*Happy Reading*
"Ba-cot.""Bha ... bha ....""Bukan Baba, tapi Ba-cot!""Bha ... bha ... bha ...""Ck, bukan baba, Quen. Tapi ba-cot. Ayo! Kamu pasti bisa! Ba-cot. Ba-cot, Ba--"Pletak!"Akh" Aku sontak mengaduh kesakitan saat tiba-tiba sebuah sendok makan melayang ke kepalaku dari arah samping."Sakit, bego! Rambut gue abis di blicing ini. Sembarangan aja lo cium sendok bekas makan. Kan kotor!"Tidak lupa, aku pun memberikan hardikan keras, pada pelaku yang saat ini sudah berkacak pinggang dengan mata melotot. Intan, siapa lagi? Di antara kami bertiga, kan, yang udah jadi emak-emak dia doang."Lagi lo rese! Ngajarin anak gue yang ngadi-ngadi!" tukasnya tak kalah sengit."Ngadi-ngadi apa, sih? Orang gue cuma ngajarin dia ngomong. Masa gak boleh. Ya Quen?" sahutku santay, kembali melirik Quenee, yang sedang mengoceh tak jelas.Saat ini, aku memang sedang berkunjung ke tempat Intan, di tengah jadwal kosong hari ini. Mayan, buat nyari hiburan godain Quenee."Ya tapi jangan ajarin kata 'Bacot' juga kali, Nur. Dia masih bayi. Ajarin yang baik-baik lah. Jangan ajarin julid," protes Intan lagi."Lah, ngapa emang? Kan, biar si Quen bisa balas kalai semisal di julidin Bella." Tentu saja, aku pun tak ingin mengalah begitu saja."Hilih, Bella mana ada julidin Quen," bela sang ibu sambung."Masa?" cebikku tak percaya."Iya, elah. Si Bella mah gak pernah julidin Quenee!" terang Intan tegas."Tapi?""Ngisengin doang palingan."Eh, kok bukan Bella banget, ya? Sulit di percaya. Jangan bilang tuh bocah auto tobat karena sekarang punya ade. Takut gak di sayang lagi, gitu."Oh ya? Ngisengin gimana?" Tak ayal aku pun jadi kepo dengan pernyataan Intan barusan."Ya gitu. Kalau maen cilukba. Sukanya pake bantal, tapi bantalnya tarok di muka adenya sampai megap-megap. Kalau lagi nonton tv terus di tinggal berdua, adenya di pindah posisi, tapi dengan cara di gelindingin. Kalau lagi main berdua, adenya di make up-in pake cryon atau spidol. Kadang dikasih kumis atau jenggot. Di kasih gel rambut bapaknya juga pernah. Sampai rambutnya si Quenee jabrik kek anak punk."Bwahahahaha ....Tentu saja, aku pun akhirnya ngakak so hard. Saat Intan akhirnya menuturkan kelakuan anak sambungnya dengan menggebu-gebu.Sudah kuduga! Si Bella mana bisa anteng, sih? Lah, emaknya yang gede aja di kerjain mulu. Ini lagi adeknya, belum bisa ngapa-ngapain. Habis sudah!"Terus-terus! Lo omelin, dong? Cubit pantat kek biasanya." Aku pun sangat menantikan keluh kesah Intah selanjutnya.Ah, aku suka kerusuhan ini!"Maunya gitu, tapi ... ya lo tahu sendiri si Bella. Mana mempan di omelin. Udah gitu drama of Queen lagi. Lebaynya ningkat sejak punya adek. Bentar-bentar bilang 'Quen mulu nih yang di sayang. Bella enggak!' atau 'Iya, Bella mah sadar diri, cuma orang numpang di keluarga kecil Mama sama papa'. Kan, ngeselin banget itu bocah. Dia yang maksa minta adek dulu, dia pula yang sekarang penuh drama." Intan bercerita panjang lebar, seraya meraih Queen yang sudah merentangkan tangannya minta digendong.Kali ini aku tidak tertawa ngakak mendengar keluhan Intan. Karena entah kenapa, aku menangkap sendu di matanya. Hingga akhirnya tanya itu pun melintas di kepalaku begitu saja."Gak enak ya, Tan. Nikah sama duda punya anak?"Intan menoleh cepat ke arahku, kemudian menaikan bahunya dengan acuh. "Enggak juga," sahutnya singkat."Ada enaknya, ada juga enggaknya. Yah ... namanya juga hidup rumah tangga. Mau itu sama duda atau pun lajang. Pasti ada suka dukanya," terangnya bijak."Ya tapi kan, setidaknya kalau sama lajang. Lo gak