan kekesalan sama Abang aja.""Lah? Jadi, gak suka nih sama kejutan dari aku?" tuduh Aaron."Sukalah! Ya kali!" Aku menyahut cepat."Terus?""Gak ada terus-ter
*Happy Reading*Aku sudah siap! Sudah cantik sekali dengan gaun mahal yang Aika bawa, serta riasan sempurna hasil tangan MUA profesional yang juga Aika bawa. Pokoknya, aku sudah siap muncul menghipnotis semua tamu undangan malam ini. Akan tetapi, sayang mempelaiku tak kunjung datang menjemput. Meski ini sudah tiga jam berlalu sejak kepergiannya. Sang mempelai pria masih belum diketahui rimbanya. Membuat aku harus menunggu dengan hati gusar luar biasa. "Ck, ke mana, sih? Perasaan tadi bilangnya gak nyampe dua jam. Tapi ini kok malah gak muncul-muncul? Mana sekarang gak ada yang aktif lagi nomor-nomornya. Minta diuleg emang nih para pria berbiji."Lihat saja! Bahkan Aika yang awalnya santai, kini mulai emosi dan ngomel-ngomel pada ponselnya. Pun Papa yang sudah tidak bisa duduk tenang di tempatnya. Sementara para ibu-ibu, terlihat saling merangkul untuk saling menguatkan.Tolong jangan ditanya bagaimana kondisiku. Karena meski tampilanku sudah cetar membahana mengalahkan ratu sejagad.
*Happy Reading*Seperti yang sudah-sudah. Setelah puas menangis, aku tertidur. Akan tetapi tidak lama. Karena tiga puluh menit kemudian, bunda membangunkanku dan menyuruh bersiap untuk resepsi pernikahan yang akan segera di mulai. Entahlah. Aku gak tahu lagi harus bilang apa sekarang. Aku bingung harus sedih atau senang menerima pernikahan ini. Di satu sisi, tentu saja aku senang. Akhirnya bisa menikah dan melepas masa lajangku dengan pria sebaik Aaron. Akan tetapi di sisi lainnya. Aku juga sedih karena harus menikah secepat ini, tanpa kehadiran sahabat-sahabatku, juga merasakan euforia pranikah seperti mereka. Dari mulai lamaran, menunggu ijab kabul, dan pusing mengurusi pesta pernikahan. Aku kehilangan semua momen itu. Bagaimana tidak. Seingatku aku hanya pingsan seharian, pas bangun semua udah jadi aja. Rasanya kayak ... gimana, ya? Pokoknya aku gak merasakan euforia apa pun dalam pernikahan ini. Meski aku tahu dan mengerti pasti kenapa harus begini jalannya. Tetap saja, rasanya
*Happy Reading*Saat mendengar suara Malvino. Aku refleks mencari pegangan dan meremas tangan Bunda yang kutemukan di pangkuan. Aku takut! Takut sekali!"Coba saja kalau bisa. Gue tunggu!" Berbeda denganku. Sepertinya ancaman Malvino tidak berpengaruh apa pun untuk Aaron. Pria itu menjawab lugas tanpa rasa takut sedikit pun. "Kamu? Siapa kamu? Kenapa ponsel Devia ada pada kamu?" Malvino yang mendengar sahutan ternyata bukan dariku. Tentu saja langsung bertanya dengan penasaran. "Gue suaminya Devia." Aaron masih menjawab dengan santainya. Sementara aku makin gusar di tempatku. Bunda bahkan sampai harus merangkul dan membisikan kata tenang berkali-kali. Karena tanpa sadar tubuhku sudah bergetar hebat mendengar percakapan itu. Sepertinya Malvino sudah membuat aku trauma parah. Bahkan hanya mendengar suaranya saja, aku sudah ketakutan seperti ini. Kepalaku mulai pusing lagi jadinya. "Suami? Jangan bermimpi kamu! Devia itu milik saya! Selamanya akan jadi milik saya!"Tuhan ... pria it
*Happy Reading*"Memang itu tujuannya," sahut Aaron tanpa beban."Eh?"A-apa maksud kamu?" Aku bertanya dengan terbata. Sayangnya, bukannya menjelaskan. Aaron malah tersenyum manis dan mengangkat bahu dengan acuh. Membuat aku kesal sekali. Apa-apaan sih dia. "Ron, jangan becanda. Ini bukan hal yang bisa kami jadikan lelucon!" Tak ayal aku pun langsung menghardiknya. "Siapa juga yang sedang becanda? Aku serius, kok.""Lalu, kenapa--""Serahin aja semuanya sama aku. Aku punya cara sendiri buat ngadepin pria brengsek itu."Sayangnya, jawaban Aaron barusan. Meski disuarakan dengan sungguh-sungguh. Tetap saja tidak bisa membuat aku tenang. Karena Aaron tidak tahu seberapa gila si duda sableng itu. "Serahin semuanya sama kamu? Jangan gila, Ron! Kamu gak tahu seberapa nekadnya dia. Khanza, anaknya dan Tita sudah menjadi korbannya. Aku gak mau kamu juga ... ikut jadi korbannya, Ron. Aku ... gak mau." Aku mencoba menyuarakan kekhawatiranku. Tanpa sadar air mataku menetes lagi. Membayangkan
*Happy Reading*"Eugh ..." Aku melenguh pelan. Saat ingin membuka mata, tetapi tersita oleh denyut nyeri yang berasal dari kepalaku. Sakit dan pusing sekali. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Tak lama, aku merasa sebuah tangan memijat-mijat kepalaku. Menghantarkan rasa hangat yang membuat nyaman.Setelah cukup lama. Aku pun bisa membuka mataku. Bunda lah yang pertama aku lihat dengan senyumnya yang sehangat mentari. Namun, matanya membengkak khas orang baru nangis. Kenapa? Ada apa?"Alhamdulilah, Nur. Akhirnya kamu bangun juga," ucap Bunda. Bangun? Aku emang kenapa? Aku melirik sekitarku, dan baru sadar jika ini bukan di kamarku yang ada di rumah Papa. Ini ... kayaknya di kamar rumah sakit. Lah? Kenapa aku di sini? "Bun, akh--ekhem!" Baru saja aku ingin menyuarakan rasa penasaran dalam diri. Tiba-tiba aku tercekat. Tenggorokanku sakit sekali. Seperti kekeringan dan butuh air segera. Seakan mengerti, bunda dengan cepat meraih gelas berisi air putih di nakas, dan membantuku minum