Share

Beken 4

Author: Amih Lilis
last update Last Updated: 2022-02-12 04:08:22

*Happy Reading*

Menanggapi pernyataan Pak Aksa aku pun memutar mata jengah, seraya menyandarkan diri dengan kasar pada sandaran kursi.

"Saya juga heran sama Bapak. Sudah tahu ditolak, masih aja gigih maksa. Kek gak ada cewek lain aja diluaran sana. Kenapa? Situ kurang laku?" balasku dengan berani, membuat mata Pak Aksa melotot horor setelahnya.

'Nah, kan? Emang enak di balikin! Pokoknya, lo jual gue borong, Bang!'

"Kamu jangan sembarangan, ya! Gini-gini yang ingin jadi istri saya banyak!" 

Akhirnya dia pun marah. Namun, aku sudah tidak perduli. Karena aku sudah malas berurusan dengan pria pemaksa seperti dia. 

"Ya, kalau gitu. Kenapa Bapak gak pilih wanita-wanita itu aja? Kenapa harus maksa saya, yang jelas-jelas nolak?"

"Karena Tita hanya mau kamu!"

"That's the poin!" sahutku cepat, menjentikan jari dengan keras, sebelum menunjuk wajahnya.

"Dari awal saya sudah bisa menebak niat bapak sebenarnya apa, hingga meminta saya menjadi pacar, bahkan menikah dengan Bapak? Semuanya karena Tita, kan? Bukan karena Bapak sendiri menginginkan saya!" terangku dengan gamblang. 

"Lalu masalahnya di mana? Wajar kan kalau saya lebih mengutamakan kebahagiaan anak saya?" jawabnya enteng sambil melipat tangan di atas dada dengan jumawa.

"Memang wajar, tidak ada yang salah kok, dengan hal itu. Hanya saja coba Bapak pikir. Dalam rumah tangga itu, bukan hanya ada ibu dan anak saja. Tapi ada juga suami dan hari tua." Aku mencoba menjelaskan.

"Nah, sekarang Bapak bayangkan. Jika Bapak menikahi saya hanya karena Tita. Saat Tita sudah beranjak dewasa dan pergi jauh dengan keluarga kecilnya. Yang tertinggal itu hanya saya dan Bapak saja. Tapi jika dari awal saja Bapak tidak menginginkan saya, akan bagaimana saya melanjutkan rumah tangga itu dengan Bapak? Bercerai diusia senja jelas itu bukan pilihan bijak. Tapi tetap bertahan pun rasanya .... Haaah ...." Aku membuang napas kasar dan menggeleng pelan tak habis pikir. "Saya gak akan sanggup menjalani hidup seperti itu, Pak. Jadi sorry. Saya tetap menolak tawaran Bapak!" Finalku Akhirnya, membuat Pak Aksa terdiam cukup lama.

Entah apa yang sedang dia pikirkan. Yang jelas, aku berharap dia mengerti tentang keputusanku ini. Semoga.

"Saya akan belajar mencintai kamu."

Kukira, dia sudah menyerah. Ternyata dia masih bersikukuh. Membuat aku kembali mendesah lela untuk kesekian kalinya.

Susah memang kalau ngomong sama karet gelang yang dikasih nyawa. Gak akan ada yang mempan. Mental semua! 

Karet gelangnya punya duit banyak lagi. Makin susah deh, untuk dibuat mengerti. Arogan!

"Gak usah sesumbar. Kalau memang Bapak bisa melakukannya. Lakukan saja dan berikan bukti. Simple, kan?"

Semerdeka dia aja lah. Sudah capek aku ngadepinnya.

Pak Aksa malah menaikan alisnya sebelah, sambil menatapku dengan lekat. Wajahnya seperti meremehkan ucapanku barusan. 

"Memang kamu mau bukti apa dari saya? Katakan saja. Saya--"

"Papa!"

"Eh, Tita. Ya ampun!" 

Belum sempat Pak Aksa melanjutkan ucapannya. Tita tiba-tiba sudah menerobos masuk. Diikuti Mbak Laras yang tadi di minta menjaganya.

