Yara berdiri di depan pintu rumah Arunika, menatap layar digital lock dengan mata yang masih sembab. Tangannya bergetar ketika menekan bel sekali, dua kali. Tidak ada jawaban.
“Huh, ke mana ini anak? Lama sekali.” Ia mencoba menelpon sahabatnya. Tiga kali panggilan tak diangkat. Napasnya terengah, bukan karena lelah, melainkan sisa tangis yang belum benar-benar reda. “Apa Runi belum pulang ya?” Yara mendengus. Menatap pintu itu cukup lama, lalu mengusap lagi air matanya. Kasar, seperti ucapan seseorang yang telah menghunus tepat di jantungnya. “Udah empat tahun, ternyata aku cuma cadangan,” gumam Yara lirih, suara seraknya pecah. Matanya terasa panas, sampai tak kuasa menahan bulir bening itu lagi. Ia tidak sanggup berdiri terlalu lama. Otaknya masih dihantui pemandangan barusan. Lionel—pacar yang selalu ia bela mati-matian—ternyata berselingkuh dengan perempuan lain. Dan lebih parahnya, alasan yang dilemparkan padanya, “Kamu itu terlalu kaku, nggak bisa bikin aku puas. Jadi, jangan salahin aku kalau selingkuh.” Kalimat itu masih menusuk telinga Yara, membuat perutnya mual. Andai ia bisa mengamuk tadi, nyatanya ia berusaha menyisakan tenaga, setidaknya untuk balas dendam di kemudian hari. Itu pasti akan Yara lakukan. Tanpa pikir panjang, Yara menekan kode sandi. Beep! Layar berkedip hijau. Ia masuk begitu saja. Sudah sering ia keluar masuk rumah sahabatnya itu, jadi bukan hal aneh. Tapi kali ini rasanya berbeda—langkahnya goyah, matanya basah. “Lionel sialan! Kurang ajar!” Yara menyeka air matanya menggunakan punggung tangan kasar penuh dengan amarah yang tertahan. Rumah itu sepi. Tak ada suara tawa Arunika, tak ada musik dari kamarnya. Yara menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Runi apa belum pulang beneran?” gumamnya lesu. Niat ingin mengadu, menjadi semakin berat karena harus memendam ini sendirian lagi. Alih-alih langsung naik ke kamar Arunika, ia berbelok ke dapur. Membuka kulkas, pandangannya jatuh pada beberapa kaleng bir dingin. Tangan Yara terulur, meraih satu. Klik! Kaleng dibuka, dan suara desis karbonasi membuat hatinya sedikit lega. Ia duduk di meja makan, menenggak seteguk besar. Rasa pahit langsung memenuhi lidahnya, tapi anehnya, justru itu yang ia butuhkan. Air matanya jatuh lagi, membasahi pipinya. Ia menunduk, menahan perih di dada. “Empat tahun aku buang-buang waktu. Aku jagain dia, aku percaya… tapi ujungnya aku yang disalahin. Katanya aku kaku. Katanya aku nggak bisa muasin dia. Dasar brengsek.” Ia mendengus sambil menenggak lagi. Dadanya panas, kepalanya berat. Tak hanya masalahnya dengan Lion, tetapi di rumah juga yang membuat mentalnya kembali tergerus. ‘Kenapa aku selalu dibandingkan? Dengan ibu tiri, dengan anak kesayangan papa, bahkan sekarang dengan perempuan lain.’ “Anak gak tahu diri kaya kamu tuh gak bisa ngapa-ngaain. Coba lihat Melia, dia bisa membanggakan orang tua, prestasinya bagus, sekarang magang di tempat yang oke juga. Lihat dirimu? Tahunya cuma kluntang-klantung tidak jelas.” Yara mendengus, saat teringat ucapan sang ayah, ia kembali menenggak birnya. Tangannya gemetar ketika ia mengusap wajahnya. Isakan kecil lolos, menggema di dapur yang kosong. Yara mendesah panjang setelah tegukan terakhir beer-nya. Kepalanya terasa sedikit ringan, tetapi hatinya tetap berat. Tatapannya kosong menembus meja makan yang dingin. “Andai aja Runi cepat pulang…,” gumamnya lirih. Ia menatap layar ponsel yang masih menampilkan panggilan tak terjawab. “Aku butuh dia sekarang. Butuh seseorang yang ngerti rasanya dikhianati.” Matanya memanas lagi. “Kenapa sih, aku harus ngalamin ini? Apa salahku? Aku cuma pengen dicintai… disayangin… kayak cewek normal lain.” Ia menunduk, memeluk tubuh sendiri. Bayangan wajah pacarnya yang sedang mencium perempuan lain kembali terlintas di kepalanya. Pedih itu datang lagi, menusuk sampai ulu hati. “Andai Runi ada… aku bisa cerita sambil nangis, bisa peluk