Langit malam menggantung kelabu, dan suara detak jam dinding terdengar makin nyaring di antara sunyi kamar. Dewa membuka mata perlahan.
Cahaya remang dari lampu tidur membiaskan siluet Sherine yang tertidur di sisi ranjang, punggungnya membelakangi Dewa.
Tanpa suara, Dewa bangkit. Kakinya menjejak lantai dengan hati-hati. Ia mengambil ponsel dari meja nakas, lalu melangkah ke balkon, membuka pintu kaca pelan agar tak menimbulkan suara.
“Halo, Ven?” suaranya rendah, terdengar sedikit lelah.
“Dewa! Dari mana saja kamu? Nomormu gak aktif dari tadi sore.”
Nada suara wanita itu terdengar menuntut, namun terselip kecemasan di baliknya.Dewa menarik napas panjang. Kepalanya menunduk, tangan kirinya menggenggam pagar balkon yang dingin.
“Maafkan aku… kamu tahu kan, hari ini... hari pernikahanku.”
Ada hening beberapa detik.
Lalu suara Veneza terdengar lebih tajam. “Dan kamu juga tahu bahwa itu hanya formalitas dua tahun. Itu janji kamu padaku. Kau ingat, kan, kenapa kau menikahi wanita itu?”
Dewa mendongak, menatap langit yang tak berbintang malam itu.
“Aku ingat. Tentu aku ingat. Dua tahun. Setelah kamu pulang dari Amerika dan kontrakmu selesai, aku akan bercerai dengannya.”Apa yang tidak Dewa ketahui, adalah bahwa Sherine berdiri diam di balik tirai tipis kamar, tak jauh dari pintu balkon.
Tubuhnya menyatu dengan bayangan malam. Ia bahkan menahan napasnya agar tak terdengar.
Wajahnya pucat. Sorot matanya kosong. Namun dadanya bergemuruh.
Sherine mendengar semuanya.
Matanya mengabur, bukan karena air mata, tapi karena terlalu banyak luka yang tak lagi bisa didefinisikan.
“Kalau bukan karena utang 400 juta itu... karena kebodohanku sendiri… aku pasti gak akan berada di pernikahan penuh kepura-puraan ini.” bisiknya lirih, seolah menyesali dirinya lebih dari siapa pun.
Sementara itu, suara Veneza masih terdengar dari ponsel.
“Dewa, kamu tahu aku sangat mencintaimu. Aku gak bisa kehilangan kamu. Tapi ini juga karierku… aku harus mengambil kesempatan ini.”
Dewa mengangguk pelan meski wanita itu tak melihatnya.
“Aku tahu. Aku mengerti. Kau pantas mendapatkannya.”“Janji satu hal padaku… jangan pernah mencintai dia. Wanita itu!”
Nada suaranya berubah. Bukan lagi sekadar kekasih, tapi lebih seperti peringatan.Dewa terdiam sejenak. Lalu dengan suara yang pelan namun mantap, ia menjawab,
“Aku janji. Hatiku tetap milikmu. Selalu, selamanya”“Aku percaya kamu. Aku cinta kamu.Sangat mencintaimu”
“Aku juga, Ven… Aku sangat mencintaimu.”
“Baiklah. Istirahat, ya..”
“Iya”
“Selamat malam.”
Panggilan berakhir.
Dewa menurunkan ponsel perlahan. Pandangannya kosong menatap malam, seolah bicara dengan udara yang tak pernah memberi jawaban.
“Selesai...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Tanpa suara, ia berbalik dan berjalan kembali ke dalam kamar. Tapi yang tak ia tahu, Sherine sudah lebih dulu berlalu kembali ke tempat tidur dan berbaring.
Matanya terbuka menatap langit-langit, tapi tak berkedip. Pandangannya kabur, tak lagi melihat apa pun. Hanya mendengar gema kalimat itu...
“Aku janji. Hatiku tetap milikmu. Selalu, selamanya”
Langkah kaki Dewa mendekat. Sherine memejamkan matanya perlahan, pura-pura tertidur.
Dewa berhenti sejenak. Tatapannya jatuh pada wajah tenang istrinya, meskipun ia telah berbicara dengan Veneza namun ketika melihat wajah Sherine ia tak mampu berpaling.
Dewa naik ke tempat tidur ia memperhatikan setiap detail wajah istrinya yang tengah tertidur.Batinnya bekata “Entah sampai kapan aku bisa menahan semua ini. Apa ini cinta? Atau hanyalah hasrat sesaat?”Pagi menyapa dengan sinar matahari yang mengintip dari celah tirai yang terbuka. Udara di kamar masih terasa hangat oleh aroma mawar samar yang tertinggal sejak malam sebelumnya.
Sherine mengerjap pelan. Matanya terbuka, menghadap ruang kosong di sampingnya.
