Bab 3
Aldi tidak bisa tidur memikirkan pertanyaan Serena tadi. Ia pun memilih pergi ke rumah Benu.Mengganggu istirahat asistennya, lebih baik dari pada dirinya terus dihantui oleh rasa penasaran."Benu apa yang terjadi tujuh tahun yang lalu dengan Serena?" Aldi bahkan langsung bertanya begitu pintu di buka.Pemiliknya saja masih terlihat mengantuk, karena ini sudah hampir dini hari."Aku rasa tidak ada, bos, yang aku dengar Serena baik-baik saja sebelum akhirnya menghilang." Benu ingat saat itu. Serena memang berhenti bekerja pasca menikah dengan bosnya dan Benu mengira itu wajar.Lagi pula pasca ayahnya Himawan jatuh di kamar mandi, Aldi langsung di suruh pergi ke luar negeri bersama Benu."Kenapa tidak tanya sama dia, bos?" Benu datang membawa satu gelas teh untuk Aldi yang masih berpikir keras mencari jawaban."Kalau dia mau menjawabnya, untuk apa aku datang ke sini?" Aldi balik bertanya. Dia terus mencari-cari ingat."Sebelum aku pergi subuh itu, aku tinggalkan surat untuknya, apa karena itu dia meninggalkanku?"Aldi ingat surat itu berisi tentang, agar Serena berhenti bekerja demi kenyamanan Serena dan hubungan mereka, karena Aldi mencium bahwa keluarganya tidak akan merestuinya menikah lagi karena ingin Lydia kembali jadi menantu."Aku hubungi hotel minta cctv tujuh tahun yang lalu." Benu berpikir mungkin saja ada kejadian di hotel waktu itu yang menjadi penyebabnya.Saat itu juga Benu menghubungi petugas cctv hotel. Menyebutkan tanggal kapan terakhir kalinya Serena ada di hotel.Menunggu cukup lama sampai pengendali cctv menghubungi kembali."Mas Benu, nggak ada rekaman pada tanggal itu, semua cctv dalam keadaan mati," lapor petugas itu.Benu mengucapkan terimakasih lalu menutup panggilan sementara Aldi menatap tidak sabar."Cctv mati pada hari itu," ucap Benu seraya meletakkan ponselnya di atas meja.Keduanya sama bersandar, sama-sama berpikir dengan keras. Kenapa bisa mati semua?^^^^^^Serena menunggu di cafe hotel, dia tidak mau terlambat yang nanti bisa saja dijadikan Aldi alasan.Sudah satu jam lebih, Serena menunggu, tapi Aldi belum juga muncul. Gusar? Tentu saja. Dia berdecak kesal lalu hendak melangkah pergi.Serena tahu di mana ruangan direktur, ia berjalan menuju ke lantai itu, kebetulan ada Benu yang baru keluar dari ruangan Aldi."Dia ada?" tanyanya.Benu tampak tidak terkejut, "Ada, masuk aja Ser, nggak di kunci." Aldi mempersilahkan istri bosnya tersebut.Serena melangkah dan membuka pintu dengan kasar, tampak Aldi rebahan di sofa dan menoleh padanya.Serena yang semula ingin marah, tidak jadi saat melihat Aldi sepertinya tidak sehat.Aldi tampak berusaha bangkit, "Kamu datang, Seren, maaf!"Serena masih berdiri, sungguh ia iba melihat wajah Aldi yang tampak pucat."Duduklah!""Nggak perlu," tolak Serena, "sepertinya kamu sakit, aku pergi saja.""Seren, tunggu sebentar!" Aldi menahannya saat wanita itu berbalik, "akan aku kabulin permintaanmu setelah tahu apa penyebab kamu pergi."Serena bergeming.Apa benar Aldi tidak tahu? Rasanya Serena ingin tertawa saat ini, "kamu yakin tidak tahu apa-apa atau hanya pura-pura biar kita nggak cerai?""Seandainya tidak cerai, aku tidak peduli apapun itu, Seren. Aku masih mencintaimu, persetan dengan masa lalu!" ucap Aldi mantap.Serena terkekeh mendengarnya sebelum mengucapkan kata, "Bullsyit!""Aku sungguh-sungguh, Seren. Tujuh tahun aku mencarimu, apa itu tidak cukup sebagai bukti.""Aku cuma butuh talak, bukan bukti. Atau lebih baik nggak usah cari tahu masalah itu, cukup ceraikan saja aku." Serena harus tetap konsisten dengan keinginannya