dia, bisa ketawa bareng kayak biasanya. Dia pasti marahin aku karena nangis terus, tapi setidaknya… aku nggak sendirian.” Yara mengusap pipinya dengan kasar, mencoba menahan isak. “Cepetan pulang, Runi… aku butuh kamu. Jangan biarin aku sendirian kayak gini.” Hening menyergap ruang makan, hanya suara detak jam dinding yang terdengar. “Pokoknya awas aja, Lion. Aku bakalan balas kamu berkali-kali lipat. Cowok brengsek! Muka cabe-cabean yang kaya gitukah yang kamu inginkan? Kamu enggak tahu aja kalau aku ini bohay.” Miris, nyatanya ia hanya merasakan kekosongan itu. Yara tak tahu bagaimana harus menyenangkan lelaki. Ia hanya ingin dimengerti, tetapi tak ada yang bisa mengerti dirinya. Lalu tiba-tiba— “Yara?” Suara berat itu memecah keheningan. Yara mengangkat kepalanya, buru-buru juga menghapus jejakk air mata yang tersisa. Gelas kaleng di tangannya hampir terjatuh. Ia menoleh cepat, jantungnya berdegup kencang.“Duh, gimana ya? Papa bekuin semua rekeningku. Terus gimana aku bisa kasih hadiah buat Runi?” Yara mondar-mandir di kamar, menggigit ujung kukunya. “Lagian, aku juga gak bisa terus-terusan tinggal di sini. Nanti dikira numpang hidup.”Yara benar-benar gelisah. Ia yang semula berdiri, duduk, lalu berdiri lagi. “Ah, aku pusing, mana belum nemu kerjaan.”Klek.Pintu kamar mandi terbuka. Arunika keluar dengan rambut masih basah, melirik wajah sahabatnya. “Mukamu tegang banget. Kaya ketahuan abis—”“Apaan, sih! Orang kaget doang,” sahut Yara cepat, lalu meraih gelas kosong di meja. “Aku mau ngadem dulu, pening mikirin revisian.”Arunika cuma angguk, menyalakan TV. Sementara itu, Yara terbelalak ketika matanya menangkap sosok Elvaro yang sudah duduk di ruang tengah. Di hadapannya terbentang gambar rancangan gedung, kertas berserakan.“Om… lembur, ya?” Yara memberanikan diri mendekat.Elvaro mengangkat kepala, wajahnya lelah. “Iya. Harus bikin laporan tertulis juga buat proposal. Kamu kan ja
"Kamu baru ketemu sama dosen pembimbing, atau kencan sama Kaivan?"Yara yang duduk di ruang tengah menurunkan bukunya, matanya mengintip interaksi ayah dan anak itu. Tadi ia sudah berbohong demi Arunika.Arunika menoleh ke arah Yara, seakan minta dukungan. Yara hanya mengedikkan bahu—tak peduli, seolah bilang ‘urusanmu, bukan urusanku’."Ketemu dosen, Pa. Sama Mega juga. Pulangnya dijemput Kai," jawab Arunika tenang.Elvaro menghela napas, lalu mengacak rambut putrinya asal. "Ya udah, ayo makan."Pemandangan sederhana itu seperti tamparan bagi Yara. Ada rasa iri menyesak di dadanya. Perlakuan hangat seperti itu tak pernah ia rasakan dari papanya sendiri—yang ada hanya tatapan curiga, nada keras, atau prasangka. Tangannya gemetar menutup buku, mencoba menyembunyikan getir yang tiba-tiba menyeruak."Yara, ayo makan!" suara Arunika memecah lamunannya.Yara tersentak. Ia mendongak—dan tanpa sengaja menabrak tatapan mata Elvaro. Lelaki itu menatapnya tenang, datar, seolah kejadian memaluka
Yara baru saja selesai mandi, tubuhnya masih terbalut jubah mandi berwarna putih. Rambutnya yang basah digelung asal dengan handuk kecil. Begitu masuk kamar, ia mendengus kesal melihat meja belajar penuh dengan piring dan gelas kotor.“Arunika…,” gumamnya. Sahabatnya itu jelas biang keroknya. Padahal Yara baru ingin rebahan, tapi mau tak mau ia harus membereskan.Dengan malas, Yara mengangkut piring dan gelas ke dapur. Rumah sedang sepi, hanya ada dirinya. Elvaro belum pulang dari proyek, dan Arunika entah sudah hilang ke mana bersama Kaivan.Saat hendak mencuci, Yara meraih botol sabun. “Duh, sabunnya habis,” dengusnya. Ia jongkok, mengambil refill sabun dari lemari bawah wastafel.Ia menggunting ujung plastiknya, menaruhnya di atas meja. Baru saja ingin menuang, ponselnya berdering.“Run….” Yara mengangkat sambil menyender santai di kulkas.“Yar, tolong banget jangan bilang ke Papa kalau aku pergi sama Kai. Kalau ditanya, bilang aja aku lagi ketemu Mega atau dosen pembimbing, gitu.”
