Semula, Arya tak ingin melakukan apa-apa selain memejamkan mata dan terlelap di sebelah Alisha. Namun entah setan dari mana yang datang dan menarik tangannya hingga tergoda untuk memeluk Alisha dari belakang dan menemukan kehangatan yang begitu nyata di sana. Semua gara-gara Rakha yang seenak jidatnya saja membawa Marissa tidur di kamar yang awalnya ia tempati dengan sahabatnya itu. Arya tak mau digulung dingin sepanjang malam, jadi ya … tentu saja ia memilih tidur di kamar Alisha yang masih luas dari pada harus pegal-pegal jika tidur di sofa.
“Ma- Mas…”
Seharusnya, suara Alisha terdengar biasa saja kan? tapi berkat konspirasi di antara teriakan setan di kepala Arya, bercampur dengan udara dingin, temaram ruangan, juga tubuh yang mendadak butuh kehangatan, suara Alisha yang seharusnya biasa saja itu mendadak menjadi godaan terbesar yang membuat pemuda itu gelisah.
“Kamu kok di sini sih, Mas?” Alisha berbalik sehingga posisinya terlentang. Matanya yang masih sayu karena mengantuk justru terlihat memukau dan dengna cepat menghipnotis Arya.
Terkejut dengan pergerakan Alisha, Arya menarik tangannya yang tadi melingkari tubuh kekasihnya. “Sorry ya, jadi ganggu tidur kamu. Tapi Rakha bawa Marissa ke kamar kami, jadi yaa … aku butuh tempat lain untuk istirahat malam ini.” Arya tak asal beralasan, dia memang mengatakan yang sebenarnya terjadi.
“Hmm, boleh kan aku tidur di sini malam ini aja?” tanya Arya dengan suara sedikit bergetar. “Kamu nggak mungkin tega kan nyuruh aku tidur di sofa depan?”
Masih dalam keadaan pening karena terbangun tiba-tiba, Alisa memaksakan senyumnya. “Ini kan villamu, Mas. Terserah Mas Arya sih mau tidur di mana,” jawabnya lalu kembali memejamkan mata.
“Buruan tidur lagi gih, udah malem banget ini.” Arya menarik selimut lebar yang ada di batas lutut hingga menutupi batas leher kekasihnya. Mencegah Alisha dari sergapan udara yang semakin malam semakin dingin.
“Hmm, Mas juga buruan tidur gih, besok kan kita harus bangun pagi banget kalau mau keliling ke kebun teh.”
Entah karena Alisha masih belum sepenuhnya terjaga atau menganggap sosok Arya yang di depannya saat ini hanya pantulan mimpi semata. Karena ia seakan tak peduli kalau sekarang ia justru meringkuk ke arah yang salah. Bukannya membelakangi Arya, Alisha justru dengan berani menghadap Arya dan mendekatkan wajahnya ke dada sang kekasih. Meringkuk kedinginan bak seorang bayi mungil yang mencari kehangatan ibunya.
“Sha,” lirih Arya mendadak kaku saat Alisha yang masih menutup mata kian mendesak tubuhnya semakin rapat.
“Hmm ….”Gadis itu bahkan hanya bergumam pelan.
“Ka- ka- kamu kedinginan, Sha?” Arya menelan ludah susah payah. Gadis dalam dekapannya ini sungguh menjadi cobaan yang sangat nyata.
“Hu umm, villa di puncak gini harusnya punya penghangat ruangan.” Kalimat Alisha lebih terdengar seperti seseorang yang sedang mengigau. Apalagi jika melihat wajah polosnya ketika tidur seperti ini.
Arya terkekeh pelan karena gemas dengan kelakuan Alisha yang baru kali ini ia lihat secara langsung. “Mau dibikin hangat nih ceritanya?”
“Huu umm,” Alisha mengangguk pelan masih setia merapatkan kelopak mata. “Ambilin selimut lagi, Mas.”
“Ngapain pake selimut lagi, pake yang lain.” Arya memberanikan diri mengusap punggung Alisha naik turun beraturan. Gerakan sederhana yang justru dengan cepat mengambil alih hasrat yang sedari tadi ia tekan kuat-kuat.
“Hmmm, terserah,” gumam Alisha terdengar tak begitu jelas di telinga Arya.
