Masuk"Kamu baru ketemu sama dosen pembimbing, atau kencan sama Kaivan?"
Yara yang duduk di ruang tengah menurunkan bukunya, matanya mengintip interaksi ayah dan anak itu. Tadi ia sudah berbohong demi Arunika.
Arunika menoleh ke arah Yara, seakan minta dukungan. Yara hanya mengedikkan bahu—tak peduli, seolah bilang ‘urusanmu, bukan urusanku’.
"Ketemu dosen, Pa. Sama Mega juga. Pulangnya dijemput Kai," jawab Arunika tenang.
Elvaro menghela napas, lalu mengacak rambut putrinya asal. "Ya udah, ayo makan."
Pemandangan sederhana itu seperti tamparan bagi Yara. Ada rasa iri menyesak di dadanya. Perlakuan hangat seperti itu tak pernah ia rasakan dari papanya sendiri—yang ada hanya tatapan curiga, nada keras, atau prasangka. Tangannya gemetar menutup buku, mencoba menyembunyikan getir yang tiba-tiba menyeruak.
"Yara, ayo makan!" suara Arunika memecah lamunannya.
Yara tersentak. Ia mendongak—dan tanpa sengaja menabrak tatapan mata Elvaro. Lelaki itu menatapnya tenang, datar, seolah kejadian memalukan di dapur tadi sore hanyalah angin lalu.
"Makan, Yara," ucap Elvaro.
Yara menunduk cepat. Ia menutup bukunya, meletakkan di samping laptop, lalu bergabung ke meja makan. "Kamu utang janji sama aku," bisiknya pada Arunika.
"Tenang aja, apa pun yang kamu minta aku turuti," balas Arunika berbisik balik.
Mereka duduk bersebelahan. Suasana hening. Hanya terdengar bunyi sendok dan piring. Sesekali Yara melirik ke arah Elvaro—tenang, santai, berwibawa. ‘Om El kenapa bisa setenang itu ya? Pesonanya makin awur-awuran.’
"Pa, papa udah janji kan. Ulang tahunku kita rayakan ke Puncak? Kalau papa sibuk, biar kami aja."
Elvaro mengangkat wajah, tatapannya mantap. "Gak bisa. Ada Kaivan dan temannya juga. Papa harus ikut. Soal janji, papa gak pernah lupa."
‘Demi apa?! Kalau punya laki modelan gini, sehat mental ibu dan anak,’ batin Yara, hatinya mencelos sekaligus kagum.
"Makasih, Papa. Papa yang terbaik," ucap Arunika penuh senyum.
Elvaro hanya mengangguk tipis. Yara menunduk, mengaduk-aduk nasi di piring.
"Yara? Kamu kenapa?" tanya Arunika sadar sahabatnya diam.
Yara tersenyum tipis. "Aku di sini jadi ngerepotin kamu sama Om El. Kaya ganggu momen keluarga. Aku—"
"Om senang kamu di sini. Setidaknya Runi ada teman," potong Elvaro santai tanpa menoleh, masih fokus pada makanannya.
Arunika mengangguk setuju. Tapi bagi Yara, kalimat itu bagai sesuatu yang lebih dari sekadar basa-basi. Tatapannya tak percaya, seakan ingin memastikan.
Setelah kejadian tadi, Om El beneran gak terpengaruh? Dia bisa setenang ini?
"Kamu bukan beban, Yara. Papa udah bilang kan. Papa juga anggap kamu kaya anak sendiri. Jarang banget Papa care sama orang di luar keluarga," tambah Arunika, matanya berbinar. "Ya kan, Pa?"
Elvaro hanya tersenyum samar.
Ambigu. Itu yang Yara rasakan. Hatinya berdesir, antara hangat dan bingung.
"Makasih, Om," ucap Yara akhirnya, lirih.
"Sama-sama. Lanjutin makannya."
Makan malam selesai. Yara bukan tipe gadis yang tak tahu diri. Ia langsung bangkit, mengumpulkan piring-piring kotor.
"Yara, aku ke kamar dulu ya. Mau mandi, lengket banget," pamit Arunika sebelum menghilang ke kamar.
Yara mengangguk. Elvaro yang masih duduk sebentar hanya menghela napas pelan. Saat Yara sibuk membereskan, pria itu ikut bangkit, mengambil beberapa piring.
"Om, biar Yara aja."
Elvaro tidak menjawab panjang. Hanya ada gurat senyum tipis di ujung bibirnya. "Gak papa. Om bantuin."
Yara tak berani melarang. Ia hanya menunduk, mencuci piring-piring di wastafel. Dari sudut matanya, ia melihat Elvaro menyimpan sisa makanan ke dalam wadah lalu mengelap meja. Kemejanya digulung sampai siku, gerakan biasa yang entah kenapa berhasil membuat Yara terpesona.
Saat Elvaro menoleh, Yara buru-buru kembali fokus. Air keran mengucur deras, tapi pikirannya jauh lebih berisik.
