Beken 8
*Happy Reading*"Mama mau, gak? Ini enak lho."Haduh ... anak ini!Aku hanya bisa mengerang kesal diam-diam, saat anak si Paduka Raja memanggilku seperti itu."Tita, bisa gak, jangan panggil Tante Mama?" pintaku Akhirnya, mencoba meminta belas kasiahannya.Kenapa belas kasihan? Ya, coba aja kalian bayangin. Gak sengaja nomprok Bapaknya aja, gosip yang berseliweran udah kek apaan tahu. Apalagi setelah kedatangan Tita dan dramanya. Rasanya, pengen banget ngungsi ke planet Mars.Nah, coba, apa kalian gak kasian sama aku?"Kenapa gak boleh panggil Mama?" tanya Tita dengan polosnya.Ya, karena gue bukan emak lo, bocah!Pengen banget aku nyaut sambil ngegas poll kayak gitu. Apa daya, Tita bukan Bella yang udah biasa di gas sana-sini. Tita anak sultan yang pasti biasanya diperlakukan manis dan lembut. Auto jantungan nanti dia.Lagipula, aku juga gak tega kali ngegas sama anak seimut dia."Karena Tante bukan Mama Tita." Aku pun mencoba menjawab seeelembut mungkin."Gak masalah, Tan. Kata Papa nanti juga Tante bakal jadi Mama Tita. Jadi boleh dibiasakan manggil Mama dari sekarang."Asem! Si Papa alus bener modusnya!Kalau Bella punya moto, permintaan ditolak dukun bertindak. Nah kalau si Papah, lamaran ditolak, anak dijadiin umpan. Ah, bener-bener Bapak lucknut!"Emang Papanya bilang gitu, Ta?"Bukan! Itu bukan aku yang kepo. Tapi Lika, yang sejak Tita datang, matanya selalu berbinar terang, memperlihatkan gambar Dollar seperti dalam kartun-kartun.Mungkin, Lika melihat Tita sebagai tambang emas sekarang. Sumber kevirallan yang akan menghasilkan cuan untuknya. Untukku juga, sih. Cuma ... gak kayak gini bisa, gak?Memutar mata dengan malas, aku memilih memalingkan wajah pada jendela mobil sebelahku. Terserah Lika aja deh, mau kepoin apaan?Saat ini, kami memang tengah berada di dalam mobil jalan pulang. Menghindari awak media yang langsung heboh setelah mendengar ucapan Tita di tempat pemotretan. Lagipula, aku juga harus mengembalikan anak nyasar ini pada yang punya, kan?"Iya, kata Papa. Cepet atau lambat, Tante artis pasti akan jadi Mama Tita. Tinggal tunggu tanggal mainnya aja."Ampun gusti! Aku harus gimana lagi ini? Si papah ternyata membagongkan. Bisa-bisa dia menjanjikan hal itu pada bocah seperti Tita, di saat aku sudah berkali-kali menolaknya.Ugh ... jangan-jangan, kedatangannya waktu itu dan gosip setelahnya, adalah rencananya juga. Wah! Gak bisa dibiarin kalau gitu."Terus-terus, papanya Tita bilang apa lagi?" Mendengar jawaban polos Tita, Lika pun makin bersemangat mencari bahan ghibahan."Papa bilang, Tita sama Dedek bayi cuma harus selalu jadi anak baik, rajin doain Papa, dan bersabar sedikit lagi. Nanti kalau saatnya tiba, kami bakal punya Mama lagi."Aku harus apa? Aku harus gimana? Kok, kedengarannya si Papah nih cukup nyeremin juga, ya? Gak bisa ditolak dan ...."Emang, Dedek bayi usianya berapa? Kok, kayaknya Tante gak pernah baca soal beritanya?" tanya Lika lagi, membuat aku tertegun lama, karena setuju dengan ucapan Lika barusan.Benar juga! Selama ini yang author tampilkan si Tita terus. Padahal katanya si Papah punya dua buntut. Lah, yang satu lagi mana, thor. Aku jadi ikutan kepo kan, jadinya."Dedek bayi masih di Rumah sakit, belum boleh pulang. Soalnya lahir sebelum waktunya."Eh? Maksudnya?"Maksudnya gimana? Adek kamu baru lahir? Berarti Mamanya Tita belum lama pergi, dong?" Setelah