diribetin sama anak sambung. Gak jadi inceran netizen julid kalau keras dikit sama anak. Gak akan serba salah dalam bersikap saat menghadapi anak kandung dan anak sambung. Atau ... ya yang begitulah pokoknya. Kadang kan, seadil apapun lo bersikap. Pasti ada aja yang ngerasa elo gak adil memperlakukan anak-anak lo. Mentang cuma anak tiri lah, mentang gak ngelahirin. Atau bla ... bla ... bla ... iya kan?"Entah kenapa selanjutnya aku malah jadi curhat colongan sama Intan. Bukan apa-apa, kalian tahu sendiri kan, saat ini aku juga tengah bermasalah sama seorang duda. Duda anak dua lagi. Maka dari itu, sepertinya aku harus minta petunjuk sang ahli penakluk duda, yang punya pengalama nyata dalam hal itu."Elah, Nur. Kalau itu mah nikah sama lajang juga problemnya bakal sama. Jangankan anak sambung sama anak kandung. Sesama anak kandung aja pasti ada rasa iri, iya kan?""Nah itu maksud gue! Sesama anak kandung aja suka timbul kecemburuan. Gimana cara ngatasin rasa cemburu antara kandung sama tiri?"Kenapa aku malah semangat banget ya, bahas ini? Ini bukan berarti Aku gak mulai tertarik sama tawaran si Papah, kan?"Kasih pengertianlah. Ngapain lagi? Ya kali lo malah baper sendiri dan ngerajuk gak jelas. Itu sih gak akan menyelesaikan apapun." Intan menjawab santai, sambil mencolek-colek pipi gembil anaknya."Ya tapi kan pasti susah!""Gak akan susah kalau anak sambungnya itu pengertian, dan lo jelasinnya pake hati, bukan emosi. Karena apa yang lahir dari hati, pasti akan sampai ke hati."Benarkah! Bisakah seperti itu? Tapi ..."Tapi lo ngapa dah, Nur. Kok tiba-tiba jadi semangat banget bahas duda? Lo lagi deket sama duda, ya?"Eh?Tanpa sadar aku pun langsung gelagapan. Karena merasa terciduk dengan ucapan Intan begitu saja."Eh, oh. Uhm ... bukan gitu. Gue cuma ...."Aduh, gimana ini jelasinnya?"Cuma apa hayo!" Setelahnya, Intan tentu saja mencecarku dengan senyum yang sangat menyebalkan.Emak-emak rese! Kalau soal bahan ghibah instingnya cepet banget."Gak gitu, Tan. Gue kan cuma mau tahu aja. Soalnya, kan di antara kita bertiga. Lo doang yang nikah sama duda. Makanya ya ... gue kepo," jawabku kemudian. Mencoba bersikap biasa aja."Lalu, kenapa pula lo kepo? Apa yang mendasari kekepoan lo?"Eh, apa ya? Apa? Bantuin mikir, woi!"Gak ada, cuma kepo aja.""Yakin?""Yakinlah!""Suer?""Suer, Intan! Elah. Ngapa lo jadi nyebelin gini, sih? Jangan rese, deh!" ucapku kemudian, pura-pura kesal sama Intan."Bukan resek, Nur. Gue cuma--""Asalamualaikum, Bella pulang!"Aku pun mendesah lega diam-diam, saat mendengar seruan Bella yang sepertinya baru saja pulang sekolah. Huft ... selamat!"Waalaikumsalam. Jangan lupa cuci kaki sama tangan sebelum masuk rumah ya, Bell?" sahut Intan lantang."Iya, iya, ini juga lagi cuci tangan, kok. Eh, kok banyak coklat, mah? Mama abis belanja ya?" Sahutan Bella terdengar dari arah dapur."Bukan mama, tapi Tante artis yang bawain. Katanya dari fans." Intan menyahut sambil melirik aku seakan meminta keyakinan atas jawabannya.Aku pun mengangguk tegas. Mencoba meyakinkan untuk alasan yang memang kubuat saat mengunjungi Intan tadi.Meski sebenarnya. Itu bukan dari Fans. Melainkan dari Pak Aksa dan Tita, yang sekarang tiap hari tak pernah mengirimiku coklat batangan.Haahhh .... perkara batangan jadi bikin aku sakit gigi!Salah sendiri, sih. Waktu itu aku bilangnya coklat batangan, bukan emas batangan. Coba aku pinter dikit, pasti sekarang aku udah jadi wong sugih dadakan. Bener, gak?