“Jadi total semuanya, 350 ribu rupiah, Mbak.” Pelayan restoran dengan name tag bertuliskan Sania menyerahkan struk ke Yara.
Yara mengangguk sambil menyeruput sisa jus jeruknya. “Boleh pakai kartu, kan?” “Boleh.” Yara mengeluarkan kartu debitnya. Sania langsung menggesekkan ke mesin EDC. Beep. Gagal. “Mbak, nggak bisa,” ucap Sania sambil menyerahkan kembali kartunya. Yara menegakkan duduk, wajahnya memucat. “Kok bisa? Coba yang ini.” Ia buru-buru memberikan kartu lainnya. Namun hasilnya tetap sama. “Maaf, Mbak. Nggak bisa juga. Kalau bisa pakai cash aja, ya?” Mampus! Jantung Yara langsung berdegup kencang. Ia memejamkan mata sebentar, menahan panik. Papa keterlaluan banget! Apa emang maunya bikin aku sengsara begini? Dengan wajah memelas, Yara kembali merogoh tas, mengeluarkan ponselnya. “Sebentar ya, Mbak. Aku telpon orang dulu.” Ekspresi Sania jelas tak nyaman, seolah mencurigai Yara. Tak ada satu pun teman yang mengangkat panggilan. Bahkan Arunika pun tak merespons. “Ya Tuhan… orang-orang ke mana sih?” gerutunya, sambil mencoba lagi menghubungi Kaivan. Sania melipat tangan di dada, menatap sinis. “Mbak, punya uang nggak sih? Atau… jangan-jangan ini akal-akalan Mbak aja?” Mata Yara langsung membelalak. Rasa takut mulai menggerayapi. “Mbak, tolong tunggu sebentar, ya. Aku lagi usaha buat telpon dulu.” Sania mendengus, lalu dengan nada meremehkan menirukan ucapan Yara, “Tolong tunggu sebentar ....” Yara benar-benar ingin meledak. Dengan wajah merah padam, ia mencoba tetap tenang meski tatapan pengunjung restoran sudah tertuju padanya.“Duh! Mereka semua ke mana, sih?! Kompak banget nggak ada yang angkat telpon!” “Jadi gimana, Mbak? Punya uang apa enggak?” Yara berdiri, menahan malu. “Mbak, sabar dikit ya, Mbak? Aku juga nggak bakal kabur,kok.” “Tapi kerjaan saya banyak. Saya nggak harus nunggu—” “Iya, Mbak, aku juga lagi usaha. Tolong tunggu sebentar aja.” Yara nyaris menangis, ia malu setengah mati, apa lagi tatapan para pengunjung lain yang tak menyenangkan. seolah tatapan itu seperti cibiran, ini trik kuno yang dilakukan para pengunjung yang tak kuat membayar. “Apa jangan-jangan ini akal-akalan Mbak biar makan gratis? Saya akan panggilkan sat—” “Aku enggak bohong. Tolong, saat mereka mengangkat, aku akan bayar semua, bahkan sama uang tip." Suasana makin panas. Beberapa pengunjung mulai berbisik-bisik, membuat Yara ingin menghilang dari muka bumi. Tiba-tiba, sebuah suara berat terdengar. “Ada apa ini?” “Ini, Pak Mirza. Mbak ini nggak punya uang buat bayar,” adu Sania cepat begitu melihat manager restorannya datang. Pria tampan dengan kemeja rapi itu menoleh, tatapannya jatuh pada Yara. Seketika wajah Yara memucat. “Bukan gitu, Mas… eh, Pak. Aku lagi coba hubungi teman. Ternyata rekeningku dibekukan. Tapi Mbak ini nyolot, nggak sabaran,” jelas Yara dengan suara gemetar, mencoba bertahan. Mirza baru hendak bicara ketika suara bariton menggelegar, membuat semua kepala menoleh. “Yara?” Wajah Yara langsung berubah lega. Ia buru-buru menghampiri sumber suara. “Om! Untung ada Om.” Elvaro mengernyit, pandangannya serius. “Ada apa?” “Papa bekuin semua rekeningku. Aku nggak ada cash, telepon teman juga nggak ada yang angkat…” bisik Yara, suaranya penuh malu. Tanpa sadar, jemari mungilnya sudah menggenggam lengan Elvaro erat. “Berapa semuanya?” tanya Elvaro dingin. “Tiga ratus lima puluh ribu, Pak,” jawab Sania cepat. Elvaro mengeluarkan dompetnya, menyodorkan uang tunai empat ratus ribu. “Sisanya ambil aja.” Sania menunduk cepat. “Baik, Pak. Terima kasih.” Mirza ikut menunduk sopan. “Mohon maaf atas ketidaknyamanannya, Pak.” Elvaro hanya mengangguk. “Nggak apa. Ayo, Yar.” Yara mengikuti langkah Elvaro. Namun sebelum keluar, ia sempat menoleh dan mencebik ke arah Sania. Pelayan itu menunduk, jelas gentar setelah tatapan tegas Mirza. “Lain kali jangan begitu lagi,” tegur Mirza singkat, lalu berlalu. --- Di dalam mobil, Yara masih menunduk, sungkan. “Makasih, ya, Om…” Elvaro menyalakan mesin mobil, menatap lurus ke depan. “It’s okay.” “Oh iya, kok Om bisa ada di sana?” “Saya tadi ketemu klien. Bahas rancangan,” jawabnya santai. Yara terdiam sejenak, lalu