Share

Bab. 2

Penulis: Layli Dinata
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-30 14:18:56

Dan di sanalah, sosok yang sama sekali tak ia sangka akan melihat dirinya dalam kondisi berantakan seperti ini, berdiri di ambang pintu dapur. Dengan sorot mata teduh seperti biasanya.

Sosok itu melangkah masuk, membawa aroma maskulin yang samar bercampur dengan wangi kopi hitam. Yara membelalak, hampir tersedak minumannya.

“Om Elvaro….” bisiknya lirih, seolah tak percaya.

Pria itu hanya menaikkan alis, menutup pintu kulkas yang tadi ditinggalkan terbuka. “Kamu sendirian? Runi belum pulang?”

Yara cepat-cepat menghapus air matanya dengan punggung tangan. “Belum, aku nungguin dia. Pake passcode masuk, maaf ya Om.”

Elvaro menghela napas, lalu duduk di kursi seberang. Gerakannya tenang, matanya menyapu wajah Yara yang sembab. “Kamu kenapa? Dari tadi kelihatan kalut.”

Yara menunduk. Kaleng bir di tangannya sudah habis. “Nggak papa, Om.”

“Kalau nggak papa, air mata kamu nggak akan banjir kayak gitu,” ucap Elvaro datar, tapi nadanya hangat.

Yara menelan ludah. Alkohol yang mulai bekerja membuat lidahnya lebih ringan. “Aku baru aja mergokin pacar aku selingkuh. Empat tahun aku buang-buang waktu, Om. Katanya aku kaku. Katanya aku nggak bisa bikin dia puas.”

Kata-kata itu keluar terbata, tapi jujur. Elvaro sempat terdiam, menatap serius gadis di depannya.

“Laki-laki brengsek,” gumam Elvaro akhirnya. “Kamu nggak salah, Yara. Kalau dia selingkuh, berarti dia yang nggak bisa menghargai kamu.”

Yara tersenyum miris, menatap pria itu. Dan entah kenapa, mabuk tipis membuat matanya jadi lebih jeli. Rahang tegas, sorot mata dewasa, tubuh atletis—sama sekali nggak terlihat seperti bapak-bapak yang punya anak kuliahan.

‘Astaga… papa Runi ini oke juga, ya.’

“Om,” panggil Yara pelan, “kenapa ya cowok di sekeliling aku kayak nggak ada yang bener? Papa aku… nggak peduli sama aku. Selalu belain ibu tiriku. Pacar aku… ternyata main belakang. Kalau ada laki-laki kayak Om di sekitar aku, mungkin hidup aku bakal enak.”

Elvaro terperangah, menegakkan tubuhnya. “Yara—”

“Beruntung ya, Runi. Punya papa kayak Om. Hangat, peduli, dewasa….” Yara menatapnya lama, bibirnya mengerucut kecil.

Elvaro menghela napas. Tangannya terulur mengusap punggung tangan Yara dengan lembut. Hanya sekilas, mampu membuat Yara merasa hangat.

“Sudah malam. Kamu harus istirahat,” ucap Elvaro cepat, mencoba memutus ketegangan.

Tapi Yara hanya tersenyum tipis, masih menatapnya dengan mata sendu. “Om… kalau aku bilang aku iri sama Runi, Om marah nggak?”

Elvaro menghela napas, tangannya meremas gelas kopi yang masih separuh. “Yara, jangan bilang yang aneh-aneh. Kamu mabuk, jadi nggak sadar apa yang kamu ucapin.”

Yara terkekeh lirih, tapi tawa itu getir. “Kalau orang mabuk, justru yang keluar itu jujur, Om.” Ia menatap lurus, matanya berkaca-kaca. “Aku capek ngerasa sendirian. Capek selalu dibilang salah, capek dianggap nggak cukup.”

“Yara…,”  panggil Elvaro, suaranya melembut. “Kamu bukan orang yang salah. Kamu berharga.”

Sekilas, senyum tipis terbit di wajah Yara, tapi segera berubah jadi lirih getir. Ia menyandarkan kepala di meja, bahunya berguncang. “Om tau nggak rasanya diperlakukan kayak sampah sama orang yang seharusnya sayang? Aku iri sama Runi, Om. Dia punya ayah yang selalu ada, pacar yang baik dan pengertian. Sementara aku… bahkan nggak punya tempat pulang.”

Elvaro menatapnya lama, rahangnya mengeras. “Kalau kamu butuh tempat pulang, rumah ini selalu terbuka. Tapi jangan pernah iri sama Runi, karena Om cuma seorang ayah biasa.”

“Biasa?” Yara mendongak, matanya berkabut. Ia tersenyum miring. Mengnganggap cara menghibur Elvaro seperti lelucon.  “Nggak ada yang ‘biasa’ dari Om. Om terlalu luar biasa buat aku.”

