Share

Bab. 7

Author: Layli Dinata
last update Last Updated: 2025-10-01 16:07:29

Yara baru saja selesai mandi, tubuhnya masih terbalut jubah mandi berwarna putih. Rambutnya yang basah digelung asal dengan handuk kecil. Begitu masuk kamar, ia mendengus kesal melihat meja belajar penuh dengan piring dan gelas kotor.

“Arunika…,” gumamnya. Sahabatnya itu jelas biang keroknya. Padahal Yara baru ingin rebahan, tapi mau tak mau ia harus membereskan.

Dengan malas, Yara mengangkut piring dan gelas ke dapur. Rumah sedang sepi, hanya ada dirinya. Elvaro belum pulang dari proyek, dan Arunika entah sudah hilang ke mana bersama Kaivan.

Saat hendak mencuci, Yara meraih botol sabun. “Duh, sabunnya habis,” dengusnya. Ia jongkok, mengambil refill sabun dari lemari bawah wastafel.

Ia menggunting ujung plastiknya, menaruhnya di atas meja. Baru saja ingin menuang, ponselnya berdering.

“Run….” Yara mengangkat sambil menyender santai di kulkas.

“Yar, tolong banget jangan bilang ke Papa kalau aku pergi sama Kai. Kalau ditanya, bilang aja aku lagi ketemu Mega atau dosen pembimbing, gitu.”

Yara mendengus panjang. “Jadi aku harus jadi backup bohongmu lagi, gitu?”

“Ayolah, pleaseee…,” rengek Arunika.

Yara menyeringai, jari telunjuknya mengetuk dagu pura-pura berpikir. “Hmm, ada harga tutup mulut, dong.”

“Ah gampang, kamu mau minta apa juga aku kasih.”

“Deal. Tapi awas kalau bohong.” Yara terkekeh puas, lalu berjalan kembali ke wastafel.

Tangannya mencoba membuka botol sabun yang licin. Karena tak sabaran, ia menyikut bungkusan tanpa sengaja.

BRUK!

Isi sabun tumpah ke lantai, mengalir ke arah kakinya.

“Shiiit! Jatuh!” pekik Yara refleks.

“Apanya yang jatuh?” suara Arunika terdengar panik.

“Sabun liquid refill! Gara-gara kamu nelepon terus, aku jadi nggak fokus!”

“Hehehe, maaf… aku parno soalnya,” Arunika terkekeh.

“Ya udah, aku beresin ini dulu. Ntar kalau Om El nanya, siap-siap aja,” Yara menutup telepon dengan kesal bercampur geli.

Ia meletakkan ponsel di meja, lalu berjongkok mengambil refill sabun yang kini basah kuyup. Matanya menelusuri dapur. “Lap… lap di mana sih?”

Semua lemari ia buka, demi untuk mencari serbet.  "Ah, manalah, ya. nyimpen serbet kaya nyimpen harta karun."

Yara celingukan, kebingungan mencari kain lap. Lantai semakin licin, membuat ia harus berdiri dengan hati-hati.

Tatapannya langsung tertuju pada satu lemari kecil yang tak jauh dari kulkas Yara langsung membuka pintunya. Tumpukan serbet yang masih tersegel tersusun rapi di sana. Ia menggigit ujung plastik, karena kelamaan kalau harus memakai gunting.

 

"Yara?" 

Gadis itu tersentak, hampir menjatuhkan serbet dari tangannya. Apa lagi keadaannya memakai pakaian yang tidak pantas, di depan pria dewasa. "O—om, udah pulang?"

Elvaro hanya mengangguk singkat. Ia melangkah menuju kulkas, mencoba tetap tenang. Yara spontan menyingkir, tapi justru kakinya menginjak lantai licin bekas tumpahan sabun.

"Astaga!" Yara terpeleset.

Refleks, Elvaro meraih tubuhnya. Tapi keseimbangannya juga hilang.

"AAAA!"

Keduanya jatuh menubruk lantai. Yara berada tepat di atas Elvaro, wajah mereka hanya berjarak sehelai rambut.

Elvaro meringis pelan. "Aduh, lututku...."

Sementara Yara terperangah, jantungnya seakan mau copot. Tatapannya bertemu langsung dengan mata tajam Elvaro. Bibir mereka hampir bersentuhan.

"Ma—maaf... Om...," bisiknya dengan wajah panas merona.

Wajah Elvaro menegang. Pandangannya tak sengaja menangkap jubah mandi Yara yang sedikit tersingkap, memamerkan gundukan kulit mulus di bagian atas tubuh gadis itu.

"Ya—Yara…," bisik Elvaro, suaranya serak, penuh tekanan. "Mau sampai kapan kamu ada di atas tubuh saya?"

