Home / Romansa / Terjerat Pesona Istriku / 3 - Janji di Balik Tirai

Share

3 - Janji di Balik Tirai

Author: Sofia Saarah
last update Last Updated: 2025-06-18 14:49:34

Langit malam menggantung kelabu, dan suara detak jam dinding terdengar makin nyaring di antara sunyi kamar. Dewa membuka mata perlahan.

Cahaya remang dari lampu tidur membiaskan siluet Sherine yang tertidur di sisi ranjang, punggungnya membelakangi Dewa.

Tanpa suara, Dewa bangkit. Kakinya menjejak lantai dengan hati-hati. Ia mengambil ponsel dari meja nakas, lalu melangkah ke balkon, membuka pintu kaca pelan agar tak menimbulkan suara.

“Halo, Ven?” suaranya rendah, terdengar sedikit lelah.

“Dewa! Dari mana saja kamu? Nomormu gak aktif dari tadi sore.”

Nada suara wanita itu terdengar menuntut, namun terselip kecemasan di baliknya.

Dewa menarik napas panjang. Kepalanya menunduk, tangan kirinya menggenggam pagar balkon yang dingin.

“Maafkan aku… kamu tahu kan, hari ini... hari pernikahanku.”

Ada hening beberapa detik.

Lalu suara Veneza terdengar lebih tajam. “Dan kamu juga tahu bahwa itu hanya formalitas dua tahun. Itu janji kamu padaku. Kau ingat, kan, kenapa kau menikahi wanita itu?”

Dewa mendongak, menatap langit yang tak berbintang malam itu.

“Aku ingat. Tentu aku ingat. Dua tahun. Setelah kamu pulang dari Amerika dan kontrakmu selesai, aku akan bercerai dengannya.”

Apa yang tidak Dewa ketahui, adalah bahwa Sherine berdiri diam di balik tirai tipis kamar, tak jauh dari pintu balkon.

Tubuhnya menyatu dengan bayangan malam. Ia bahkan menahan napasnya agar tak terdengar.

Wajahnya pucat. Sorot matanya kosong. Namun dadanya bergemuruh.

Sherine mendengar semuanya.

Matanya mengabur, bukan karena air mata, tapi karena terlalu banyak luka yang tak lagi bisa didefinisikan.

“Kalau bukan karena utang 400 juta itu... karena kebodohanku sendiri… aku pasti gak akan berada di pernikahan penuh kepura-puraan ini.” bisiknya lirih, seolah menyesali dirinya lebih dari siapa pun.

Sementara itu, suara Veneza masih terdengar dari ponsel.

“Dewa, kamu tahu aku sangat mencintaimu. Aku gak bisa kehilangan kamu. Tapi ini juga karierku… aku harus mengambil kesempatan ini.”

Dewa mengangguk pelan meski wanita itu tak melihatnya.

“Aku tahu. Aku mengerti. Kau pantas mendapatkannya.”

“Janji satu hal padaku… jangan pernah mencintai dia. Wanita itu!”

Nada suaranya berubah. Bukan lagi sekadar kekasih, tapi lebih seperti peringatan.

Dewa terdiam sejenak. Lalu dengan suara yang pelan namun mantap, ia menjawab,

“Aku janji. Hatiku tetap milikmu. Selalu, selamanya”

“Aku percaya kamu. Aku cinta kamu.Sangat mencintaimu”

“Aku juga, Ven… Aku sangat mencintaimu.”

“Baiklah. Istirahat, ya..”

“Iya”

“Selamat malam.”

Panggilan berakhir.

Dewa menurunkan ponsel perlahan. Pandangannya kosong menatap malam, seolah bicara dengan udara yang tak pernah memberi jawaban.

“Selesai...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

Tanpa suara, ia berbalik dan berjalan kembali ke dalam kamar. Tapi yang tak ia tahu, Sherine sudah lebih dulu berlalu kembali ke tempat tidur dan berbaring.

Matanya terbuka menatap langit-langit, tapi tak berkedip. Pandangannya kabur, tak lagi melihat apa pun. Hanya mendengar gema kalimat itu...