cukup lama hanya jadi penyimak, akhirnya aku pun buka suara lagi."Iya, Mama pergi satu bulan lalu setelah melahirkan dedek bayi. Makanya Tita kasihan dan pengen cepet dapet Mama baru. Biar dedek gak sedih dan bisa cepet merasakan kasih sayang Mama. Gak punya Mama itu kan gak enak, Tante. Makanya, Tante mau ya nikah sama Papa."Antara ikut iba dan kesel. Aku jadi denial sendiri menanggapi permintaan Tita barusan. Soalnya ... Demi apa? Si papah baru juga menduda satu bulan, tapi udah nyari bini baru.Kejam gak, sih? Istrinya kek gak ada harganya sama sekali dalam hatinya. Kuburan belum kering, udah dicariin penggantinya. Kurang kejam apa coba?Ah, makin ilfeel aku sama si Papah."Maaf, Tita. Tante gak bisa," putusku akhirnya. Mengabaikan raut wajah sendu Tita yang langsung membayang pada wajah imutnya."Kenapa?" tanyanya tidak rela."Karena Tante belum mau menikah, dan ... Tante juga gak cinta sama Papa Tita. Makanya, kamu cari calon yang lainnya aja, ya? Mau kan?"Aku tahu, ini memang terdengar kejam, dan pasti akan sangat menyakiti hati Tita. Tapi, mau gimana lagi? Aku tidak mau hidup dengan pria tak punya hati seperti Pak Aksa itu.Nanti semisal nasibku berakhir kayak Mamanya Tita, gimana? Bisa jadi hantu gentayangan aku, di madu sebelum kuburan kering.Makanya, sebelum itu benar kejadian, lebih baik dihindari aja, kan?"Tapi, Tita maunya Tante." Anak itu mulai berkaca-kaca."Kenapa harus Tante? Kenapa bukan teman-teman Papa kamu, atau rekanan bisnisnya. Kamu pasti lebih kenal mereka kan, daripada Tante?" Tanpa sadar, aku mengejar penjelasan pada bocah cantik ini.Aduh, aku salah gak ya kalau kayak gini?"Lagipula, Kita kan belum kenal lama, Tita. Kamu juga belum kenal Tante dengan baik. Apa ... kamu gak takut Tante akan jadi Mama tiri yang jahat buat kamu?" Terlanjur menuntu, lanjutkan saja. Siapa tahu, Tita bisa memberi pencerahan.Namun, bukan pencerahan yang aku dapatkan. Anak itu malah tertegun lama, dengan mata yang berkaca-kaca."Tita maunya Tante!" Anak itu bersikukuh.Haduh, nih bocah ternyata keras kepala juga."Tapi Tante--""Tita gak mau yang lain selain Tante. Soalnya yang lain cuma maunya sama Papa aja. Gak akan bisa sayang sama Tita dan Dedek.""Tapi kalau ternyata Tante juga kayak gitu, gimana?""Kalau Tante sama kayak yang lain. Tante pasti gak akan nolak lamaran Papa saat di kantor Mbak Laras!"Eh? Bener juga sih! Kok, Tita pinter. Nurun siapa, sih?Jelas bukan nurun Bella, ya kan? Terus sekarang, bagaimana caraku menolak lagi?Beken 9*Happy Reading*"Nur?""Hm ....""Lagi ngapain sih, Anteng banget di pojokan?""Lagi ngevet."Hah?!Nyonya Ammar pun langsung melirik cepat, saat mendengar jawaban terakhirku barusan. "Ngaco, lo! Ngevet apaan? Gak ada lilinnya gitu," tukasnya kemudian kembali menghitung uang di kasir.Saat ini aku memang tengah berada di toko donat. Usaha pertama yang aku rintis, dengan menggaet Nurbaeti, alias Nyonya Ammar. Sebagai partner usahaku. Yang udah baca Novel Mak Kanjeng mah, pasti tahu hal ini. Yang belum baca, ya ... baca dulu sono. Biar enak kita ghibahnya."Gue kan ngevet milenial, udah gak butuh lilin lagi," sahutku asal, seraya terus fokus pada layar laptop, di mana dari sana terpampang rentetan kabar berita tentang si Papah. Yups! Sebenarnya aku lagi stalking si Papah. Bukan ngevet seperti yang aku sebutkan tadi pada di Nyonya Ammar. Hust! Diem-diem aja tapi, ya?
