Share

Bab 8 Kabut Godaan

Author: Aries grils
last update Last Updated: 2025-08-22 17:07:45

Pagi itu rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Tidak ada sapaan, tidak ada suara langkah terburu-buru atau tatapan cemas seperti yang seharusnya diberikan seorang istri. Hanya suara sendok yang beradu pelan dengan piring, irama tenang yang justru menyesakkan dada.

Albert turun dengan langkah berat. Kepalanya masih terasa pening, tubuhnya letih setelah semalaman mabuk dan pulang digotong Boby. Dasi kerja yang biasa terikat rapi kali ini bahkan belum disentuh. Tanpa bersuara, ia menarik kursi di meja makan, duduk di seberang Stela yang tampak asyik menikmati sarapannya. Wanita itu tak mengangkat wajah, tak bertanya apa pun, seolah malam tadi tidak terjadi apa-apa.

Albert menatapnya lama, mencoba mencari secercah kepedulian di balik wajah tenang itu. Tidak ada. Hanya dingin dan jarak.

“Kamu tidak tanya… aku pulang jam berapa semalam?” suara Albert parau, hampir serak.

Stela tetap mengunyah roti bakarnya dengan santai. “Untuk apa? Bukankah kamu sudah dewasa? Kamu bisa pulang jam berapa pun tanpa perlu laporan.” Ucapannya datar, seperti menyebut fakta cuaca.

Albert menghela napas panjang, menunduk sebentar. “Aku mabuk… sampai harus dijemput Boby. Andrew sudah menghubungimu berkali-kali. Kamu tidak khawatir sama sekali?”

Stela meletakkan garpunya, menatap Albert sebentar dengan senyum tipis yang sulit ditebak. “Khawatir untuk apa? Kamu mabuk karena pilihanmu sendiri, bukan?”

Albert terdiam. Rasanya seperti ada batu besar menekan dadanya. “Jadi… setelah lima belas tahun aku selalu setia, selalu menuruti semua maumu… bahkan semalam pun kamu tidak peduli kalau aku tergeletak di jalan sekalipun?”

Stela mengangkat bahu ringan. “Kalau kamu memilih mabuk, tanggung sendiri akibatnya, Albert. Jangan lemparkan kesalahan ke aku.”

Ucapan itu memukulnya lebih keras daripada minuman apa pun semalam. Albert menunduk, menatap meja makan, jemarinya mengepal perlahan. Dalam hati, ia tidak tahu lagi siapa wanita yang duduk di depannya.

Hening menyelimuti ruang makan. Hanya terdengar detik jam yang terasa begitu lambat. Stela kembali melanjutkan sarapannya dengan tenang, sementara Albert duduk terpaku, rasa letih dan kecewa bercampur menjadi satu, lebih menyakitkan daripada hangover yang menghantam kepalanya.

Albert meletakkan garpu dengan sedikit hentakan halus, napasnya berat menahan emosi. Tatapannya tajam menembus dinginnya sorot mata Stela yang sejak awal melihat kedatangannya tak berhenti menunduk sambil bermain ponsel.

"Stela," suaranya datar tapi mengandung bara. "Apa kau lupa? Bulan depan hari peringatan pernikahan kita."

Wanita itu mengangkat wajahnya sekilas, alis terangkat, lalu kembali menunduk. "Lalu kenapa? Kau kan sudah setuju membeli villa yang kuminta untuk hadiah. Haruskah aku berterima kasih sekarang, juga?" jawabnya ringan, seolah tanpa beban. "Lagi pula apa yang harus kuingat, kamu sendiri belum menunjukkan sertifikat villa itu."

Albert memejamkan mata sejenak, mencoba meredam amarah. "Aku sudah penuhi permintaanmu. Villa mewah, sesuai keinginanmu. Tapi... apa itu cukup bagimu untuk melihatku sebagai suami? Apa kurangnya aku?"

Stela tersenyum miring, tidak manis, lebih menyerupai ejekan. "Kau terlalu drama, Al. Kita ini sudah dewasa, haruskah kita bersikap kekenakan? Kamu sangat membosankan. Dan tolong, jangan kira aku terkesan hanya karena kamu bisa membelikan villa. Itu hal biasa untukmu, kan?"

