Elevator private langsung membawa mereka ke suite teratas yang menyambung dengan Ruzzo Tower. Begitu pintu terbuka, Leonardo mendorong Isabella ke dinding marmer, mulutnya tak sabar mengejar bibir Isabella yang masih terengah-engah."Kau tadi hampir merasa iba padanya," tuduhnya di antara ciuman yang dalam, tangannya merobek kancing blus Isabella.Isabella membalas dengan menggigit bibir bawah Leonardo. "Hanya sedetik," desisnya.Leonardo mengangkat tubuh Isabella dengan mudah, mendorongnya ke meja bar marmer. Botol-botol minuman mahal bergetar saat Isabella mendorong laptop dan dokumen-dokumen penting ke lantai."Aku akan membuatmu lupa bahwa sedetik itu pernah ada," janjinya sambil menyingkirkan sisa pakaian Isabella.Angin malam Milan berdesir melalui balkon terbuka, menerpa kulit Isabella yang telanjang di depan kaca setinggi 150 meter. Leonardo menekan tubuhnya dari belakang, telapak tangannya yang panas menelusuri lekuk pinggangnya yang ramping sebelum meraih kedua pergelangan t
Angin musim gugur menerbangkan daun-daun kering di trotoar saat Isabella melangkah masuk ke kafe kecil di pinggiran Milan. Tempat ini sengaja dipilih—cukup jauh dari pusat kota, di mana tak seorang pun akan mengenali mereka.Matteo sudah duduk di sudut paling gelap, kedua tangannya mencengkeram erat gelas kopi yang sudah dingin. Ketika Isabella mendekat, dia mengangkat wajahnya—dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Isabella melihat mata suaminya yang dulu selalu penuh kepercayaan diri itu kini kosong, seperti bara yang sudah padam."Kau datang," ucap Matteo, suaranya serak.Isabella duduk di hadapannya tanpa melepaskan mantelnya. "Aku penasaran apa yang membuat Matteo Ruzzo memohon untuk bertemu."Matteo tak lagi mengenakan setelan Brioni-nya yang mahal. Hari ini, ia hanya memakai kemeja lengan panjang yang kusut dan celana chino yang sudah pudar warnanya. Rambutnya yang biasanya selalu rapi kini terlihat berminyak, seperti sudah berhari-hari tidak dicuci."Lihatlah diriku sekaran
Malam itu, di acara amal Palazzo Clerici, Ivy datang dengan Riccardo. Semua yang terjadi di acara ini bukanlah sebuah kebetulan. Semua sudah disusun dengan rapi sebelumnya. Termasuk tumpukan dokumen yang memicu sesuatu yang sudah lama terpendam harus mencuat kembali.Kristal-kristal lampu gantung memantulkan cahaya keemasan di aula bersejarah itu. Ivy bergerak laksana angsa di antara tamu-tamu VIP, gaun emas Versace-nya berkilauan dengan setiap langkah anggun. Matanya yang tajam mengunci sosok Jaksa Agung Italia yang sedang berbincang di dekat bar."Permisi, Tuan Jaksa," suaranya merdu saat "tidak sengaja" tersandung di depannya. Tas Chanel klasiknya terbuka, menyebarkan isinya di lantai marmer.Dokumen-dokumen berhamburan.Yang paling mencolok: sebuah berkas tebal dengan stempel "RAHASIA" dan judul merah menyala: "Pembunuhan Keluarga Ricci - Perintah Langsung Riccardo Ruzzo".Jaksa Agung yang membungkuk membantu memungut, tiba-tiba membeku. Matanya melebar saat membaca beberapa baris
Kaca jendela limusin hitam yang gelap memantulkan bayangan Isabella yang sedang merapikan riasan terakhirnya. Jari-jarinya yang halus menekan perlahan ujung lipstik merah anggurnya, menutup garis bibir yang sempurna. Di pantulan itu, terlihat pula sosok Leonardo di sampingnya, mengenakan setelan Armani hitam abu-abu yang membuat garis rahangnya terlihat lebih tajam dari biasanya.Di pangkuan Leonardo, setumpuk dokumen tebal terbungkus sampul kulit hitam dengan kode "Project Phoenix" tertera dalam huruf emas. Jari-jarinya yang panjang mengetuk-ngetuk sampul itu dengan ritme gugup, sebuah kebiasaan yang hanya muncul saat dia benar-benar fokus."Damiano akan memaksamu memilih," suara Leonardo rendah namun jelas terdengar di dalam kabin limusin yang sunyi. Matanya yang hijau gelap menatap Isabella dengan intens. "Dia akan memberimu ultimatum - tetap setia pada Matteo dan menjadi pionnya, atau beralih ke pihaknya dan menjadi bonekanya."Isabella mengatupkan tas kecil Chanel-nya dengan buny
Badan mereka masih berselimut keringat ketika Leonardo bersandar di bantal, Isabella berbaring di dadanya yang luas. Jari-jarinya menelusuri punggung Isabella dengan gerakan malas, mengikuti lekuk tulang belakangnya yang halus."Sekarang," bisik Isabella, jemarinya menggambar pola di dada Leonardo, "tentang rahasia yang kau janjikan?"Leonardo menarik napas dalam. Tangannya berhenti bergerak, mencengkeram bahu Isabella dengan lembut."Kau ingat kenapa keluarga Ruzzo benar-benar ingin menguasaimu? Bukan cuma karena Matteo..."Isabella mengangkat kepala, dagunya bertumpu di tangan. Mata hijau Leonardo yang biasanya penuh nafsu kini terlihat serius, bahkan gelap."Apa hubunganku dengan mereka?" tanyanya, suara lebih kecil dari biasanya.Leonardo mengusap pipi Isabella dengan ibu jarinya sebelum menjawab."Semuanya berawal dari ibumu, Belle. Tapi, Riccardo memang bisa dibilang manusia yang tak punya hati!"Di luar jendela, hujan mulai turun, membasahi London dengan kabut dan rahasia.Leon
Damiano mengukur Isabella dengan tatapan yang membuat udara di antara mereka terasa padat."Aku setuju... tapi bukan berarti aku percaya padamu," ujarnya, langkahnya mendekat seperti predator. Isabella merasakan keringat dingin mengalir di tulang belakangnya—trauma masa lalu bangkit kembali, tapi kali ini, dia menahannya."Kamu... takut?" Damiano menyeringai, napasnya menghangatkan kulitnya.Isabella mendorong dadanya dengan telapak tangan yang tegas. "Bukan maksudku menolak, Tuan Damiano. Tapi selama aku masih istri Matteo secara hukum, ini tidak benar."Mata Damiano menyempit. "Kau memprovokasiku untuk membantumu bercerai?""Aku sudah kabur dari rumahnya sejak tiga bulan lalu," bantah Isabella, suaranya datar.Damiano tiba-tiba mundur seolah tersengat. "Kau bersama Salvatory?"Isabella menahan napas."Tuan Damiano—""Aku tidak akan menyentuhmu," potong Damiano kasar, berbalik ke jendela. "Keluargaku terikat sumpah pada Salvatory. Tapi ingat—perlindungannya tidak abadi."Mata Isabell