memberanikan diri. “Om… Om ada kenalan nggak yang bisa kasih lowongan kerja buat aku?” Elvaro langsung menoleh cepat, keningnya berkerut. “Kamu mau kerja?” Yara mengangguk mantap. “Ya, Om. Aku harus bisa hidupin diri sendiri. Papa udah keterlaluan—rekeningku dibekuin semua.” Elvaro menghela napas panjang. “Sepertinya kamu memang harus berdamai dengan papa kamu.” “Om, aku capek dianggap beban. Aku mau cari uang sendiri. Apapun kerjaannya, aku mau.” “Untuk saat ini belum ada. Tapi nanti saya coba tanyakan,” ucap Elvaro tenang. Senyum Yara meluruh. Ada kecewa yang tak bisa ia sembunyikan. Elvaro melirik sebentar, lalu menambahkan, “Untuk sementara, biar saya bantu kamu dulu.” Mata Yara langsung berbinar. “Om baik banget… Makasih. Kalau nanti aku udah punya uang, aku ganti.” Elvaro terkekeh pelan. “Nggak perlu, Yara.” Spontan, Yara merangkul lengan pria itu, wajahnya penuh syukur. “Untung ada Om tadi. Kalau nggak, aku bisa malu banget.” Elvaro cepat-cepat berdeham, pandangannya kaku ke depan. Yara mengangkat wajah, menatap sekilas guratan gugup yang muncul di wajah dewasa itu. Ia langsung nyengir jahil, lalu perlahan melepas pelukan.“Duh, gimana ya? Papa bekuin semua rekeningku. Terus gimana aku bisa kasih hadiah buat Runi?” Yara mondar-mandir di kamar, menggigit ujung kukunya. “Lagian, aku juga gak bisa terus-terusan tinggal di sini. Nanti dikira numpang hidup.”Yara benar-benar gelisah. Ia yang semula berdiri, duduk, lalu berdiri lagi. “Ah, aku pusing, mana belum nemu kerjaan.”Klek.Pintu kamar mandi terbuka. Arunika keluar dengan rambut masih basah, melirik wajah sahabatnya. “Mukamu tegang banget. Kaya ketahuan abis—”“Apaan, sih! Orang kaget doang,” sahut Yara cepat, lalu meraih gelas kosong di meja. “Aku mau ngadem dulu, pening mikirin revisian.”Arunika cuma angguk, menyalakan TV. Sementara itu, Yara terbelalak ketika matanya menangkap sosok Elvaro yang sudah duduk di ruang tengah. Di hadapannya terbentang gambar rancangan gedung, kertas berserakan.“Om… lembur, ya?” Yara memberanikan diri mendekat.Elvaro mengangkat kepala, wajahnya lelah. “Iya. Harus bikin laporan tertulis juga buat proposal. Kamu kan ja
"Kamu baru ketemu sama dosen pembimbing, atau kencan sama Kaivan?"Yara yang duduk di ruang tengah menurunkan bukunya, matanya mengintip interaksi ayah dan anak itu. Tadi ia sudah berbohong demi Arunika.Arunika menoleh ke arah Yara, seakan minta dukungan. Yara hanya mengedikkan bahu—tak peduli, seolah bilang ‘urusanmu, bukan urusanku’."Ketemu dosen, Pa. Sama Mega juga. Pulangnya dijemput Kai," jawab Arunika tenang.Elvaro menghela napas, lalu mengacak rambut putrinya asal. "Ya udah, ayo makan."Pemandangan sederhana itu seperti tamparan bagi Yara. Ada rasa iri menyesak di dadanya. Perlakuan hangat seperti itu tak pernah ia rasakan dari papanya sendiri—yang ada hanya tatapan curiga, nada keras, atau prasangka. Tangannya gemetar menutup buku, mencoba menyembunyikan getir yang tiba-tiba menyeruak."Yara, ayo makan!" suara Arunika memecah lamunannya.Yara tersentak. Ia mendongak—dan tanpa sengaja menabrak tatapan mata Elvaro. Lelaki itu menatapnya tenang, datar, seolah kejadian memaluka
Yara baru saja selesai mandi, tubuhnya masih terbalut jubah mandi berwarna putih. Rambutnya yang basah digelung asal dengan handuk kecil. Begitu masuk kamar, ia mendengus kesal melihat meja belajar penuh dengan piring dan gelas kotor.“Arunika…,” gumamnya. Sahabatnya itu jelas biang keroknya. Padahal Yara baru ingin rebahan, tapi mau tak mau ia harus membereskan.Dengan malas, Yara mengangkut piring dan gelas ke dapur. Rumah sedang sepi, hanya ada dirinya. Elvaro belum pulang dari proyek, dan Arunika entah sudah hilang ke mana bersama Kaivan.Saat hendak mencuci, Yara meraih botol sabun. “Duh, sabunnya habis,” dengusnya. Ia jongkok, mengambil refill sabun dari lemari bawah wastafel.Ia menggunting ujung plastiknya, menaruhnya di atas meja. Baru saja ingin menuang, ponselnya berdering.“Run….” Yara mengangkat sambil menyender santai di kulkas.“Yar, tolong banget jangan bilang ke Papa kalau aku pergi sama Kai. Kalau ditanya, bilang aja aku lagi ketemu Mega atau dosen pembimbing, gitu.”
