Share

Bab. 4

Author: Layli Dinata
last update Last Updated: 2025-09-30 14:29:18

Hari ini Yara dan Arunika akan ke kampus. Yara yang sudah rapi lebih dulu, duduk di meja makan.

Sementara itu, Arunika masih sibuk telponan dengan Kaivan. Kadang hal seperti ini membuat Yara iri—seakan dunianya Arunika hanya berputar di sekitar Kaivan.

“Pagi, Om,” sapa Yara dengan wajah kusut, lalu duduk.

“Pagi. Kok muka kamu kusut gitu pagi-pagi?” Elvaro mengernyit, menatapnya.

Yara menoleh, menghela napas. “Sebenarnya aku males ngampus, Om. Males ketemu Lionel.”

“Jangan terlalu dipikirin, Yara. Cowok brengsek kayak gitu nggak pantas kamu sesali. Masih banyak kok cowok baik di dunia ini.”

Senyum kecil akhirnya muncul di bibir Yara ketika Elvaro mengusap punggung tangannya dengan lembut. “Apalagi kalau kaya Om El, ya, Om.”

Elvaro sontak terdiam, tersentak oleh ucapannya. Tapi anehnya, ada rasa hangat yang menjalari dadanya.

“Ya udah, sampai ketemu di kampus, sayang.” Suara Arunika yang baru saja selesai telpon terdengar makin dekat. Seketika Elvaro buru-buru menarik tangannya, pura-pura sibuk dengan sarapan.

Yara hanya tersenyum tipis. Entah kenapa, pagi ini terasa sedikit lebih menyenangkan.

Beberapa menit kemudian, ketiganya sudah berada di mobil. Arunika duduk di kursi depan sambil sibuk dengan gawainya, sementara Yara diam di kursi belakang, sesekali melirik ke arah Elvaro yang fokus menyetir.

Udara pagi yang sejuk masuk lewat jendela yang sedikit terbuka. Yara menyandarkan kepala, mencoba menenangkan hati yang masih campur aduk. Anehnya, setiap kali matanya menangkap sosok Elvaro dari kaca spion, ada rasa tenang yang tidak bisa ia jelaskan.

.

.

Di kampus, Yara tampak diam duduk di bangkunya. Setelah tadi menemui dosen pembimbing, sebenarnya ia sudah berniat pulang saja. Rasanya percuma berlama-lama di kampus; skripsinya tak juga selesai, sementara hatinya masih saja resah.

Namun langkahnya terhenti begitu melihat Lionel lewat di koridor, menggandeng pacar barunya. Mereka tampak mesra, tertawa-tawa tanpa peduli sekitar. Yara mendengus kesal, buru-buru memalingkan wajah pura-pura tak melihat. Tapi suara tawa Lionel itu menusuk telinganya, seolah mengejek dirinya yang ditinggalkan begitu saja.

“Kamu cantik dan terbaik.” Kata-kata itu membuat Yara mual. Dulu Lionel sering juga mengatakan hal serupa.

Itu sangat menjijikkan. Tetapi jujur, Yara merasa kepanasan.

Ia menunduk, menahan napas berat. ‘Kenapa sih aku harus terus-terusan dihantui bayangan dia?’

“Yar, serius kamu diputusin gitu aja sama Lionel?” suara Amanda, teman sekelasnya, terdengar di samping. Gadis itu tampak menenteng tumpukan buku di tangan.

Yara refleks mengangkat wajah. Pertanyaan itu seperti tamparan keras, membuat harga dirinya terasa tercabik. Ia masih ingat jelas ucapan Lionel kemarin—dingin, tanpa penyesalan, bahkan seolah ia hanya beban.

Yara menarik napas dalam, berusaha menyembunyikan luka yang menggerogoti dadanya. Bibirnya akhirnya bergerak, memaksakan senyum sinis.

“Putus ya putus. Lagian, aku udah ada gantinya juga. Lebih oke, mapan, dan bisa diandelin.” Yara menjawab sekenanya.

Amanda langsung melongo. “Ha? Serius, Yar? Siapa?”

Yara menegakkan tubuhnya, pura-pura percaya diri. Padahal hatinya masih gemetar. Entah kenapa, bayangan wajah Elvaro—dengan tatapan tenangnya dan sikap hangatnya tadi pagi—tiba-tiba melintas begitu saja di kepalanya.

“Eh siapa, Yar?” Amanda mulai kepo, mencondongkan tubuh ke arah Yara. Yara kini yang pusing sendiri.

Yara meringis, bibirnya sempat terbuka tapi tak ada suara keluar. Ia buru-buru menegakkan punggung, mencoba menutup kegugupannya dengan senyum penuh percaya diri. ‘Mati aku.’

