Share

Bab. 9

Author: Layli Dinata
last update Last Updated: 2025-10-03 21:29:04

“Duh, gimana ya? Papa bekuin semua rekeningku. Terus gimana aku bisa kasih hadiah buat Runi?” Yara mondar-mandir di kamar, menggigit ujung kukunya. “Lagian, aku juga gak bisa terus-terusan tinggal di sini. Nanti dikira numpang hidup.”

Yara benar-benar gelisah. Ia yang semula berdiri, duduk, lalu berdiri lagi. “Ah, aku pusing, mana belum nemu kerjaan.”

Klek.

Pintu kamar mandi terbuka. Arunika keluar dengan rambut masih basah, melirik wajah sahabatnya. “Mukamu tegang banget. Kaya ketahuan abis—”

“Apaan, sih! Orang kaget doang,” sahut Yara cepat, lalu meraih gelas kosong di meja. “Aku mau ngadem dulu, pening mikirin revisian.”

Arunika cuma angguk, menyalakan TV. Sementara itu, Yara terbelalak ketika matanya menangkap sosok Elvaro yang sudah duduk di ruang tengah. Di hadapannya terbentang gambar rancangan gedung, kertas berserakan.

“Om… lembur, ya?” Yara memberanikan diri mendekat.

Elvaro mengangkat kepala, wajahnya lelah. “Iya. Harus bikin laporan tertulis juga buat proposal. Kamu kan jago di perbaikan kalimat, bisa bantuin gak? Cek tipo atau susunan yang aneh.”

Yara membeku. Baru pertama kali Elvaro minta bantuan semacam ini. Tangannya mencengkeram erat gelas kosongnya. “Gimana?”

“Bo-boleh, Om.”

Ia duduk di sebelah Elvaro. Pria itu meletakkan laptop di pangkuannya. “Cek dari awal aja. Om udah mumet banget lihat tulisan sendiri. Nanti Om kasih imbalan.”

“Ah, Om… gak usah. Aku ikhlas,” Yara mencoba santai.

Elvaro hanya tersenyum kecil lalu kembali tenggelam dalam rancangan. Yara pun fokus di layar laptop, sesekali melirik profil wajah Elvaro dari samping. Dahi berkerut serius, kemeja digulung sampai siku, aura dominan tapi adem itu bikin jantungnya makin gak karuan.

“Eh, Yar. Katanya mau ngadem?” suara Arunika mengejutkan, muncul sambil bawa gelas kosong.

“Yara bantuin Papa revisi dokumen. Kamu mau bantu juga, Run?” Elvaro menoleh.

“Ah, makasih, Pa. Aku juga lagi mumet. Biar Yara aja deh.” Arunika langsung ke dapur.

“Bilang aja mau ngedrakor,” celetuk Yara. Elvaro terkekeh ringan.

Beberapa menit hening. Sampai akhirnya Yara  selesai dan menyerahkan laptopnya pada Elvaro. “Selesai, Om.”

Elvaro menilik sebentar, puas. Lalu ia mengeluarkan amplop cokelat dari tas kerjanya. “Ini buat kamu.”

Mata Yara melebar. “Lho? Untuk aku? Om… kerjaanku sepele. Gak usah segini banyak. Lagian—”

“Kamu butuh ini.” Suara Elvaro tenang, tapi dalam. “Ambil aja. Om tahu kamu juga pengen kasih sesuatu buat Runi, kan?”

Yara membeku. ‘Apa tadi Om El dengar?’

Tangan Elvaro meraih telapak Yara, meletakkan amplop itu di sana. Hangat, mantap, buat Yara nyaris kehilangan kata-kata.

“Ambil. Dan soal kerjaan, Om sudah tanya ke teman. Ada lowongan di klinik kecantikan. Posisi resepsionis, gajinya gak banyak. Kamu mau?”

“Mau, Om!” potong Yara cepat. Matanya berbinar. “Berapapun Yara terima.”

Elvaro mengangguk. “Bagus. Besok kamu ikut Om ke sana. Siapkan CV aja, formalitas.”

Sorot mata Yara langsung berbinar. Ia bahkan menggenggam tangan Elvaro erat. “Makasih, ya, Om. Om baik banget. Aku janji… aku bakal tunjukin ke Papa kalau aku bukan anak yang gak bisa diandelin.”

Elvaro hanya tersenyum, sebelah tangannya mengusap kepala Yara.

Namun tiba-tiba lampu mati.

Yara yang terkejut spontan memeluk tubuh Elvaro erat-erat. “Om!” serunya dengan suara gemetar.

“Tenang, tenang.” Elvaro menepuk punggung Yara, mencoba menenangkan.

“Papa! Listrik padam!” Teriak Arunika dari kamar.

