Share

Beken 5

*Happy Reading*

"Ba-cot."

"Bha ... bha ...."

"Bukan Baba, tapi Ba-cot!"

"Bha ... bha ... bha ..."

"Ck, bukan baba, Quen. Tapi ba-cot. Ayo! Kamu pasti bisa! Ba-cot. Ba-cot, Ba--"

Pletak!

"Akh" Aku sontak mengaduh kesakitan saat tiba-tiba sebuah sendok makan melayang ke kepalaku dari arah samping.

"Sakit, bego! Rambut gue abis di blicing ini. Sembarangan aja lo cium sendok bekas makan. Kan kotor!"

Tidak lupa, aku pun memberikan hardikan keras, pada pelaku yang saat ini sudah berkacak pinggang dengan mata melotot. Intan, siapa lagi? Di antara kami bertiga, kan, yang udah jadi emak-emak dia doang.

"Lagi lo rese! Ngajarin anak gue yang ngadi-ngadi!" tukasnya tak kalah sengit.

"Ngadi-ngadi apa, sih? Orang gue cuma ngajarin dia ngomong. Masa gak boleh. Ya Quen?" sahutku santay, kembali melirik Quenee, yang sedang mengoceh tak jelas.

Saat ini, aku memang sedang berkunjung ke tempat Intan, di tengah jadwal kosong hari ini. Mayan, buat nyari hiburan godain Quenee.

"Ya tapi jangan ajarin kata 'Bacot' juga kali, Nur. Dia masih bayi. Ajarin yang baik-baik lah. Jangan ajarin julid," protes Intan lagi.

"Lah, ngapa emang? Kan, biar si Quen bisa balas kalai semisal di julidin Bella." Tentu saja, aku pun tak ingin mengalah begitu saja.

"Hilih, Bella mana ada julidin Quen," bela sang ibu sambung.

"Masa?" cebikku tak percaya.

"Iya, elah. Si Bella mah gak pernah julidin Quenee!" terang Intan tegas.

"Tapi?"

"Ngisengin doang palingan."

Eh, kok bukan Bella banget, ya? Sulit di percaya. Jangan bilang tuh bocah auto tobat karena sekarang punya ade. Takut gak di sayang lagi, gitu.

"Oh ya? Ngisengin gimana?" Tak ayal aku pun jadi kepo dengan pernyataan Intan barusan.

"Ya gitu. Kalau maen cilukba. Sukanya pake bantal, tapi bantalnya tarok di muka adenya sampai megap-megap. Kalau lagi nonton tv terus di tinggal berdua, adenya di pindah posisi, tapi dengan cara di gelindingin. Kalau lagi main berdua, adenya di make up-in pake cryon atau spidol. Kadang dikasih kumis atau jenggot. Di kasih gel rambut bapaknya juga pernah. Sampai rambutnya si Quenee jabrik kek anak punk."

Bwahahahaha ....

Tentu saja, aku pun akhirnya ngakak so hard. Saat Intan akhirnya menuturkan kelakuan anak sambungnya dengan menggebu-gebu.

Sudah kuduga! Si Bella mana bisa anteng, sih? Lah, emaknya yang gede aja di kerjain mulu. Ini lagi adeknya, belum bisa ngapa-ngapain. Habis sudah!

"Terus-terus! Lo omelin, dong? Cubit pantat kek biasanya." Aku pun sangat menantikan keluh kesah Intah selanjutnya.

Ah, aku suka kerusuhan ini!

"Maunya gitu, tapi ... ya lo tahu sendiri si Bella. Mana mempan di omelin. Udah gitu drama of Queen lagi. Lebaynya ningkat sejak punya adek. Bentar-bentar bilang 'Quen mulu nih yang di sayang. Bella enggak!' atau 'Iya, Bella mah sadar diri, cuma orang numpang di keluarga kecil Mama sama papa'. Kan, ngeselin banget itu bocah. Dia yang maksa minta adek dulu, dia pula yang sekarang penuh drama." Intan bercerita panjang lebar, seraya meraih Queen yang sudah merentangkan tangannya minta digendong.

Kali ini aku tidak tertawa ngakak mendengar keluhan Intan. Karena entah kenapa, aku menangkap sendu di matanya. Hingga akhirnya tanya itu pun melintas di kepalaku begitu saja.

"Gak enak ya, Tan. Nikah sama duda punya anak?"

Intan menoleh cepat ke arahku, kemudian menaikan bahunya dengan  acuh. "Enggak juga," sahutnya singkat.

"Ada enaknya, ada juga enggaknya. Yah ... namanya juga hidup rumah tangga. Mau itu sama duda atau pun lajang. Pasti ada suka dukanya," terangnya bijak.