“Jadi total semuanya, 350 ribu rupiah, Mbak.” Pelayan restoran dengan name tag bertuliskan Sania menyerahkan struk ke Yara.Yara mengangguk sambil menyeruput sisa jus jeruknya. “Boleh pakai kartu, kan?”“Boleh.”Yara mengeluarkan kartu debitnya. Sania langsung menggesekkan ke mesin EDC.Beep. Gagal.“Mbak, nggak bisa,” ucap Sania sambil menyerahkan kembali kartunya.Yara menegakkan duduk, wajahnya memucat. “Kok bisa? Coba yang ini.” Ia buru-buru memberikan kartu lainnya.Namun hasilnya tetap sama.“Maaf, Mbak. Nggak bisa juga. Kalau bisa pakai cash aja, ya?”Mampus!Jantung Yara langsung berdegup kencang. Ia memejamkan mata sebentar, menahan panik. Papa keterlaluan banget! Apa emang maunya bikin aku sengsara begini?Dengan wajah memelas, Yara kembali merogoh tas, mengeluarkan ponselnya. “Sebentar ya, Mbak. Aku telpon orang dulu.”Ekspresi Sania jelas tak nyaman, seolah mencurigai Yara.Tak ada satu pun teman yang mengangkat panggilan. Bahkan Arunika pun tak merespons.“Ya Tuhan… orang
Saat memasuki rumah, Yara langsung disambut suara obrolan hangat dari ruang tengah. Meysa, adiknya yang masih SMP, tampak tersenyum ceria. Shandy—ayah mereka—sedang menyuapi Meysa kue, sementara Deva, mama tiri Yara, duduk di samping dengan tatapan penuh kebanggaan. Rupanya mereka tengah merayakan kemenangan Meysa dalam lomba renang. Yara menghentikan langkah. Dadanya sesak, perasaan muak menyeruak. Ia memilih ingin langsung naik ke kamar, namun suara Meysa memanggilnya. “Kak Yara!” seru Meysa riang. Yara menoleh malas. Deva menatapnya dengan senyum tipis—senyum yang lebih mirip ejekan. Sedangkan Shandy sudah menatap Yara dengan sorot tajam, penuh intimidasi. “Kakak, aku baru menang. Sini, kita rayakan!” ajak Meysa polos. Yara menarik napas panjang, menahan gejolak dalam dirinya. “Makasih. Aku mau istirahat, capek.” “Yara, adikmu sedang senang. Kamu tidak mau menghormati? Kakak macam apa kamu?” suara Shandy meninggi, seolah siap meledak kapan saja. Deva meraih lengan suaminya d
Hari ini Yara dan Arunika akan ke kampus. Yara yang sudah rapi lebih dulu, duduk di meja makan.Sementara itu, Arunika masih sibuk telponan dengan Kaivan. Kadang hal seperti ini membuat Yara iri—seakan dunianya Arunika hanya berputar di sekitar Kaivan.“Pagi, Om,” sapa Yara dengan wajah kusut, lalu duduk.“Pagi. Kok muka kamu kusut gitu pagi-pagi?” Elvaro mengernyit, menatapnya.Yara menoleh, menghela napas. “Sebenarnya aku males ngampus, Om. Males ketemu Lionel.”“Jangan terlalu dipikirin, Yara. Cowok brengsek kayak gitu nggak pantas kamu sesali. Masih banyak kok cowok baik di dunia ini.”Senyum kecil akhirnya muncul di bibir Yara ketika Elvaro mengusap punggung tangannya dengan lembut. “Apalagi kalau kaya Om El, ya, Om.”Elvaro sontak terdiam, tersentak oleh ucapannya. Tapi anehnya, ada rasa hangat yang menjalari dadanya.“Ya udah, sampai ketemu di kampus, sayang.” Suara Arunika yang baru saja selesai telpon terdengar makin dekat. Seketika Elvaro buru-buru menarik tangannya, pura-pu