Dan di sanalah, sosok yang sama sekali tak ia sangka akan melihat dirinya dalam kondisi berantakan seperti ini, berdiri di ambang pintu dapur. Dengan sorot mata teduh seperti biasanya.
Sosok itu melangkah masuk, membawa aroma maskulin yang samar bercampur dengan wangi kopi hitam. Yara membelalak, hampir tersedak minumannya. “Om Elvaro….” bisiknya lirih, seolah tak percaya. Pria itu hanya menaikkan alis, menutup pintu kulkas yang tadi ditinggalkan terbuka. “Kamu sendirian? Runi belum pulang?” Yara cepat-cepat menghapus air matanya dengan punggung tangan. “Belum, aku nungguin dia. Pake passcode masuk, maaf ya Om.” Elvaro menghela napas, lalu duduk di kursi seberang. Gerakannya tenang, matanya menyapu wajah Yara yang sembab. “Kamu kenapa? Dari tadi kelihatan kalut.” Yara menunduk. Kaleng bir di tangannya sudah habis. “Nggak papa, Om.” “Kalau nggak papa, air mata kamu nggak akan banjir kayak gitu,” ucap Elvaro datar, tapi nadanya hangat. Yara menelan ludah. Alkohol yang mulai bekerja membuat lidahnya lebih ringan. “Aku baru aja mergokin pacar aku selingkuh. Empat tahun aku buang-buang waktu, Om. Katanya aku kaku. Katanya aku nggak bisa bikin dia puas.” Kata-kata itu keluar terbata, tapi jujur. Elvaro sempat terdiam, menatap serius gadis di depannya. “Laki-laki brengsek,” gumam Elvaro akhirnya. “Kamu nggak salah, Yara. Kalau dia selingkuh, berarti dia yang nggak bisa menghargai kamu.” Yara tersenyum miris, menatap pria itu. Dan entah kenapa, mabuk tipis membuat matanya jadi lebih jeli. Rahang tegas, sorot mata dewasa, tubuh atletis—sama sekali nggak terlihat seperti bapak-bapak yang punya anak kuliahan. ‘Astaga… papa Runi ini oke juga, ya.’ “Om,” panggil Yara pelan, “kenapa ya cowok di sekeliling aku kayak nggak ada yang bener? Papa aku… nggak peduli sama aku. Selalu belain ibu tiriku. Pacar aku… ternyata main belakang. Kalau ada laki-laki kayak Om di sekitar aku, mungkin hidup aku bakal enak.” Elvaro terperangah, menegakkan tubuhnya. “Yara—” “Beruntung ya, Runi. Punya papa kayak Om. Hangat, peduli, dewasa….” Yara menatapnya lama, bibirnya mengerucut kecil. Elvaro menghela napas. Tangannya terulur mengusap punggung tangan Yara dengan lembut. Hanya sekilas, mampu membuat Yara merasa hangat. “Sudah malam. Kamu harus istirahat,” ucap Elvaro cepat, mencoba memutus ketegangan. Tapi Yara hanya tersenyum tipis, masih menatapnya dengan mata sendu. “Om… kalau aku bilang aku iri sama Runi, Om marah nggak?” Elvaro menghela napas, tangannya meremas gelas kopi yang masih separuh. “Yara, jangan bilang yang aneh-aneh. Kamu mabuk, jadi nggak sadar apa yang kamu ucapin.” Yara terkekeh lirih, tapi tawa itu getir. “Kalau orang mabuk, justru yang keluar itu jujur, Om.” Ia menatap lurus, matanya berkaca-kaca. “Aku capek ngerasa sendirian. Capek selalu dibilang salah, capek dianggap nggak cukup.” “Yara…,” panggil Elvaro, suaranya melembut. “Kamu bukan orang yang salah. Kamu berharga.” Sekilas, senyum tipis terbit di wajah Yara, tapi segera berubah jadi lirih getir. Ia menyandarkan kepala di meja, bahunya berguncang. “Om tau nggak rasanya diperlakukan kayak sampah sama orang yang seharusnya sayang? Aku iri sama Runi, Om. Dia punya ayah yang selalu ada, pacar yang baik dan pengertian. Sementara aku… bahkan nggak punya tempat pulang.” Elvaro menatapnya lama, rahangnya mengeras. “Kalau kamu butuh tempat pulang, rumah ini selalu terbuka. Tapi jangan pernah iri sama Runi, karena Om cuma seorang ayah biasa.” “Biasa?” Yara mendongak, matanya berkabut. Ia tersenyum miring. Mengnganggap cara menghibur Elvaro seperti lelucon. “Nggak ada yang ‘biasa’ dari Om. Om terlalu luar biasa buat aku.” Elvaro terdenyum tipis, ia buru-buru meneguk kopinya, padahal sudah dingin. Suasana meja makan mendadak senyap, hanya terdengar napas keduanya. Yara tidak melepaskan pandangan, seakan berusaha membaca isi hati Elvaro. “Om… kalau aku bilang aku pengen deket sama Om, itu salah, ya?” Elvaro tertegun. Tenggorokannya tercekat. Ia ingin menjawab, tetapi suaranya tertelan. Elvaro terdiam cukup lama, jemarinya mengetuk meja kayu, seolah