Elvaro terdenyum tipis, ia buru-buru meneguk kopinya, padahal sudah dingin. Suasana meja makan mendadak senyap, hanya terdengar napas keduanya.

Yara tidak melepaskan pandangan, seakan berusaha membaca isi hati Elvaro. “Om… kalau aku bilang aku pengen deket sama Om, itu salah, ya?”

Elvaro tertegun. Tenggorokannya tercekat. Ia ingin menjawab, tetapi suaranya tertelan.

Elvaro terdiam cukup lama, jemarinya mengetuk meja kayu, seolah mencari kata-kata yang tepat. Yara terus menatapnya, pandangannya mabuk tipis, tapi penuh rasa penasaran.

“Jangan bandingkan saya dengan ayahmu, apalagi dengan lelaki brengsek itu,” suara Elvaro akhirnya terdengar rendah, namun tegas. “Saya jauh lebih tua, Yara. Kamu bisa nyesel kalau ngomong hal sembarangan.”

Yara tersenyum samar, mengangkat kaleng birnya yang kosong. “Tapi tetap aja, Om beda. Om bikin aku ngerasa ada yang jagain. Entah kenapa, aku jadi pengen lebih lama duduk bareng Om.”

Kalimat itu membuat dada Elvaro sedikit sesak. Ia berdeham, hendak menegur lagi, tetapi tertahan.

“Istirahatlah, Yara. Om tahu kamu capek.”

Dan saat itulah suara pintu depan berderit. Suara langkah terburu-buru terdengar dari arah ruang tamu.

“Yar! Kaivan bilang kamu di sini?” suara Arunika menggema, diikuti suara sandal yang menghentak lantai.

Yara sontak terlonjak, buru-buru mengusap pipinya. Elvaro langsung bangkit, menyembunyikan kegelisahannya dengan berdiri tegap.

Pintu dapur terbuka, menampilkan Arunika dengan wajah heran. “Kamu nangis? Pa, ada apa? Yara kenapa?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 71

    Ruang makan rumah Yara malam itu terasa lebih hangat dari biasanya. Lampu gantung menyala lembut, aroma rendang dan sup hangat menyebar dari dapur, dan suara gelak tawa Deva mengalun pelan dari kursi ujung meja.Yara turun dari lantai dua, sudah berganti pakaian—blouse pastel sederhana dan jeans bersih. Tapi, tangan dan dadanya dingin.Karena tamu yang akan datang bukan tamu sembarangan.Tak lama, suara mobil berhenti di depan rumah.Arunika masuk duluan.“Om, Tante!” serunya ceria. Lalu menyerahkan parcel buah pada Deva.“Pake segala repot-repot,” ucap Deva menerima buah tangan dari Arunika.“Gak repot, kok.”Elvaro berdiri dengan tenang, menerima jabatan tangan Shandy.“Pake bawa buah tangan segala,” ucap Shandy.Elvaro mengedarkan pandangan.Dengan kemeja hitam yang digulung di lengan, aroma parfumnya ikut menyelinap masuk seperti suatu bentuk intimidasi pribadi.Tatapan Yara dan Elvaro beradu sepersekian detik.Cukup.Pusat gempa terjadi di perut Yara.“Pak Elvaro, silakan masuk,”

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 70

    Pagi itu rumah Yara terasa lebih riuh dari biasanya. Meysa sudah sibuk mondar-mandir sambil membawa kamera, sementara Deva berkali-kali mengecek dasinya di cermin. Shandy… sudah siap dari jam enam, padahal wisuda baru mulai jam sembilan.Yara turun dari tangga dengan kebaya pastel lembut yang sudah diperbaiki ukurannya. Bagian dada masih terasa sedikit pres, tapi setidaknya ia bisa bernapas normal sekarang.“Kak Yara, cantik banget,” komentar Meysa sambil memotret tanpa izin.“Udah, ah. Malu,” Yara meringis, merapikan selendangnya.Shandy tersenyum bangga. “Anak Papa makin besar, makin mirip Mamanya.”Ucapan itu membuat Yara terdiam sejenak. Ada rasa hangat sekaligus ngilu di dada, tapi ia tersenyum. “Ayo, Pa. Nanti telat.”Semua bersiap menuju mobil. Yara masih deg-degan. Tangannya terus saling meremas.“Pa, cepetan dikit,” pinta Deva yang justru tidak sabar.“Iya. Sabar, gak bakal macet kok, tenang.”---Area kampus sudah penuh orang. Bunga, boneka beruang, balon, dan pita warna war

