“Kalian berdua kenapa sih?” Marissa mengernyit keheranan saat menatap sepasang kekasih yang saling diam di hadapannya. “Kenapa tiba-tiba batal ikut ke kebun teh?” sambung perempuan cantik berkacamata itu.
“Kalian berantem ya semalam?” Rakha ikut menimpali setelah menghabiskan cokelat panasnya.
“Arya kasar kali semalem? jadi Alisha trauma,” Ronald, sahabat Arya yang lain ikut menimpali.
Sialan!! Arya melirik tajam pada pemuda berambut ikal tersebut.
“Mulut lo sampah, Ron!” maki Arya mendelik sambil tajam.
Beralih melarikan tatapan pada Alisha yang menunduk hendak membuang muka. Wajah gadis itu kian memerah, bukan karena tersipu, namun merasa malu dengan apa yang sudah ia lalui dengan kekasihnya beberapa jam lalu. Arya menggerakkan telapak tangannya untuk meraih jemari Alisha. Di bawah meja makan, Arya sengaja menggenggam jemari dingin itu sambil mengusap perlahan. Mencoba memberi ketenangan, meski jelas-jelas ia sendiri yang menciptakan gelsah di raut wajah Alisha.
“Alisha mendadak nggak enak badan aja, makanya kita berdua nggak jadi ikut kalian ke kebun teh.” Arya memaksakan senyum saat menoleh pada kekasihnya yang memasang wajah kaku.
“Kamu sakit, Sha?” Marissa refleks meletakkan punggung tangannya di kening Alisha. “Tapi nggak panas tuh badannya.”
“Aku lagi meriang aja, Kak, nggak parah kok,” Alisha memilih mengikuti drama yang diciptakan kekasihnya. Jangan sampai teman-temannya tahu kalau semalam sudah terjadi hal yang tak semestinya di antara dirinya dengan Arya.
"Makanya aku mau balik aja, kayaknya badanku aku nggak cocok sama udara dingin di puncak gini," sambung Alisha sekilas melirik ke sampingnya. Di mana Arya juga ternyata masih menatap padanya.
"Balik ke apartemen sendirian maksudnya?" tanya Marissa memastikan.
"Iy—"
"Ya sama gue lah, Mar. Berangkat sama gue, balik juga harus sama gue," potong Arya cepat-cepat. Pemuda itu tak mengetahui rencana Alisha untuk kembali ke Jakarta secepat ini. Karena sebelumnya mereka berencana akan kembali dua hari lagi. Tapi kalaupun demikian, tetap saja Alisha tak boleh kembali seorang diri.
"Kalian kalau mau keliling kebun teh, pergi duluan aja. Terus, kalau mau pake villa ini lebih lama juga silakan, jangan sok ngerasa nggak enak karena nggak ada gue."
Arya memaksakan senyum di depan sahabat-sahabatnya. Padahal dalam hati, ia tetap saja cemas dan hilang arah setelah kejadian semalam. Dirinya juga tak ingin membuat Alisha semakin kacau perasaannya. Saat Alisha menoleh, Arya hanya bisa memasang senyum tenang seolah memberi pesan bahwa semuanya baik-baik saja.
"Tapi beneran deh, gue masih ngerasa kayak ada yang aneh gitu sama kalian berdua pagi ini. Kalian nggak lagi perang dingin atau berencana putus kan?" tanya Marissa sambil menyedok nasi goreng di depannya.
Bukan perang dingjn, tapi perang batin. Teriak Arya dalam hatinya.
"Heh, doa lo jahat banget sih, Marimar? malah doain kita putus." Arya mengeratkan genggaman tangannya di bawah meja. Seraya sesekali melirik ke arah Alisha. Memastikan kalau kekasihnya itu tak bersikap canggung yang bisa menimbulkan curiga.
Berhasil mengelak interogasi dari teman-temannya, Arya dan Alisha akhirnya bisa bernapas lega begitu Marissa dan yang lainnya berangkat beriringan menuju kebun teh milik keluarganya. Suasana syahdu di kebun teh sepagi ini memang selalu menjadi incaran banyak wisatawan. Karena itu pulalah sang mama merengek tak mau diam saat meminta dibangunkan sebuah villa keluarga di puncak.
Ah, mengingat sang mama, hati Arya mendadak menciut tak punya kuasa. Kira-kira bagaimana respon perempuan kesayangannya itu jika tahu dirinya sudah menodai kesucian seorang gadis yang seharusnya ia jaga. Padahal sudah ratusan kali Hanami dan Adiyatma, ayahnya, mengingatkan untuk selalu menjunjung tinggi kehormatan wanita.
"Jadi ngantar aku pulang kan, Mas?" tanya Alisha membuat Arya yang sedang menunggu di ruang tamu terkesiap.
"Udah selesai siap-siapnya?" Arya hanya berbasa-basi agar ia dan Alisha tetap lancar menjaga komunikasi.