"Ya tapi kan, setidaknya kalau sama lajang. Lo gak diribetin sama anak sambung. Gak jadi inceran netizen julid kalau keras dikit sama anak. Gak akan serba salah dalam bersikap saat menghadapi anak kandung dan anak sambung. Atau ... ya yang begitulah pokoknya. Kadang kan, seadil apapun lo bersikap. Pasti ada aja yang ngerasa elo gak adil memperlakukan anak-anak lo. Mentang cuma anak tiri lah, mentang gak ngelahirin. Atau bla ... bla ... bla ... iya kan?"

Entah kenapa selanjutnya aku malah jadi curhat colongan sama Intan. Bukan apa-apa, kalian tahu sendiri kan, saat ini aku juga tengah bermasalah sama seorang duda. Duda anak dua lagi. Maka dari itu, sepertinya aku harus minta petunjuk sang ahli penakluk duda, yang punya pengalama nyata dalam hal itu.

"Elah, Nur. Kalau itu mah nikah sama lajang juga problemnya bakal sama. Jangankan anak sambung sama anak kandung. Sesama anak kandung aja pasti ada rasa iri, iya kan?"

"Nah itu maksud gue! Sesama anak kandung aja suka timbul kecemburuan. Gimana cara ngatasin rasa cemburu antara kandung sama tiri?"

Kenapa aku malah semangat banget ya, bahas ini? Ini bukan berarti Aku gak mulai tertarik sama tawaran si Papah, kan?

"Kasih pengertianlah. Ngapain lagi? Ya kali lo malah baper sendiri dan ngerajuk gak jelas. Itu sih gak akan menyelesaikan apapun." Intan menjawab santai, sambil mencolek-colek pipi gembil anaknya.

"Ya tapi kan pasti susah!"

"Gak akan susah kalau anak sambungnya itu pengertian, dan lo jelasinnya pake hati, bukan emosi. Karena apa yang lahir dari hati, pasti akan sampai ke hati."

Benarkah! Bisakah seperti itu? Tapi ...

"Tapi lo ngapa dah, Nur. Kok tiba-tiba jadi semangat banget bahas duda? Lo lagi deket sama duda, ya?"

Eh?

Tanpa sadar aku pun langsung gelagapan. Karena merasa terciduk dengan ucapan Intan begitu saja.

"Eh, oh. Uhm ... bukan gitu. Gue cuma ...."

Aduh, gimana ini jelasinnya?

"Cuma apa hayo!" Setelahnya, Intan tentu saja mencecarku dengan senyum yang sangat menyebalkan.

Emak-emak rese! Kalau soal bahan ghibah instingnya cepet banget.

"Gak gitu, Tan. Gue kan cuma mau tahu aja. Soalnya, kan di antara kita bertiga. Lo doang yang nikah sama duda. Makanya ya ... gue kepo," jawabku kemudian. Mencoba bersikap biasa aja.

"Lalu, kenapa pula lo kepo? Apa yang mendasari kekepoan lo?"

Eh, apa ya? Apa? Bantuin mikir, woi!

"Gak ada, cuma kepo aja."

"Yakin?"

"Yakinlah!"

"Suer?"

"Suer, Intan! Elah. Ngapa lo jadi nyebelin gini, sih? Jangan rese, deh!" ucapku kemudian, pura-pura kesal sama Intan.

"Bukan resek, Nur. Gue cuma--"

"Asalamualaikum, Bella pulang!"

Aku pun mendesah lega diam-diam, saat mendengar seruan Bella yang sepertinya baru saja pulang sekolah. Huft ... selamat!

"Waalaikumsalam. Jangan lupa cuci kaki sama tangan sebelum masuk rumah ya, Bell?" sahut Intan lantang.

"Iya, iya, ini juga lagi cuci tangan, kok. Eh, kok banyak coklat, mah? Mama abis belanja ya?" Sahutan Bella terdengar dari arah dapur.

"Bukan mama, tapi Tante artis yang bawain. Katanya dari fans." Intan menyahut sambil melirik aku seakan meminta keyakinan atas jawabannya.

Aku pun mengangguk tegas. Mencoba meyakinkan untuk alasan yang memang kubuat saat mengunjungi Intan tadi.

Meski sebenarnya. Itu bukan dari Fans. Melainkan dari Pak Aksa dan Tita, yang sekarang tiap hari tak pernah mengirimiku coklat batangan.

Haahhh .... perkara batangan jadi bikin aku sakit gigi!

Salah sendiri, sih. Waktu itu aku bilangnya coklat batangan, bukan emas batangan. Coba aku pinter dikit, pasti sekarang aku udah jadi wong sugih dadakan. Bener, gak?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ninis Hastuti
tokoh utamanya, namanya Nur atau devia sich?? di percakapan dg intan, koq dipanggil Nur.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status