Share

Bab 3. Rencana Anna

Anna segera meninggalkan restoran hotel dengan tergesa-gesa kemudian langsung menyetop taksi, Anna duduk di kursi penumpang dengan tangan memegang erat tasnya, setelah Dini dibawa oleh Max hati Anna mulai tak tenang ada rasa bersalah di hatinya namun mengingat masa lalu suaminya ia kembali menguatkan dirinya bahwa yang ia lakukan tidak sebanding dengan apa yang dilakukan oleh suami dan selingkuhannya.

Ponsel Anna berbunyi, ia pun segera mengambil ponsel yang berada di dalam tasnya dan membukanya ada sebuah pesan masuk. Mata Anna membulat, pesan tersebut merupakan pesan dari m-banking dengan jumlah yang sangat fantastis.

Dengan tangan gemetaran Anna menghitung jumlah nolnya, " satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan…nolnya ada sembilan itu berarti jumlah uang ini 1 milyar. Sepertinya Dini berhasil memuaskan tuan tersebut, padahal perjanjian hanya dapat 100 juta mungkin aku dapat bonus" gumam Anna dengan tersenyum senang.

Taksi tersebut berhenti dirumah sederhana Anna, ia membayar ongkos taksi dan langsung masuk ke dalam rumah. Anna menghempaskan tubuhnya di sofa, ia memikirkan uang segitu banyak mau diapakan.

"Aku harus segera meninggalkan kota ini dan meninggalkan kenangan buruk di rumah ini. Dengan uang tersebut aku bisa membuka usaha dan membeli rumah serta bisa jauh dari anak tersebut" Anna bangkit dari sofa menuju kamarnya dan ia mulai mengambil koper besar dan memasukan semua bajunya setelah selesai ia bergegas ke kamar Dewi mengambil koper Dewi dan memasukan baju-baju Dewi.

Sangking semangatnya Anna berkemas-kemas sampai Anna tidak dengar deru motor matic Dewi, Dewi yang hari ini tidak banyak pekerjaan memilih pulang cepat. Suasana rumah yang memang sudah terbiasa sepi membuat Dewi langsung menuju kamarnya.

"Ibu…!" Ucap Dewi kaget saat ia membuka pintu dan melihat ibunya berada di kamar, "apa yang sedang ibu lakukan dengan baju-baju aku?"

Anna berhenti memasukan baju Dewi ke koper saat terdengar suara Dewi yang berada di depan pintu. Anna menoleh dengan senyum hangatnya, "kamu sudah pulang, nak."

Dewi berjalan masuk ke kamarnya dan mengambil baju yang ada di tangan ibunya dan saat ia melihat ke lemarinya sudah kosong. Dewi menatap ibunya dengan tanda tanya yang besar mengapa ibunya memasukan semua bajunya ke koper.

"Apa yang Ibu lakukan sama baju aku?" Tanya Dewi kembali.

"Kita harus segera meninggalkan rumah ini, karena kamu sedang bekerja jadi Ibu membantu membereskan barang-barang kamu." Anna kembali memasukan barang Dewi tanpa mempedulikan raut wajah Dewi yang kebingungan.

"Mengapa kita harus pergi,bu? Lantas mana Dini?"

Wajah Anna memucat saat Dewi menanyakan Dini, ia tidak mungkin berkata jujur ke Dewi bahwa Dini sekarang berada di hotel.

Dewi hendak keluar kamarnya ingin menuju ke kamar Dini, mungkin Dini sedang berkemas-kemas juga pikirnya.

"Anak itu tidak ada dirumah, mungkin sekarang dia sudah di tempat seharusnya ia berada seperti ibunya yang murahan itu." Hardik Anna membuat langkah Dewi terhenti dan menatap Ibunya dengan tatapan terkejut.

