Albert menarik napas dalam, memutar gelas di tangannya sebelum akhirnya menatap Andrew.
“Stela semakin menuntut banyak hal,” gumamnya lirih. “Kali ini dia mendesak soal villa. Seolah semua yang kulakukan tidak pernah cukup.” Andrew terkekeh kecil, menyandarkan tubuh di sofa empuk. “Kamu yang memilih menikah dengannya, bro. Jangan mengeluh kalau sekarang kamu terjebak dalam drama ratu kecil itu.” Albert hanya mendengus, menenggak minuman yang dituangkan Andrew tanpa berpikir panjang. Rasanya membakar tenggorokannya, cocok dengan amarah yang mendidih di dadanya. “Kenapa kamu bisa tahan hidup begitu, Al? Selalu main aman, selalu menuruti semu maunya istrimu,” Andrew mengangkat gelasnya dengan senyum sinis. “Kadang kamu perlu keluar jalur sedikit, rasakan dunia luar. Tidak semua hal harus lurus dan rapi.” Albert menoleh tajam. "Aku bukan kamu, Andrew!” Andrew hanya mengedikkan bahu. “Santai saja, bro. Hidup ini terlalu pendek untuk dihabiskan dengan wajah masam. Lepaskan sedikit bebanmu malam ini. Toh Stela tidak akan tahu.” Ucapan itu membuat rahang Albert mengeras. Dalam hati, ia tahu ini bukan dunianya, musik bising, lampu temaram, perempuan asing yang menatap penuh undangan. Tapi rasa kesalnya pada Stela membuat logikanya tergelincir. Andrew melihat perubahan raut wajah Albert dan tersenyum puas. “Nah, itu baru sahabatku. Malam ini, anggap saja kau bukan Albert si suami setia. Anggap kau hanya Albert yang bebas.” Albert meneguk sisa minumannya, seolah ingin membungkam suara hatinya sendiri. Malam baru dimulai, dan untuk pertama kalinya dalam hidup, ia membiarkan dirinya hanyut tanpa arah. Malam itu, pertahanan Albert runtuh sepenuhnya. Meski sejak awal menolak setiap perempuan yang sengaja dihadirkan Andrew, ia tak kuasa menolak botol-botol minuman keras yang terus disodorkan. Entah sudah berapa gelas yang ditenggaknya; hitungan pun kabur bersama kesadarannya. Kepalanya pening, lidahnya kelu, dan gumaman tak jelas terus lolos dari mulutnya. Andrew hanya bisa menggeleng, wajahnya masam. “Albert… Albert… Kamu tampan, kaya, semua wanita berebut mendekat. Tapi kenapa sih cuma Stela si murahan itu yang kamu cinta?” gerutunya lirih, separuh kesal separuh iba. “Dia bertingkah buruk, tapi kamu tutup mata dan telinga. Dasar bodoh…” Di tengah limbung, Albert menggenggam lengan Andrew erat, matanya sayu namun penuh permintaan. “Hubungi Stela… suruh dia jemput aku,” gumamnya nyaris tak terdengar. Andrew mendengus pelan. Tak ingin memperpanjang drama, ia meraih ponselnya dan menekan nomor Stela. Butuh tiga kali panggilan sampai suara parau wanita itu terdengar, jelas baru terbangun dari tidur. “Untuk apa kau telepon tengah malam begini, Drew?” nadanya ketus, setengah marah. “Maaf, Kakak Ipar,” jawab Andrew berusaha sopan, “Albert mabuk parah. Dia memintaku untuk menghubungimu… bisakah Kakak jemput dia?” Alih-alih panik atau khawatir, respons Stela justru mengejutkan. “Hah? Mabuk? Salah dia sendiri, kan?” suaranya datar, bahkan terdengar sebal. “Jangan ganggu aku. Suruh dia tidur di situ saja!” Tanpa memberi kesempatan Andrew bicara lagi, sambungan telepon diputus sepihak. Andrew menatap layar ponsel yang kini gelap, lalu menghembuskan napas berat. “Gila. Istrimu itu tidak punya hati sama sekali, Al,” gumamnya. Andrew melirik ke arah Albert yang kini terduduk lemas, kepala tertunduk, bibirnya komat-kamit menyebut nama Stela seperti mantra yang kehilangan daya. “Dia tidak mau datang menjemputmu,” ucap Andrew pelan, sedikit ragu menyampaikannya. Albert mengangkat wajahnya dengan mata merah berair. "Tidak mungkin… coba lagi. Dia pasti datang. Dia… istriku, Drew,” katanya terbata, suara seraknya seperti pecah. Andrew menggigit bibir, tapi menuruti permintaan