“Ada. Pokoknya jauh lebih baik dari Lionel. Segalanya.”

Ucapan itu meluncur mantap, seakan-akan Yara benar-benar yakin. Padahal hatinya masih bergetar.

‘Duh, nyari penyakit. Siapa pacar baruku? Argh! Bodo amat! Gara-gara Lionel Sialan!’

Belum sempat Amanda mencerna, Lionel sudah berdiri tepat di hadapan Yara. Senyumnya tipis, penuh ejekan.

“Yakin bisa move on dari aku?” suaranya rendah, tapi cukup menusuk.

Yara langsung memalingkan wajah. Sebelah tangannya mengepal erat di belakang punggung, menahan dorongan emosi. ‘Kalau ini bukan kampus, mungkin sudah kuhadiahi bogem biar wajah tampanmu itu retak,’ gerutunya dalam hati.

Lionel malah tersenyum miring, semakin erat memeluk Thalia.

“Sayang, ayo pergi,” rengek Thalia, jelas menunjukkan ketidaksukaannya pada Yara.

Namun Lionel masih bertahan, tatapannya menusuk, seolah menantang.

Yara mendengus, lalu menoleh dengan senyum sinis. “Ya. Cowok dewasa yang jauh lebih hot dan menggoda. Banyak uang, berkarisma, dan… berpengalaman.”

Kali ini gilirannya Lionel yang mengepal tangan keras-keras, rahangnya mengeras. Ia ingin membalas, tapi Yara sudah berdiri duluan.

“Manda, aku cabut dulu ya. Mau perawatan, biar doi makin betah sama aku.” Yara melenggang pergi dengan kepala terangkat, menyisakan aroma kemenangan kecil di udara.

Amanda ternganga, matanya membesar. “Astaga, jadi penasaran! Pacar Yara yang sekarang kayak apa, sih? Dari deskripsinya… mirip sugar daddy.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 71

    Ruang makan rumah Yara malam itu terasa lebih hangat dari biasanya. Lampu gantung menyala lembut, aroma rendang dan sup hangat menyebar dari dapur, dan suara gelak tawa Deva mengalun pelan dari kursi ujung meja.Yara turun dari lantai dua, sudah berganti pakaian—blouse pastel sederhana dan jeans bersih. Tapi, tangan dan dadanya dingin.Karena tamu yang akan datang bukan tamu sembarangan.Tak lama, suara mobil berhenti di depan rumah.Arunika masuk duluan.“Om, Tante!” serunya ceria. Lalu menyerahkan parcel buah pada Deva.“Pake segala repot-repot,” ucap Deva menerima buah tangan dari Arunika.“Gak repot, kok.”Elvaro berdiri dengan tenang, menerima jabatan tangan Shandy.“Pake bawa buah tangan segala,” ucap Shandy.Elvaro mengedarkan pandangan.Dengan kemeja hitam yang digulung di lengan, aroma parfumnya ikut menyelinap masuk seperti suatu bentuk intimidasi pribadi.Tatapan Yara dan Elvaro beradu sepersekian detik.Cukup.Pusat gempa terjadi di perut Yara.“Pak Elvaro, silakan masuk,”

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 70

    Pagi itu rumah Yara terasa lebih riuh dari biasanya. Meysa sudah sibuk mondar-mandir sambil membawa kamera, sementara Deva berkali-kali mengecek dasinya di cermin. Shandy… sudah siap dari jam enam, padahal wisuda baru mulai jam sembilan.Yara turun dari tangga dengan kebaya pastel lembut yang sudah diperbaiki ukurannya. Bagian dada masih terasa sedikit pres, tapi setidaknya ia bisa bernapas normal sekarang.“Kak Yara, cantik banget,” komentar Meysa sambil memotret tanpa izin.“Udah, ah. Malu,” Yara meringis, merapikan selendangnya.Shandy tersenyum bangga. “Anak Papa makin besar, makin mirip Mamanya.”Ucapan itu membuat Yara terdiam sejenak. Ada rasa hangat sekaligus ngilu di dada, tapi ia tersenyum. “Ayo, Pa. Nanti telat.”Semua bersiap menuju mobil. Yara masih deg-degan. Tangannya terus saling meremas.“Pa, cepetan dikit,” pinta Deva yang justru tidak sabar.“Iya. Sabar, gak bakal macet kok, tenang.”---Area kampus sudah penuh orang. Bunga, boneka beruang, balon, dan pita warna war