“Aku janji. Hatiku tetap milikmu. Selalu, selamanya”

Langkah kaki Dewa mendekat. Sherine memejamkan matanya perlahan, pura-pura tertidur.

Dewa berhenti sejenak. Tatapannya jatuh pada wajah tenang istrinya, meskipun ia telah berbicara dengan Veneza namun ketika melihat wajah Sherine ia tak mampu berpaling.

Dewa naik ke tempat tidur ia memperhatikan setiap detail wajah istrinya yang tengah tertidur.

Batinnya bekata “Entah sampai kapan aku bisa menahan semua ini. Apa ini cinta? Atau hanyalah hasrat sesaat?”

Pagi menyapa dengan sinar matahari yang mengintip dari celah tirai yang terbuka. Udara di kamar masih terasa hangat oleh aroma mawar samar yang tertinggal sejak malam sebelumnya.

Sherine mengerjap pelan. Matanya terbuka, menghadap ruang kosong di sampingnya.

Dewa tak ada.

Ia bangkit pelan dari ranjang. Pandangannya menyapu sekeliling kamar. Sunyi. Tapi saat matanya tertuju ke sudut ruangan, ia menemukannya.

Dewa tertidur di sofa panjang, tubuhnya tergulung selimut tipis. Kedua kakinya tertekuk karena panjang sofa tak cukup menampung tinggi badannya.

Mata Dewa terpejam, namun wajahnya terlihat lelah dan... tertekan. Napasnya pendek dan tak stabil.

Sherine berdiri diam.

“Pak Dewa ternyata sangat mencintai Mbak Veneza…” bisik batinnya getir. “Ayo, Sherine. Jangan sampai kamu terbawa perasaan.”

Ia melangkah ringan ke kamar mandi, membiarkan air hangat membasuh tubuh dan pikirannya yang riuh. Tapi luka semalam tak ikut larut.

Ia tahu, ini bukan rumah... ini bukan cinta. Ini hanya pengorbanan.

Sementara itu, Dewa menggeliat di sofa. Tubuhnya tegang. Pikiran yang sejak semalam berisi gambaran lekuk tubuh Sherine, senyumnya, suaranya, aroma tubuhnya yang menusuk logika, kini semakin menyiksanya. 

Tubuh Dewa belum sepenuhnya tenang. Ada gelombang yang tak bisa ia kendalikan. Bayangan Sherine dalam balutan satin.

Aroma tubuhnya yang membius, dan lekuk yang tersimpan dalam memori… semuanya membuat pagi itu jadi siksaan paling lembut sekaligus menyakitkan.

Dewa membuka mata. Merah. Sayu. Hampir putus kendali.

“Aku bisa gila kalau seperti ini terus…” gumamnya, menutup wajah dengan satu tangan.

Pintu kamar mandi terbuka. Sherine keluar. Rambutnya masih basah, pipinya merona alami, kulit wajahnya segar seperti embun pagi. Wajah yang nyaris mustahil untuk tidak ditatap.

“Pagi, Pak Dewa…” sapanya pelan, mencoba bersikap biasa.

Tapi Dewa hanya berdiri. Menatap sebentar, lalu berjalan ke kamar mandi tanpa sepatah kata. Sorot matanya dingin. Matanya seperti menyembunyikan sesuatu yang tak sanggup diucapkan.

Sherine berdiri mematung. Senyum yang baru saja tumbuh, langsung layu.

“Apa yang aku harapkan darinya?” pikirnya.

“Kalau saja bukan karena tekanan orang tuanya yang terus menekannya untuk segera menikah dan karena kontrak kerja Mbak Veneza di luar negeri, mungkin pernikahan ini tidak akan pernah ada. Tapi kalau tidak ada pernikahan ini… bagaimana aku membayar utang bank dan pinjaman online 400 juta itu?”

Kepalanya tertunduk.

“Tidak ada uang tanpa pengorbanan.” bisiknya lirih.

