*Happy Reading*
Menanggapi pernyataan Pak Aksa aku pun memutar mata jengah, seraya menyandarkan diri dengan kasar pada sandaran kursi.
"Saya juga heran sama Bapak. Sudah tahu ditolak, masih aja gigih maksa. Kek gak ada cewek lain aja diluaran sana. Kenapa? Situ kurang laku?" balasku dengan berani, membuat mata Pak Aksa melotot horor setelahnya.
'Nah, kan? Emang enak di balikin! Pokoknya, lo jual gue borong, Bang!'
"Kamu jangan sembarangan, ya! Gini-gini yang ingin jadi istri saya banyak!"
Akhirnya dia pun marah. Namun, aku sudah tidak perduli. Karena aku sudah malas berurusan dengan pria pemaksa seperti dia.
"Ya, kalau gitu. Kenapa Bapak gak pilih wanita-wanita itu aja? Kenapa harus maksa saya, yang jelas-jelas nolak?"
"Karena Tita hanya mau kamu!"
"That's the poin!" sahutku cepat, menjentikan jari dengan keras, sebelum menunjuk wajahnya.
"Dari awal saya sudah bisa menebak niat bapak sebenarnya apa, hingga meminta saya menjadi pacar, bahkan menikah dengan Bapak? Semuanya karena Tita, kan? Bukan karena Bapak sendiri menginginkan saya!" terangku dengan gamblang.
"Lalu masalahnya di mana? Wajar kan kalau saya lebih mengutamakan kebahagiaan anak saya?" jawabnya enteng sambil melipat tangan di atas dada dengan jumawa.
"Memang wajar, tidak ada yang salah kok, dengan hal itu. Hanya saja coba Bapak pikir. Dalam rumah tangga itu, bukan hanya ada ibu dan anak saja. Tapi ada juga suami dan hari tua." Aku mencoba menjelaskan.
"Nah, sekarang Bapak bayangkan. Jika Bapak menikahi saya hanya karena Tita. Saat Tita sudah beranjak dewasa dan pergi jauh dengan keluarga kecilnya. Yang tertinggal itu hanya saya dan Bapak saja. Tapi jika dari awal saja Bapak tidak menginginkan saya, akan bagaimana saya melanjutkan rumah tangga itu dengan Bapak? Bercerai diusia senja jelas itu bukan pilihan bijak. Tapi tetap bertahan pun rasanya .... Haaah ...." Aku membuang napas kasar dan menggeleng pelan tak habis pikir. "Saya gak akan sanggup menjalani hidup seperti itu, Pak. Jadi sorry. Saya tetap menolak tawaran Bapak!" Finalku Akhirnya, membuat Pak Aksa terdiam cukup lama.
Entah apa yang sedang dia pikirkan. Yang jelas, aku berharap dia mengerti tentang keputusanku ini. Semoga.
"Saya akan belajar mencintai kamu."
Kukira, dia sudah menyerah. Ternyata dia masih bersikukuh. Membuat aku kembali mendesah lela untuk kesekian kalinya.
Susah memang kalau ngomong sama karet gelang yang dikasih nyawa. Gak akan ada yang mempan. Mental semua!
Karet gelangnya punya duit banyak lagi. Makin susah deh, untuk dibuat mengerti. Arogan!
"Gak usah sesumbar. Kalau memang Bapak bisa melakukannya. Lakukan saja dan berikan bukti. Simple, kan?"
Semerdeka dia aja lah. Sudah capek aku ngadepinnya.
Pak Aksa malah menaikan alisnya sebelah, sambil menatapku dengan lekat. Wajahnya seperti meremehkan ucapanku barusan.
"Memang kamu mau bukti apa dari saya? Katakan saja. Saya--"
"Papa!"
"Eh, Tita. Ya ampun!"
Belum sempat Pak Aksa melanjutkan ucapannya. Tita tiba-tiba sudah menerobos masuk. Diikuti Mbak Laras yang tadi di minta menjaganya.
Duh, kloningnya si Bella. Sama-sama suka bikin rusuh!
"Maaf, Pak. Tadi saya sudah berusaha melarang Tita masuk. Tapi Tita--"
"Tidak apa-apa," sela Pak Aksa cepat, mengangkat tangan ke arah Mbak Laras, kemudian menempatkan Tita pada pangkuannya.
