LOGINYara menunduk. Bahunya naik turun, seolah ia harus mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang berserakan di dadanya sendiri. Jemarinya saling mengait, kuku-kukunya menekan kulit hingga memutih.“Iya,” ucapnya akhirnya. Suaranya pelan, tapi jujur. Terlalu jujur sampai terasa perih. “Aku hamil.”Alden tersentak.Komik yang sejak tadi ia pegang nyaris terlepas dari genggamannya. Jari-jarinya melemah, dan ia refleks menahannya dengan kedua tangan. Wajahnya pucat, sorot matanya kosong beberapa detik, seperti seseorang yang baru saja dijatuhkan ke dalam kenyataan yang sama sekali tak ia siapkan.“Hamil?” ulang Alden lirih, nyaris tak terdengar.Arunika tak berkata apa-apa. Ia hanya mengamati. Tatapannya tajam, penuh waspada. Ia memperhatikan setiap perubahan ekspresi Alden1. Bagaimana cara bahunya menegang, cara rahangnya mengeras, cara matanya menatap Yara terlalu lama. Ada rasa takut yang tak bisa ia sembunyikan. Takut kalau Yara akan menemukan sandaran baru. Takut kalau sahabatnya itu perlah
Di dalam toko buku itu, Yara berjalan pelan di antara rak-rak tinggi yang dipenuhi aroma kertas baru dan tinta. Alden tampak antusias, tangannya sibuk menarik beberapa komik dari rak berbeda—genre slice of life, romansa ringan, sampai yang bernuansa gelap. Ia membolak-balik halaman dengan saksama, sesekali mengernyit, seolah sedang menimbang mana yang cukup “hidup” untuk jadi referensinya.“Yang ini dialognya kuat,” gumam Alden sambil menyodorkan satu buku ke arah Yara.Yara menerima komik itu, mengangguk kecil. “Ekspresinya kerasa banget. Kayak kita ikut tenggelam.”Alden tersenyum tipis. “Nah, itu yang aku cari.”Mereka tak menyadari, di lorong lain, seseorang berhenti melangkah begitu matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya.“Yara?”Suara itu terdengar ragu, seolah takut salah lihat. Namun detik berikutnya, Arunika sudah berlari kecil, meninggalkan keranjang belanjanya. Begitu jarak mereka menyempit, Arunika langsung memeluk Yara tanpa aba-aba—erat, hangat, penuh lega.“Ya T
“Aku bawain ini buat kamu.”Alden menyodorkan sepiring durian yang sudah dikupas rapi. “Kamu doyan durian, kan?”Yara tersentak. Sekejap pikirannya melayang pada artikel-artikel yang pernah ia baca tentang durian yang bersifat panas, tentang kandungan yang masih sangat muda, tentang kondisinya yang sejak tadi juga lemah. Refleks, kepalanya langsung menggeleng.“Kenapa?” Alden mengernyit, bingung melihat reaksi Yara yang terlalu cepat.“Aku… aku lagi—”“Yara lagi kena asam lambung, Alden,” sela Bu Nurma yang baru keluar dari dapur sambil membawa semangkuk bubur kacang hijau hangat. “Jadi nggak boleh makan yang terlalu berat atau beraroma tajam. Kamu makan ini saja, Yara.”Yara menerima mangkuk itu dengan sedikit kikuk. Jemarinya terasa hangat saat menyentuh mangkuk sedikit panas tersebut. Ia mengangguk pelan, berusaha tersenyum meski hatinya tak sepenuhnya tenang.“Ohh… asam lambung, ya.” Alden manggut-manggut, wajahnya langsung berubah penuh pengertian. “Maaf ya. Kalau begitu aku maka
Elvaro dan Kaivan berhenti di depan sebuah perumahan yang tampak tenang. Bukan cluster mewah seperti tempat Elvaro biasanya beraktivitas, melainkan deretan rumah tipe sedang yang rapi dan tumbuh subur dengan pepohonan kecil di kanan-kirinya. Namun perasaan berat yang menggantung di dada membuat Elvaro nyaris tidak memerhatikan apa pun.Mereka baru saja dari rumah seorang teman lama Elvaro—detektif swasta yang dijuluki orang-orang sebagai “Si Pelacak Ajaib”. Seseorang yang dihubungi Elvaro karena putus asa, karena setiap jejak Yara selalu buntu, karena bayangan terburuk terus menghantui pikirannya.Kaivan mengangkat telepon penting dari klien, sementara Elvaro sibuk menghubungi pihak kepolisian. Suaranya terdengar letih, serak, dan hampir pecah. Jari-jarinya bergetar saat memegang ponsel, menandakan betapa rapuhnya ia sejak kepergian Yara.“Ya sudah, tolong kabari lagi nanti,” ucap Elvaro akhirnya sebelum menurunkan ponselnya perlahan. Napasnya berat, seperti seseorang yang terus berla
Beberapa hari ini Elvaro terlihat seperti bayangan dirinya sendiri.Kemeja yang biasanya rapi kini kusut tak karuan, ujungnya keluar dari celana seolah ia memakainya tanpa sadar. Rambut yang selalu disisir klimis mulai tumbuh acak, dan jambang tipis menghiasi rahangnya, memberi kesan lelaki yang tak tidur berhari-hari. Matanya merah, sembab, dan ada lingkar hitam yang begitu pekat di bawah sana.Tak ada satu pun kalimat yang bisa menggambarkan kehancuran seorang ayah yang kehilangan jejak perempuan yang ia cintai dan anaknya.Setiap pagi Elvaro pergi sambil tergesa, menyisir seluruh kota, rumah sakit, halte, pos ojek, bahkan gang kecil terpencil, berharap menemukan Yara sedang duduk sendirian, memeluk lutut, menunggunya. Tapi setiap ia kembali, hasilnya sama: nihil.Ia seperti hidup hanya separuh. Separuh lagi hilang entah ke mana bersama Yara.Arunika memperhatikan papanya dari ruang makan. Piring di meja sudah beberapa kali diganti, tapi tetap kosong. Bi Darmi sampai gelisah sendiri
Yara baru saja selesai melipat baju ketika suara bel pintu depan terdengar. Ia langsung bergegas membukanya.“Tan—”Ucapan pria itu terhenti saat melihat Yara. “Kamu siapa? Di mana Tante Nurma?”“Oh, silakan masuk. Ibu ada di dalam, Mas. Mas pasti Mas Alden.”Pria tinggi bernama Alden itu mengangguk, menggeret kopernya. “Kamu siapa?” tanyanya sambil memperhatikan Yara dari atas sampai bawah, karena penampilannya jelas bukan seperti pembantu.“Aku Yara, Mas. Aku—”“Dia anak Tante, Alden,” sahut Bu Nurma dari lantai atas. Alden langsung mendelik kaget.“Anak angkat,” tambah Bu Nurma.Yara tersenyum lembut, dadanya menghangat. Baru beberapa hari di sini… tapi sudah diakui sebagai anak angkat.Alden manggut-manggut. “Oh, begitu. Aku baru tahu, Tan. Gimana ceritanya?”“Panjang,” jawab Bu Nurma sambil mengamit tangan Alden, membawanya duduk di sofa. Ia membiarkan koper besar keponakannya itu berdiri begitu saja di tengah ruangan.Sesekali, Alden memperhatikan wajah cantik Yara.“Ah, aku bua