sahabatnya. Panggilan kedua, ketiga… tetap tak dijawab. Hanya nada sambung yang semakin terasa menusuk telinga. Albert tertawa kecil, tawa getir yang terdengar lebih mirip isakan tertahan. “Apa yang sebenarnya Stela inginkan? Aku bahkan tidak pernah menolak semua keinginannya.” Albert bersandar ke sofa bar, matanya menerawang kosong. “Padahal aku hanya ingin dia seperti dulu, Drew… aku hanya ingin pulang ke rumah yang tidak dingin.” Andrew yang biasanya cuek mulai gusar melihat kondisi sahabatnya. “Sudah, Al. Aku akan hubungi Boby untuk mengantar kamu pulang. kamu tidak bisa nyetir dalam keadaan begini.” Tapi Albert menggeleng keras, hampir jatuh dari kursinya. “Tidak! Aku maunya dia. Aku tidak mau siapapun. Aku mau Stela. Suruh dia datang!” teriaknya, sampai beberapa tamu bar menoleh dengan tatapan heran. Andrew menghela napas panjang, memegangi kepala sendiri. “Ya ampun, kamu bener-bener cinta mati dengan wanita itu ya, Al…” gumamnya lirih, kali ini tanpa nada kesal, hanya ada rasa iba yang dalam. Albert tiba-tiba meraih ponsel Andrew dengan tangan gemetaran, mencoba menekan nomor istrinya sendiri, tapi jari-jarinya bergetar hebat. “Stela… jemput aku… please…,” suaranya bergetar ketika panggilan masuk ke kotak suara. Hening sesaat, hanya suara musik bar yang samar terdengar. Andrew menatap Albert yang kini menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Bahunya berguncang pelan, ia tak menangis keras, tapi jelas hatinya remuk.“A… Apa? Kamu gila, Dan!” Suara Stela pecah, hampir melengking. Tubuhnya seketika melemas, lututnya tak lagi mampu menopang. Ia terduduk di lantai, wajahnya penuh kepanikan dan air mata. Seluruh harga diri yang tadi masih coba dipertahankan, kini lenyap tanpa sisa. Hidupnya terasa tak lagi punya harapan. Dengan tubuh bergetar, ia kembali merangkak dan merangkul kaki Albert. Air matanya menetes di sepatu mahal yang dikenakan pria itu. “Tolong beri aku kesempatan, Al… bagaimanapun kita sudah bersama selama 15 tahun. Uang itu… tidak seberapa, kan? Jadi tolong maafkan aku, ya…” rengek Stela, suaranya parau, lirih, penuh ketakutan. Albert menunduk sedikit, menghela napas panjang dan berat. Dadanya naik turun, menahan amarah yang membakar. Ia tidak sanggup menatap wajah Stela. Baginya, wajah itu kini hanya mengingatkan pada pengkhianatan yang menusuk jantungnya dalam-dalam. Selama 15 tahun, ia mencintai wanita itu, membangun keluarga, menjaga komitmen. Namun kini, semua yang ia berikan h
“Apa kamu yakin rencana kita akan berhasil, sayang?” Suara wanita itu terdengar jelas dari rekaman yang diputar Bobby. Semua orang di ruangan—wartawan, Danil, bahkan Stela sendiri—membeku di tempatnya. Mikrofon yang tadi teracung kini perlahan diturunkan, sementara kamera masih terus menyala, mengabadikan momen yang jauh lebih besar dari sekadar dugaan perselingkuhan. Danil yang berdiri di dekat pintu kamar seketika pucat pasi. Tubuhnya kaku, matanya melebar tak percaya. Suara itu… terlalu familiar. Ia menoleh perlahan pada Stela, jantungnya berdetak tak beraturan, keringat dingin mulai menetes di pelipisnya. “Asal gadis itu bisa diandalkan, rencana kita pasti akan berhasil, Danil. Aku tahu Albert kesepian, dia nggak mungkin tahan kalau keadaannya sudah mendesak. Jadi buat perempuan itu melakukan perintahmu.” Suara Stela terdengar jelas, bening tanpa retakan. Tak ada yang bisa menyangkal lagi. Serentak ruangan bergemuruh. Para reporter yang tadi berteriak menuduh Albert kini