Astaga, otakku … kenapa deg-degan banget sih.
Yara menumpuk piring supaya wastafel tak penuh. Sebuah dehaman kecil terdengar, membuatnya menoleh. Elvaro sudah mengambil lap dan mulai mengeringkan piring.
"Om, gak usah … biar aku aja," lirih Yara.
"Gak papa. Lebih cepat selesai juga lebih baik, kan? Kamu bisa lanjut revisianmu," jawab Elvaro santai.
Revisian? Yang ada aku malah lemes liat Om … jerit Yara dalam hati.
"Sampai mana perkembangannya?" tanya Elvaro tiba-tiba.
Pertanyaan itu membuat Yara salah tingkah. "Baru juga dekat, Om!" ceplosnya spontan.
Elvaro mengangkat sebelah alis. Yara langsung gelagapan, buru-buru meralat, "Maksudnya … mulai bisa deketin dosen, Om. Akhir-akhir ini beliau susah ditemui. Ya, harus sabar. Untung revisianku cuma sedikit. Doain lancar ya, Om."
Elvaro hanya mengangguk, fokus mengeringkan piring. Sementara Yara memperhatikan dari samping. Hidung mancung, rahang tegas, mata yang teduh—semuanya membuatnya salah fokus. Ia bahkan lupa air keran masih mengucur deras, tangannya mengelus piring kosong berkali-kali.
"Yara, itu airnya—"
"Cakep," gumam Yara lirih.
Elvaro menoleh. "Hm? Kamu bilang apa?"
Wajah Yara langsung panik. 'Astaga, aku ngomong apa barusan?!’
"Ha? Aku … aku gak bilang apa-apa, Om. Emang aku bilang apa?" Yara mencoba mengelak.
Elvaro menutup keran air. Gerakannya membuat wajah mereka hanya terpaut sejengkal. Napas Yara tercekat, matanya membesar.
"Airnya kamu lupa tutup," ucap Elvaro datar.
Yara langsung mundur setengah langkah, berusaha menutupi wajahnya yang memerah.
"Pipimu merah. Kamu demam?" Elvaro menatapnya lekat.
"Ha?" Yara reflek meraba pipinya. Panas. "En-enggak, Om. Paling cuma gerah."
Ruang makan rumah Yara malam itu terasa lebih hangat dari biasanya. Lampu gantung menyala lembut, aroma rendang dan sup hangat menyebar dari dapur, dan suara gelak tawa Deva mengalun pelan dari kursi ujung meja.Yara turun dari lantai dua, sudah berganti pakaian—blouse pastel sederhana dan jeans bersih. Tapi, tangan dan dadanya dingin.Karena tamu yang akan datang bukan tamu sembarangan.Tak lama, suara mobil berhenti di depan rumah.Arunika masuk duluan.“Om, Tante!” serunya ceria. Lalu menyerahkan parcel buah pada Deva.“Pake segala repot-repot,” ucap Deva menerima buah tangan dari Arunika.“Gak repot, kok.”Elvaro berdiri dengan tenang, menerima jabatan tangan Shandy.“Pake bawa buah tangan segala,” ucap Shandy.Elvaro mengedarkan pandangan.Dengan kemeja hitam yang digulung di lengan, aroma parfumnya ikut menyelinap masuk seperti suatu bentuk intimidasi pribadi.Tatapan Yara dan Elvaro beradu sepersekian detik.Cukup.Pusat gempa terjadi di perut Yara.“Pak Elvaro, silakan masuk,”
Pagi itu rumah Yara terasa lebih riuh dari biasanya. Meysa sudah sibuk mondar-mandir sambil membawa kamera, sementara Deva berkali-kali mengecek dasinya di cermin. Shandy… sudah siap dari jam enam, padahal wisuda baru mulai jam sembilan.Yara turun dari tangga dengan kebaya pastel lembut yang sudah diperbaiki ukurannya. Bagian dada masih terasa sedikit pres, tapi setidaknya ia bisa bernapas normal sekarang.“Kak Yara, cantik banget,” komentar Meysa sambil memotret tanpa izin.“Udah, ah. Malu,” Yara meringis, merapikan selendangnya.Shandy tersenyum bangga. “Anak Papa makin besar, makin mirip Mamanya.”Ucapan itu membuat Yara terdiam sejenak. Ada rasa hangat sekaligus ngilu di dada, tapi ia tersenyum. “Ayo, Pa. Nanti telat.”Semua bersiap menuju mobil. Yara masih deg-degan. Tangannya terus saling meremas.“Pa, cepetan dikit,” pinta Deva yang justru tidak sabar.“Iya. Sabar, gak bakal macet kok, tenang.”---Area kampus sudah penuh orang. Bunga, boneka beruang, balon, dan pita warna war