Hari itu, setelah bersiap, mereka meninggalkan hotel dan menuju rumah milik keluarga Hadisetyo. Sebuah rumah mewah bergaya minimalis modern.

Bangunannya menjulang dengan jendela besar dari kaca transparan, dinding berlapis batu alam, dan pintu kayu hitam berukir elegan. Taman kecil di samping gerbang dipenuhi bunga lavender dan pohon kamboja yang mekar pelan-pelan.

Di dalam, interiornya bernuansa monokrom, dengan lantai marmer abu, furnitur putih gading, dan sentuhan emas di bingkai lukisan.

Sherine terpaku beberapa detik saat masuk.

"Begitu sepi... begitu rapi... tapi tidak terasa hidup," pikirnya.

Dewa keluar dari mobil mewahnya, disambut dua wanita yang langsung menunduk sopan.

“Selamat datang, Pak Dewa,” ucap salah satu dari mereka. Seorang wanita paruh baya dengan kerudung sederhana dan senyum ramah.

“Ini Bu Sherine, ya? Astaga, cantik banget…” bisiknya sambil menatap kagum.

Bi Lilis, asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumah itu. Di sebelahnya, ada Una, lebih muda, sekitar 25 tahun, dengan tubuh ramping dan suara pelan.

Sherine tersenyum ramah. “Iya perkenalkan saya Sherine, Mbak…”

Una membalas, “Aduh, Ibu cantik banget… ini sih bukan sekadarcantik, ini kayak putri Arab atau barbie hidup yaa…”

Mereka tertawa kecil.

Dari belakang, muncul Adji, sopir pribadi keluarga Hadisetyo, ikut membantu menurunkan koper dan barang Sherine.

Dewa langsung berjalan ke arah tangga tanpa banyak bicara.

“Sherine, kamarmu di sebelah kamarku. Sudah disiapkan,” ucapnya singkat, tanpa menoleh.

Sherine hanya mengangguk. Dadanya terasa sesak. Langkah Dewa yang cepat seperti ingin menjauh darinya.

Ia masuk ke kamar barunya, dibantu Una. Matanya menyapu ruangan kamar luas bernuansa abu muda, dengan sentuhan beige dan biru kelabu.

Dindingnya dihias lukisan bunga kering, ranjangnya queen size dengan tirai tipis, dan pencahayaan temaram dari lampu gantung modern.

Una mulai menyusun pakaian ke dalam lemari.

“Semua bajunya Ibu bagus-bagus banget. Beneran Ibu tuh cocok banget sama Pak Dewa. Ganteng dan cantik.”

Sherine hanya tersenyum kaku.

Una melanjutkan, suaranya lebih lirih. “Dulu... Mbak Veneza juga tinggal di sini. Mereka kayak pasangan beneran waktu itu. Tapi sejak dia ke Amerika, rumah ini jadi sepi banget. Saya sampai kaget waktu denger Pak Dewa tiba-tiba mau nikah. Setelah melihat Ibu Sherine saya jadi tahu alasan kenapa Pak Dewa tiba-tiba mau menikah secepatnya” ujar Una menggoda.

“Tapi jujur aja, Ibu jauh lebih cantik dari Mbak Veneza lho”

Sherine menunduk. Tangannya meremas ujung dress yang ia kenakan. Suara Una menggantung di udara, namun Sherine tak lagi mendengarnya.

Rasanya seperti ditusuk pelan dengan senyum.. Ia tidak tahu harus bahagia atau sedih. Karena seindah apa pun dia dipuji… dalam waktu dua tahun, kamar ini akan kosong lagi.

Dirinya hanya sementara. Bukan pemilik rumah, bukan pemilik hati siapa pun.

Sherine berdiri di depan lemari yang baru diisi. Tangannya menyentuh gaun-gaun yang sudah rapi di dalamnya.

Ruangan ini nyaman. Hangat. Luas.

Tapi hati manusia tak pernah nyaman di tempat yang tidak benar-benar menjadi miliknya.