Duh, kloningnya si Bella. Sama-sama suka bikin rusuh!

"Maaf, Pak. Tadi saya sudah berusaha melarang Tita masuk. Tapi Tita--"

"Tidak apa-apa," sela Pak Aksa cepat, mengangkat tangan ke arah Mbak Laras, kemudian menempatkan Tita pada pangkuannya.

"Kenapa, Tita? Sepertinya hari ini kamu kesulitan mendengar dan mematuhi permintaan Papa, ya? Ada apa? Tita mau apa?" 

Pak Aksa pun mengalihkan perhatiannya pada Tita, dan bertanya dengan nada lembut sekali. Membuat malah Mbak Laras yang kayaknya ikutan baper.

'Lah, Mbak Laras kenapa? Tita yang ditanya lembut. Dia yang mesem sendiri. Situ sehat, Mbak?' Aku hanya bisa membatin melihat hal menggelikan itu.

"Abis Papa lama. Tita kan pengen main sama Tante Artis."

Eh? Kok, aku?

"Tapi Tante juga mau kerja abis ini, Tita. Jadi, kayaknya gak bisa nemenin Tita." Aku pun ikut buka suara. Karena namaku sudah dibawa-bawa.

"Loh, katanya kita mau beli batangan? Tante gimana, sih?"

Waduh!

"Batangan? Maksudnya?" Pak Aksa bertanya seraya menautkan alisnya dengan bingung.

"Iya, Pah. Tadi pas Tita sampai ruangan Tante Artis. Tita dengar, Tante suka batangan. Makanya Tita ajakin beli bareng. Kan Tita juga suka batangan."

Mampus gue!

Pak Aksa pun lalu melirikku penuh arti. Dan mengulum senyum dengan menjengkelkan dibelakang tubuh Tita. 

Sial! Mikir apa dia?

"Kenapa? Saya memang suka coklat batangan, kok. Ada masalah?" Aku pun mau tak mau memberi penjelasan dengan gamblang. Agar otak dudanya tidak travelling ke mana-mana. 

"Okeh ... okeh. Saya mengerti kok, Devia. Saya juga punya batangan kalau kamu mau."

Uhuk!

Seketika Mbak Laras pun terbatuk-batuk di tempatnya. Syok dengan jawaban frontal dari Pak Aksa barusan.

Sementara aku? Langsung melotot penuh peringatan pada duda gila itu. Mentang-mentang sudah pernah menikah. Nyambungnya ke mana-mana kalau bahas batangan. 

"Eh, astaga! Maksud saya coklat batangan. Jangan salah paham, okeh!" Dia meralat ucapannya dengan segera. Namun, tidak terlihat merasa bersalah sama sekali. 

Yang ada. Pria itu malah dengan berani mengedip nakal padaku. Membuat aku ingin sekali mencolok mata jahilnya barusan. 

Dasar duda sableng!

"Ah, bapak bisa saja." 

Bukan aku yang menjawab. Melainkan Mbak Laras, yang kini wajahnya sudah merona merah. Dengan senyum malu-malu seperti anak perawan baru bertemu gebetan. 

Fix! Aku rasa Mbak Laras pasti suka dengan Pak Aksa. Tapi, wajar sih. Mbak Laras juga janda dan ....

Eh, kenapa tidak aku jodohkan saja mereka, ya?

"Papa ayo, pulang! Sama Tante artis juga. Tita gak suka ada di sini."

Aku lupa. Masih ada Tita yang harus aku taklukan dan sebisa mungkin aku alihkan agar tidak lagi mengincarku sebagai mama barunya. Karena di sini, memang dialah alasan utama kegilaan Pak Aksa. 

Jadi, jika Tita sudah berubah haluan. Aku yakin Pak Aksa pun akan ikut ke mana Tita menjatuhkan pilihan. 

"Eh, gak suka kenapa, Tita?" Mbak Laras tampak penasaran. 

"Soalnya Tante genit banget lirikin Papa Tita." Tita menunjuk Mbak Laras dengan berani. "Kan, nanti Tante artis cemburu," lanjutnya lagi. Seketika membuat aku terserang sesak napas dadakan. 

