MasukSaat memasuki rumah, Yara langsung disambut suara obrolan hangat dari ruang tengah. Meysa, adiknya yang masih SMP, tampak tersenyum ceria. Shandy—ayah mereka—sedang menyuapi Meysa kue, sementara Deva, mama tiri Yara, duduk di samping dengan tatapan penuh kebanggaan. Rupanya mereka tengah merayakan kemenangan Meysa dalam lomba renang.
Yara menghentikan langkah. Dadanya sesak, perasaan muak menyeruak. Ia memilih ingin langsung naik ke kamar, namun suara Meysa memanggilnya. “Kak Yara!” seru Meysa riang. Yara menoleh malas. Deva menatapnya dengan senyum tipis—senyum yang lebih mirip ejekan. Sedangkan Shandy sudah menatap Yara dengan sorot tajam, penuh intimidasi. “Kakak, aku baru menang. Sini, kita rayakan!” ajak Meysa polos. Yara menarik napas panjang, menahan gejolak dalam dirinya. “Makasih. Aku mau istirahat, capek.” “Yara, adikmu sedang senang. Kamu tidak mau menghormati? Kakak macam apa kamu?” suara Shandy meninggi, seolah siap meledak kapan saja. Deva meraih lengan suaminya dengan lembut, tampak berusaha menenangkan. Tapi Yara tahu betul, di balik sikap lembutnya, mama tirinya itu selalu pandai memanas-manasi. “Yara capek, Pa. Baru urus skripsi,” jawabnya lirih, tetap berusaha menahan diri. “Kamu ini memang keras kepala! Sama saja kayak mamamu dulu—tidak bisa diatur!” bentak Shandy. Darah Yara mendidih. Ia mengepalkan tangan, tubuhnya bergetar. Nama ibunya disebut lagi—selalu dijadikan kambing hitam. “Jangan terus ungkit mama, Pa! Mama begitu juga karena papa sendiri yang nggak pernah jadi suami yang baik!” “Diam kamu! Berani ya kamu!” Shandy berdiri, matanya menyala, rahangnya mengeras. Meysa sudah ketakutan, buru-buru berlari memeluk Deva. Deva memeluk putrinya, berusaha menenangkan, untuk tidak takut. Yara bisa melihat, betapa mental adiknya itu selalu di jaga di sini, bukan sepertinya yang setiap saat digerus. “Berani sekali kamu melawan orang tua! Mau jadi apa kamu kalau begini? Skripsi aja nggak kelar, masih berani ngelawan. Kamu pikir bisa urus dirimu sendiri?” Mata Yara memanas, air mata menumpuk. Semua kekesalan, lelah, dan sakitnya campur jadi satu. Rumah ini, tempat ia seharusnya merasa aman, justru membuatnya hancur. “Sudah, Mas. Ingat, tensimu bisa naik,” bisik Deva, pura-pura menenangkan. Yara menatap kosong, suaranya bergetar. “Papa selalu ungkit masa lalu. Kalau memang nggak mau lihat Yara, nggak apa-apa. Yara juga bisa pergi.” Tanpa menunggu jawaban, Yara melangkah ke kamar. Ia buru-buru mengemasi pakaian ke dalam koper, air matanya luruh tanpa bisa dibendung. Lalu, dengan langkah cepat ia keluar lagi, menyeret kopernya menuju pintu. “Mau ke mana kamu?” suara Shandy menggema, penuh amarah. Yara berhenti sejenak, menoleh dengan tatapan basah. “Bukan urusan papa.” Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar memilih pergi. Tak ada tempat lain Yara datangi selain rumah Arunika. Dengan mata sembab dan tangis sesenggukan, ia menyeret koper berat itu menuju teras. Saat itu, Elvaro baru saja pulang. Ponselnya masih di tangan, kemeja kerjanya sedikit kusut. Pandangannya langsung terpaku pada sosok Yara. “Yara? Kamu kenapa na—” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya Yara mendekat. Matanya sembab, tetapi gadis itu justru tersenyum. “Baru pulang, Om? Runi belum pulang ya?” Elvaro menangguk, tatapannya bergeser pada koper yang ada di sebelah Yara. “Kamu kenapa bawa koper?” “Yara pergi dari rumah… males denger Omelan Papa setiap hari. Aku boleh nginep, kan Om? Janji gak lama, setelah ini mau cari kostan. ” Elvaro menghela napas. Tatapannya tak terbaca, namun ia mendekat mengusap pundak Yara dengan lembut. “Jangan terlalu diambil hati ucapan papamu, terkadang ucapannya itu tak serius.” Yara