“Ada senter nggak, Runi? Papa mau cek!” sahut Elvaro, masih membiarkan Yara menempel di dadanya.

“Ada, Pa!”

“Kamu di sana aja! Jangan ke sini, Papa cek sendiri!”

“Ya!”

Napas Yara masih terengah. Ia bahkan makin merapat, wajahnya menempel di dada bidang Elvaro. “Om, aku takut… jangan tinggalin aku sendiri,” bisiknya.

Elvaro sempat terdiam, menepuk ringan bahu kecil yang bergetar itu. “Tapi Om harus cek dulu. Kamu ikut Om kalau gitu.”

Yara cepat mengangguk tanpa melepaskan pelukannya.

Mereka berdiri, Elvaro berjalan perlahan menuju saklar dengan senter ponselnya. Gerakannya agak kaku karena Yara masih bergelayut, tapi ia tak menolak. Yara justru semakin menatap wajah tampan itu dari dekat, lampu ponsel menyoroti garis rahang tegas Elvaro yang serius.

Tak lama, listrik kembali menyala.

Namun Yara tidak menyadarinya, matanya masih terpaku pada wajah Elvaro. Jarak mereka terlalu dekat, detak jantungnya berlari kencang.

Tatapan Elvaro turun pada mata Yara. “Yara?” panggilnya pelan.

Gadis itu tersentak. “Eh… Om.” Ia buru-buru melepaskan diri.

Elvaro hanya mengusap kepala Yara lembut, senyumnya tenang. “Tidak usah takut, lampunya udah nyala.”

Seketika dada Yara terasa hangat, wajahnya merona. Pria itu tidak marah, bahkan menenangkannya.

“Ayo masuk.”

Keduanya kembali ke dalam. Yara berniat mengambil air, tapi tangannya masih bergetar. Detak jantungnya belum juga kembali normal.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 71

    Ruang makan rumah Yara malam itu terasa lebih hangat dari biasanya. Lampu gantung menyala lembut, aroma rendang dan sup hangat menyebar dari dapur, dan suara gelak tawa Deva mengalun pelan dari kursi ujung meja.Yara turun dari lantai dua, sudah berganti pakaian—blouse pastel sederhana dan jeans bersih. Tapi, tangan dan dadanya dingin.Karena tamu yang akan datang bukan tamu sembarangan.Tak lama, suara mobil berhenti di depan rumah.Arunika masuk duluan.“Om, Tante!” serunya ceria. Lalu menyerahkan parcel buah pada Deva.“Pake segala repot-repot,” ucap Deva menerima buah tangan dari Arunika.“Gak repot, kok.”Elvaro berdiri dengan tenang, menerima jabatan tangan Shandy.“Pake bawa buah tangan segala,” ucap Shandy.Elvaro mengedarkan pandangan.Dengan kemeja hitam yang digulung di lengan, aroma parfumnya ikut menyelinap masuk seperti suatu bentuk intimidasi pribadi.Tatapan Yara dan Elvaro beradu sepersekian detik.Cukup.Pusat gempa terjadi di perut Yara.“Pak Elvaro, silakan masuk,”

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 70

    Pagi itu rumah Yara terasa lebih riuh dari biasanya. Meysa sudah sibuk mondar-mandir sambil membawa kamera, sementara Deva berkali-kali mengecek dasinya di cermin. Shandy… sudah siap dari jam enam, padahal wisuda baru mulai jam sembilan.Yara turun dari tangga dengan kebaya pastel lembut yang sudah diperbaiki ukurannya. Bagian dada masih terasa sedikit pres, tapi setidaknya ia bisa bernapas normal sekarang.“Kak Yara, cantik banget,” komentar Meysa sambil memotret tanpa izin.“Udah, ah. Malu,” Yara meringis, merapikan selendangnya.Shandy tersenyum bangga. “Anak Papa makin besar, makin mirip Mamanya.”Ucapan itu membuat Yara terdiam sejenak. Ada rasa hangat sekaligus ngilu di dada, tapi ia tersenyum. “Ayo, Pa. Nanti telat.”Semua bersiap menuju mobil. Yara masih deg-degan. Tangannya terus saling meremas.“Pa, cepetan dikit,” pinta Deva yang justru tidak sabar.“Iya. Sabar, gak bakal macet kok, tenang.”---Area kampus sudah penuh orang. Bunga, boneka beruang, balon, dan pita warna war