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 69

    jalan pulang, Elvaro berubah jadi ABG ngambek—diam, tatapannya lurus ke depan, tangan di setir tapi rahangnya mengeras. Dari samping, Yara melirik, menahan senyum melihat betapa jelas mood swing itu terpampang di wajah kekasihnya sendiri.“Mas… jangan diam gitu dong,” ucap Yara pelan, mencoba menggoyang lengan Elvaro.Elvaro cuma menghela napas pendek. “Kita baru mau mulai yang enak, tiba-tiba Papa kamu telepon.”Yara nyengir kecil. “Namanya juga mau ada acara, Mas. Papa manggil ya harus pulang.”Tak ada respons. Elvaro tetap pura-pura fokus pada jalan, padahal telinganya jelas mendengarkan.Saat mobil berhenti di lampu merah, Yara mengambil kesempatan. Ia bersandar lebih dekat, tangan kecilnya menyentuh rahang Elvaro yang tegang.“Mas,” bisiknya.Elvaro menoleh sedikit, alis terangkat.Yara langsung mencium bibirnya duluan—cepat, lembut, tapi cukup bikin Elvaro terdiam beberapa detik. Saat Yara menjauh lagi, wajahnya memerah.“Biar Mas nggak ngambek,” katanya malu-malu.Elvaro menge

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 68

    Yara bangkit dari sofa, nyaris menjatuhkan minumannya saking gugup. Ia berjalan pelan, seperti orang yang sedang memasuki museum penuh barang mahal yang tidak boleh disentuh.“Mas… ini seriusan milik kamu? Atau kamu cuma… apa ini properti kantor? Atau punya temanmu? Jangan bilang kamu sewa, ya? Mas, jawab dulu!”Elvaro bersandar di sandaran sofa, satu tangan terlipat di dada, ekspresi puas melihat kekasihnya kebingungan setengah mati.“Yara, kalo ini sewa, mas gak bakal hapal sandinya.”Yara melotot. “Kamu Hapal!? Kamu beli!? Mas… kamu BENARAN beli!?”Ia langsung berkeliling ke area ruang tamu, melihat karpet, TV besar yang masih terbungkus plastik setengah, bahkan aromanya masih aroma furniture baru.Langkah Yara memelan ketika ia mencapai area dapur. Dapur itu… mewah.Me-waah.Ada kompor induksi yang mengkilap, kulkas besar dua pintu, dan meja island putih marmer yang membuat Yara ingin menangis karena ini terlalu “kehidupan orang kaya”.“Mas…” suaranya lirih tapi penuh panik, “ini

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 67

    Lift berhenti dengan bunyi ting lembut ketika mencapai lantai 12. Elvaro berjalan lebih dulu, sementara Yara mengikutinya dengan langkah gugup, matanya menelusuri lorong apartemen yang sunyi dan masih berbau cat baru.Jantungnya makin kencang.“Mas… ini lantai berapa sih?” Yara menoleh ke tanda angka digital di dinding.“Dua belas?” gumamnya sendiri.Elvaro tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Yara lebih erat, seolah takut gadis itu kabur ketika mengetahui sesuatu. Yara menelan ludah—semakin tidak paham.Kenapa harus genggam tangan seerat itu?Kenapa semakin dekat mereka ke ujung lorong, langkah Elvaro makin mantap?Dan kenapa Yara merasa seperti sedang dibawa ke plot twist hidupnya?Elvaro berhenti tepat di depan sebuah pintu berwarna hitam matte, sangat berbeda dari pintu-pintu lain yang cenderung biasa saja. Yara memicing curiga.“Mas… ini rumahnya siapa?”Tetap tidak ada jawaban.Yang ada, Elvaro merogoh sakunya, mengambil kartu akses, lalu menempelkan kartu itu ke panel pi

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 66

    Yara duduk di bangku makan, sengaja memilih posisi agak jauh dari Elvaro. Bukan karena benci, tapi karena… ya ampun, dekat dengan pria itu benar-benar bikin deg-degan setengah mati. Bukannya ia takut, lebih ke… takut ketahuan. Sikap Elvaro yang belakangan makin berani itu membuat Yara harus ekstra hati-hati—apalagi ada Arunika di rumah."Papa sama Yara gak lagi ngerencanain sesuatu buat aku, kan?" tanya Arunika sambil menaruh kotak sepatunya di meja. Nada curiganya samar, tapi cukup bikin Yara refleks menoleh cepat.Untungnya, Arunika hanya berpikir mereka sedang merencanakan semacam kejutan atau hal remeh lainnya—bukan mengenai hubungan rahasia mereka. Mendengar itu, Yara merasa seluruh tubuhnya sedikit rileks."Emang kenapa? Ini bukan bulan April," sahut Yara, mencoba terdengar santai sambil menuang air dingin ke dalam gelas."Eh, ya juga…" Arunika menggaruk kepala. "Kebayamu udah dicoba?"Yara mengangguk cepat."Agak kekecilan, terlalu press. Apa lagi di bagian—" Yara berhenti, mel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status