Share

Bab. 3

Author: Layli Dinata
last update Last Updated: 2025-09-30 14:24:28

Saat Arunika mendekati Yara, baik Yara maupun Elvaro sama-sama terkejut. Suasana mendadak tegang, seakan ketahuan melakukan sesuatu yang salah.

“Yara sedang patah hati. Papa cuma temani dia. Sepertinya gara-gara bir kepalanya pusing. Ajak dia ke kamar aja, Runi. Papa harus urus desain yang belum kelar,” ucap Elvaro tenang, tapi matanya menyimpan perasaan campur aduk. Ia lekas bangkit dan melangkah pergi, meninggalkan dua gadis itu.

Yara mengerucutkan bibir, menatap Arunika dengan manja.

“Ada apa?” Arunika benar-benar khawatir. “Lionel buat ulah apa?”

Mendengar nama itu, Yara langsung pecah tangisnya. Ia terisak dan tubuhnya goyah, lalu spontan meraih sahabatnya ke dalam pelukan. “Runi… dia selingkuh…. Empat tahun aku buang-buang waktu.”

Arunika membeku, lalu mengusap punggung Yara perlahan. “Ya Tuhan, Ya… serius?”

“Katanya aku kaku… katanya aku nggak bisa bikin dia puas….” Suara Yara pecah, membuat pelukannya semakin erat.

Arunika menahan marah, dadanya sesak mendengar Lionel setega itu. “Hei, jangan percaya omongannya. Kamu tuh lebih dari cukup. Kalau dia nggak bisa hargain kamu, berarti dia yang salah. Bukan kamu.”

“Aku capek, Runi… aku benci semuanya….” Isakan Yara makin parah, hingga wajahnya tenggelam di bahu sahabatnya.

Arunika mengecup pucuk kepala Yara singkat, berusaha menyalurkan ketenangan. “Nggak apa-apa, nangis aja sekarang. Aku di sini. Kamu nggak sendirian.”

Yara hanya mengangguk, masih memeluk erat. Isakannya memenuhi ruang tamu yang hening setelah Elvaro pergi.

**

Yara merebahkan diri di sofa kamar tamu sambil menempelkan ponsel di telinganya.

"Yara nginep di rumah Runi, Pa," ucapnya pelan.

Suara Shandy langsung terdengar meninggi dari seberang. “Kamu itu kerjaannya main terus! Lihat adikmu, Meysa. Selalu jadi teladan. Pinter, rajin, nggak kayak kamu yang skripsi aja nggak kelar-kelar.”

Yara spontan menjauhkan ponsel dari telinga. Rasanya pengap. Ia mendengus keras.

"Tahu, Pa. Aku juga berusaha. Udah deh, Yara lagi mumet."

“Yara! Jangan—”

Tuut…

Sambungan ia matikan sepihak. Yara menghela napas panjang, lalu bangkit. Tenggorokannya kering, jadi ia melangkah ke dapur, berniat mengambil air dingin untuk dibawa ke kamar Arunika.

Namun langkahnya terhenti. Tubuhnya menegang ketika menyadari ada seseorang berdiri di dekat meja makan.

"Om ngagetin aku, deh," gumamnya sambil menepuk dada.

Elvaro menatap sekilas, jelas ia sempat mendengar perdebatan tadi. Wajahnya menyiratkan rasa prihatin yang tak terucap. "Kamu mau apa?"

"Ambil minum, Om." Yara mengangkat botol air dari kulkas, tersenyum hambar.

Elvaro hanya mengangguk, menahan diri untuk tidak ikut campur.

Tapi Yara bisa merasakan tatapannya. Ia mendesah, bibirnya melengkung getir. "Om pasti denger, ya, tadi aku sama Papa ribut?"

Elvaro sempat menegang, lalu cepat-cepat menggeleng. "Nggak, saya cuma lewat."

Yara tertawa tipis, padahal matanya basah. "Papa emang selalu gitu, Om. Yang disanjung cuma Meysa. Aku udah kayak anak tiri di rumah sendiri."

Elvaro membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Ia bingung harus bilang apa.

Yara mendekat, langkahnya ringan, tapi tatapannya berani menembus. "Andai aja aku punya orang dekat kayak Om…," suaranya lirih, lebih seperti pengakuan yang tak sengaja lolos.

Elvaro tertegun, memperhatikan gadis muda itu dengar tatapan datar.

Tapi Yara buru-buru mengangkat botol di tangannya, menampilkan senyum setengah hati. "Aku ke atas dulu, Om."

Ia melangkah pergi, meninggalkan Elvaro yang masih melongo, dengan dada penuh pertanyaan yang tak terjawab.

Yara masuk ke kamar Arunika sambil menenteng botol air. Arunika sudah duduk di kasur dengan laptop di pangkuan, wajahnya menoleh cepat.

“Kemana aja? Lama banget,” tanya Arunika.