mencari kata-kata yang tepat. Yara terus menatapnya, pandangannya mabuk tipis, tapi penuh rasa penasaran. “Jangan bandingkan saya dengan ayahmu, apalagi dengan lelaki brengsek itu,” suara Elvaro akhirnya terdengar rendah, namun tegas. “Saya jauh lebih tua, Yara. Kamu bisa nyesel kalau ngomong hal sembarangan.” Yara tersenyum samar, mengangkat kaleng birnya yang kosong. “Tapi tetap aja, Om beda. Om bikin aku ngerasa ada yang jagain. Entah kenapa, aku jadi pengen lebih lama duduk bareng Om.” Kalimat itu membuat dada Elvaro sedikit sesak. Ia berdeham, hendak menegur lagi, tetapi tertahan. “Istirahatlah, Yara. Om tahu kamu capek.” Dan saat itulah suara pintu depan berderit. Suara langkah terburu-buru terdengar dari arah ruang tamu. “Yar! Kaivan bilang kamu di sini?” suara Arunika menggema, diikuti suara sandal yang menghentak lantai. Yara sontak terlonjak, buru-buru mengusap pipinya. Elvaro langsung bangkit, menyembunyikan kegelisahannya dengan berdiri tegap. Pintu dapur terbuka, menampilkan Arunika dengan wajah heran. “Kamu nangis? Pa, ada apa? Yara kenapa?”“Duh, gimana ya? Papa bekuin semua rekeningku. Terus gimana aku bisa kasih hadiah buat Runi?” Yara mondar-mandir di kamar, menggigit ujung kukunya. “Lagian, aku juga gak bisa terus-terusan tinggal di sini. Nanti dikira numpang hidup.”Yara benar-benar gelisah. Ia yang semula berdiri, duduk, lalu berdiri lagi. “Ah, aku pusing, mana belum nemu kerjaan.”Klek.Pintu kamar mandi terbuka. Arunika keluar dengan rambut masih basah, melirik wajah sahabatnya. “Mukamu tegang banget. Kaya ketahuan abis—”“Apaan, sih! Orang kaget doang,” sahut Yara cepat, lalu meraih gelas kosong di meja. “Aku mau ngadem dulu, pening mikirin revisian.”Arunika cuma angguk, menyalakan TV. Sementara itu, Yara terbelalak ketika matanya menangkap sosok Elvaro yang sudah duduk di ruang tengah. Di hadapannya terbentang gambar rancangan gedung, kertas berserakan.“Om… lembur, ya?” Yara memberanikan diri mendekat.Elvaro mengangkat kepala, wajahnya lelah. “Iya. Harus bikin laporan tertulis juga buat proposal. Kamu kan ja
"Kamu baru ketemu sama dosen pembimbing, atau kencan sama Kaivan?"Yara yang duduk di ruang tengah menurunkan bukunya, matanya mengintip interaksi ayah dan anak itu. Tadi ia sudah berbohong demi Arunika.Arunika menoleh ke arah Yara, seakan minta dukungan. Yara hanya mengedikkan bahu—tak peduli, seolah bilang ‘urusanmu, bukan urusanku’."Ketemu dosen, Pa. Sama Mega juga. Pulangnya dijemput Kai," jawab Arunika tenang.Elvaro menghela napas, lalu mengacak rambut putrinya asal. "Ya udah, ayo makan."Pemandangan sederhana itu seperti tamparan bagi Yara. Ada rasa iri menyesak di dadanya. Perlakuan hangat seperti itu tak pernah ia rasakan dari papanya sendiri—yang ada hanya tatapan curiga, nada keras, atau prasangka. Tangannya gemetar menutup buku, mencoba menyembunyikan getir yang tiba-tiba menyeruak."Yara, ayo makan!" suara Arunika memecah lamunannya.Yara tersentak. Ia mendongak—dan tanpa sengaja menabrak tatapan mata Elvaro. Lelaki itu menatapnya tenang, datar, seolah kejadian memaluka
Yara baru saja selesai mandi, tubuhnya masih terbalut jubah mandi berwarna putih. Rambutnya yang basah digelung asal dengan handuk kecil. Begitu masuk kamar, ia mendengus kesal melihat meja belajar penuh dengan piring dan gelas kotor.“Arunika…,” gumamnya. Sahabatnya itu jelas biang keroknya. Padahal Yara baru ingin rebahan, tapi mau tak mau ia harus membereskan.Dengan malas, Yara mengangkut piring dan gelas ke dapur. Rumah sedang sepi, hanya ada dirinya. Elvaro belum pulang dari proyek, dan Arunika entah sudah hilang ke mana bersama Kaivan.Saat hendak mencuci, Yara meraih botol sabun. “Duh, sabunnya habis,” dengusnya. Ia jongkok, mengambil refill sabun dari lemari bawah wastafel.Ia menggunting ujung plastiknya, menaruhnya di atas meja. Baru saja ingin menuang, ponselnya berdering.“Run….” Yara mengangkat sambil menyender santai di kulkas.“Yar, tolong banget jangan bilang ke Papa kalau aku pergi sama Kai. Kalau ditanya, bilang aja aku lagi ketemu Mega atau dosen pembimbing, gitu.”