datang ke sini. Dia tidak mau membuat Billy menunggu lagi.Aldi berdiri, menghadap pada Serena, di pandanginya wajah ayu yang terlihat sama seperti dulu, kecantikan yang tidak berkurang tapi tampak semakin matang karena usia Serena pasti sudah lebih dari dua puluh lia tahun, "kamu tetap cantik, Serena!""Kamu mau apa?" Serena yang sempat terpesona dengan tatapan pria itu mundur selangkah. Bisa-bisanya dia terbuai oleh wajah tampan Aldi meski pucat."Aku mau kamu, Seren!" bisik Aldi semakin maju hingga membuat tubuh Serena terpepet ke dinding.Nafas berat Aldi mengusik naluri kewanitaan Serena, namun ia segera sadar, "Ini nggak benar, Di, menjauhlah!""Kamu memanggilku Aldi, seperti malam pertama kita. Seren aku merindukanmu yang dulu!" Aldi berucap senang."Jangan, Di. Aku ini calon istri orang," ucap Serena keceplosan, namun hal itu ampuh membuat Aldi mundur.Begitu Aldi mundur Serena langsung pergi tanpa pamit lagi. Di luar dia bertemu dengan Benu."Nu, aku check out hari ini, kalau bapak sudah sembuh, temui aku di rumah paman!" Serena berpesan."Kenapa nggak kasih nomor aja, Ren, biar lebih gampang," kata Benu."Privasi," jawab Serena singkat, "udah ya Nu, aku pergi!"Serena mengambil kopernya ke kamar lalu pergi meninggalkan hotel menuju rumah pamannya yang sudah tujuh tahun ia tinggalkan.Rumah itu adalah milik kedua orang tuanya, tepatnya di daerah bogor. Sejak kedua orang tuanya tiada, paman dan bibinya yang merawat Serena.Sebenarnya dia punya rumah lain di kota tak jauh dari hotel, tapi sudah di kontrakkan pasca Serena berangkat ke Singapura."Ya ampun, Ndok! Ini beneran kamu?" Bibi Yuni berkaca-kaca menatap keponakan suaminya yang sudah seperti putri mereka itu.Serena pun sama, matanya basah sebelum keduanya saling berpelukan melepas rindu.Yuni membawa Serena duduk, "Pamanmu masih di sawah, mungkin sebentar lagi pulang," ucap Yuni. Siang hari Arman pasti pulang untuk sholat dan makan."Bibi dan paman sehat kan?" tanya Serena."Alhamdulillah! Sehat, Ndok, kamu sendiri bagaimana? Oh iya kenapa nggak ngajak Ranu sekalian?" Selama ini mereka memang kerap berhubungan melalui telepon."Terlalu beresiko, Bi. Aku nggak mau kalau Aldi tahu ada anaknya bersamaku." Serena sudah memikirkan hal ini."Ren, apa tidak sebaiknya Aldi dan Ranu di pertemukan saja sekarang?" Yuni berpikir logis, "suatu saat pasti Ranu akan mencaritahu ayah kandungnya.""Aku belum siap, Bi. Lagi pula aku datang mau minta cerai dari dia," kata Serena mengenai tujuannya."Udah ketemu sama Aldi?" Yuni tidak terkejut, karena baginya ini wajar mengingat mereka menikah satu hari lalu berpisah tujuh tahun."Udah, Bi, tapi dia belum menjatuhkan talaknya. Sepertinya Aldi mau mempersulitku, Bi." Serena mengungkap kecurigaannya."Mempersulit gimana, bukannya udah punya istri, dia?""Dia ngotot minta aku jelaskan alasan pergi tujuh tahun yang lalu.""Terus, kamu kasih tahu?"Serena menggeleng, "Aku nggak mau, Bi. Ancaman dari keluarganya sampai sekarang masih ku ingat."Yuni jadi tampak khawatir mendengarnya, "Ren, kamu yakin nggak di ikuti kan? Kok bibi jadi takut ya?""Bibi tenang saja, nggak mungkin ada yang tahu aku ke Indonesia.""Bibi cuma takut terjadi apa-apa sama kamu," ucap Yuni khawatir."InsyaAllah nggak ada apa-apa, Bi." Serena meyakinkan Yuni."Serena!"Suara di pintu mengalihkan tatap keduanya, Serena langsung berdiri salim kepada adik mendiang ayahnya tersebut.Arman mengusap kepala Serena dengan tangis yang mulai keluar dari matanya, "Ya ampun, Ndok. Paman kangen sama kamu.""Serena juga kangen, Paman." Tidak ada adegan