Albert merasakan dadanya sesak. Urat di pelipisnya menegang, namun ia berusaha tetap tenang. "Biasa, ya? Kau pikir semua laki-laki akan begitu saja memberikan apa pun yang istrinya mau? Aku hanya ingin kamu peduli sedikit saja, Stela. Satu malam saja, duduk bersamaku tanpa ponselmu. Apa itu Susah? Kita bahkan sudah hampir dua tahun tidak pernah melakukannya."

Stela mendengus pelan, menaruh ponselnya di meja dengan gerakan malas. "Kau mabuk atau apa? Kenapa tiba-tiba sentimentil begini? Yang ada di dalam pikiranmu hanya hal-hal seperti itu terus, benar-benar memuakan."

Albert tersenyum miris. "Aku belum mabuk. Tapi mungkin sebentar lagi. Karena hanya alkohol yang bisa membuatku lupa kalau istriku bahkan tak peduli lagi pada suaminya sendiri."

Kursi bergeser keras ketika Albert bangkit berdiri. "Makanlah sendirian. Aku tidak lapar lagi."

Stela hanya melirik tanpa niat menahan. "Terserah kau."

Albert melangkah pergi, bahunya tegang, meninggalkan aroma frustrasi yang pekat. Dalam kepalanya, hanya satu pertanyaan berputar-putar: Apa sebenarnya yang kurang darinya sebagai suami?

Boby sudah berdiri tegak di depan, seperti biasa setia menunggu. Begitu melihat Albert keluar dari pintu rumah, ia segera membukakan pintu mobil. Namun kali ini, pemandangan itu terasa berbeda.

Albert masuk tanpa sepatah kata pun, wajahnya terlihat kusut. Dasi yang biasanya terpasang rapi tampak masih berantakan, jas masih ia sandang di tangan, bukan melekat di bahu. Bahkan beberapa kancing kemejanya terpasang terburu-buru. Jelas sekali ia berangkat tanpa sempat merapikan diri.

Begitu duduk, Albert memijit pelipisnya, menarik napas panjang dan berat, seolah ingin melepaskan beban yang selama ini ia pendam. Lima belas tahun kesetiaan… untuk apa kalau hanya berbalas dingin? gumam hatinya, nyaris terdengar getir.

Lamunannya buyar ketika Boby membuka suara pelan, sedikit ragu.

“Pak… Anda baik-baik saja?”

Albert hanya menoleh sekilas, senyumnya hambar, jika itu bisa disebut senyum.

“Aku baik,” ujarnya singkat, meski suaranya terdengar serak, nyaris patah.

Lalu, tanpa banyak bicara, ia menjentikkan jarinya.

“Jalan.”

Boby segera mengangguk, menyalakan mesin, dan melajukan mobil meninggalkan halaman rumah yang mewah tapi terasa hampa itu. Sepanjang jalan, sunyi mendominasi, hanya terdengar deru mesin dan napas berat Albert yang sesekali terdengar. Ia sudah berusaha menjaga pernikahannya dengan Stela, namun semakin hari sikap dingin wanita itu semakin menjadi.

Sejenak Albert memejamkan mata, mencoba melawan pusing yang masih membekas akibat semalam. Alkohol yang ia teguk berlebihan memang berhasil meredam amarahnya, setidaknya untuk sementara. Namun kini, rasa tenang itu justru berubah menjadi kekosongan yang menghantam.

Pikirannya melayang pada Stela, pada meja makan yang ditinggalkannya pagi tadi, dan pada peringatan hari pernikahan mereka yang tinggal satu bulan lagi. Semua pengorbanan, termasuk pembelian villa mewah yang ia setujui hanya demi menyenangkan hati istrinya, terasa seperti sia-sia.

Namun, entah mengapa, ingatan Albert tiba-tiba berbelok. Bukan lagi wajah Stela yang hadir, melainkan bayangan Stefani, senyum gadis itu, bibir tipisnya, bahkan lekuk tubuhnya yang sempat tanpa sengaja tertangkap matanya beberapa waktu lalu. Tanpa sadar, Albert menelan ludah. Ada desir aneh di dadanya, percampuran antara lelah dan godaan.

"Bob," suara Albert serak memecah keheningan mobil.

"Ya, Tuan?" sahut Boby cepat, matanya sekilas melirik lewat kaca spion.

"Buatkan jadwal temu dengan nona Stefani," ujar Albert tanpa membuka mata. "Biar dia bawa semua dokumen untuk kulihat."