*Happy Reading*"Dev, tangkep!"Aku pun refleks mengangkat tangan, untuk menangkap sesuatu yang dilemparkan Lika, saat baru saja sampai ruangan para model.Hap!Tentu saja berhasil. Karena memang aku lumayan berbakat di bidang tangkap menangkap. Apalagi menangkap kebusukan mantan dan tukang hutang yang mendadak menghilang, ugh ... pokoknya aku paling jago!Ada yang butuh bantuan?"Apa, nih?" Setelah benda itu ada ditanganku, aku pun sontak bertanya. Sebab sesuatu itu dibungkus cantik sekali."Gak tahu. Tapi kalau dilihat dari pengirimnya, paling jatah batangan hari ini."Wew, ternyata masih tentang batangan. Melirik nama pengirim yang tertera, aku pun hanya bisa mendesah panjang, ikut mengaminkan ucapan Lika barusan.Thalita Euginia Alexander. Alias Tita. Siapa lagi memang? Yang paling getol mengirimi aku batangan selain dia. Sampai-sampai orang sekitarku sudah hafal betul kelakuannya itu. Mes
*Happy Reading*ARTIS CANTIK N DEVIA MUTIARA TERTANGKAP KAMERA TENGAH BERBUAT MESUM DENGAN SEORANG PEBISNIS SUKSES DI SELA PEMOTRETAN. APAKAH INI RAHASIA KARIERNYA YANG CEPAT NAIK?"Aarrggg ....Rasanya, aku ingin sekali menjambak rambutku sendiri saat ini, melihat sebuah headline berita gosip di salah satu akun lambe-lambean.Untungnya, aku ingat jika rambutku baru saja keluar dari salon, dan menghabiskan banyak uang untuk perawatannya. Jadinya ... gak aku jambak, lah. Sayang-sayang duit yang udah keluar, dong. Namun, sumpah demi sempak pink petrik yang tidak pernah di ganti. Aku kesel sampai ubun-ubun melihat kabar tersebut. Karena ... ya, sembarangan aja bilang itu rahasia karierku! Lah, ketemu si papa aja aku baru berapa minggu doang, kan? Ah, Netizen mah suka ngadi-ngadi!Rahasia ketenaranku mah bukan si papah. Tetapi doa si Nurbaeti dan Intan yang teraniaya oleh orang dekatnya. Nur oleh titik-titik, baca di nove
Beken 8*Happy Reading*"Mama mau, gak? Ini enak lho."Haduh ... anak ini!Aku hanya bisa mengerang kesal diam-diam, saat anak si Paduka Raja memanggilku seperti itu. "Tita, bisa gak, jangan panggil Tante Mama?" pintaku Akhirnya, mencoba meminta belas kasiahannya.Kenapa belas kasihan? Ya, coba aja kalian bayangin. Gak sengaja nomprok Bapaknya aja, gosip yang berseliweran udah kek apaan tahu. Apalagi setelah kedatangan Tita dan dramanya. Rasanya, pengen banget ngungsi ke planet Mars. Nah, coba, apa kalian gak kasian sama aku?"Kenapa gak boleh panggil Mama?" tanya Tita dengan polosnya.Ya, karena gue bukan emak lo, bocah!Pengen banget aku nyaut sambil ngegas poll kayak gitu. Apa daya, Tita bukan Bella yang udah biasa di gas sana-sini. Tita anak sultan yang pasti biasanya diperlakukan manis dan lembut. Auto jantungan nanti dia.Lagipula, aku juga gak tega kali ngegas sama anak seimut
Beken 9*Happy Reading*"Nur?""Hm ....""Lagi ngapain sih, Anteng banget di pojokan?""Lagi ngevet."Hah?!Nyonya Ammar pun langsung melirik cepat, saat mendengar jawaban terakhirku barusan. "Ngaco, lo! Ngevet apaan? Gak ada lilinnya gitu," tukasnya kemudian kembali menghitung uang di kasir.Saat ini aku memang tengah berada di toko donat. Usaha pertama yang aku rintis, dengan menggaet Nurbaeti, alias Nyonya Ammar. Sebagai partner usahaku. Yang udah baca Novel Mak Kanjeng mah, pasti tahu hal ini. Yang belum baca, ya ... baca dulu sono. Biar enak kita ghibahnya."Gue kan ngevet milenial, udah gak butuh lilin lagi," sahutku asal, seraya terus fokus pada layar laptop, di mana dari sana terpampang rentetan kabar berita tentang si Papah. Yups! Sebenarnya aku lagi stalking si Papah. Bukan ngevet seperti yang aku sebutkan tadi pada di Nyonya Ammar. Hust! Diem-diem aja tapi, ya?