Namun anggukan pelan gadis itu diartikan sebagai persetujuan oleh pria di depannya. Hingga hanya dalam hitungan detik, Arya menundukkan wajah hingga sangat dekat dengan wajah polos kekasihnya. Pun lengan kekarnya kini semakin menarik tubuh Alisha agar semakin erat padanya. Arya sadar apa yang ia inginkan adalah langkah awal menuju kenkmatan sesaat yang berujung dosa. Namun apa dikata, iblis dalam kepalanya mulai menebar racun, racun yang bisa saja membuat Arya gila jika tak melanjutkan hasrat terlarangnya.
Dengan hati-hati ia belai pipi halus sang kekasih. Membuat pipi mulus itu mengeluarkan semburat merah muda yang kian menggoda.
“Mas,” lenguh Alisha mulai terlena. Gadis itu berpikir ini hanya bunga tidur semata, karena Arya sangat jarang memeluknya begitu erat sampai-sampai ia merasakan gelenyar aneh seperti ini.
“Boleh ya, Sha? Ak- ak- aku, pasti tanggung jawab kok, ujung hubungan kita pasti akan menikah kan? Ka- ka- kamu nggak perlu cemas ya…” Pria dan segala janji buayanya. Seharusnya Alisha harus terjaga sepenuhnya dan mulai waspada. Bukan malah mengangguk lagi dan memberi celah pada godaan hasrat yang kini mulai memeluk keduanya hingga tak kuasa mengelak penyatuan yang membelenggu mereka.
“Sakit, Sha?” tanya Arya dengan napas putus-putus. Pemuda itu dilanda cemas tatkala melihat Alisha yang meringis di bawah naungannya.
“Eng- enggak, Mas.” Alisha sempat terbelak untuk beberapa detik ketika benda asing memasukinya dengan hentakan pelan. Namun sejurus kemudia ia menitikkan air mata, karena tersadar mudah menyerah hingga terjerat dosa. Tangis lirihnya tak bisa ia artikan entah untuk kesakitan atau penyesalan tiada guna. Atau bisa jadi, Alisha memang menangisi keduanya, juga merutuki keputusan dangkal yang mudah luluh dengan rayuan kekasih pujaannya.
“Aku akan tanggung jawab, Sha. Percaya ya,” bisik Arya di sela-sela amukan gairah. Janji sebatas janji yang hanya terucap di atas nafsu birahi. Janji yang nyatanya tak bisa ia penuhi di beberapa waktu setelah kejadian yang sempat ia anggap mimpi ini.
***
“Mas, semalam itu…” Alisha menggigiti bibir bawahnya salah tingkah ketika terbangun di pagi hari. Kejadian semalam itu bukanlah mimpi. Karena nyeri yang menyerang bagian bawah tubuhnya terasa begitu nyata hingga ia tak berani bergerak kemana-mana selain bersandar di sandaran ranjang dengan Arya yang ada di sampingnya.
“Maaf, Sha. Semalam … aku berengsek banget ya, aku salah karena nggak bisa nahan diri.” Arya menoleh pada sang kekasih yang kini menunduk dalam sambil menautkan jemari lentiknya. “Ka- kamu … hmmm, kamu nggak sedang masa subur kan?”
Pertanyaan macam apa itu? Alisha bingung harus menanggapi bagaimana.
“Semalam itu aku yang salah, tapi … kita sama-sama terbawa suasana. Jadi…” Arya menggantung kalimatnya lalu menggenggam telapak tangan Alisha yang terasa dingin di kulitnya.
Alisha menegakkan pandangan lalu mengangguk cepat. “Ak- aku nggak tau, sedang masa subur atau enggak. Karena jadwal bulananku nggak pernah rutin, Mas,” jawabnya tanpa pikir panjang. Padahal dalam hati kecilnya ia paham ke arah mana pertanyaan itu dilontarkan Arya.
“Hmm, semalam itu aku juga ikut salah, Mas.” Alisha kembali menambahkan. “Andai aku sedikit berkeras, seharusnya aku masih bisa menjaga apa yang seharunya aku jaga sebagai seorang perempuan baik-baik.”
Arya menggeleng pelan. Hatinya mencelos melihat raut wajah ketakutan bercampur khawatir yang ditampilkan kekasihnya. “Kamu perempuan baik-baik, Sha. Kamu perempuan baik-baik,” serunya memeluk Alisha. Ia tak ingin Alisha merasak dirinyalah yang paling bersalah.