"Kenapa, Tita? Sepertinya hari ini kamu kesulitan mendengar dan mematuhi permintaan Papa, ya? Ada apa? Tita mau apa?"
Pak Aksa pun mengalihkan perhatiannya pada Tita, dan bertanya dengan nada lembut sekali. Membuat malah Mbak Laras yang kayaknya ikutan baper.
'Lah, Mbak Laras kenapa? Tita yang ditanya lembut. Dia yang mesem sendiri. Situ sehat, Mbak?' Aku hanya bisa membatin melihat hal menggelikan itu.
"Abis Papa lama. Tita kan pengen main sama Tante Artis."
Eh? Kok, aku?
"Tapi Tante juga mau kerja abis ini, Tita. Jadi, kayaknya gak bisa nemenin Tita." Aku pun ikut buka suara. Karena namaku sudah dibawa-bawa.
"Loh, katanya kita mau beli batangan? Tante gimana, sih?"
Waduh!
"Batangan? Maksudnya?" Pak Aksa bertanya seraya menautkan alisnya dengan bingung.
"Iya, Pah. Tadi pas Tita sampai ruangan Tante Artis. Tita dengar, Tante suka batangan. Makanya Tita ajakin beli bareng. Kan Tita juga suka batangan."
Mampus gue!
Pak Aksa pun lalu melirikku penuh arti. Dan mengulum senyum dengan menjengkelkan dibelakang tubuh Tita.
Sial! Mikir apa dia?
"Kenapa? Saya memang suka coklat batangan, kok. Ada masalah?" Aku pun mau tak mau memberi penjelasan dengan gamblang. Agar otak dudanya tidak travelling ke mana-mana.
"Okeh ... okeh. Saya mengerti kok, Devia. Saya juga punya batangan kalau kamu mau."
Uhuk!
Seketika Mbak Laras pun terbatuk-batuk di tempatnya. Syok dengan jawaban frontal dari Pak Aksa barusan.
Sementara aku? Langsung melotot penuh peringatan pada duda gila itu. Mentang-mentang sudah pernah menikah. Nyambungnya ke mana-mana kalau bahas batangan.
"Eh, astaga! Maksud saya coklat batangan. Jangan salah paham, okeh!" Dia meralat ucapannya dengan segera. Namun, tidak terlihat merasa bersalah sama sekali.
Yang ada. Pria itu malah dengan berani mengedip nakal padaku. Membuat aku ingin sekali mencolok mata jahilnya barusan.
Dasar duda sableng!
"Ah, bapak bisa saja."
Bukan aku yang menjawab. Melainkan Mbak Laras, yang kini wajahnya sudah merona merah. Dengan senyum malu-malu seperti anak perawan baru bertemu gebetan.
Fix! Aku rasa Mbak Laras pasti suka dengan Pak Aksa. Tapi, wajar sih. Mbak Laras juga janda dan ....
Eh, kenapa tidak aku jodohkan saja mereka, ya?
"Papa ayo, pulang! Sama Tante artis juga. Tita gak suka ada di sini."
Aku lupa. Masih ada Tita yang harus aku taklukan dan sebisa mungkin aku alihkan agar tidak lagi mengincarku sebagai mama barunya. Karena di sini, memang dialah alasan utama kegilaan Pak Aksa.
Jadi, jika Tita sudah berubah haluan. Aku yakin Pak Aksa pun akan ikut ke mana Tita menjatuhkan pilihan.
"Eh, gak suka kenapa, Tita?" Mbak Laras tampak penasaran.
"Soalnya Tante genit banget lirikin Papa Tita." Tita menunjuk Mbak Laras dengan berani. "Kan, nanti Tante artis cemburu," lanjutnya lagi. Seketika membuat aku terserang sesak napas dadakan.
Hancur sudah karierku!