Yara meletakkan botol di meja belajar, lalu merebahkan diri di samping sahabatnya. “Teleponan sama Papa. Seperti biasa, aku dibandingin sama Meysa.”

Arunika mendesah, menutup laptopnya. “Oh, Ya?.” Tangannya terulur, mengusap kepala Yara pelan. “Jangan terlalu dipikirin, oke? Kamu jauh lebih kuat dari yang Papa kamu lihat.”

Yara tertawa hambar, tapi air matanya kembali jatuh. “Kadang aku mikir, kenapa aku nggak lahir di keluarga lain aja, Run. Capek banget harus selalu dianggap salah.”

Arunika menarik tubuh Yara, memeluknya erat. “Kamu punya aku. Selama aku ada, kamu nggak sendirian.”

Pelukan itu akhirnya meruntuhkan pertahanan Yara. Gadis itu menangis di bahu sahabatnya, sampai tubuhnya bergetar.

“Run, kalau nggak ada kamu, aku beneran nggak tahu harus jadi apa.”

Arunika tersenyum, meski matanya ikut berkaca. “Kamu punya aku. Ingat itu.”

Tak lama, Yara terlelap dalam pelukan Arunika. Sementara Arunika menatap langit-langit kamar, sedikit cemas. Ia bisa merasakan luka sahabatnya makin dalam, dan diam-diam bertekad menjaga Yara lebih ketat lagi.

Di lantai bawah, ruang kerja Elvaro masih terang. Pria itu bersandar di kursinya, menatap layar laptop yang terbuka tapi pikirannya melayang entah kemana.

Tadi, kalimat Yara terngiang jelas. “Andai aku dekat sama Om.”

Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba menepis rasa aneh yang tiba-tiba muncul.

“Dasar konyol,” gumamnya lirih.

Tapi entah kenapa, semakin ia berusaha mengabaikan, justru semakin kuat bayangan wajah Yara dengan mata berbinar itu di pikirannya.

Elvaro menghela napas berat, menutup laptop, lalu meneguk kopi yang sudah dingin. Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 9

    “Duh, gimana ya? Papa bekuin semua rekeningku. Terus gimana aku bisa kasih hadiah buat Runi?” Yara mondar-mandir di kamar, menggigit ujung kukunya. “Lagian, aku juga gak bisa terus-terusan tinggal di sini. Nanti dikira numpang hidup.”Yara benar-benar gelisah. Ia yang semula berdiri, duduk, lalu berdiri lagi. “Ah, aku pusing, mana belum nemu kerjaan.”Klek.Pintu kamar mandi terbuka. Arunika keluar dengan rambut masih basah, melirik wajah sahabatnya. “Mukamu tegang banget. Kaya ketahuan abis—”“Apaan, sih! Orang kaget doang,” sahut Yara cepat, lalu meraih gelas kosong di meja. “Aku mau ngadem dulu, pening mikirin revisian.”Arunika cuma angguk, menyalakan TV. Sementara itu, Yara terbelalak ketika matanya menangkap sosok Elvaro yang sudah duduk di ruang tengah. Di hadapannya terbentang gambar rancangan gedung, kertas berserakan.“Om… lembur, ya?” Yara memberanikan diri mendekat.Elvaro mengangkat kepala, wajahnya lelah. “Iya. Harus bikin laporan tertulis juga buat proposal. Kamu kan ja

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 8

    "Kamu baru ketemu sama dosen pembimbing, atau kencan sama Kaivan?"Yara yang duduk di ruang tengah menurunkan bukunya, matanya mengintip interaksi ayah dan anak itu. Tadi ia sudah berbohong demi Arunika.Arunika menoleh ke arah Yara, seakan minta dukungan. Yara hanya mengedikkan bahu—tak peduli, seolah bilang ‘urusanmu, bukan urusanku’."Ketemu dosen, Pa. Sama Mega juga. Pulangnya dijemput Kai," jawab Arunika tenang.Elvaro menghela napas, lalu mengacak rambut putrinya asal. "Ya udah, ayo makan."Pemandangan sederhana itu seperti tamparan bagi Yara. Ada rasa iri menyesak di dadanya. Perlakuan hangat seperti itu tak pernah ia rasakan dari papanya sendiri—yang ada hanya tatapan curiga, nada keras, atau prasangka. Tangannya gemetar menutup buku, mencoba menyembunyikan getir yang tiba-tiba menyeruak."Yara, ayo makan!" suara Arunika memecah lamunannya.Yara tersentak. Ia mendongak—dan tanpa sengaja menabrak tatapan mata Elvaro. Lelaki itu menatapnya tenang, datar, seolah kejadian memaluka