hanya mengangguk, tetapi jelas menunjukkan ketidak sukaan pendapat Elvaro. “Ya udah masuk,” ajak Elvaro yang kemudian mengambil alih koper Yara. Gadis itu tersenyum dan mengekor di belakang. “Kalau boleh jujur, sebenarnya saya senang kamu di sini. Runi jadi ada temannya. Tapi kamu juga ingat, nggak baik kalau terus merajuk.” Elvaro berjalan menuju dapur, mengambil dua minuman kaleng bersoda, ia menyodorkan satu pada Yara. Klek. Elvaro menegak sedikit minuman berwarna putih itu Yara mengedip pelan, sudut bibirnya terangkat tipis. “Merajuk? Om pikir aku anak kecil ya? Aku kan cuma… butuh tempat di mana aku ngerasa dihargai.” Elvaro menegakkan tubuh, berusaha tetap tenang. “Itu wajar. Tapi jangan terus larut. Kamu bisa lebih kuat dari ini, Yara.” Yara menatapnya lama, lalu tersenyum samar. “Kuat? Hm, kalau ada Om di sekitar aku, aku rasa aku bisa lebih kuat kok.” Elvaro berdeham. Ia melonggarkan ikatan dasinya, hal itu membuat Yara terperangah. melihat jakun Alvaro yang tampak menonjol, lalu saat dua kancing kemeja dibuka, Yara menelan ludahnya perlahan. gerakan lecil itu mampu membuat Yara tak berkedip sedikitpun. "Gila ... seksi banget," batin Yara mulai gerah. Elvaro menoleh, membuat Yara langsung menegakkan punggung. "Kenapa?" "Eng-enggak, enggak apa-apa." Elvaro tak menanggapi. Diamnya itu justru membuat jantung Yara berdetak tak karuan. 'Astaga, jika Om El bisa dengar jantungku, habis aku.'Ruang makan rumah Yara malam itu terasa lebih hangat dari biasanya. Lampu gantung menyala lembut, aroma rendang dan sup hangat menyebar dari dapur, dan suara gelak tawa Deva mengalun pelan dari kursi ujung meja.Yara turun dari lantai dua, sudah berganti pakaian—blouse pastel sederhana dan jeans bersih. Tapi, tangan dan dadanya dingin.Karena tamu yang akan datang bukan tamu sembarangan.Tak lama, suara mobil berhenti di depan rumah.Arunika masuk duluan.“Om, Tante!” serunya ceria. Lalu menyerahkan parcel buah pada Deva.“Pake segala repot-repot,” ucap Deva menerima buah tangan dari Arunika.“Gak repot, kok.”Elvaro berdiri dengan tenang, menerima jabatan tangan Shandy.“Pake bawa buah tangan segala,” ucap Shandy.Elvaro mengedarkan pandangan.Dengan kemeja hitam yang digulung di lengan, aroma parfumnya ikut menyelinap masuk seperti suatu bentuk intimidasi pribadi.Tatapan Yara dan Elvaro beradu sepersekian detik.Cukup.Pusat gempa terjadi di perut Yara.“Pak Elvaro, silakan masuk,”
Pagi itu rumah Yara terasa lebih riuh dari biasanya. Meysa sudah sibuk mondar-mandir sambil membawa kamera, sementara Deva berkali-kali mengecek dasinya di cermin. Shandy… sudah siap dari jam enam, padahal wisuda baru mulai jam sembilan.Yara turun dari tangga dengan kebaya pastel lembut yang sudah diperbaiki ukurannya. Bagian dada masih terasa sedikit pres, tapi setidaknya ia bisa bernapas normal sekarang.“Kak Yara, cantik banget,” komentar Meysa sambil memotret tanpa izin.“Udah, ah. Malu,” Yara meringis, merapikan selendangnya.Shandy tersenyum bangga. “Anak Papa makin besar, makin mirip Mamanya.”Ucapan itu membuat Yara terdiam sejenak. Ada rasa hangat sekaligus ngilu di dada, tapi ia tersenyum. “Ayo, Pa. Nanti telat.”Semua bersiap menuju mobil. Yara masih deg-degan. Tangannya terus saling meremas.“Pa, cepetan dikit,” pinta Deva yang justru tidak sabar.“Iya. Sabar, gak bakal macet kok, tenang.”---Area kampus sudah penuh orang. Bunga, boneka beruang, balon, dan pita warna war