Beken 10*Happy Reading*"Akhirnya kamu menelpon saya juga," sahut pria itu, pada dering kedua panggilan yang aku lakukan.Eh? Maksudnya apa, nih? Dia ... nungguin telpon aku, gitu?Berdehem sejenak, aku pun mencoba bersikap santai, dan menjawab sapaan Pak Aksa."Jadi, Bapak nungguin telpon saya, ceritanya." Bukan mau sombong. Tapi dari sapaan jelas mengartikan hal itu, benar, kan?"Enggak juga."Eh? Kok? Salah, ya, aku?Berusaha tak ingin memikirkan jawaban Pak Aksa yang entah mengarah kemana sekarang, aku pun kembali bersikap santai, seraya meraih cangkir kopi yang mulai dingin.Sebenarnya dulu, aku lebih suka coklat hangat daripada kopi. Tetapi gara-gara sering dikirimin batangan sama Tita. Aku pun jadi gumoh dengan rasa coklat sekarang.Jangankan memakannya. Denger namanya aja auto sakit gigi aku. Sebosen itu aku memang sekarang sama coklat. Khususnya yang batangan."Teru
*Happy Reading*"Bagaimana keadaannya?""Tidak ada masalah serius, kok. Selain sedikit memar dibagian belakang dan sikut tangan. Tidak ada yang perlu di khawatirnya.""Anda yakin? Benar tidak ada patah tulang, atau ... mungkin butuh di oprasi?""Astagfirullah ... sumpah ya? Doa Bapak jelek banget!" Akhirnya, setelah sekian lama memilih menyimak obrolan Si Papah dan Dokter pribadinya. Aku pun tidak bisa menahan mulutku untuk bersuara, saat si papah mengucapkan pertanyaan terakhirnya. Bukan apa-apa. Aku cuma takut tuh omongan jadi doa. Soalnya, udah untung ini juga cuma memar katanya, kan? Malah di tawarin operasi. Hih! Kebanyak duit emang dia mah."Bisa diam dulu, Devia. Saya sedang bicara dengan Dokter," ucapnya tegas dan datar. Lah? Tumbenan banget? Biasanya juga sableng. Kenapa dia? Abis keselek donat. Sok serem!"Ya, tapi kan yang lagi kalian bicarakan itu saya, jadi--""Jadi, benar tidak
*Happy Reading*"Ternyata kalian tidak terlalu mirip."Hah? Maksudnya?"Tidak terlalu mirip? Sama siapa?" tanya itu pun lolos begitu saja dari bibirku, karena penasaran dengan maksud pernyataan Pak Aksa barusan."Mirip sama Song Hye Kyu lah, sama siapa lagi? Bukannya, selama ini netizen selalu menggaungkan kemiripan kalian?"Wew! Bangke tenan! Aku mah udah nyimak serius, jawaban nih cowok ternyata membagongkan sekali. Huft ... salah aku memang terlalu percaya padanya. Lagipula, siapa suruh dia percaya sama netizen? Pake segala nyamain aku sama jandanya oppa Song jong ki pula. Lah? Aku kan kembarannya Han Soo Hee. Huh! Mainmu kurang jauh, Pak!"Semerdeka Bapak ajalah, saya lelah debat sama Bapak. Dahlah, saya tidur aja." Aku pun memilih mengalah, sebelum kerutan di wajah benar-benar menumpuk akibat debat sama dia. Kok ada ya, cowok modelan begini? Ganteng, sih. Tapi bikin penuaan d
*Happy Reading*"Mama dia siapa?""Ih, kok kamu ngikutin omongan aku!""Eh, bukan aku, ya. Kamu tuh yang ngikutin!""Kamu!""Kamu!""Kamu!"Stooopppp!!!" Mau tak mau aku pun berseru lantang, karena kesal sekali dengan dua bocah yang saling tunjuk dihadapanku ini.Mana ngomongnya kompakan lagi kek anak kembar. Kan, aku gemes, ya? Kalau beda gender, gue kawinin juga mereka. Biar gelud di ranjang sekalian. Mayan kan, bisa menghasilkan cucu buat Intan dan Pak Aksa."Berisik tahu, Mah! Tuh kan, kita jadi tontonan orang, kan?" Bella berdesis kesal. Lah, Sueb! Gue begini juga gegara elo bacot mulu!"Eh, kok kamu malah marahin Mama, sih? Kan kamu yang mulai duluan." Tita membelaku."Dih, siapa yang mulai duluan? Kamu tuh! Seenaknya aja ngakuin Mama aku jadi Mama kamu," sahut Bella dengan sinis. "Tapi Mama Devia memang bakal jadi Mama aku!" Tita bersikukuh."Baru ba