Yara tersadar, panik luar biasa. Ia buru-buru ingin bangkit, tapi tubuhnya membeku ketika merasakan sesuatu yang keras menyentuh pahanya. Napasnya tercekat. Ia tahu betul benda apa itu.

"Ma—maaf, Om! Aku... aku terpeleset. Sabun refill tumpah," ucap Yara, suaranya terbata, wajahnya merah padam. Tangannya meremas jubah mandinya yang longgar.

Elvaro mengusap tengkuknya yang sakit, berusaha menguasai diri. Ia hanya mengangguk singkat, tak berani menatap gadis itu. "Sudah, kamu... ganti baju dulu. Biar ini Om yang beresin."

Yara kalut. Ia segera membetulkan tali jubahnya yang longgar, lalu berdiri kikuk, meski tadi sempat merasakan nyaman yang luar biasa. "M-maaf, Om…," bisiknya pelan, sebelum buru-buru menghilang ke kamar. Elvaro mengangguk, tak bersuara. Yara berharap, Elvaro tidak akan marah padanya.

Yara berlari menuju kamar. Ia menutup pintunya rapat. jantungnya berdetak tak karuan. mengingat wajah tampan dengan pipi merona. apa lagi, tonjolan yang terasa di pahanya tadi.

"Astaga, Om El ...." Yara menggigit bibir bawahnya. Ia menghela napas perlahan, mencoba menguasai diri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 9

    “Duh, gimana ya? Papa bekuin semua rekeningku. Terus gimana aku bisa kasih hadiah buat Runi?” Yara mondar-mandir di kamar, menggigit ujung kukunya. “Lagian, aku juga gak bisa terus-terusan tinggal di sini. Nanti dikira numpang hidup.”Yara benar-benar gelisah. Ia yang semula berdiri, duduk, lalu berdiri lagi. “Ah, aku pusing, mana belum nemu kerjaan.”Klek.Pintu kamar mandi terbuka. Arunika keluar dengan rambut masih basah, melirik wajah sahabatnya. “Mukamu tegang banget. Kaya ketahuan abis—”“Apaan, sih! Orang kaget doang,” sahut Yara cepat, lalu meraih gelas kosong di meja. “Aku mau ngadem dulu, pening mikirin revisian.”Arunika cuma angguk, menyalakan TV. Sementara itu, Yara terbelalak ketika matanya menangkap sosok Elvaro yang sudah duduk di ruang tengah. Di hadapannya terbentang gambar rancangan gedung, kertas berserakan.“Om… lembur, ya?” Yara memberanikan diri mendekat.Elvaro mengangkat kepala, wajahnya lelah. “Iya. Harus bikin laporan tertulis juga buat proposal. Kamu kan ja

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 8

    "Kamu baru ketemu sama dosen pembimbing, atau kencan sama Kaivan?"Yara yang duduk di ruang tengah menurunkan bukunya, matanya mengintip interaksi ayah dan anak itu. Tadi ia sudah berbohong demi Arunika.Arunika menoleh ke arah Yara, seakan minta dukungan. Yara hanya mengedikkan bahu—tak peduli, seolah bilang ‘urusanmu, bukan urusanku’."Ketemu dosen, Pa. Sama Mega juga. Pulangnya dijemput Kai," jawab Arunika tenang.Elvaro menghela napas, lalu mengacak rambut putrinya asal. "Ya udah, ayo makan."Pemandangan sederhana itu seperti tamparan bagi Yara. Ada rasa iri menyesak di dadanya. Perlakuan hangat seperti itu tak pernah ia rasakan dari papanya sendiri—yang ada hanya tatapan curiga, nada keras, atau prasangka. Tangannya gemetar menutup buku, mencoba menyembunyikan getir yang tiba-tiba menyeruak."Yara, ayo makan!" suara Arunika memecah lamunannya.Yara tersentak. Ia mendongak—dan tanpa sengaja menabrak tatapan mata Elvaro. Lelaki itu menatapnya tenang, datar, seolah kejadian memaluka

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 7

    Yara baru saja selesai mandi, tubuhnya masih terbalut jubah mandi berwarna putih. Rambutnya yang basah digelung asal dengan handuk kecil. Begitu masuk kamar, ia mendengus kesal melihat meja belajar penuh dengan piring dan gelas kotor.“Arunika…,” gumamnya. Sahabatnya itu jelas biang keroknya. Padahal Yara baru ingin rebahan, tapi mau tak mau ia harus membereskan.Dengan malas, Yara mengangkut piring dan gelas ke dapur. Rumah sedang sepi, hanya ada dirinya. Elvaro belum pulang dari proyek, dan Arunika entah sudah hilang ke mana bersama Kaivan.Saat hendak mencuci, Yara meraih botol sabun. “Duh, sabunnya habis,” dengusnya. Ia jongkok, mengambil refill sabun dari lemari bawah wastafel.Ia menggunting ujung plastiknya, menaruhnya di atas meja. Baru saja ingin menuang, ponselnya berdering.“Run….” Yara mengangkat sambil menyender santai di kulkas.“Yar, tolong banget jangan bilang ke Papa kalau aku pergi sama Kai. Kalau ditanya, bilang aja aku lagi ketemu Mega atau dosen pembimbing, gitu.”