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 69

    jalan pulang, Elvaro berubah jadi ABG ngambek—diam, tatapannya lurus ke depan, tangan di setir tapi rahangnya mengeras. Dari samping, Yara melirik, menahan senyum melihat betapa jelas mood swing itu terpampang di wajah kekasihnya sendiri.“Mas… jangan diam gitu dong,” ucap Yara pelan, mencoba menggoyang lengan Elvaro.Elvaro cuma menghela napas pendek. “Kita baru mau mulai yang enak, tiba-tiba Papa kamu telepon.”Yara nyengir kecil. “Namanya juga mau ada acara, Mas. Papa manggil ya harus pulang.”Tak ada respons. Elvaro tetap pura-pura fokus pada jalan, padahal telinganya jelas mendengarkan.Saat mobil berhenti di lampu merah, Yara mengambil kesempatan. Ia bersandar lebih dekat, tangan kecilnya menyentuh rahang Elvaro yang tegang.“Mas,” bisiknya.Elvaro menoleh sedikit, alis terangkat.Yara langsung mencium bibirnya duluan—cepat, lembut, tapi cukup bikin Elvaro terdiam beberapa detik. Saat Yara menjauh lagi, wajahnya memerah.“Biar Mas nggak ngambek,” katanya malu-malu.Elvaro menge

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 68

    Yara bangkit dari sofa, nyaris menjatuhkan minumannya saking gugup. Ia berjalan pelan, seperti orang yang sedang memasuki museum penuh barang mahal yang tidak boleh disentuh.“Mas… ini seriusan milik kamu? Atau kamu cuma… apa ini properti kantor? Atau punya temanmu? Jangan bilang kamu sewa, ya? Mas, jawab dulu!”Elvaro bersandar di sandaran sofa, satu tangan terlipat di dada, ekspresi puas melihat kekasihnya kebingungan setengah mati.“Yara, kalo ini sewa, mas gak bakal hapal sandinya.”Yara melotot. “Kamu Hapal!? Kamu beli!? Mas… kamu BENARAN beli!?”Ia langsung berkeliling ke area ruang tamu, melihat karpet, TV besar yang masih terbungkus plastik setengah, bahkan aromanya masih aroma furniture baru.Langkah Yara memelan ketika ia mencapai area dapur. Dapur itu… mewah.Me-waah.Ada kompor induksi yang mengkilap, kulkas besar dua pintu, dan meja island putih marmer yang membuat Yara ingin menangis karena ini terlalu “kehidupan orang kaya”.“Mas…” suaranya lirih tapi penuh panik, “ini

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 67

    Lift berhenti dengan bunyi ting lembut ketika mencapai lantai 12. Elvaro berjalan lebih dulu, sementara Yara mengikutinya dengan langkah gugup, matanya menelusuri lorong apartemen yang sunyi dan masih berbau cat baru.Jantungnya makin kencang.“Mas… ini lantai berapa sih?” Yara menoleh ke tanda angka digital di dinding.“Dua belas?” gumamnya sendiri.Elvaro tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Yara lebih erat, seolah takut gadis itu kabur ketika mengetahui sesuatu. Yara menelan ludah—semakin tidak paham.Kenapa harus genggam tangan seerat itu?Kenapa semakin dekat mereka ke ujung lorong, langkah Elvaro makin mantap?Dan kenapa Yara merasa seperti sedang dibawa ke plot twist hidupnya?Elvaro berhenti tepat di depan sebuah pintu berwarna hitam matte, sangat berbeda dari pintu-pintu lain yang cenderung biasa saja. Yara memicing curiga.“Mas… ini rumahnya siapa?”Tetap tidak ada jawaban.Yang ada, Elvaro merogoh sakunya, mengambil kartu akses, lalu menempelkan kartu itu ke panel pi

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 66

    Yara duduk di bangku makan, sengaja memilih posisi agak jauh dari Elvaro. Bukan karena benci, tapi karena… ya ampun, dekat dengan pria itu benar-benar bikin deg-degan setengah mati. Bukannya ia takut, lebih ke… takut ketahuan. Sikap Elvaro yang belakangan makin berani itu membuat Yara harus ekstra hati-hati—apalagi ada Arunika di rumah."Papa sama Yara gak lagi ngerencanain sesuatu buat aku, kan?" tanya Arunika sambil menaruh kotak sepatunya di meja. Nada curiganya samar, tapi cukup bikin Yara refleks menoleh cepat.Untungnya, Arunika hanya berpikir mereka sedang merencanakan semacam kejutan atau hal remeh lainnya—bukan mengenai hubungan rahasia mereka. Mendengar itu, Yara merasa seluruh tubuhnya sedikit rileks."Emang kenapa? Ini bukan bulan April," sahut Yara, mencoba terdengar santai sambil menuang air dingin ke dalam gelas."Eh, ya juga…" Arunika menggaruk kepala. "Kebayamu udah dicoba?"Yara mengangguk cepat."Agak kekecilan, terlalu press. Apa lagi di bagian—" Yara berhenti, mel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status