Beken 10*Happy Reading*"Akhirnya kamu menelpon saya juga," sahut pria itu, pada dering kedua panggilan yang aku lakukan.Eh? Maksudnya apa, nih? Dia ... nungguin telpon aku, gitu?Berdehem sejenak, aku pun mencoba bersikap santai, dan menjawab sapaan Pak Aksa."Jadi, Bapak nungguin telpon saya, ceritanya." Bukan mau sombong. Tapi dari sapaan jelas mengartikan hal itu, benar, kan?"Enggak juga."Eh? Kok? Salah, ya, aku?Berusaha tak ingin memikirkan jawaban Pak Aksa yang entah mengarah kemana sekarang, aku pun kembali bersikap santai, seraya meraih cangkir kopi yang mulai dingin.Sebenarnya dulu, aku lebih suka coklat hangat daripada kopi. Tetapi gara-gara sering dikirimin batangan sama Tita. Aku pun jadi gumoh dengan rasa coklat sekarang.Jangankan memakannya. Denger namanya aja auto sakit gigi aku. Sebosen itu aku memang sekarang sama coklat. Khususnya yang batangan."Teru
*Happy Reading*"Bagaimana keadaannya?""Tidak ada masalah serius, kok. Selain sedikit memar dibagian belakang dan sikut tangan. Tidak ada yang perlu di khawatirnya.""Anda yakin? Benar tidak ada patah tulang, atau ... mungkin butuh di oprasi?""Astagfirullah ... sumpah ya? Doa Bapak jelek banget!" Akhirnya, setelah sekian lama memilih menyimak obrolan Si Papah dan Dokter pribadinya. Aku pun tidak bisa menahan mulutku untuk bersuara, saat si papah mengucapkan pertanyaan terakhirnya. Bukan apa-apa. Aku cuma takut tuh omongan jadi doa. Soalnya, udah untung ini juga cuma memar katanya, kan? Malah di tawarin operasi. Hih! Kebanyak duit emang dia mah."Bisa diam dulu, Devia. Saya sedang bicara dengan Dokter," ucapnya tegas dan datar. Lah? Tumbenan banget? Biasanya juga sableng. Kenapa dia? Abis keselek donat. Sok serem!"Ya, tapi kan yang lagi kalian bicarakan itu saya, jadi--""Jadi, benar tidak
*Happy Reading*"Ternyata kalian tidak terlalu mirip."Hah? Maksudnya?"Tidak terlalu mirip? Sama siapa?" tanya itu pun lolos begitu saja dari bibirku, karena penasaran dengan maksud pernyataan Pak Aksa barusan."Mirip sama Song Hye Kyu lah, sama siapa lagi? Bukannya, selama ini netizen selalu menggaungkan kemiripan kalian?"Wew! Bangke tenan! Aku mah udah nyimak serius, jawaban nih cowok ternyata membagongkan sekali. Huft ... salah aku memang terlalu percaya padanya. Lagipula, siapa suruh dia percaya sama netizen? Pake segala nyamain aku sama jandanya oppa Song jong ki pula. Lah? Aku kan kembarannya Han Soo Hee. Huh! Mainmu kurang jauh, Pak!"Semerdeka Bapak ajalah, saya lelah debat sama Bapak. Dahlah, saya tidur aja." Aku pun memilih mengalah, sebelum kerutan di wajah benar-benar menumpuk akibat debat sama dia. Kok ada ya, cowok modelan begini? Ganteng, sih. Tapi bikin penuaan d
*Happy Reading*"Mama dia siapa?""Ih, kok kamu ngikutin omongan aku!""Eh, bukan aku, ya. Kamu tuh yang ngikutin!""Kamu!""Kamu!""Kamu!"Stooopppp!!!" Mau tak mau aku pun berseru lantang, karena kesal sekali dengan dua bocah yang saling tunjuk dihadapanku ini.Mana ngomongnya kompakan lagi kek anak kembar. Kan, aku gemes, ya? Kalau beda gender, gue kawinin juga mereka. Biar gelud di ranjang sekalian. Mayan kan, bisa menghasilkan cucu buat Intan dan Pak Aksa."Berisik tahu, Mah! Tuh kan, kita jadi tontonan orang, kan?" Bella berdesis kesal. Lah, Sueb! Gue begini juga gegara elo bacot mulu!"Eh, kok kamu malah marahin Mama, sih? Kan kamu yang mulai duluan." Tita membelaku."Dih, siapa yang mulai duluan? Kamu tuh! Seenaknya aja ngakuin Mama aku jadi Mama kamu," sahut Bella dengan sinis. "Tapi Mama Devia memang bakal jadi Mama aku!" Tita bersikukuh."Baru ba