“Dua tahun...” bisiknya, lirih. “Cukup lama untuk pura-pura bahagia. Tapi juga cukup lama untuk diam-diam terluka.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Pesona Istriku   29. Kau Tetap Milikku!

    Sherine pun sama terkejutnya. Kakinya mendadak lemas, jari-jarinya yang digenggam Dewa sedikit bergetar. Tatapannya beradu dengan Jeeh, dan dalam sekejap seluruh masa lalu yang ia kubur rapi menyeruak ke permukaan.Ada luka. Ada penyesalan. Ada cinta yang belum benar-benar mati.Bibir Jeeh terbuka, seolah ingin mengucap nama yang selama ini ia rindukan. Tapi lidahnya kelu, suaranya tak mampu keluar. Ia hanya bisa menatap… menatap wanita yang dulu ia pikir akan ia perjuangkan seumur hidupnya, kini menjadi milik orang lain—lebih parahnya, milik sepupunya sendiri.Di matanya ada air yang berkilat, tapi ia menahan mati-matian agar tidak jatuh.“Sherine…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.Sherine mengalihkan pandangannya dengan cepat, menunduk, berusaha menghindari tatapan itu. Ia tahu jika ia terus menatap, seluruh benteng pertahanannya akan runtuh.Sementara Dewa tersenyum lebar, tak menyadari badai emosional yang tengah mengguncang dua hati di hadapannya. Ia masih menggenggam tangan

  • Terjerat Pesona Istriku   28. Pertemuan Mantan

    Keheningan itu seolah membungkus mereka dalam ruang yang tak ingin diganggu siapa pun. Dewa masih menatap dalam wajah Sherine, seakan tak ingin melewatkan satu detik pun tanpa meneguk pesona istrinya. Bibirnya baru saja menyentuh kening Sherine lagi ketika tiba-tiba getar dan dering ponsel di nakas memecah suasana.Sherine spontan menegang, menatap Dewa dengan tatapan penuh tanya. Dewa menghela napas kesal, meraih ponselnya, dan di layar jelas terpampang: Mama.Keromantisan yang baru saja mereka rajut runtuh seketika. Dewa menutup mata, sementara Sherine menarik selimutnya lebih rapat, hatinya mendadak dingin lagi. “Kenapa harus sekarang…” gumam Dewa pelan, menekan tombol hijau.Suara Thamara terdengar cerah dari seberang, “Nak, cepat turun. Jeeh sudah datang, dia menunggumu di bawah.”Dewa terdiam, menatap Sherine yang kini membelakanginya. Dewa menatap layar ponselnya dengan wajah campur aduk. Bahagia, kaget, tapi juga ada rasa tak siap. “Anak itu datang ke sini? Sekarang?” suaran

  • Terjerat Pesona Istriku   27. Tersesat

    Pagi itu, mentari sudah tinggi, menebarkan sinar keemasan ke seluruh sudut rumah besar itu. Namun, belum juga tampak Dewa dan Sherine turun ke bawah. Thamara, yang sudah rapi dengan dress rumahnya yang terlihat tetap elegan. Saat ia sedang sibuk menata bunga di meja, suara riang seorang pria yang tak asing baginya terdengar dari arah pintu.“Tanteee!!”Thamara menoleh, sontak ia langsung memanggil keponakan kesayangannya itu. “Jeeh!” seru Thamara, terkejut sekaligus girang.Mereka segera berpelukan erat. Jeeh, keponakannya yang tampan bahkan semua mengakui bahwa ketampanan Jeeh melebihi sepupunya Dewa. “Kamu ini, pas nikahan Dewa malah nggak hadir. Tante kecewa banget,” ucap Thamara sambil menepuk pelan bahunya.Jeeh cengar-cengir, “Maaf, Tante. Waktu itu kerjaan lagi gila banget, susah ambil cuti. Tapi sekarang aku langsung ke sini, kan? Mama sama Papa bilang Dewa udah tinggal di sini sama istrinya.”“Iya, begitu lah. Tante seneng kamu bisa mampir. Duduk dulu, biar Tante minta Bi Li