berpelukan karena Arman masih kotor.Setelah sholat dan makan Arman memutuskan tidak ke sawah lagi. Mereka berbicara tentang rencana Serena ke depannya."Aldi memang pernah datang, tapi paman bilang nggak tahu kamu ke mana, seandainya paman tahu dia masih punya istri mana mungkin paman mau menikahkan kalian." Arman menyesalinya, "meskipun cuma nikah siri.""Paman, ini sudah takdir, yang penting aku tidak jadi pengganggu rumah tangganya. Sekarang yang penting aku harus cerai dari dia." Tekad Serena masih sama, meski ia mulai ragu dengan Aldi yang sepertinya tidak mau menceraikannya."Apa rencanamu setelah dapat talak dari Aldi?" tanya pamannya penasaran."Billy dan orang tuanya mau datang ke sini, melamar aku." Inilah salah satu alasannya datang selain ingin cerai dengan ayah kandung putranya.Serena dekat dengan Billy sejak mengandung Ranu.Billy pria lajang yang sudah mengungkapkan perasaannya sejak lama, namun Serena tolak. Pria itu pantang menyerah hingga Serena luluh dan menerimanya, bahkan Billy sangat menyayangi Ranu."Alhamdulillah! Paman turut senang kalau begitu. Setidaknya dia sayang sama Ranu.""Assalamualaikum!"Kepulangan Himawan dipercepat guna memberikan keleluasaan pada Aldi dan Serena di Bali. Ia sengaja membawa Ranu cucunya agar tidak mengganggu.Himawan ingim cucu yang banyak sebelum ajal memanggilnya. Hari ini dia ingin mengecheck keadaan salah satu hotel yang kebetulan dipimpin oleh menantunya, tapi melihat Billy dan mendengar pengakuan ibunya membuat Himawan terkejut."Ayah, maaf tidak mengabari sebelumnya." Aneska muncul dari balik pohon. Sungguh ia sangat takut jika Himawan akan membongkar siapa dirinya saat ini."Ini kebetulan sekali," seru Dewi senang, "kata Aneska Pak Himawan sedang liburan ternyata sudah pulang." Dewi tersenyum sangat ramah tapi berbeda dengan Billy yang tampak datar lalu Aneska yang wajahnya tampak tidak nyaman. "Ya, saya juga ingin mendengar cerita tentang mereka berdua." Himawan menyambut ucapan Dewi. Ia pun mengajak mereka ke rumahnya, termasuk Aneska juga. Sampai di sana Dewi takjub melihat rumah Himawan yang besar. Impiannya punya besan kaya sudah t
Entah sudah berapa lama Aneska berdiam diri di dalam toilet, memikirkan apa yang harus ia lakukan. Ibu Billy ingin bertamu ke rumah mereka.Rumah Himawan tepatnya.Aneska tak mungkin membawanya. Dia jadi terjebak oleh rencana Jane sahabatnya."Bil, coba kamu panggil," ucap Dewi yang merasa ini tidak wajar."Biarin aja, Bu. Mungkin lagi ngeden," jawab Billy santai. Dia memang tidak peduli pada wanita itu.Ck"Lama!" Dewi berdecak. Ia mulai merasakan kecurigaan dari sikap Aneska. Aneska memasang senyum palsu begitu keluar dari toilet. Dia pun mengajak keduanya turun untuk makan di bawah, "Tante dan Billy menginap saja di sini, aku sudah pesankan kamar.""Loh, kamu tidak ada rencana membawa kami ke rumah orang tuamu?" Dewi mengeryit heran. Aneska memalingkan wajah, menggigit bibir bawahnya. Membawanya ke rumah Susi bukanlah pilihan yang tepat. Bisa-bisa ibunya itu akan bikin ulah dan malu. "Ayah sedang liburan, Tan. Mungkin lusa baru pulang." Aneska beralasan meskipun benar adanya