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 6

    “Jadi total semuanya, 350 ribu rupiah, Mbak.” Pelayan restoran dengan name tag bertuliskan Sania menyerahkan struk ke Yara.Yara mengangguk sambil menyeruput sisa jus jeruknya. “Boleh pakai kartu, kan?”“Boleh.”Yara mengeluarkan kartu debitnya. Sania langsung menggesekkan ke mesin EDC.Beep. Gagal.“Mbak, nggak bisa,” ucap Sania sambil menyerahkan kembali kartunya.Yara menegakkan duduk, wajahnya memucat. “Kok bisa? Coba yang ini.” Ia buru-buru memberikan kartu lainnya.Namun hasilnya tetap sama.“Maaf, Mbak. Nggak bisa juga. Kalau bisa pakai cash aja, ya?”Mampus!Jantung Yara langsung berdegup kencang. Ia memejamkan mata sebentar, menahan panik. Papa keterlaluan banget! Apa emang maunya bikin aku sengsara begini?Dengan wajah memelas, Yara kembali merogoh tas, mengeluarkan ponselnya. “Sebentar ya, Mbak. Aku telpon orang dulu.”Ekspresi Sania jelas tak nyaman, seolah mencurigai Yara.Tak ada satu pun teman yang mengangkat panggilan. Bahkan Arunika pun tak merespons.“Ya Tuhan… orang

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 5

    Saat memasuki rumah, Yara langsung disambut suara obrolan hangat dari ruang tengah. Meysa, adiknya yang masih SMP, tampak tersenyum ceria. Shandy—ayah mereka—sedang menyuapi Meysa kue, sementara Deva, mama tiri Yara, duduk di samping dengan tatapan penuh kebanggaan. Rupanya mereka tengah merayakan kemenangan Meysa dalam lomba renang. Yara menghentikan langkah. Dadanya sesak, perasaan muak menyeruak. Ia memilih ingin langsung naik ke kamar, namun suara Meysa memanggilnya. “Kak Yara!” seru Meysa riang. Yara menoleh malas. Deva menatapnya dengan senyum tipis—senyum yang lebih mirip ejekan. Sedangkan Shandy sudah menatap Yara dengan sorot tajam, penuh intimidasi. “Kakak, aku baru menang. Sini, kita rayakan!” ajak Meysa polos. Yara menarik napas panjang, menahan gejolak dalam dirinya. “Makasih. Aku mau istirahat, capek.” “Yara, adikmu sedang senang. Kamu tidak mau menghormati? Kakak macam apa kamu?” suara Shandy meninggi, seolah siap meledak kapan saja. Deva meraih lengan suaminya d

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 4

    Hari ini Yara dan Arunika akan ke kampus. Yara yang sudah rapi lebih dulu, duduk di meja makan.Sementara itu, Arunika masih sibuk telponan dengan Kaivan. Kadang hal seperti ini membuat Yara iri—seakan dunianya Arunika hanya berputar di sekitar Kaivan.“Pagi, Om,” sapa Yara dengan wajah kusut, lalu duduk.“Pagi. Kok muka kamu kusut gitu pagi-pagi?” Elvaro mengernyit, menatapnya.Yara menoleh, menghela napas. “Sebenarnya aku males ngampus, Om. Males ketemu Lionel.”“Jangan terlalu dipikirin, Yara. Cowok brengsek kayak gitu nggak pantas kamu sesali. Masih banyak kok cowok baik di dunia ini.”Senyum kecil akhirnya muncul di bibir Yara ketika Elvaro mengusap punggung tangannya dengan lembut. “Apalagi kalau kaya Om El, ya, Om.”Elvaro sontak terdiam, tersentak oleh ucapannya. Tapi anehnya, ada rasa hangat yang menjalari dadanya.“Ya udah, sampai ketemu di kampus, sayang.” Suara Arunika yang baru saja selesai telpon terdengar makin dekat. Seketika Elvaro buru-buru menarik tangannya, pura-pu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status