“Jadi total semuanya, 350 ribu rupiah, Mbak.” Pelayan restoran dengan name tag bertuliskan Sania menyerahkan struk ke Yara.Yara mengangguk sambil menyeruput sisa jus jeruknya. “Boleh pakai kartu, kan?”“Boleh.”Yara mengeluarkan kartu debitnya. Sania langsung menggesekkan ke mesin EDC.Beep. Gagal.“Mbak, nggak bisa,” ucap Sania sambil menyerahkan kembali kartunya.Yara menegakkan duduk, wajahnya memucat. “Kok bisa? Coba yang ini.” Ia buru-buru memberikan kartu lainnya.Namun hasilnya tetap sama.“Maaf, Mbak. Nggak bisa juga. Kalau bisa pakai cash aja, ya?”Mampus!Jantung Yara langsung berdegup kencang. Ia memejamkan mata sebentar, menahan panik. Papa keterlaluan banget! Apa emang maunya bikin aku sengsara begini?Dengan wajah memelas, Yara kembali merogoh tas, mengeluarkan ponselnya. “Sebentar ya, Mbak. Aku telpon orang dulu.”Ekspresi Sania jelas tak nyaman, seolah mencurigai Yara.Tak ada satu pun teman yang mengangkat panggilan. Bahkan Arunika pun tak merespons.“Ya Tuhan… orang
Saat memasuki rumah, Yara langsung disambut suara obrolan hangat dari ruang tengah. Meysa, adiknya yang masih SMP, tampak tersenyum ceria. Shandy—ayah mereka—sedang menyuapi Meysa kue, sementara Deva, mama tiri Yara, duduk di samping dengan tatapan penuh kebanggaan. Rupanya mereka tengah merayakan kemenangan Meysa dalam lomba renang. Yara menghentikan langkah. Dadanya sesak, perasaan muak menyeruak. Ia memilih ingin langsung naik ke kamar, namun suara Meysa memanggilnya. “Kak Yara!” seru Meysa riang. Yara menoleh malas. Deva menatapnya dengan senyum tipis—senyum yang lebih mirip ejekan. Sedangkan Shandy sudah menatap Yara dengan sorot tajam, penuh intimidasi. “Kakak, aku baru menang. Sini, kita rayakan!” ajak Meysa polos. Yara menarik napas panjang, menahan gejolak dalam dirinya. “Makasih. Aku mau istirahat, capek.” “Yara, adikmu sedang senang. Kamu tidak mau menghormati? Kakak macam apa kamu?” suara Shandy meninggi, seolah siap meledak kapan saja. Deva meraih lengan suaminya d
Hari ini Yara dan Arunika akan ke kampus. Yara yang sudah rapi lebih dulu, duduk di meja makan.Sementara itu, Arunika masih sibuk telponan dengan Kaivan. Kadang hal seperti ini membuat Yara iri—seakan dunianya Arunika hanya berputar di sekitar Kaivan.“Pagi, Om,” sapa Yara dengan wajah kusut, lalu duduk.“Pagi. Kok muka kamu kusut gitu pagi-pagi?” Elvaro mengernyit, menatapnya.Yara menoleh, menghela napas. “Sebenarnya aku males ngampus, Om. Males ketemu Lionel.”“Jangan terlalu dipikirin, Yara. Cowok brengsek kayak gitu nggak pantas kamu sesali. Masih banyak kok cowok baik di dunia ini.”Senyum kecil akhirnya muncul di bibir Yara ketika Elvaro mengusap punggung tangannya dengan lembut. “Apalagi kalau kaya Om El, ya, Om.”Elvaro sontak terdiam, tersentak oleh ucapannya. Tapi anehnya, ada rasa hangat yang menjalari dadanya.“Ya udah, sampai ketemu di kampus, sayang.” Suara Arunika yang baru saja selesai telpon terdengar makin dekat. Seketika Elvaro buru-buru menarik tangannya, pura-pu