Dewa tak ada.
Ia bangkit pelan dari ranjang. Pandangannya menyapu sekeliling kamar. Sunyi. Tapi saat matanya tertuju ke sudut ruangan, ia menemukannya.
Dewa tertidur di sofa panjang, tubuhnya tergulung selimut tipis. Kedua kakinya tertekuk karena panjang sofa tak cukup menampung tinggi badannya.
Mata Dewa terpejam, namun wajahnya terlihat lelah dan... tertekan. Napasnya pendek dan tak stabil.
Sherine berdiri diam.
“Pak Dewa ternyata sangat mencintai Mbak Veneza…” bisik batinnya getir. “Ayo, Sherine. Jangan sampai kamu terbawa perasaan.”
Ia melangkah ringan ke kamar mandi, membiarkan air hangat membasuh tubuh dan pikirannya yang riuh. Tapi luka semalam tak ikut larut.
Ia tahu, ini bukan rumah... ini bukan cinta. Ini hanya pengorbanan.
Sementara itu, Dewa menggeliat di sofa. Tubuhnya tegang. Pikiran yang sejak semalam berisi gambaran lekuk tubuh Sherine, senyumnya, suaranya, aroma tubuhnya yang menusuk logika, kini semakin menyiksanya.
Tubuh Dewa belum sepenuhnya tenang. Ada gelombang yang tak bisa ia kendalikan. Bayangan Sherine dalam balutan satin.
Aroma tubuhnya yang membius, dan lekuk yang tersimpan dalam memori… semuanya membuat pagi itu jadi siksaan paling lembut sekaligus menyakitkan.
Dewa membuka mata. Merah. Sayu. Hampir putus kendali.
“Aku bisa gila kalau seperti ini terus…” gumamnya, menutup wajah dengan satu tangan.
Pintu kamar mandi terbuka. Sherine keluar. Rambutnya masih basah, pipinya merona alami, kulit wajahnya segar seperti embun pagi. Wajah yang nyaris mustahil untuk tidak ditatap.
“Pagi, Pak Dewa…” sapanya pelan, mencoba bersikap biasa.
Tapi Dewa hanya berdiri. Menatap sebentar, lalu berjalan ke kamar mandi tanpa sepatah kata. Sorot matanya dingin. Matanya seperti menyembunyikan sesuatu yang tak sanggup diucapkan.
Sherine berdiri mematung. Senyum yang baru saja tumbuh, langsung layu.
“Apa yang aku harapkan darinya?” pikirnya.
“Kalau saja bukan karena tekanan orang tuanya yang terus menekannya untuk segera menikah dan karena kontrak kerja Mbak Veneza di luar negeri, mungkin pernikahan ini tidak akan pernah ada. Tapi kalau tidak ada pernikahan ini… bagaimana aku membayar utang bank dan pinjaman online 400 juta itu?”Kepalanya tertunduk.
“Tidak ada uang tanpa pengorbanan.” bisiknya lirih.Hari itu, setelah bersiap, mereka meninggalkan hotel dan menuju rumah milik keluarga Hadisetyo. Sebuah rumah mewah bergaya minimalis modern.
Bangunannya menjulang dengan jendela besar dari kaca transparan, dinding berlapis batu alam, dan pintu kayu hitam berukir elegan. Taman kecil di samping gerbang dipenuhi bunga lavender dan pohon kamboja yang mekar pelan-pelan.
Di dalam, interiornya bernuansa monokrom, dengan lantai marmer abu, furnitur putih gading, dan sentuhan emas di bingkai lukisan.
Sherine terpaku beberapa detik saat masuk.
"Begitu sepi... begitu rapi... tapi tidak terasa hidup," pikirnya.Dewa keluar dari mobil mewahnya, disambut dua wanita yang langsung menunduk sopan.
“Selamat datang, Mas Dewa,” ucap salah satu dari mereka. Seorang wanita paruh baya dengan kerudung sederhana dan senyum ramah.
“Ini Bu Sherine, ya? Astaga, cantik banget…” bisiknya sambil menatap kagum.Bi Lilis, asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumah itu. Di sebelahnya, ada Una, lebih muda, sekitar 25 tahun, dengan tubuh ramping dan suara pelan.
Sherine tersenyum ramah. “Panggil saya Sherine saja, ya, Mbak…”
Una membalas, “Aduh, Mbak cantik banget… ini sih bukan sekadarcantik, ini kayak putri Arab atau barbie hidup yaa…”
Mereka tertawa kecil.
Dari belakang, muncul Adji, sopir pribadi keluarga Hadisetyo, ikut membantu menurunkan koper dan barang Sherine.
Dewa langsung berjalan ke arah tangga tanpa banyak bicara.
“Sherine, kamarmu di sebelah kamarku. Sudah disiapkan,” ucapnya singkat, tanpa menoleh.