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 7

    Yara baru saja selesai mandi, tubuhnya masih terbalut jubah mandi berwarna putih. Rambutnya yang basah digelung asal dengan handuk kecil. Begitu masuk kamar, ia mendengus kesal melihat meja belajar penuh dengan piring dan gelas kotor.“Arunika…,” gumamnya. Sahabatnya itu jelas biang keroknya. Padahal Yara baru ingin rebahan, tapi mau tak mau ia harus membereskan.Dengan malas, Yara mengangkut piring dan gelas ke dapur. Rumah sedang sepi, hanya ada dirinya. Elvaro belum pulang dari proyek, dan Arunika entah sudah hilang ke mana bersama Kaivan.Saat hendak mencuci, Yara meraih botol sabun. “Duh, sabunnya habis,” dengusnya. Ia jongkok, mengambil refill sabun dari lemari bawah wastafel.Ia menggunting ujung plastiknya, menaruhnya di atas meja. Baru saja ingin menuang, ponselnya berdering.“Run….” Yara mengangkat sambil menyender santai di kulkas.“Yar, tolong banget jangan bilang ke Papa kalau aku pergi sama Kai. Kalau ditanya, bilang aja aku lagi ketemu Mega atau dosen pembimbing, gitu.”

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 6

    “Jadi total semuanya, 350 ribu rupiah, Mbak.” Pelayan restoran dengan name tag bertuliskan Sania menyerahkan struk ke Yara.Yara mengangguk sambil menyeruput sisa jus jeruknya. “Boleh pakai kartu, kan?”“Boleh.”Yara mengeluarkan kartu debitnya. Sania langsung menggesekkan ke mesin EDC.Beep. Gagal.“Mbak, nggak bisa,” ucap Sania sambil menyerahkan kembali kartunya.Yara menegakkan duduk, wajahnya memucat. “Kok bisa? Coba yang ini.” Ia buru-buru memberikan kartu lainnya.Namun hasilnya tetap sama.“Maaf, Mbak. Nggak bisa juga. Kalau bisa pakai cash aja, ya?”Mampus!Jantung Yara langsung berdegup kencang. Ia memejamkan mata sebentar, menahan panik. Papa keterlaluan banget! Apa emang maunya bikin aku sengsara begini?Dengan wajah memelas, Yara kembali merogoh tas, mengeluarkan ponselnya. “Sebentar ya, Mbak. Aku telpon orang dulu.”Ekspresi Sania jelas tak nyaman, seolah mencurigai Yara.Tak ada satu pun teman yang mengangkat panggilan. Bahkan Arunika pun tak merespons.“Ya Tuhan… orang

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 5

    Saat memasuki rumah, Yara langsung disambut suara obrolan hangat dari ruang tengah. Meysa, adiknya yang masih SMP, tampak tersenyum ceria. Shandy—ayah mereka—sedang menyuapi Meysa kue, sementara Deva, mama tiri Yara, duduk di samping dengan tatapan penuh kebanggaan. Rupanya mereka tengah merayakan kemenangan Meysa dalam lomba renang. Yara menghentikan langkah. Dadanya sesak, perasaan muak menyeruak. Ia memilih ingin langsung naik ke kamar, namun suara Meysa memanggilnya. “Kak Yara!” seru Meysa riang. Yara menoleh malas. Deva menatapnya dengan senyum tipis—senyum yang lebih mirip ejekan. Sedangkan Shandy sudah menatap Yara dengan sorot tajam, penuh intimidasi. “Kakak, aku baru menang. Sini, kita rayakan!” ajak Meysa polos. Yara menarik napas panjang, menahan gejolak dalam dirinya. “Makasih. Aku mau istirahat, capek.” “Yara, adikmu sedang senang. Kamu tidak mau menghormati? Kakak macam apa kamu?” suara Shandy meninggi, seolah siap meledak kapan saja. Deva meraih lengan suaminya d

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 4

    Hari ini Yara dan Arunika akan ke kampus. Yara yang sudah rapi lebih dulu, duduk di meja makan.Sementara itu, Arunika masih sibuk telponan dengan Kaivan. Kadang hal seperti ini membuat Yara iri—seakan dunianya Arunika hanya berputar di sekitar Kaivan.“Pagi, Om,” sapa Yara dengan wajah kusut, lalu duduk.“Pagi. Kok muka kamu kusut gitu pagi-pagi?” Elvaro mengernyit, menatapnya.Yara menoleh, menghela napas. “Sebenarnya aku males ngampus, Om. Males ketemu Lionel.”“Jangan terlalu dipikirin, Yara. Cowok brengsek kayak gitu nggak pantas kamu sesali. Masih banyak kok cowok baik di dunia ini.”Senyum kecil akhirnya muncul di bibir Yara ketika Elvaro mengusap punggung tangannya dengan lembut. “Apalagi kalau kaya Om El, ya, Om.”Elvaro sontak terdiam, tersentak oleh ucapannya. Tapi anehnya, ada rasa hangat yang menjalari dadanya.“Ya udah, sampai ketemu di kampus, sayang.” Suara Arunika yang baru saja selesai telpon terdengar makin dekat. Seketika Elvaro buru-buru menarik tangannya, pura-pu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status