“Maafin aku ya, aku yang salah, aku yang berengsek!” Arya memohon setulus hati. “Aku janji hal ini nggak akan terulang lagi. Aku janji, nggak akan menempatkan kamu di situasi serba salah seperti ini lagi, Sha. Please jangan nangis.”
“Aku takut, Mas.” Alisha mencoba sekuat tenaga menahan isak tangisnya. “Ak- aku udah ngecewaian ayah sama Mas Angga, juga … mendiang bunda.” Tangis pilunya justru semakin menjadi tatkala bayangan keluarga tercinta lewat di benaknya.
Pasti ayahnya terpukul jika mengetahui anak gadis kesayangannya lalai menjaga diri. Airlangga pasti akan kecewa jika mengetahui adik tersayangnya tak kuasa menolak rayuan kekasihnya. Mendiang bundanya pasti akan menangis juga melihat kelakuannya dari atas sana. Astaga … tangis Alisha semakin menjadi saja. Lalu setelahnya air matanya habis ia bisa apa? Tidak ada. Karena semua yang sudah terkoyak tak bisa dikembalikan seperti semula.
***
Arya baru sadar, mungkin ini adalah arti dari firasat yang ia rasakan beberapa minggu yang lalu. Hatinya bergejolaknya tak biasa hingga berhasil memaksa raganya untuk terbang puluhan kilometer demi kembali ke tanah air. Memang sebuah kejutan yang ia dapat, tapi tentu saja bukan kejutan yang membuat nikmat. Sebaliknya, kejutan yang ia dapat nyaris membuatnya menjemput maut karena sekarat.Arya sadar ia telah berbuat salah. Namun ia juga tak menyangka hukuman yang ia terima akan semenyakitkan ini. Sang mama jatuh pingsan, lalu histeris dan memukulinya begitu sadar. Belum lagi sekarang ia menghadapi kemurkaan Irawan, sang kakak yang ia kira akan lebih bijak karena lebih penyabar, tapi nyatanya justru kalap hingga membuatnya babak belur akibat bogem mentahnya.Bughh…“Pukulan itu buat mama yang sampe sekarang masih histeris di dalam sana!” Bughh…“Yang satu itu buat papa yang sekarang pasti cemas karena harus mendadak pulang dari kantor setelah di telpon mama. Bisa elo bayangin nggak kal
Hanya berselang tiga puluh menit dari Evi, Alisha menyusul keluar. Tak langsung menuju ke aula, tapi ia sengaja berbelok ke ruang kesenian untuk membantu rekannya membawa map serta piala untuk para pemenang lomba."Mana yang lain, Mbak, kok sendirian?" Alisha tersenyum saat masuk ke ruangan."Yuna sama Esti barusan udah ke aula bawa sebagian piala. Tinggal kita berdua aja ini, Sha," seru Desi, salah satu rekan pengajar yang mengajar Bahasa Indonesia. "Ayo langsung aja, kamu bawa itu aja ya, yang nggak terlalu berat."Desi mengulurkan dua map yang berisi piagam untuk para pemenang."Oke, Mbak." Alisha menoleh ke samping lantas mengambil tumpukan map yang dimaksud Sesi. Tak terlalu berat ternyata."Bisa, Sha?"Alisha mengangguk yakin. "Aman, Mbak. Yuk, kita gass," jawab Alisha tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya yang rapi. Kadang dirinya heran kenapa banyak orang yang menganggap ibu hamil tak bisa melakukan hal-hal wajar yang biasa saja. Padahal menurutnya hamil bukanlah
"Adek ... kamu nanti yang anteng di sana ya? nggak usah klonjotan kayak kemarin malam deh,"Alisha sedang sendirian di kamarnya, namun kalimat tadi sengaja ia tujukan pada janin yang semakin membesar di dalam perutnya. Alisha sering mengajak bayinya berbicara seperti saat ini, meski tak ada respon, Alisha tetap melakukannya secara rutin untuk memperkuat ikatan batinnya dengan sang bayi."Kamu kan udah kenyang tuh, tadi pagi mami kasih makan soto daging sama gado-gado sama jus tomat, nah ... sekarang tidur aja kamu ya, soalnya mami nanti naik ke panggung buat perkenalan guru baru sekalian jadi guru pendampingnya pemenang lomba," sambung Alisha lagi kini mengusap perutnya yang makin bulat sempurna di usia kehamilan sembilan bulan.Meramaikan hari jadi yayasan Kasih Semesta, panitia menyelenggarakan berbagai kegiatan. Termasuk salah satunya lomba melukis. Beruntungnya salah satu siswa kelas VII yang diajar langsung oleh Alisha mendapatkan juara pertama. Karena itulah nantinya Alisha akan