Sherine hanya mengangguk. Dadanya terasa sesak. Langkah Dewa yang cepat seperti ingin menjauh darinya.
Ia masuk ke kamar barunya, dibantu Una. Matanya menyapu ruangan kamar luas bernuansa abu muda, dengan sentuhan beige dan biru kelabu.
Dindingnya dihias lukisan bunga kering, ranjangnya queen size dengan tirai tipis, dan pencahayaan temaram dari lampu gantung modern.
Una mulai menyusun pakaian ke dalam lemari.
“Semua bajunya Mbak bagus-bagus banget. Beneran Mbak tuh cocok banget sama Mas Dewa. Ganteng dan cantik.”
Sherine hanya tersenyum kaku.
Una melanjutkan, suaranya lebih lirih. “Dulu... Mbak Veneza juga tinggal di sini. Mereka kayak pasangan beneran waktu itu. Tapi sejak dia ke Amerika, rumah ini jadi sepi banget. Saya sampai kaget waktu denger Mas Dewa tiba-tiba mau nikah. Setelah melihat Mbak Sherine saya jadi tahu alasan kenapa Mas Dewa tiba-tiba mau menikah secepatnya” ujar Una menggoda.
“Tapi jujur aja, Mbak jauh lebih cantik dari Mbak Veneza lho”
Sherine menunduk. Tangannya meremas ujung dress yang ia kenakan. Suara Una menggantung di udara, namun Sherine tak lagi mendengarnya.
Rasanya seperti ditusuk pelan dengan senyum.. Ia tidak tahu harus bahagia atau sedih. Karena seindah apa pun dia dipuji… dalam waktu dua tahun, kamar ini akan kosong lagi.
Dirinya hanya sementara. Bukan pemilik rumah, bukan pemilik hati siapa pun.
Sherine berdiri di depan lemari yang baru diisi. Tangannya menyentuh gaun-gaun yang sudah rapi di dalamnya.
Ruangan ini nyaman. Hangat. Luas.
Tapi hati manusia tak pernah nyaman di tempat yang tidak benar-benar menjadi miliknya.
“Dua tahun...” bisiknya, lirih. “Cukup lama untuk pura-pura bahagia. Tapi juga cukup lama untuk diam-diam terluka.”
Cinta tak selalu datang dengan ketukan keras. Kadang ia hadir dalam diam, saat kau mencoba mengabaikannya. Dan itulah yang sedang di alami oleh sepasang suami istri yang telah berkomitmen untuk tidak saling jatuh cinta. Sherine melangkah keluar dari ruang VIP dengan dagu terangkat, namun hatinya terasa rapuh seperti kaca retak yang sewaktu-waktu bisa hancur hanya karena satu getaran. Tumit sepatunya beradu pelan dengan marmer dingin restoran, menciptakan gema yang seirama dengan denyut di dadanya yang mulai tak menentu. Ia tak ingin menunggu Dewa menyelesaikan telepon itu. Ia tak ingin mendengar suara wanita lain yang mungkin masih menguasai ruang terdalam hati suaminya. Dan ia... tak ingin terlihat cemburu. Namun nyatanya, dadanya nyeri. Dewa masih di dalam, berdiri bersandar di dinding ruangan VIP dengan ponsel menempel di telinga. Suara Veneza di seberang terasa seperti badai kecil yang berusaha menenggelamkan apa yang selama ini ia coba jaga tetap tenang. "Ada apa, Ven?" Suara
"Tidak apa-apa, Jeeh. Kapan kamu akan pulang ke Indonesia?"Suara Dewa terdengar santai tapi hangat di ujung telepon.Dari seberang lautan, suara pria muda menjawab dengan nada rendah dan berkarisma, "Minggu depan aku akan pulang."Dewa tertawa pelan. “Baiklah, anak bodoh. Mampir ke rumahku, oke?”“Baik.”“Aku pikir kau menikah dengan Veneza,” lanjut Jeeh tanpa ragu.“Tidak. Sudah, lupakan.”“Baiklah…”“Kalau begitu, sampai jumpa.”“Sampai jumpa.”Jutaan mil jauhnya di pusat kota London, seorang pria tengah bersandar santai di balik kursi hitam kulit ergonomis. Ruangannya luas, dengan dinding kaca setinggi langit-langit yang menampilkan pemandangan kota yang sibuk. Interior ruang kerjanya modern, bernuansa charcoal dan krem, lengkap dengan rak buku, meja marmer gelap, dan tanaman hijau tropis di sudut ruangan.Itulah Jeehangir Sagara Aurangzeb Hadisetyo.Pria berdarah India-Inggris dari ibunya dan Indonesia dari ayahnya. Tinggi, tegap, dengan rahang tegas, mata tajam warna cokelat pek