Aldi merencanakan liburan untuk mereka. Ada Himawan dan juga Ranu. Meninggalkan sejenak kesibukan di dunia kerja.Pagi ini pesawat yang membawa mereka telah tiba di Bali. Aldi membawa mereka ke sebuah rumah yang bagian belakangnya menghadap ke pantai."Kamu nyewa rumah, Mas. Kan cuma tiga hari saja?" Serena merasa ini terlalu berlebihan mengingat mereka hanya enam orang saja.Belum lagi Aldi menjawab, Serena sudah terpukau oleh gambar besar yang ruangannya baru saja ia masuki, "I-ini rumah Mas Aldi?"Pria itu menjawab dengan pelukan di pinggang sang istri. Dagunya jatuh tepat di bahu Serena, "Ini milikmu sayang. Hadiah pernikahan tujuh tahun yang lalu. Mas baru sempat menunjukkannya setelah selesai di renovasi.Serena terharu, ternyata suaminya sudah menyiapkannya rumah sejak dulu, pantas saja ada foto menikah mereka di atas tempat tidur king size."Sayang, ini bukan sekedar liburan untuk kita. Mas Aldi ingin kita memiliki anak lagi, kamu mau kan?" Kini mereka berhadapan saling m
"Jangan melamun, seharusnya kamu manfaatin ini dengan baik. Kalau aku jadi kamu inilah kesempatan buat balas sakit hati kakak iparmu itu." Jane terus membisikkan semangat untuk Aneska.Jane diam saat melihat sosok Dewi datang mendekati merekam"Anes, sudah saatnya kita pergi dan kamu, siapa namamu?" Dewi begitu ramah memperlakukan Aneska berbeda dengan Jane."Siap, saya Jane," jawab Jane cepat."Kamu tidak perlu ikut," ucap Dewi sedikit ketus."Saya juga tidak mau ke sana, tugas saya hanya memastikan kalau adik saya sudah di nikahi. Itu saja." Jane tidak begitu menyukai Dewi yang cepat berubah pikiran. Terlihat mata duitan. Dia membayangkan kalau Dewi tau Anes sudah didepak dari keluarga Himawan pastilah dia akan membenci Aneska. Setelahnya ia pun pamit pada Aneska, tak lupa mengucapkan selamat dengan tawa."Sudah, ayo pulang!" Billy mengajak keduanya. Ia terlalu lelah dan pusing dengan apa yang sudah terjadi.Di rumah Aneska di antar ke kamar, sedangkan Billy menyusul ibunya k
Susi masuk ke dalam, ia meminta handphone dengan menengadahkan tangannya, "Berikan cepat!" perintahnya.Dodi menyembunyikan di balik tubuh kurusnya, "Nggak mau, ini privasiku, Bu," tolaknya."Privasi-privasi? Emangnya kamu siapa pakai privasian segala. Makanmu saja masih ibu yang tanggung sok segala privasi." Susi mengomel sambil melotot, "cepat sini!""Nggak, nanti ibu ambil semua." Dodi tetap bersikeras memegangnya. Susi geram dan akhirnya maju lalu merebutnya dengan paksa."Bu!" protes Dodi saat benda pipih yang menyimpan rahasia m bankingnya sudah beralih ke tangan ibunya."Udah diem!" Susi menggulirnya dan menemukan pesan m banking senilai sepuluh juta rupiah, "Apa yang kamu jual ha? Ini uang dari mana?" Susi marah dan menatap kakak dari Aneska itu."Sembarangan ibu tuduh aku menjual, yang ada ibu tuh yang sudah jual sofa sama lemari. Terpaksa duduk di lantai kita," gerutu Dodi tak terima."Ibu jual juga biar kita bisa makan, kau pikir sekarang mau dapat duit dari mana, Ane
"Bu, jangan menangis, bisa saja ini akal-akalan mereka. Kita pulang saja sekarang!" Sudah satu jam sejak Dewi bangun dari pingsannya.Billy menenangkannya, tapi ibunya menolak untuk pulang, "Jangan mudah tertipu dengan orang yang tidak kita kenal," katanya lagi agar ibunya segera menurut."Kamu nggak kenal dia? Apa kamu mau lepas dari tanggung jawab? Nih, nih, lihat wajahnya baik-baik, kalian pernah ketemu kan di forum bisnis?" Jane mengangkat dagu Aneska agar wajah itu terlihat jelas oleh Billy.Billy terkejut, sekarang dia melihatnya dengan jelas, tadi saat di tempat tidur dia hanya melihatnya dari samping."Kau!" ucapnya pelan. Billy meneguk ludahnya. Bertanggung jawab dengan perempuan jahat yang pernah mencelakai Serena, mustahil baginya.Billy tak akan lupa dengan perbuatannya yang turut andil dalam perpisahan Serena dulu.Dewi berdiri, ia mendatangi gadis yang sudah tidur dengan anak kesayangannya, ia menatap Aneska dari ujung kaki hingga kepala.Kulitnya bersih, sepertinya