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 69

    jalan pulang, Elvaro berubah jadi ABG ngambek—diam, tatapannya lurus ke depan, tangan di setir tapi rahangnya mengeras. Dari samping, Yara melirik, menahan senyum melihat betapa jelas mood swing itu terpampang di wajah kekasihnya sendiri.“Mas… jangan diam gitu dong,” ucap Yara pelan, mencoba menggoyang lengan Elvaro.Elvaro cuma menghela napas pendek. “Kita baru mau mulai yang enak, tiba-tiba Papa kamu telepon.”Yara nyengir kecil. “Namanya juga mau ada acara, Mas. Papa manggil ya harus pulang.”Tak ada respons. Elvaro tetap pura-pura fokus pada jalan, padahal telinganya jelas mendengarkan.Saat mobil berhenti di lampu merah, Yara mengambil kesempatan. Ia bersandar lebih dekat, tangan kecilnya menyentuh rahang Elvaro yang tegang.“Mas,” bisiknya.Elvaro menoleh sedikit, alis terangkat.Yara langsung mencium bibirnya duluan—cepat, lembut, tapi cukup bikin Elvaro terdiam beberapa detik. Saat Yara menjauh lagi, wajahnya memerah.“Biar Mas nggak ngambek,” katanya malu-malu.Elvaro menge

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 68

    Yara bangkit dari sofa, nyaris menjatuhkan minumannya saking gugup. Ia berjalan pelan, seperti orang yang sedang memasuki museum penuh barang mahal yang tidak boleh disentuh.“Mas… ini seriusan milik kamu? Atau kamu cuma… apa ini properti kantor? Atau punya temanmu? Jangan bilang kamu sewa, ya? Mas, jawab dulu!”Elvaro bersandar di sandaran sofa, satu tangan terlipat di dada, ekspresi puas melihat kekasihnya kebingungan setengah mati.“Yara, kalo ini sewa, mas gak bakal hapal sandinya.”Yara melotot. “Kamu Hapal!? Kamu beli!? Mas… kamu BENARAN beli!?”Ia langsung berkeliling ke area ruang tamu, melihat karpet, TV besar yang masih terbungkus plastik setengah, bahkan aromanya masih aroma furniture baru.Langkah Yara memelan ketika ia mencapai area dapur. Dapur itu… mewah.Me-waah.Ada kompor induksi yang mengkilap, kulkas besar dua pintu, dan meja island putih marmer yang membuat Yara ingin menangis karena ini terlalu “kehidupan orang kaya”.“Mas…” suaranya lirih tapi penuh panik, “ini

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 67

    Lift berhenti dengan bunyi ting lembut ketika mencapai lantai 12. Elvaro berjalan lebih dulu, sementara Yara mengikutinya dengan langkah gugup, matanya menelusuri lorong apartemen yang sunyi dan masih berbau cat baru.Jantungnya makin kencang.“Mas… ini lantai berapa sih?” Yara menoleh ke tanda angka digital di dinding.“Dua belas?” gumamnya sendiri.Elvaro tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Yara lebih erat, seolah takut gadis itu kabur ketika mengetahui sesuatu. Yara menelan ludah—semakin tidak paham.Kenapa harus genggam tangan seerat itu?Kenapa semakin dekat mereka ke ujung lorong, langkah Elvaro makin mantap?Dan kenapa Yara merasa seperti sedang dibawa ke plot twist hidupnya?Elvaro berhenti tepat di depan sebuah pintu berwarna hitam matte, sangat berbeda dari pintu-pintu lain yang cenderung biasa saja. Yara memicing curiga.“Mas… ini rumahnya siapa?”Tetap tidak ada jawaban.Yang ada, Elvaro merogoh sakunya, mengambil kartu akses, lalu menempelkan kartu itu ke panel pi

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 66

    Yara duduk di bangku makan, sengaja memilih posisi agak jauh dari Elvaro. Bukan karena benci, tapi karena… ya ampun, dekat dengan pria itu benar-benar bikin deg-degan setengah mati. Bukannya ia takut, lebih ke… takut ketahuan. Sikap Elvaro yang belakangan makin berani itu membuat Yara harus ekstra hati-hati—apalagi ada Arunika di rumah."Papa sama Yara gak lagi ngerencanain sesuatu buat aku, kan?" tanya Arunika sambil menaruh kotak sepatunya di meja. Nada curiganya samar, tapi cukup bikin Yara refleks menoleh cepat.Untungnya, Arunika hanya berpikir mereka sedang merencanakan semacam kejutan atau hal remeh lainnya—bukan mengenai hubungan rahasia mereka. Mendengar itu, Yara merasa seluruh tubuhnya sedikit rileks."Emang kenapa? Ini bukan bulan April," sahut Yara, mencoba terdengar santai sambil menuang air dingin ke dalam gelas."Eh, ya juga…" Arunika menggaruk kepala. "Kebayamu udah dicoba?"Yara mengangguk cepat."Agak kekecilan, terlalu press. Apa lagi di bagian—" Yara berhenti, mel

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status