*Happy reading*Akibat kabar dari Tita, malam itu aku pun sukses tidak bisa tidur memikirkan Pak Aksa yang katanya demam gara-gara kehujanan. Bukan aku sudah mulai care atau ada hati pada pria itu. Tetapi ... oh ayolah, secara gak langsung aku penyebab dia sakit, lho. Karena aku yang membuatnya jadi hujan-hujanan hari itu. Jadi ... aku hanya ... ya ... merasa bersalah saja padanya. Hanya itu. Jadi, gak usah banyak berharap, okeh! Kecuali kalian bisa rayu author, mungkin aku bisa menjadikan harapan kalian jadi kenyataan."Wih ... muka lo kenapa, Nur? Kecut banget kek keteknya Mak Kanjeng," sindir Nyonya Ammar saat berkunjung ke Apartemen. Dia pasti lagi gabut di toko donat. Makanya mampir ke mari mau rusuhin aku, atau menguras isi kulkas di dapur. Ah, udah biasa aku mah di rampok Nyonya Ammar."Gak usah gangguin gue. Lo kalau mau ngerampok cemilan, ambil aja sono! Gue lagi gak mood," cebikku kesal, seraya menghempaskan diri di
Yuk kasih tahu amih jam berapa kalian baca part ini?******Happy Reading*"Ya, Dev. Bagus!"Cekrik!"Matanya mainini lagi, Dev. Iya, begitu. Cakep!"Cekrik!"Tatapannya di perdalam lagi. ya, ya, Okeh!"Cekrik!"Senyumnya jangan lupa. Okeh, nice!"Cekrik!"Amazing, Devia! Sempurna! Kamu boleh istirahat."Akhirnya aku bisa menghela napas lega, setelah sesi pemotretan hari ini selesai. Belum sepenuhnya selesai, tapi lumayan buat ngelempengin pinggang mah. "Minum, Dev." Lika datang memberikan sebotol minuman dingin padaku, yang dengan senang hati aku terima. "Gila, hari ini panas banget! Neraka rembes apa gimana, sih?" Aku mengeluh seraya menenggak minumanku dengan rakus. "Yah, namanya juga udah masuk musim kemarau, Dev. Maklumin aja kenapa? Jangan lupa pake sunblock lo." Lika menyahut dengan santai. Lalu menyerahkan tabir surya padamu. Tak bany
*Happy Reading*Aneh!Itu yang aku pikirkan beberapa hari ini, perihal kiriman-kiriman yang datang dari Tita. Bukan apa-apa, aku hanya heran saja, kenapa kiriman itu selalu datang tepat ke tempat di mana aku berada? Sementara sebulan ini, aku melakukan pemotretan di tempat-tempat yang berbeda, dan aku tidak pernah memberitahukan Tita satu kali pun tentang jadwal kerjaanku. Lalu, kenapa Tita bisa tahu?Aneh kan? Menurut Kalian bagaimana?"Dev, makan siang lo." Lika tiba-tiba datang, membawa bungkusan berlogo restoran mahal. "Dari siapa? Tita lagi?" Aku hanya menebak. Soalnya aku baru menyelesaikan sesi pemotretan hari ini, dan belum menyuruh Lika mengorder makanan apapun."Siapa lagi? Yang paling rajin ngirimin lo makanan kan cuma dia. Duh, perhatian banget ya calon anak tiri lo itu." Ternyata benar. Tita lagi pelakunya."Okeh, mari kita lihat. Kali ini dia kirim apa ya ...?" Lika membuka bungkusan itu. "Oh ya