Bruakkk!! Pintu kamar utama terbuka dengan paksa, kayunya bergetar keras menimbulkan bunyi nyaring yang menggema di seluruh lorong. Wartawan yang sudah tak sabar langsung menyerbu masuk dengan kamera menyala, mikrofon teracung, bahkan ada yang langsung menyiarkan secara live ke ponsel mereka. “Ayo cepat! Rekam semua! Ini momen emas!” teriak salah satu reporter bersemangat. Kilatan lampu kamera membuat ruangan seketika terang-benderang, cahaya-cahaya putih memantul di dinding kamar mewah yang elegan. Semua orang berebut posisi, sebagian sampai saling dorong, berharap jadi yang pertama mengabadikan bukti skandal besar itu. Namun detik berikutnya, suara-suara riuh itu berubah jadi kekacauan. “Loh… tidak ada orang di sini!” seru salah satu reporter dengan nada heran. “Bagaimana bisa? Tadi jelas-jelas kita dengar suara perempuan mendesah, kan?” timpal yang lain. Para wartawan mulai celingukan, kamera menyorot setiap sudut kamar. Ada yang membuka pintu kamar mandi, ada yang menyingka
“Ini dia mobil Albert,” gumam Stela lirih, matanya menatap tajam ke arah sedan hitam mahal yang berhenti di halaman vila megah itu. Tangannya yang masih menggenggam clutch bag bergetar pelan. Dari balik kacamata hitam yang menutupi separuh wajahnya, sorot matanya berkilat penuh kepuasan ada perasaan cemas sekaligus lega yang bercampur menjadi satu. Danil yang turun dari mobilnya di belakang Stela segera mendekat, jas rapi yang ia kenakan tak bisa menutupi aura licik yang menguar dari dirinya. Ia sengaja berdiri sedikit menyamping agar tak menarik perhatian. “Ingat,” bisiknya tajam, suaranya rendah namun penuh tekanan, “kita harus pura-pura nggak saling kenal. Wartawan yang kupanggil sebentar lagi tiba. Semuanya harus berjalan sesuai rencana. Jangan sampai ada celah.” Stela menarik napas dalam, mencoba menahan degup jantung yang semakin kencang. Dua tahun penuh ia harus bersabar, merencanakan langkah demi langkah untuk sampai pada titik ini. Dua tahun menyimpan kebosanan, rasa muak,
Stefani duduk dengan gelisah di dalam taksi, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Nafasnya terasa sesak, seakan ruang kabin sempit itu menutup jalan keluar bagi semua kecemasan yang berdesakan dalam dadanya. Sejak pagi tadi perutnya mual, bukan karena sakit, melainkan karena pikiran-pikiran yang terus berkecamuk, seolah ada suara-suara yang berdebat tanpa henti di kepalanya. Jarum jam menunjuk ke angka dua belas lebih empat puluh lima. Lima belas menit lagi ia akan bertemu Albert, seseorang yang membuat hatinya bergetar sekaligus memunculkan rasa bersalah yang tak terkira. “Bagaimana kalau dia marah? Bagaimana kalau dia benar-benar menganggapku murahan?” gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Ia lalu menunduk, menatap tas kecil di pangkuannya. Dari sela resleting yang terbuka, botol kecil berisi obat itu tampak berkilau diterpa cahaya matahari. Tangannya bergetar ketika menyentuh benda itu. Stefani menggenggamnya, lalu buru-buru menarik kembali tangannya seakan bo
Stefani tiba di kantor dengan napas terengah, langkahnya cepat meski tubuhnya terasa lemah. Ia tahu dirinya sudah terlambat, beberapa pasang mata menatap sinis ke arahnya begitu ia melewati ruang kerja staf lain. Bisik-bisik kecil terdengar, seakan semua orang menilai dirinya hanya dari pandangan mata. Namun Stefani berusaha menutup telinganya. Ia hanya ingin segera sampai ke mejanya, membuka komputer, dan mengalihkan diri pada pekerjaan. Baru saja ia duduk, layar komputernya baru menyala setengah, suara ketukan sepatu di lantai dan panggilan seorang wanita langsung mencuri perhatiannya. “Stefani,” suara tegas itu datang dari asisten Daniel, wanita berpenampilan rapi dengan wajah tanpa ekspresi. “Pak Daniel menunggumu di ruangannya sekarang.” Stefani menahan napas panjang. Jantungnya langsung berdetak kencang. Ia tahu, cepat atau lambat, ia memang harus menghadapi ini. Vila yang seharusnya sudah berpindah tangan semalam, justru menjadi awal malapetaka baginya. Dengan tangan ya