LOGINElvaro menggenggam tangan Yara erat begitu mereka melangkah masuk ke dalam rumah sakit. Suasana khas rumah sakit langsung menyergap—bau antiseptik, suara roda ranjang yang berderit, langkah cepat perawat, dan panggilan nama pasien dari kejauhan. Namun kali ini, Yara tidak lagi merasa sekecil dan setakut sebelumnya. Ada tangan Elvaro yang tak melepaskan, ada kehadiran yang membuat napasnya lebih teratur.Mereka menuju kamar rawat Shandy.Di depan pintu, Elvaro berhenti sejenak. Ia menoleh pada Yara, menangkup pipi gadis itu dengan kedua tangannya. Tatapannya lembut, penuh keyakinan.“Kalau capek atau gak kuat, bilang. Jangan dipaksain,” ucap Elvaro rendah.Yara mengangguk. “Aku kuat. Aku mau ketemu Papa.”Elvaro tersenyum kecil, lalu mengetuk pintu dan mendorongnya perlahan.Di dalam, Shandy terbaring dengan infus terpasang. Wajahnya masih pucat, tapi matanya langsung berbinar begitu melihat Yara. Deva yang duduk di samping ranjang ikut menoleh, senyumnya mengembang lega. Meysa yang s
Yara dan Elvaro sudah siap pergi. Yara mengenakan dress sederhana berwarna lembut, rambutnya dibiarkan tergerai rapi, wajahnya masih pucat tapi jauh lebih tenang. Elvaro berdiri di dekat pintu, merapikan jam tangannya sembari memastikan Yara membawa jaket dan air minum. Tatapannya sesekali jatuh pada Yara—bukan tatapan cemas seperti kemarin-kemarin, melainkan penuh tekad.Elvaro mengeluarkan ponselnya lalu menelepon Arunika. Nada sambung terdengar beberapa detik sebelum akhirnya diangkat.“Run,” sapa Elvaro. “Papa sama Yara mau ke rumah sakit sekarang.”Di seberang sana, suara Arunika terdengar lebih stabil dibanding kemarin. “Iya, Pa. Aku lagi sama Kaivan. Kami nyusul ya. Sebentar lagi juga sampai.”“Baik. Jangan ngebut,” pesan Elvaro singkat, tapi nadanya hangat.“Iya, Pa,” jawab Arunika. “Titip Yara dulu.”Elvaro tersenyum kecil sebelum menutup telepon. Ia menoleh ke Yara yang sejak tadi memperhatikan dengan perasaan campur aduk—haru, canggung, sekaligus lega. Ada sesuatu yang beru
Pergulatan itu membuat Elvaro meluapkan segala kerinduannya. Meski begitu, ia tetap berhati-hati. Tidak ingin melukai buah hatinya di dalam perut.Begitu juga Yara, kerinduannya seolah terbayar lunas. Ia mengerang dengan keras setiap kali Elvaro menghentak miliknya, cukup dalam. Tangannya meraba perut prianya yang keras.“Sayang, kamu masih sama. Sempit,” rancau Elvaro, merass miliknya diurut begitu ketat.“Ah, Mas … aku ingin keluar!” pekik Yara, saat tubuhnya mengejan. Elvaro mengerang, kedutan itu membuatnya bergetar, tak lama Ekvari menyusul. Keduanya terengah merasakan sisa pelepasan.“Hah hah hah,tidurlah, Sayang,’” bisik Elvaro. Yara tak menjawab. Ia sudah terlebih dahulu tepar. Tenaganya seolah terkuras habis.Elvaro mengecup singkat bibir Yara, dan menyelimuti tubuh mereka dengan selimut.***Keesokan paginya, Yara terbangun perlahan karena aroma butter yang hangat—lembut, menenangkan. Matanya masih berat ketika ia menarik selimut agar menutup tubuhnya dengan rapi. Cahaya pag
Apartemen Elvaro menyambut mereka dengan sunyi. Lampu-lampu kota terlihat dari balik jendela besar, berkilau seperti saksi bisu pertemuan yang akhirnya utuh kembali.Begitu pintu tertutup, Elvaro berhenti melangkah. Ia menoleh, menatap Yara seolah takut jika ia berkedip, perempuan itu akan menghilang lagi.Yara tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca.“Kamu kenapa lihat aku kayak gitu?”Elvaro mendekat perlahan. Tangannya terangkat, menyentuh pipi Yara dengan hati-hati, seakan ia rapuh.“Aku takut,” jawabnya jujur. “Takut ini cuma mimpi. Takut kamu pergi lagi.”Yara menggeleng. Ia menempelkan telapak tangannya di dada Elvaro, merasakan detak jantung yang berdegup kencang.“Aku di sini. Aku gak ke mana-mana.”Kalimat itu seolah memutus sisa pertahanan Elvaro. Ia memeluk Yara erat, bukan pelukan yang menuntut, melainkan pelukan orang yang akhirnya pulang setelah tersesat terlalu jauh. Bahunya bergetar pelan.“Aku kehilangan kamu rasanya setengah mati,” bisiknya serak.Yara membalas peluka
Yara duduk diam di bangku penumpang. Lampu-lampu rumah sakit memantul di kaca mobil, sementara mesin belum juga dinyalakan. Suasana di dalam mobil terasa hening, tapi bukan hening yang canggung, lebih seperti jeda panjang setelah badai.Elvaro belum menghidupkan mesin. Tangannya justru meraih tangan Yara lebih dulu. Hangat, kokoh, seolah menambatkannya agar tak lagi hanyut.Elvaro menoleh, menatap Yara dalam-dalam.“Yar,” ucapnya pelan tapi tegas, “janji sama aku.”Yara ikut menoleh.“Mulai sekarang, apa pun yang kqmu rasakan dan alami, omongin. Takut, marah, ragu, bahkan kalau kamu ngerasa dunia lagi berat banget, jangan kamu tanggung sendiri.” Ibu jarinya mengusap punggung tangan Yara pelan. “Aku di sini bukan cuma buat nemenin senengnya kamu.”Napas Yara bergetar. Matanya berkaca-kaca. “Iya,” jawabnya lirih, mengangguk. “Aku minta maaf, Mas. Aku terlalu takut sama isi kepalaku sendiri. Takut ngerepotin. Takut bikin semua orang kecewa.” Suaranya pecah di kata terakhir.Elvaro menghe
Elvaro berlari menyusuri lorong rumah sakit.Langkahnya tergesa, napasnya memburu, matanya menyapu setiap pintu kamar rawat seolah takut terlambat sedetik saja. Dadanya berdegup keras, bukan karena lelah, tapi karena bayangan terburuk yang terus berputar di kepalanya, tentang Shandy, tentang Yara, tentang bayi yang kini menjadi denyut hidupnya.Begitu Arunika mengabari bahwa Yara telah pulang, Elvaro tak berpikir dua kali. Ia langsung menuju rumah sakit, bahkan nyaris lupa mengencangkan jaketnya.Akhirnya, ia berhenti di depan satu pintu. Kamar rawat Shandy. Elvaro mendorong pintu itu perlahan. Di dalam, semuanya lengkap.Shandy terbaring di ranjang, wajahnya masih pucat tapi jauh lebih tenang. Deva duduk setia di sisinya. Arunika berdiri tak jauh dari ranjang, sementara Kaivan memeluk bahunya dengan protektif. Meysa—adik Yara—duduk di sudut ruangan, matanya sembab. Dan di sana, Yara.Yara berdiri di sisi ranjang papanya.Untuk sesaat, dunia Elvaro berhenti.Tatapannya langsung jatuh