Boby menahan diri untuk tidak berkomentar, hanya mengangguk sopan. "Baik, Tuan."

Albert menghela napas panjang lagi, jemarinya mengetuk pelan sandaran tangan kursi mobil, sementara senyum samar, entah getir atau nakal hampir tak bisa disembunyikan dari wajahnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Sriyati Sri
heran juga ya sm Stela, knp dia nggk mau melayani suaminya, jgn" dia bermain api di belakang suaminya, knp juga Albert nggk curiga, hrs di selidiki tuh
goodnovel comment avatar
mommy can
apa kau ni CEO abal2 gtu aneh banget myelidikin istri aja nggak bisa duit banyak loh nggak mungkin kan CEO bodoh
goodnovel comment avatar
mommy can
boleh cinta tp jangan tolol..masak sih nggak curiga istrinya nggak mau disentuh asik main hp dll..bersikap dingin ya pasti ada selingkuhan lah..secara Alber ni katanya CEO kan yaa pasti lah orang pintar banyak koneksi emang nggak ada gtu selidikin istrinya klo mau secepat kilat pasti bisa kaan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 45 Aku Menyukaimu Stefani

    Tidur di kamar berukuran tiga kali empat meter persegi sebenarnya bukan hal baru bagi Stefani. Ia sudah terbiasa hidup sederhana, berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain, hanya dengan satu kasur tipis, kipas angin tua, dan meja kecil di sudut ruangan. Namun entah kenapa malam ini terasa berbeda. Udara seolah menyesakkan, dan matanya sama sekali tak mau terpejam. Gadis itu menggulingkan tubuhnya ke kanan, lalu ke kiri, berulang-ulang. Pikiran yang semestinya sudah ia tenangkan malah kembali berisik, penuh bayangan masa lalu yang enggan hilang. “Huh…” desahnya pelan. “Kadang aku mikir… aku bukan anak ibu.” Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibirnya, tapi kemudian sunyi kembali menyelimuti kamar mungil itu. Stefani menatap langit-langit kamar hotel itu yang mulai kusam, matanya berkaca-kaca tanpa sadar. Ia mengingat wajah ibunya yang selalu datar, jarang menunjukkan kasih sayang bahkan saat dirinya sakit. Kadang justru ucapan-ucapan tajam sang ibu yang membuat hatinya semak

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 44 Kemana Kamu Pergi, Stefani?

    "Lebih baik aku menemui Stefani.." Albert berjalan turun seraya mengancingkan satu persatu kancing kemejanya. Pria itu masuk kedalam mobil dan menginjak pedal gasnya dengan kasar, nafasnya masih memburu. Pintu pagar terbuka setelah Albert menekan klakson. Tampak Stela masih duduk di depan pagar rumah mewah itu, matanya sembab, wajahnya penuh air mata. Saat melihat mobil Albert keluar dari garasi, wanita itu sontak berdiri dan berusaha mengejar, namun Albert sama sekali tak menoleh. Ia sudah kehilangan rasa peduli pada wanita itu. Mobil hitam milik Albert melaju cepat menembus jalanan malam. Lampu kota memantul di kaca depannya, sementara pikirannya terus melayang pada satu nama, Stefani. Entah kenapa, di saat seperti ini, hanya wajah gadis itu yang terlintas di pikirannya. Wajah lembut yang selalu mampu menenangkan hatinya di tengah badai amarah. Beberapa menit kemudian, mobil Albert masuk ke area basement apartemen. Ia mematikan mesin, keluar, dan menutup pintu dengan gerakan te

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 43 Beri Aku Kesempatan

    “Saya antar ke mana, Mbak?”Pertanyaan itu memecah lamunan panjang Stefani. Suara sopir taksi yang parau karena usia membuat gadis itu tersentak kecil. Ia menoleh, pandangannya masih kosong menatap keluar jendela. Malam sudah turun sepenuhnya; lampu-lampu kota berpendar redup di jalanan yang basah oleh sisa gerimis.“Emm…” bibirnya bergetar kecil. Ia menunduk, berpikir keras. Ia benar-benar bingung hendak ke mana malam ini. Tidak ada rumah untuk pulang, tidak ada tempat yang bisa ia sebut “aman”.Akhirnya, setelah beberapa detik hening, ia menjawab pelan, “Hotel Melati saja, Pak…”Sopir tua itu mengangguk tanpa banyak bicara. Mobil melaju menembus jalanan yang mulai sepi, hanya sesekali terdengar deru kendaraan lain yang lewat. Stefani bersandar di jok belakang, menatap keluar jendela. Bayangan lampu jalan memantul di kaca, menyoroti wajahnya yang pucat dan mata yang mulai sayu.Sisa uangnya tidak banyak. Ia tahu, malam ini ia hanya bisa mencari penginapan murah untuk sekadar menenang