jalan pulang, Elvaro berubah jadi ABG ngambek—diam, tatapannya lurus ke depan, tangan di setir tapi rahangnya mengeras. Dari samping, Yara melirik, menahan senyum melihat betapa jelas mood swing itu terpampang di wajah kekasihnya sendiri.“Mas… jangan diam gitu dong,” ucap Yara pelan, mencoba menggoyang lengan Elvaro.Elvaro cuma menghela napas pendek. “Kita baru mau mulai yang enak, tiba-tiba Papa kamu telepon.”Yara nyengir kecil. “Namanya juga mau ada acara, Mas. Papa manggil ya harus pulang.”Tak ada respons. Elvaro tetap pura-pura fokus pada jalan, padahal telinganya jelas mendengarkan.Saat mobil berhenti di lampu merah, Yara mengambil kesempatan. Ia bersandar lebih dekat, tangan kecilnya menyentuh rahang Elvaro yang tegang.“Mas,” bisiknya.Elvaro menoleh sedikit, alis terangkat.Yara langsung mencium bibirnya duluan—cepat, lembut, tapi cukup bikin Elvaro terdiam beberapa detik. Saat Yara menjauh lagi, wajahnya memerah.“Biar Mas nggak ngambek,” katanya malu-malu.Elvaro menge
Yara bangkit dari sofa, nyaris menjatuhkan minumannya saking gugup. Ia berjalan pelan, seperti orang yang sedang memasuki museum penuh barang mahal yang tidak boleh disentuh.“Mas… ini seriusan milik kamu? Atau kamu cuma… apa ini properti kantor? Atau punya temanmu? Jangan bilang kamu sewa, ya? Mas, jawab dulu!”Elvaro bersandar di sandaran sofa, satu tangan terlipat di dada, ekspresi puas melihat kekasihnya kebingungan setengah mati.“Yara, kalo ini sewa, mas gak bakal hapal sandinya.”Yara melotot. “Kamu Hapal!? Kamu beli!? Mas… kamu BENARAN beli!?”Ia langsung berkeliling ke area ruang tamu, melihat karpet, TV besar yang masih terbungkus plastik setengah, bahkan aromanya masih aroma furniture baru.Langkah Yara memelan ketika ia mencapai area dapur. Dapur itu… mewah.Me-waah.Ada kompor induksi yang mengkilap, kulkas besar dua pintu, dan meja island putih marmer yang membuat Yara ingin menangis karena ini terlalu “kehidupan orang kaya”.“Mas…” suaranya lirih tapi penuh panik, “ini
Lift berhenti dengan bunyi ting lembut ketika mencapai lantai 12. Elvaro berjalan lebih dulu, sementara Yara mengikutinya dengan langkah gugup, matanya menelusuri lorong apartemen yang sunyi dan masih berbau cat baru.Jantungnya makin kencang.“Mas… ini lantai berapa sih?” Yara menoleh ke tanda angka digital di dinding.“Dua belas?” gumamnya sendiri.Elvaro tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Yara lebih erat, seolah takut gadis itu kabur ketika mengetahui sesuatu. Yara menelan ludah—semakin tidak paham.Kenapa harus genggam tangan seerat itu?Kenapa semakin dekat mereka ke ujung lorong, langkah Elvaro makin mantap?Dan kenapa Yara merasa seperti sedang dibawa ke plot twist hidupnya?Elvaro berhenti tepat di depan sebuah pintu berwarna hitam matte, sangat berbeda dari pintu-pintu lain yang cenderung biasa saja. Yara memicing curiga.“Mas… ini rumahnya siapa?”Tetap tidak ada jawaban.Yang ada, Elvaro merogoh sakunya, mengambil kartu akses, lalu menempelkan kartu itu ke panel pi
Yara duduk di bangku makan, sengaja memilih posisi agak jauh dari Elvaro. Bukan karena benci, tapi karena… ya ampun, dekat dengan pria itu benar-benar bikin deg-degan setengah mati. Bukannya ia takut, lebih ke… takut ketahuan. Sikap Elvaro yang belakangan makin berani itu membuat Yara harus ekstra hati-hati—apalagi ada Arunika di rumah."Papa sama Yara gak lagi ngerencanain sesuatu buat aku, kan?" tanya Arunika sambil menaruh kotak sepatunya di meja. Nada curiganya samar, tapi cukup bikin Yara refleks menoleh cepat.Untungnya, Arunika hanya berpikir mereka sedang merencanakan semacam kejutan atau hal remeh lainnya—bukan mengenai hubungan rahasia mereka. Mendengar itu, Yara merasa seluruh tubuhnya sedikit rileks."Emang kenapa? Ini bukan bulan April," sahut Yara, mencoba terdengar santai sambil menuang air dingin ke dalam gelas."Eh, ya juga…" Arunika menggaruk kepala. "Kebayamu udah dicoba?"Yara mengangguk cepat."Agak kekecilan, terlalu press. Apa lagi di bagian—" Yara berhenti, mel