"Ibu, apa yang Ibu katakan? Kemana Dini Ibu bawa? Dini itu keluarga kita Bu dan Dini itu adik aku. Kenapa Ibu harus bersikap kejam sama Dini? padahal selama ini Dini selalu bersikap baik sama Ibu dan juga Dini tidak pernah menuntut apa-apa dari Ibu. Sampai-sampai ia sekolah sambil bekerja Bu karena Ibu tidak pernah memberi Dini kebutuhan sekolah" ucap Dewi dengan berlinang air mata, hati Dewi sangat sakit kalau Ibunya selalu mengatakan hal buruk untuk Dini.

Anna tercengang dengan ucapan yang dilontarkan Dewi, ia tidak sangka kalau Dewi sebegitunya membela Dini. 

"Dewi, apa kamu lupa kehidupan kita dulu bagaimana? Sebelum anak itu hadir hidup kita bahagia dan kita tidak kekurangan apapun, kamu bisa hidup enak tanpa harus berbagi. Namun sekarang apa yang kita miliki, kita hanya mempunyai rumah ini dan Ibu harus bekerja membanting tulang untuk melunasi hutang-hutang Ayah kamu dan selingkuhannya. KENAPA MEREKA BERDUA HARUS MATI DAN TIDAK MEMBAWA ANAKNYA JUGA, KENAPA MESTI IBU YANG HARUS MERAWATNYA KENAPA?!" teriak Anna dengan frustasi.

Anna menghapus air matanya dengan kasar dan keluar dari kamar Dewi. Anna benar-benar marah sama Dewi karena selama ini Dewi terlalu menyayangi Dini daripada Anna ibu kandungnya.

Dewi menangis sesenggukan setelah Ibunya keluar dari kamar, ia tahu Ibunya sangat kecewa dan sakit hati atas kelakuan semasa hidup Ayahnya namun bagi Dewi membalas dendam kepada Dini itu tidak benar karena Dini tidak tahu apa-apa.

Prang….

Dewi terlonjak kaget mendengar suara pecahan kaca dan ia pun bergegas berlari ke arah dapur mencari Ibunya.

"IBUUU….." teriak Dewi dan segera berlari menghampiri Ibunya yang tergeletak di lantai dengan pergelangan tangan mengalir darah segar terkena pecahan kaca yang sengaja Anna lakukan.

"Ibu…jangan tinggalin Dewi, mengapa Ibu melakukan hal ini lagi? Bukankah ibu berjanji tidak menyakiti diri Ibu sendiri lagi" ucap Dewi dengan isakan tangis sambil memeluk Ibunya. 

Dulu, sewaktu Ayahnya ketahuan selingkuh Anna pernah mencoba bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya dan Anna sempat kritis karena lukanya yang terlalu dalam kejadian itu membuat Dewi takut Ibunya melakukan hal yang sama.

Dengan tubuh melemah Anna berucap, "Berjanjilah sama Ibu kalau kamu harus menuruti perkataan Ibu?"

"Ya,bu. Dewi akan menuruti perkataan Ibu tapi Ibu harus janji jangan melakukan hal hal begini lagi, Dewi takut bu. Dewi tidak mau kejadian dulu terulang lagi."

Anna pun mengangguk sambil tersenyum lembut. "Maafkan Ibu,Dewi. Kalau Ibu tidak melakukan cara ini pasti kamu tidak mau menurut apa kata Ibu dan kamu pasti tetap membela si anak si4lan itu" gumam Anna.

Dewi menduduki Anna di kursi meja makan, ia bergegas mengambil kotak p3k dan segera mengobati luka Anna yang tidak begitu dalam namun kalau dibiarkan bisa berbahaya.

"Habis ini kita kerumah sakit aja ya Bu. Dewi takut ada sisa kaca diluka Ibu" aja Dewi dengan raut khawatir.

"Tidak usah, luka ini tidak seberapa dengan luka hati Ibu. Ini luka akan sembuh dengan sendirinya tapi luka hati Ibu ini akan sembuh jika kita menjauh dari sini." 

"Maafkan Dewi, Bu" tangis Dewi pecah di pelukan Ibunya.