“Jadi total semuanya, 350 ribu rupiah, Mbak.” Pelayan restoran dengan name tag bertuliskan Sania menyerahkan struk ke Yara.Yara mengangguk sambil menyeruput sisa jus jeruknya. “Boleh pakai kartu, kan?”“Boleh.”Yara mengeluarkan kartu debitnya. Sania langsung menggesekkan ke mesin EDC.Beep. Gagal.“Mbak, nggak bisa,” ucap Sania sambil menyerahkan kembali kartunya.Yara menegakkan duduk, wajahnya memucat. “Kok bisa? Coba yang ini.” Ia buru-buru memberikan kartu lainnya.Namun hasilnya tetap sama.“Maaf, Mbak. Nggak bisa juga. Kalau bisa pakai cash aja, ya?”Mampus!Jantung Yara langsung berdegup kencang. Ia memejamkan mata sebentar, menahan panik. Papa keterlaluan banget! Apa emang maunya bikin aku sengsara begini?Dengan wajah memelas, Yara kembali merogoh tas, mengeluarkan ponselnya. “Sebentar ya, Mbak. Aku telpon orang dulu.”Ekspresi Sania jelas tak nyaman, seolah mencurigai Yara.Tak ada satu pun teman yang mengangkat panggilan. Bahkan Arunika pun tak merespons.“Ya Tuhan… orang
Saat memasuki rumah, Yara langsung disambut suara obrolan hangat dari ruang tengah. Meysa, adiknya yang masih SMP, tampak tersenyum ceria. Shandy—ayah mereka—sedang menyuapi Meysa kue, sementara Deva, mama tiri Yara, duduk di samping dengan tatapan penuh kebanggaan. Rupanya mereka tengah merayakan kemenangan Meysa dalam lomba renang. Yara menghentikan langkah. Dadanya sesak, perasaan muak menyeruak. Ia memilih ingin langsung naik ke kamar, namun suara Meysa memanggilnya. “Kak Yara!” seru Meysa riang. Yara menoleh malas. Deva menatapnya dengan senyum tipis—senyum yang lebih mirip ejekan. Sedangkan Shandy sudah menatap Yara dengan sorot tajam, penuh intimidasi. “Kakak, aku baru menang. Sini, kita rayakan!” ajak Meysa polos. Yara menarik napas panjang, menahan gejolak dalam dirinya. “Makasih. Aku mau istirahat, capek.” “Yara, adikmu sedang senang. Kamu tidak mau menghormati? Kakak macam apa kamu?” suara Shandy meninggi, seolah siap meledak kapan saja. Deva meraih lengan suaminya d
Hari ini Yara dan Arunika akan ke kampus. Yara yang sudah rapi lebih dulu, duduk di meja makan.Sementara itu, Arunika masih sibuk telponan dengan Kaivan. Kadang hal seperti ini membuat Yara iri—seakan dunianya Arunika hanya berputar di sekitar Kaivan.“Pagi, Om,” sapa Yara dengan wajah kusut, lalu duduk.“Pagi. Kok muka kamu kusut gitu pagi-pagi?” Elvaro mengernyit, menatapnya.Yara menoleh, menghela napas. “Sebenarnya aku males ngampus, Om. Males ketemu Lionel.”“Jangan terlalu dipikirin, Yara. Cowok brengsek kayak gitu nggak pantas kamu sesali. Masih banyak kok cowok baik di dunia ini.”Senyum kecil akhirnya muncul di bibir Yara ketika Elvaro mengusap punggung tangannya dengan lembut. “Apalagi kalau kaya Om El, ya, Om.”Elvaro sontak terdiam, tersentak oleh ucapannya. Tapi anehnya, ada rasa hangat yang menjalari dadanya.“Ya udah, sampai ketemu di kampus, sayang.” Suara Arunika yang baru saja selesai telpon terdengar makin dekat. Seketika Elvaro buru-buru menarik tangannya, pura-pu