Hancur sudah karierku!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nazwa Chairunnisa
wkwkwk Tita jujur bgt deh ......
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Terjerat Obsesi Gila Duda Anak Dua   Extra part 4

    *Happy Reading*"Ada elu, Nur? Kapan pulang? Betah banget lo di negeri orang? Eh, gue ngomong begini lo masih ngarti, kagak?" celoteh Mak Kanjeng, saat menemukan aku di Rumah Nurbaeti. Nanti sore akan ada acara perayaan ulang tahun Arshaka, anaknya Nurbaeti. Makanya aku ceritanya sedang bantu-bantu di sini, gaes. Mumpung aku sedang di Indonesia. Mendengar celotehan Mak Kanjeng. Aku nyengir saja. Lalu menghampirinya dan mencium punggung tangannya dengan hormat. "Ngerti dong, Mak. Bahasa betawi kan udah mendarah daging di Nur. Yee kan? Lagian Nur kan nikahnya sama orang Indo juga. Jadi sekalipun tinggal di luar negeri. Kami tetep menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian.""Owh ... gitu." Mak Kanjeng bergumam. "Syukur dah kalau gitu. Jadi gue gak usah buka kamus kalau ngomong sama lo. Soalnya gue pan gak ngerti bahas bule. Taunya yess sama no, doang. Eh, sama money dah gue juga tahu."Dasar Mak Kanjeng. Kalau soal cuan aja. Mau pake bahasa apa pun ngerti aja. Dasar emak-emak. "I

  • Terjerat Obsesi Gila Duda Anak Dua   extra part 3

    *Happy Reading*"Bang, kayaknya kamu harus mulai miara tuyul, deh.""Tuyul? Buat apa?""Buat tambah-tambah penghasilan biar bisa beli pabrik celana dalam. Aku capek loh beli banyak bisa seminggu sekali. Kamu robekin terus," omelku, seraya memungut kain segitiga yang tadi Aaron robek saat percintaan. Menunjukannya pada pria itu yang kini malah tertawa terbahak di tempatnya."Maaf, Sayang." Aaron menarik pinggangku posesif. "Habisnya tadi udah gak tahan." Dia mencium pipiku dengan mesra. Hilih! Alesan saja. Perasaan mau slow motion atau grasak-grusuk motion pun. Tetap aja memang dia mah sukanya robekin celana aku. Bikin aku keabisan semvak mulu!"Turunin CD gak sampai dua jam loh, Bang.""Tetep lama buat aku, Sayang. Namanya udah gak tahan gimana, sih? Aku gak mau buang satu detik pun buat merasakan kamu, sayang.""Hih! Otakmu itu emang isinya nana nina mulu kalau sama aku." Aku mencibirnya dengan kesal."Emang!" Aaron tak menampik. "Kalau liat kamu, otak aku emang auto pengen ngungkep

  • Terjerat Obsesi Gila Duda Anak Dua   Extra part 2

    *Happy Reading*"Ya! Cukup untuk hari ini. Terima kasih dan see u tomorrow."Akhirnya hari ini berakhir. Aku mendesah lega kemudian segera merenggangkan tubuh sejenak demi untuk meredakan lelah yang menggelayuti tubuh. "Dev?" Celine, asistenku menghampiri seraya menyerahkan ponselku. "Aaron sejak tadi menghubungi," beritahunya, kemudian membuka botol kemasan yang dibawanya untukku. Senyumku pun langsung terurai lebar."Thanks, Celine." Aku menerima minuman darinya dengan senang hati, seraya mengecek ponsel. Ada lima panggilan tak terjawab dari Aaron. Sepuluh chat dari orang yang sama. Sisanya spam operator dan chat-chat dari sahabat, keluarga, dan beberapa nomor baru yang ingin memakai jasaku untuk produk mereka. Ya! Sebulan setelah menikah. Aku memang sudah kembali ke depan kamera. Menjadi model seperti sebelumnya, sekaligus menjadi Brand ambasador prodak kecantikan milik Aika. Mengabaikan nomor-nomor yang mencoba menjalin bisnis, yang pastinya sudah mendapat auto replay untuk