Setelah luka Anna diobati mereka pun kembali ke kamar masing-masing untuk mengemas barang yang sempat tertunda. Anna bernafas lega karena Dewi mau di ajak pergi menjauh dari kota ini.

Di kamar, Dewi masih menangis bukan karena Ibunya tapi ia mengkhawatirkan adiknya Dini. Karena berkali-kali Dewi menghubungi Dini namun ponselnya tidak aktif. Dewi tidak mau menambah luka di hati Ibunya karena Dewi tahu bagaimana terlukanya Ibunya saat Dini kecil hadir. Namun Dewi tidak habis pikir mengapa Ibunya sangat membenci Dini kecil yang tidak tahu apa-apa masalah orang dewasa. Dan mengapa Ibunya memilih merawat Dini kalau hanya untuk menyiksa Dini? Semua itu menjadi tanda tanya Dewi.

****

Kenzi tampak gusar melihat Dini yang masih betah memejamkan matanya, "aku bukan laki-laki bejat yang menggauli wanita yang sedang pingsan"

Kenzi pun beranjak dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi untuk menenangkan gairahnya yang sempat naik ke ubun ubun.

Dering ponsel bergema di kamar hotel, Kenzi yang baru keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya segera mengambil ponsel yang terletak di samping tempat tidur. Kenzi sempat melirik Dini yang seperti orang sedang tidur bukannya pingsan.

"Ada apa,Max."

"Maaf,tuan. Ada sesuatu yang harus saya laporkan?" Ucap Max ragu ragu.

"Masuklah, pintunya kan tidak di kunci" Kenzi pun mengakhiri panggilannya setelah mendengar pintu kamar terbuka.

Max tercengang melihat pemandangan Tuannya yang bertelanjang dada dan masih menggunakan handuk. Max pun bernafas lega sepertinya pekerjaan ia kali ini berhasil dengan melihat penampilan Tuannya saat ini.

"Max, apa yang mau kamu sampaikan.Kenapa kamu malah menatap aneh begitu? Apa kamu sudah bosan hidup? Hah!" Ucap Kenzi emosi.

"Ah…Maaf Tuan saya hampir lupa karena melihat suasana hati Tuan sepertinya sedang bagus" ucap Max dengan cengengesan.

"Kamu benar suasana hati saya sedikit lebih baik tapi ada buruknya juga, anak paud yang kamu bawa pingsan di kamar" kata Kenzi dengan tenang.

"APA TUAN!" teriak Max spontan.

Kenzi yang hendak duduk kembali berdiri mendengar teriakan Max, "hai, Max mengapa kamu teriak-teriak" kesal Kenzi sambil memegang telinganya.

"Maaf, tuan saya spontan. Kenapa Nona itu bisa pingsan Tuan?" Tanya Max dengan suara pelan.

"Itu bukan urusanmu, Max." Cela Kenzi dan membuat Max kecewa karena Tuannya tidak memberitahu penyebab Nona tersebut pingsan, atau jangan-jangan Tuannya bermain dengan ganas makanya pingsan. Max bergidik ngeri membayangkan gadis mungin tersebut.

"MAX….cukup melamunnya dan katakan urusan penting yang ingin kamu sampaikan tadi."

Max pun menepuk dahinya, "gara-gara Tuan cerita Nona itu pingsan aku jadi lupa memberi kabar yang tak kalah buruknya" Max hanya bisa bergumam di dalam hati.

"Ahh…Iya, tuan. Tadi Pak Bram menelepon kalau saat ini Tuan Darma sekarang berada di rumah sakit dan Anda…." Belum sempat Max melanjutkan omongannya Kenzi langsung menghilang dari hadapan Max dan tiba-tiba sudah berpakaian dan berdiri di depan pintu hendak keluar.

"Sepertinya Tuan Kenzi memiliki ilmu seribu bayangan" batin Max dan segera menyusul Kenzi keluar.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Viva Oke
ternyata dini bukan anak kandung ana. pantesan ana tega menjual dini
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status