jalan pulang, Elvaro berubah jadi ABG ngambek—diam, tatapannya lurus ke depan, tangan di setir tapi rahangnya mengeras. Dari samping, Yara melirik, menahan senyum melihat betapa jelas mood swing itu terpampang di wajah kekasihnya sendiri.“Mas… jangan diam gitu dong,” ucap Yara pelan, mencoba menggoyang lengan Elvaro.Elvaro cuma menghela napas pendek. “Kita baru mau mulai yang enak, tiba-tiba Papa kamu telepon.”Yara nyengir kecil. “Namanya juga mau ada acara, Mas. Papa manggil ya harus pulang.”Tak ada respons. Elvaro tetap pura-pura fokus pada jalan, padahal telinganya jelas mendengarkan.Saat mobil berhenti di lampu merah, Yara mengambil kesempatan. Ia bersandar lebih dekat, tangan kecilnya menyentuh rahang Elvaro yang tegang.“Mas,” bisiknya.Elvaro menoleh sedikit, alis terangkat.Yara langsung mencium bibirnya duluan—cepat, lembut, tapi cukup bikin Elvaro terdiam beberapa detik. Saat Yara menjauh lagi, wajahnya memerah.“Biar Mas nggak ngambek,” katanya malu-malu.Elvaro menge
Yara bangkit dari sofa, nyaris menjatuhkan minumannya saking gugup. Ia berjalan pelan, seperti orang yang sedang memasuki museum penuh barang mahal yang tidak boleh disentuh.“Mas… ini seriusan milik kamu? Atau kamu cuma… apa ini properti kantor? Atau punya temanmu? Jangan bilang kamu sewa, ya? Mas, jawab dulu!”Elvaro bersandar di sandaran sofa, satu tangan terlipat di dada, ekspresi puas melihat kekasihnya kebingungan setengah mati.“Yara, kalo ini sewa, mas gak bakal hapal sandinya.”Yara melotot. “Kamu Hapal!? Kamu beli!? Mas… kamu BENARAN beli!?”Ia langsung berkeliling ke area ruang tamu, melihat karpet, TV besar yang masih terbungkus plastik setengah, bahkan aromanya masih aroma furniture baru.Langkah Yara memelan ketika ia mencapai area dapur. Dapur itu… mewah.Me-waah.Ada kompor induksi yang mengkilap, kulkas besar dua pintu, dan meja island putih marmer yang membuat Yara ingin menangis karena ini terlalu “kehidupan orang kaya”.“Mas…” suaranya lirih tapi penuh panik, “ini
Lift berhenti dengan bunyi ting lembut ketika mencapai lantai 12. Elvaro berjalan lebih dulu, sementara Yara mengikutinya dengan langkah gugup, matanya menelusuri lorong apartemen yang sunyi dan masih berbau cat baru.Jantungnya makin kencang.“Mas… ini lantai berapa sih?” Yara menoleh ke tanda angka digital di dinding.“Dua belas?” gumamnya sendiri.Elvaro tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Yara lebih erat, seolah takut gadis itu kabur ketika mengetahui sesuatu. Yara menelan ludah—semakin tidak paham.Kenapa harus genggam tangan seerat itu?Kenapa semakin dekat mereka ke ujung lorong, langkah Elvaro makin mantap?Dan kenapa Yara merasa seperti sedang dibawa ke plot twist hidupnya?Elvaro berhenti tepat di depan sebuah pintu berwarna hitam matte, sangat berbeda dari pintu-pintu lain yang cenderung biasa saja. Yara memicing curiga.“Mas… ini rumahnya siapa?”Tetap tidak ada jawaban.Yang ada, Elvaro merogoh sakunya, mengambil kartu akses, lalu menempelkan kartu itu ke panel pi
Yara duduk di bangku makan, sengaja memilih posisi agak jauh dari Elvaro. Bukan karena benci, tapi karena… ya ampun, dekat dengan pria itu benar-benar bikin deg-degan setengah mati. Bukannya ia takut, lebih ke… takut ketahuan. Sikap Elvaro yang belakangan makin berani itu membuat Yara harus ekstra hati-hati—apalagi ada Arunika di rumah."Papa sama Yara gak lagi ngerencanain sesuatu buat aku, kan?" tanya Arunika sambil menaruh kotak sepatunya di meja. Nada curiganya samar, tapi cukup bikin Yara refleks menoleh cepat.Untungnya, Arunika hanya berpikir mereka sedang merencanakan semacam kejutan atau hal remeh lainnya—bukan mengenai hubungan rahasia mereka. Mendengar itu, Yara merasa seluruh tubuhnya sedikit rileks."Emang kenapa? Ini bukan bulan April," sahut Yara, mencoba terdengar santai sambil menuang air dingin ke dalam gelas."Eh, ya juga…" Arunika menggaruk kepala. "Kebayamu udah dicoba?"Yara mengangguk cepat."Agak kekecilan, terlalu press. Apa lagi di bagian—" Yara berhenti, mel