  • Terjerat Pesona Istriku   26. Aku Sangat Mencintaimu

    Kesadaran langsung menghantam Dewa. Tangannya bergetar, matanya membelalak ngeri pada apa yang baru saja ia lakukan. “Sherine… sayang… maafkan aku,” suaranya parau, penuh penyesalan. Ia meraih wajah istrinya, namun Sherine menepis kasar, semakin tersedu.Dewa jatuh terduduk di sisi ranjang, kedua tangannya menutup wajahnya sendiri. “Apa yang sudah kulakukan… Tuhan…” gumamnya, suaranya bergetar. Hatinya sesak, seakan seribu duri menusuk sekaligus.Ia menoleh lagi, memandang Sherine yang kini meringkuk di ujung ranjang, memeluk dirinya sendiri, seolah berusaha melindungi dari pria yang seharusnya menjadi pelindungnya. Rasa bersalah merambat di dada Dewa, lebih menyakitkan daripada tamparan manapun.Dewa meraih tangan Sherine perlahan, takut ditolak lagi. Jemarinya bergetar saat menyentuh kulit halus istrinya. “Maafkan aku, Sherine… aku kehilangan kendali. Aku tidak seharusnya menyakitimu… aku…” suaranya tercekat, hampir tak terdengar.Namun Sherine tetap menangis, tubuhnya bergetar m

  • Terjerat Pesona Istriku   25. Tamparan Menyakitkan

    Sherine menatap layar ponselnya yang masih penuh dengan pesan Johan, Luna, dan Yummi. Air matanya belum kering, tapi gengsi menahannya untuk terlihat lemah. Ia menarik napas panjang, lalu mengetik perlahan.Sherine:“Aku baik-baik saja. Jangan khawatir. Itu cuma urusan kantor, mungkin kebetulan.”Pesan terkirim.Beberapa detik kemudian Johan membalas:“Sher… kamu gak harus pura-pura kuat di depan kita. Kalau mau cerita, kami siap dengerin.”Luna menimpali cepat:“Iya, Sher. Gak usah sok tabah. Aku aja yang cuma temen ikut sakit lihat gosip itu. Apalagi kalian baru satu bulan menikah”Yummi menambahkan:“Kamu berhak marah, kamu berhak cemburu. Jangan pendam sendiri.”Sherine menutup ponselnya erat-erat, air matanya kembali tumpah. Pikiranya terus berputar diantara:Berhak marah? Berhak cemburu? Aku hanya istri yang di bayar untuk menunggu, aku hanya istri kontraknya?Di luar, malam semakin larut. Tapi hati Sherine tak kunjung tenang, seakan tersiksa oleh bayangan suaminya yang mungkin

  • Terjerat Pesona Istriku   24. Gosip Dewa

    Rama menutup pintu ruangan rapat pelan. Wajahnya tegang, ia menunduk sebelum akhirnya membuka suara. “Pak… ada hal yang harus saya sampaikan,” ucapnya hati-hati.Dewa mendongak dari balik meja kerjanya. “Apa?” suaranya berat, penuh tekanan.“Gosip tentang Bapak… dan Mbak Veneza. Seluruh kantor sudah tahu beliau datang dan masuk ke ruangan Bapak. Mereka bilang… Bapak masih menjalin hubungan dengannya.”Suara kursi berdecit saat Dewa berdiri dengan kasar. “Sialan!” bentaknya sambil menghantam meja dengan telapak tangan. “Padahal aku sudah menjelaskan padanya, kenapa dia harus muncul seenaknya di sini!”Rama menunduk semakin dalam, tak berani menatap. “Saya khawatir gosip ini bisa keluar, Pak. Semua orang di kantor sudah mengetahui tentang gosip ini. Mereka turut prihatin pada Bu Sherine”Nama istrinya disebut, dada Dewa makin sesak. Ia meraih ponselnya, menekan nama Veneza dengan jari bergetar karena amarah.Di apartemennya, Veneza terduduk dengan mata sembab. Marry berusaha menenangka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status