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 42 Aku Pergi

    Pandangan semua orang di kantor tertuju pada Stefani ketika ia melangkah masuk melewati lobi utama. Bisik-bisik kecil terdengar di setiap sudut ruangan, beberapa bahkan terang-terangan menatapnya dari balik layar komputer. Beberapa karyawan pura-pura sibuk, namun pandangan mereka mengikuti setiap langkah Stefani yang tampak berusaha tetap tenang. Ia tahu alasan mereka menatap seperti itu. Berita tentang Pak Danil sudah tersebar luas. Semua orang pasti sudah menonton siaran langsung yang disebarkan para pemburu berita. Semua itu menjadi tontonan hangat siang ini. Dan sayangnya, nama Stefani ikut terseret. Meski hatinya berdebar, Stefani berusaha menegakkan punggungnya. Ia tak ingin terlihat rapuh. Tumit sepatunya beradu pelan dengan lantai marmer, menciptakan ritme tegas yang justru menegaskan ketegarannya. Tanpa menoleh sedikit pun, ia berjalan lurus ke arah lift dan menekan tombol ke lantai delapan, lantai tempat ruang kerjanya berada. Begitu pintu lift menutup, Stefani menghembus

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 41 Permintaan Maaf

    Sampai di dalam lift, suasana terasa sunyi. Hanya suara dengung mesin dan detik waktu yang seperti bergerak lebih lambat dari biasanya. Stefani yang sedari tadi digandeng Albert perlahan melepaskan genggaman tangannya. Telapak tangannya masih terasa hangat, tapi juga bergetar ringan karena gugup. Gerakannya itu begitu pelan, namun cukup untuk membuat Albert menoleh. Tatapan mereka bertemu sejenak sebelum sama-sama berpaling, seolah keduanya sadar ada batas tipis antara mereka yang tidak seharusnya dilanggar. Hening kembali mendominasi. Lampu di dalam lift berpendar lembut, memantulkan bayangan wajah mereka berdua di dinding logam mengilap. Dari pantulan itu, Stefani bisa melihat rahang Albert yang menegang, napasnya berat, dan pandangan matanya lurus menatap ke depan, kosong namun dalam. “Maaf, Stefani…” suara berat itu memecah kesunyian, tenang tapi sarat emosi yang sulit dijelaskan. Stefani menoleh cepat, keningnya berkerut heran. “Maaf… untuk apa, Pak?” tanyanya pelan, sua

  • Terjerat Pesona CEO Kesepian   Bab 40 Flashback

    “A… Apa? Kamu gila, Dan!” Suara Stela pecah, hampir melengking. Tubuhnya seketika melemas, lututnya tak lagi mampu menopang. Ia terduduk di lantai, wajahnya penuh kepanikan dan air mata. Seluruh harga diri yang tadi masih coba dipertahankan, kini lenyap tanpa sisa. Hidupnya terasa tak lagi punya harapan. Dengan tubuh bergetar, ia kembali merangkak dan merangkul kaki Albert. Air matanya menetes di sepatu mahal yang dikenakan pria itu. “Tolong beri aku kesempatan, Al… bagaimanapun kita sudah bersama selama 15 tahun. Uang itu… tidak seberapa, kan? Jadi tolong maafkan aku, ya…” rengek Stela, suaranya parau, lirih, penuh ketakutan. Albert menunduk sedikit, menghela napas panjang dan berat. Dadanya naik turun, menahan amarah yang membakar. Ia tidak sanggup menatap wajah Stela. Baginya, wajah itu kini hanya mengingatkan pada pengkhianatan yang menusuk jantungnya dalam-dalam. Selama 15 tahun, ia mencintai wanita itu, membangun keluarga, menjaga komitmen. Namun kini, semua yang ia berikan h

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status