  • Terjerat Obsesi Gila Duda Anak Dua   Extra part 1

    *Happy Reading*"Ya ampun. Beneran gak bisa berenti nangis, ya? Udahan kenapa, Yang? Kasian loh mata kamu." Aaron kembali memberikanku sehelai tissu kering, saat lagi-lagi air mataku mengalir tanpa bisa ku tahan. "Aku juga maunya berenti, Bang. Capek tahu, nangis kayak gini terus. Capek juga benerin riasannya. Tapi ... tapi ... mau gimana lagi. Aku masih gak percaya sama semua yang terjadi. Aku terharu parah. Kamu sih, ngasih kejutannya gak kira-kira! Kan aku ... aku ....""Nah? Nah? Kan? Minum dulu, minum dulu." Aaron lalu memberikan aku sebuah minum di botol. "Udah tahu suara hampir ilang. Masih aja ngomel," tambahnya disela kegiatan membantu aku minum lewat sedotan. "Aku gak ngomel, Abang!" Aku melayangkan protes dengan suara yang sebenarnya udah sengau. Kebanyakan nangis tadi bersama Intan dan Nurbaeti. "Lalu?""Menyuarakan kekesalan sama Abang aja.""Lah? Jadi, gak suka nih sama kejutan dari aku?" tuduh Aaron."Sukalah! Ya kali!" Aku menyahut cepat."Terus?""Gak ada terus-ter

  • Terjerat Obsesi Gila Duda Anak Dua   Beken 106

    *Happy Reading*Aku sudah siap! Sudah cantik sekali dengan gaun mahal yang Aika bawa, serta riasan sempurna hasil tangan MUA profesional yang juga Aika bawa. Pokoknya, aku sudah siap muncul menghipnotis semua tamu undangan malam ini. Akan tetapi, sayang mempelaiku tak kunjung datang menjemput. Meski ini sudah tiga jam berlalu sejak kepergiannya. Sang mempelai pria masih belum diketahui rimbanya. Membuat aku harus menunggu dengan hati gusar luar biasa. "Ck, ke mana, sih? Perasaan tadi bilangnya gak nyampe dua jam. Tapi ini kok malah gak muncul-muncul? Mana sekarang gak ada yang aktif lagi nomor-nomornya. Minta diuleg emang nih para pria berbiji."Lihat saja! Bahkan Aika yang awalnya santai, kini mulai emosi dan ngomel-ngomel pada ponselnya. Pun Papa yang sudah tidak bisa duduk tenang di tempatnya. Sementara para ibu-ibu, terlihat saling merangkul untuk saling menguatkan.Tolong jangan ditanya bagaimana kondisiku. Karena meski tampilanku sudah cetar membahana mengalahkan ratu sejagad.

  • Terjerat Obsesi Gila Duda Anak Dua   Beken 105

    *Happy Reading*Seperti yang sudah-sudah. Setelah puas menangis, aku tertidur. Akan tetapi tidak lama. Karena tiga puluh menit kemudian, bunda membangunkanku dan menyuruh bersiap untuk resepsi pernikahan yang akan segera di mulai. Entahlah. Aku gak tahu lagi harus bilang apa sekarang. Aku bingung harus sedih atau senang menerima pernikahan ini. Di satu sisi, tentu saja aku senang. Akhirnya bisa menikah dan melepas masa lajangku dengan pria sebaik Aaron. Akan tetapi di sisi lainnya. Aku juga sedih karena harus menikah secepat ini, tanpa kehadiran sahabat-sahabatku, juga merasakan euforia pranikah seperti mereka. Dari mulai lamaran, menunggu ijab kabul, dan pusing mengurusi pesta pernikahan. Aku kehilangan semua momen itu. Bagaimana tidak. Seingatku aku hanya pingsan seharian, pas bangun semua udah jadi aja. Rasanya kayak ... gimana, ya? Pokoknya aku gak merasakan euforia apa pun dalam pernikahan ini. Meski aku tahu dan mengerti pasti kenapa harus begini jalannya. Tetap saja, rasanya