*Happy Reading*"Ba-cot.""Bha ... bha ....""Bukan Baba, tapi Ba-cot!""Bha ... bha ... bha ...""Ck, bukan baba, Quen. Tapi ba-cot. Ayo! Kamu pasti bisa! Ba-cot. Ba-cot, Ba--"Pletak!"Akh" Aku sontak mengaduh kesakitan saat tiba-tiba sebuah sendok makan melayang ke kepalaku dari arah samping."Sakit, bego! Rambut gue abis di blicing ini. Sembarangan aja lo cium sendok bekas makan. Kan kotor!" Tidak lupa, aku pun memberikan hardikan keras, pada pelaku yang saat ini sudah berkacak pinggang dengan mata melotot. Intan, siapa lagi? Di antara kami bertiga, kan, yang udah jadi emak-emak dia doang."Lagi lo rese! Ngajarin anak gue yang ngadi-ngadi!" tukasnya tak kalah sengit."Ngadi-ngadi apa, sih? Orang gue cuma ngajarin dia ngomong. Masa gak boleh. Ya Quen?" sahutku santay, kembali melirik Quenee, yang sedang mengoceh tak jelas.Saat ini, aku memang sedang berkunjung ke tempat Intan, di tengah jadwal k
*Happy Reading*"Dev, tangkep!"Aku pun refleks mengangkat tangan, untuk menangkap sesuatu yang dilemparkan Lika, saat baru saja sampai ruangan para model.Hap!Tentu saja berhasil. Karena memang aku lumayan berbakat di bidang tangkap menangkap. Apalagi menangkap kebusukan mantan dan tukang hutang yang mendadak menghilang, ugh ... pokoknya aku paling jago!Ada yang butuh bantuan?"Apa, nih?" Setelah benda itu ada ditanganku, aku pun sontak bertanya. Sebab sesuatu itu dibungkus cantik sekali."Gak tahu. Tapi kalau dilihat dari pengirimnya, paling jatah batangan hari ini."Wew, ternyata masih tentang batangan. Melirik nama pengirim yang tertera, aku pun hanya bisa mendesah panjang, ikut mengaminkan ucapan Lika barusan.Thalita Euginia Alexander. Alias Tita. Siapa lagi memang? Yang paling getol mengirimi aku batangan selain dia. Sampai-sampai orang sekitarku sudah hafal betul kelakuannya itu. Mes
*Happy Reading*ARTIS CANTIK N DEVIA MUTIARA TERTANGKAP KAMERA TENGAH BERBUAT MESUM DENGAN SEORANG PEBISNIS SUKSES DI SELA PEMOTRETAN. APAKAH INI RAHASIA KARIERNYA YANG CEPAT NAIK?"Aarrggg ....Rasanya, aku ingin sekali menjambak rambutku sendiri saat ini, melihat sebuah headline berita gosip di salah satu akun lambe-lambean.Untungnya, aku ingat jika rambutku baru saja keluar dari salon, dan menghabiskan banyak uang untuk perawatannya. Jadinya ... gak aku jambak, lah. Sayang-sayang duit yang udah keluar, dong. Namun, sumpah demi sempak pink petrik yang tidak pernah di ganti. Aku kesel sampai ubun-ubun melihat kabar tersebut. Karena ... ya, sembarangan aja bilang itu rahasia karierku! Lah, ketemu si papa aja aku baru berapa minggu doang, kan? Ah, Netizen mah suka ngadi-ngadi!Rahasia ketenaranku mah bukan si papah. Tetapi doa si Nurbaeti dan Intan yang teraniaya oleh orang dekatnya. Nur oleh titik-titik, baca di nove
Beken 8*Happy Reading*"Mama mau, gak? Ini enak lho."Haduh ... anak ini!Aku hanya bisa mengerang kesal diam-diam, saat anak si Paduka Raja memanggilku seperti itu. "Tita, bisa gak, jangan panggil Tante Mama?" pintaku Akhirnya, mencoba meminta belas kasiahannya.Kenapa belas kasihan? Ya, coba aja kalian bayangin. Gak sengaja nomprok Bapaknya aja, gosip yang berseliweran udah kek apaan tahu. Apalagi setelah kedatangan Tita dan dramanya. Rasanya, pengen banget ngungsi ke planet Mars. Nah, coba, apa kalian gak kasian sama aku?"Kenapa gak boleh panggil Mama?" tanya Tita dengan polosnya.Ya, karena gue bukan emak lo, bocah!Pengen banget aku nyaut sambil ngegas poll kayak gitu. Apa daya, Tita bukan Bella yang udah biasa di gas sana-sini. Tita anak sultan yang pasti biasanya diperlakukan manis dan lembut. Auto jantungan nanti dia.Lagipula, aku juga gak tega kali ngegas sama anak seimut
Beken 9*Happy Reading*"Nur?""Hm ....""Lagi ngapain sih, Anteng banget di pojokan?""Lagi ngevet."Hah?!Nyonya Ammar pun langsung melirik cepat, saat mendengar jawaban terakhirku barusan. "Ngaco, lo! Ngevet apaan? Gak ada lilinnya gitu," tukasnya kemudian kembali menghitung uang di kasir.Saat ini aku memang tengah berada di toko donat. Usaha pertama yang aku rintis, dengan menggaet Nurbaeti, alias Nyonya Ammar. Sebagai partner usahaku. Yang udah baca Novel Mak Kanjeng mah, pasti tahu hal ini. Yang belum baca, ya ... baca dulu sono. Biar enak kita ghibahnya."Gue kan ngevet milenial, udah gak butuh lilin lagi," sahutku asal, seraya terus fokus pada layar laptop, di mana dari sana terpampang rentetan kabar berita tentang si Papah. Yups! Sebenarnya aku lagi stalking si Papah. Bukan ngevet seperti yang aku sebutkan tadi pada di Nyonya Ammar. Hust! Diem-diem aja tapi, ya?