"Sha, apa kamu berniat menyembunyikan kehamilanmu terus-menerus seperti ini dari keluargamu?"Alisha yang sedang mengaduk susu khusus ibu hamil menghentikan gerakannya. Tak langsung menjawab, perempuan cantik itu beralih dari dapur lalu duduk di sebelah Iin yang pagi ini mampir ke kamarnya. Yayasan akan mengadakan acara ulang tahun bulan depan karena itu Iin dan sang suami lebih sering berkunjung. Apalagi hari ini dijadwalkan rapat untuk hari besar tersebut."Andai bisa seperti itu, Kak," jawab Alisha terdengar sedih. "Ayahku orangnya keras. Bisa habis aku dihajar beliau kalau sampai tahu keadaanku mendadak yang hamil besar gini.""Tapi kata Danesh ayah kamu baik?" Iin tak mengelak waktu Alisha bertanya tentang keterlibatannya menyuruh Danesh menjemput dan mengantar dirinya ke Banten sekitar tiga bulanan lalu. Iin bahkan terang-terangan meminta Danesh menjaga Alisha dengan baik selama perjalanan, mengingat kondisinya yang tengah hamil."Waktu aku pulang kan, ayah dalam masa pemulihan.
"Sudah sebesar ini ya ternyata." Arya menarik satu sudut bibirnya ke atas saat mengamati lembar demi lembar hasil jepretan yang diberikan Yoshi.Alisha, itulah yang sosok yang tengah diamati saat ini. Yoshi sedang ia panggil ke New York karena Arya butuh asisten ketika esok hari mendampingi Irawan ikut meeting pertama dengan Mr. Yacob yang akan membahas proyek terbaru dengan Galeea. Arya yabg dianggap masih anak bawang tak dilepaskan begitu saja untuk maju sendirian. Karena itulah sang ayah mengirim Irawan sebagai perwakilannya sekaligus memberi arahan secara langsung pada sang adik bagaimana harus bersikap saat menghadapi investor kelas kakap seperti Mr. Yacob.“Iya, Mas. Kalau nggak salah usia kandungannya sekitar … hmmm….” Yoshi memejamkan mata untuk sekedar menghitung cepa dalam benaknya.“Hampir tujuh bulan,” potong Arya dengan cepat. Memang ia tak tahu persis dengan hitungan kehamilan kekasihnya. Namun jika mengingat kakak iparnya yang baru saja menggelar acara tujuh bulanan, Ar
Alisha mengatupkan bibir dengan tanggapan kakak iparnya. “Hmm … ya gitu deh, Kak. Banyak makanan enak, bikin aku makin tembem.”Tangisan balita Erin dari arah kamar membuat Alisha bernapas lega. Setidaknya ia bisa bebas dari perbincangan tentang betapa berisi badannnya kini. Erin yang Alisha kenal adalah seseorang yang sangat peka dan teliti, karena itulah Alisha sedikit khawatir ibu muda itu menyadari perubahan bentuk tubuhnya yang tak biasa. “Pagi, Mas Danesh?” sapa Alisha tersenyum tipis saat melihat pria itu berbincang dengan ayahnya.Danesh mengangguk singkat, tatapannya berhenti untuk beberapa saat pada perut Alisha yang terlihat aneh menurutnya. “Pagi…” serunya menggantung karena tatapannya masih di tempat yang sama.Alisha yang sadar dengan tatapan heran dari Danesh segera menutupi perutnya dengan tas selempang yang ia bawa. “Maaf ngerepotin lagi, Mas,” ujar Alisha basa-basi.Danesh mengangkat kedua tangannya ke udara. “No prob, aku nggak repot sama sekali.”"Yah, aku langsu