  • Terjerat Obsesi Gila Duda Anak Dua   Beken 104

    *Happy Reading*Saat mendengar suara Malvino. Aku refleks mencari pegangan dan meremas tangan Bunda yang kutemukan di pangkuan. Aku takut! Takut sekali!"Coba saja kalau bisa. Gue tunggu!" Berbeda denganku. Sepertinya ancaman Malvino tidak berpengaruh apa pun untuk Aaron. Pria itu menjawab lugas tanpa rasa takut sedikit pun. "Kamu? Siapa kamu? Kenapa ponsel Devia ada pada kamu?" Malvino yang mendengar sahutan ternyata bukan dariku. Tentu saja langsung bertanya dengan penasaran. "Gue suaminya Devia." Aaron masih menjawab dengan santainya. Sementara aku makin gusar di tempatku. Bunda bahkan sampai harus merangkul dan membisikan kata tenang berkali-kali. Karena tanpa sadar tubuhku sudah bergetar hebat mendengar percakapan itu. Sepertinya Malvino sudah membuat aku trauma parah. Bahkan hanya mendengar suaranya saja, aku sudah ketakutan seperti ini. Kepalaku mulai pusing lagi jadinya. "Suami? Jangan bermimpi kamu! Devia itu milik saya! Selamanya akan jadi milik saya!"Tuhan ... pria it

  • Terjerat Obsesi Gila Duda Anak Dua   Beken 103

    *Happy Reading*"Memang itu tujuannya," sahut Aaron tanpa beban."Eh?"A-apa maksud kamu?" Aku bertanya dengan terbata. Sayangnya, bukannya menjelaskan. Aaron malah tersenyum manis dan mengangkat bahu dengan acuh. Membuat aku kesal sekali. Apa-apaan sih dia. "Ron, jangan becanda. Ini bukan hal yang bisa kami jadikan lelucon!" Tak ayal aku pun langsung menghardiknya. "Siapa juga yang sedang becanda? Aku serius, kok.""Lalu, kenapa--""Serahin aja semuanya sama aku. Aku punya cara sendiri buat ngadepin pria brengsek itu."Sayangnya, jawaban Aaron barusan. Meski disuarakan dengan sungguh-sungguh. Tetap saja tidak bisa membuat aku tenang. Karena Aaron tidak tahu seberapa gila si duda sableng itu. "Serahin semuanya sama kamu? Jangan gila, Ron! Kamu gak tahu seberapa nekadnya dia. Khanza, anaknya dan Tita sudah menjadi korbannya. Aku gak mau kamu juga ... ikut jadi korbannya, Ron. Aku ... gak mau." Aku mencoba menyuarakan kekhawatiranku. Tanpa sadar air mataku menetes lagi. Membayangkan

  • Terjerat Obsesi Gila Duda Anak Dua   Beken 102

    *Happy Reading*"Eugh ..." Aku melenguh pelan. Saat ingin membuka mata, tetapi tersita oleh denyut nyeri yang berasal dari kepalaku. Sakit dan pusing sekali. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Tak lama, aku merasa sebuah tangan memijat-mijat kepalaku. Menghantarkan rasa hangat yang membuat nyaman.Setelah cukup lama. Aku pun bisa membuka mataku. Bunda lah yang pertama aku lihat dengan senyumnya yang sehangat mentari. Namun, matanya membengkak khas orang baru nangis. Kenapa? Ada apa?"Alhamdulilah, Nur. Akhirnya kamu bangun juga," ucap Bunda. Bangun? Aku emang kenapa? Aku melirik sekitarku, dan baru sadar jika ini bukan di kamarku yang ada di rumah Papa. Ini ... kayaknya di kamar rumah sakit. Lah? Kenapa aku di sini? "Bun, akh--ekhem!" Baru saja aku ingin menyuarakan rasa penasaran dalam diri. Tiba-tiba aku tercekat. Tenggorokanku sakit sekali. Seperti kekeringan dan butuh air segera. Seakan mengerti, bunda dengan cepat meraih gelas berisi air putih di nakas, dan membantuku minum

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status