Pagi belum sepenuhnya hangat, tapi dapur rumah besar itu sudah ramai oleh suara sayup-sayup.Bi Lilis, Una, dan Adji duduk di meja makan kecil di ujung dapur sambil menyeruput teh manis. Tapi bukan teh yang mereka nikmati, melainkan obrolan penuh tanda tanya yang menggantung sejak malam pertama sang majikan membawa istrinya ke rumah ini."Mas Dewa itu... sungguh beda ya. Masa pengantin baru tidurnya pisah kamar?” bisik Una sambil memotong buah.Bi Lilis mengangguk cepat. “Iya, padahal Mbak Sherine itu cantiknya... aduhai. Luar dalam.”Adji menyahut, “Saya aja yang cuma supir, kagum lihat Bu Sherine. Tapi kok bisa Mas Dewa gak tergoda?”“Kalau saya punya wajah secantik itu, pasti suami saya tidak akan keluar rumah 7 hari 7 malam” ujar Bi Lilis.“Mantanya Mas Dewa dulu, Mbak Veneza yang katanya super model itu. Perasaan gak secantik Mbak Sherine ya” timpal Una.“Jangan-jangan...” Tapi bisikan mereka terpotong suara langkah kaki.Sherine muncul dari arah tangga, mengenakan blouse putih
Langit malam menggantung kelabu, dan suara detak jam dinding terdengar makin nyaring di antara sunyi kamar. Dewa membuka mata perlahan.Cahaya remang dari lampu tidur membiaskan siluet Sherine yang tertidur di sisi ranjang, punggungnya membelakangi Dewa.Tanpa suara, Dewa bangkit. Kakinya menjejak lantai dengan hati-hati. Ia mengambil ponsel dari meja nakas, lalu melangkah ke balkon, membuka pintu kaca pelan agar tak menimbulkan suara.“Halo, Ven?” suaranya rendah, terdengar sedikit lelah.“Dewa! Dari mana saja kamu? Nomormu gak aktif dari tadi sore.”Nada suara wanita itu terdengar menuntut, namun terselip kecemasan di baliknya.Dewa menarik napas panjang. Kepalanya menunduk, tangan kirinya menggenggam pagar balkon yang dingin.“Maafkan aku… kamu tahu kan, hari ini... hari pernikahanku.”Ada hening beberapa detik.Lalu suara Veneza terdengar lebih tajam. “Dan kamu juga tahu bahwa itu hanya formalitas dua tahun. Itu janji kamu padaku. Kau ingat, kan, kenapa kau menikahi wanita itu?”D
Teriakan Sherine bergema begitu nyaring, membuat Dewa langsung tersentak dari lamunannya. Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah pintu kamar mandi dan membuka pintunya dengan cemas.“Sherine?!” serunya panik.Begitu pintu terbuka, tubuh mungil itu langsung melesak ke dalam pelukannya. Tangannya melingkar di pinggangnya, wajahnya terbenam di dada bidang Dewa yang masih berdetak kencang sejak awal malam. Tubuhnya bergetar. Nafasnya tak teratur. Matanya ketakutan.Dewa mematung. Ia benar-benar tak siap untuk ini. Tubuh Sherine yang hanya terbalut handuk putih pendek nyaris tak menutupi pahanya membuat debar di dadanya melonjak tak beraturan.Wewangian dari kulit basah Sherine menyeruak, menciptakan badai kecil dalam pikirannya yang biasanya tenang.“Tenang… Sherine, ada apa?” gumam Dewa pelan, mencoba menyembunyikan kegugupan dalam suaranya.“A… ada kecoa…” jawab Sherine tergagap, masih menempel di tubuhnya.Dewa sempat menahan napas. “Kecoa?”“Coba saya lihat,” ucapnya, sambil perlaha
Kebaya putih rancangan desainer ternama itu membalut tubuhnya dengan sempurna fit, presisi, mengikuti setiap lekuk tubuhnya yang ideal, membentuk siluet feminin yang begitu menawan.Di depan cermin raksasa, Sherine berdiri dalam diam. Sorot matanya kosong. Untuk sesaat, ia seperti tidak mengenali pantulan dirinya sendiri. Wajah yang selama ini tampil sempurna di layar gawai jutaan orang, kini justru tampak asing.Mata hazel kehijauannya berkilau dalam balutan riasan sempurna. Kulitnya bersih dan bercahaya, seolah tak pernah disentuh kesedihan. Namun jauh di balik penampilan nyaris surgawi itu, hatinya tak ubahnya ruang kosong yang tak bersuara.Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Hari ini bukan tentang cinta.Bukan pula tentang impian pernikahan dalam dongeng masa kecil.Hari ini tentang... reputasi. Tentang rahasia yang harus dikubur dalam, dan hanya diketahui oleh dirinya, Dewa, dan Tuhan.Suara ijab kabul menggema dari balik dinding ballroom."Saya terima nika