Beken 10*Happy Reading*"Akhirnya kamu menelpon saya juga," sahut pria itu, pada dering kedua panggilan yang aku lakukan.Eh? Maksudnya apa, nih? Dia ... nungguin telpon aku, gitu?Berdehem sejenak, aku pun mencoba bersikap santai, dan menjawab sapaan Pak Aksa."Jadi, Bapak nungguin telpon saya, ceritanya." Bukan mau sombong. Tapi dari sapaan jelas mengartikan hal itu, benar, kan?"Enggak juga."Eh? Kok? Salah, ya, aku?Berusaha tak ingin memikirkan jawaban Pak Aksa yang entah mengarah kemana sekarang, aku pun kembali bersikap santai, seraya meraih cangkir kopi yang mulai dingin.Sebenarnya dulu, aku lebih suka coklat hangat daripada kopi. Tetapi gara-gara sering dikirimin batangan sama Tita. Aku pun jadi gumoh dengan rasa coklat sekarang.Jangankan memakannya. Denger namanya aja auto sakit gigi aku. Sebosen itu aku memang sekarang sama coklat. Khususnya yang batangan."Teru
*Happy Reading*"Bagaimana keadaannya?""Tidak ada masalah serius, kok. Selain sedikit memar dibagian belakang dan sikut tangan. Tidak ada yang perlu di khawatirnya.""Anda yakin? Benar tidak ada patah tulang, atau ... mungkin butuh di oprasi?""Astagfirullah ... sumpah ya? Doa Bapak jelek banget!" Akhirnya, setelah sekian lama memilih menyimak obrolan Si Papah dan Dokter pribadinya. Aku pun tidak bisa menahan mulutku untuk bersuara, saat si papah mengucapkan pertanyaan terakhirnya. Bukan apa-apa. Aku cuma takut tuh omongan jadi doa. Soalnya, udah untung ini juga cuma memar katanya, kan? Malah di tawarin operasi. Hih! Kebanyak duit emang dia mah."Bisa diam dulu, Devia. Saya sedang bicara dengan Dokter," ucapnya tegas dan datar. Lah? Tumbenan banget? Biasanya juga sableng. Kenapa dia? Abis keselek donat. Sok serem!"Ya, tapi kan yang lagi kalian bicarakan itu saya, jadi--""Jadi, benar tidak
*Happy Reading*"Ternyata kalian tidak terlalu mirip."Hah? Maksudnya?"Tidak terlalu mirip? Sama siapa?" tanya itu pun lolos begitu saja dari bibirku, karena penasaran dengan maksud pernyataan Pak Aksa barusan."Mirip sama Song Hye Kyu lah, sama siapa lagi? Bukannya, selama ini netizen selalu menggaungkan kemiripan kalian?"Wew! Bangke tenan! Aku mah udah nyimak serius, jawaban nih cowok ternyata membagongkan sekali. Huft ... salah aku memang terlalu percaya padanya. Lagipula, siapa suruh dia percaya sama netizen? Pake segala nyamain aku sama jandanya oppa Song jong ki pula. Lah? Aku kan kembarannya Han Soo Hee. Huh! Mainmu kurang jauh, Pak!"Semerdeka Bapak ajalah, saya lelah debat sama Bapak. Dahlah, saya tidur aja." Aku pun memilih mengalah, sebelum kerutan di wajah benar-benar menumpuk akibat debat sama dia. Kok ada ya, cowok modelan begini? Ganteng, sih. Tapi bikin penuaan d