"Udah. Cuma bawa dikit kok," jawab Alisha melirik sekilas pada tas ransel yang ia tenteng di tangan kanan. Bawaannya memang tak seberapa, hanya beberapa baju ganti, make up seadanya, ponsel beserta power bank dan sepasang sepatu kets yang selalu ia pakai kemana-mana.
Tanpa menunggu perintah, Arya langsung membawakan ransel milik Alisha. Ia bawakan sampai mobil yang sudah siap menunggu mereka di depan villa.
"Yos, biar gue aja yang nyetir, elo bawa motor. Nggak perlu ikutin lagi, gue mau ke apartemen Alisha doang," seru Arya ia tujukan pada Yoshi, asistennya. Pria tinggi tegap itu langsung menangguk dan menyerahkan kunci mobil pada Arya tanpa diminta.
Sepasang kekasih itu lebih banyak diam selama perjalanan. Pertanyaan-pertanyaan sepele lebih banyak keluar dari mulut Arya yang disambut dengan jawaban singkat dari perempuan cantik di sebelahnya.
"Sha, yang semalam itu.. hmm," Arya menggenggam tangan Alisha begitu ia menghentikan mobil di basement apartment. "Apapun yang terjadi setelah itu, kamu harus yakin kalau aku akan tanggung jawab penuh ya?"
Alisha menunduk, menatap punggung tangannya yang diusap pelan oleh Arya. Tak punya jawaban lain, jadi Alisha mengangguk saja sambil menarik segaris senyum di wajahnya. Gadis itu sangat menyayangi Arya, pemuda tampan yang dulu ia kagumi diam-diam kini sudah menjadi kekasihnya. Lalu butuh apa lagi selain mempercayainya sepenuh hati?
"Aku yakin, Mas." Alisha mengangguk lagi untuk mengukuhkan hatinya. Arya yang ia kenal adalah pria baik dan bertanggung jawab. Jadi ia tak perlu khawatir apa-apa lagi.
"Hmm, kalau boleh ... kita jangan bahas yang semalam lagi ya? aku masih nggak nyaman kalau ingat kesalahan itu," pinta Alisha masih tak bisa menyembunyikan raut kecewanya. Kecewa pada dirinya sendiri, juga ada hubungannya dengan Arya yang ternyata tak bisa menjaga diri sebelum waktunya tiba.
"Maaf," lirih Arya menarik Alisha dalam pelukannya.
"Jangan bilang maaf, maaf, terus. Kan bukan hanya Mas Arya yang salah, tapi ada andilku juga. Kita sama-sama salah." Alisha mendorong dada Arya pelan.
Arya tertular senyum saat melihat wajah cemberut kekasihnya. "Iya, iya. Kita perbaiki sama-sama ya? jangan sedih lagi dong."
Kedua manusia yang saling jatuh cinta itu kembali seperti semula. Sama-sama memupuk cinta, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Arya setiap hari masih mengantar dan menjemput Alisha ke kampus. Pun demikian dengan Alisha yang sering menghabiskan waktu menemani Arya di sela-sela kesibukannya menyiapkan proposal skripsi.
"Emang nggak pusing gitu tiap hari gambar terus?" Arya sengaja merebahkan kepalanya ke pundak Alisha saat gadis itu sedang fokus menggambar rancangan yang akan ia jadikan karya utama untuk proyek tugas akhirnya.
Alisha terkekeh sekilas. "Jujur pusing sih, tapi udah jadi passion aku. Meskipun awalnya pusing, capek, stuck, tapi aku happy banget, Mas."
"Aku bantuin ngerjain aja gimana? aku beneran nggak tega lihat kamu pusing, apalagi sampe cemberut-cemberut gitu," seru Arya kini merebahkan kepala pada siku lantas menatap kekasihnya dari dekat.
"Bantuin gimana? Mas Arya kan jurusan bisnis bukan jurusan desain," cibir Alisha mencebik.
"Aku punya banyak kenalan desainer ternama. Biar mereka aja yang gambar, mereka yang kerjain juga. Tapi semuanya pake nama kamu, gimana? aku yang bayar deh," tawar Arya semakin percaya diri. Uang dan kekuasaam memang kadang bisa membuat orang lupa daratan.
"Iya, Mas, percaya. Kalau dilihat dari latar belakang keluarga Mas Arya sih, pasti nggak akan susah meskipun harus nyuruh desainer top tanah air." Alisha terkekeh samar. "Tapi kalau pakai cara curang gitu, kapan bakatku terasah coba? masa maunya instan? percuma dong belajar tiap hari.”
"Duuh, iya deh si paling demen belajar." Arya gemas, jadi ia acak saja rambut sebahu Alisha yang tadinya dikuncir tinggi.
"Mas pesen makanan lagi yukk, gambar terus bikin aku cepet laper." Alisha yang sedari tadi menghabiskan waktu di salah working space di dekat kampusnya langsung menarik buku menu di dekat Arya.
"Bukannya tadi udah habis salah buah dua porsi ya?" Arya terkekeh saat mencoba menahan buku menu di tangannya.
"Salad buah doang mana kenyang sih, Mas."
"Tapi sebelumnya udah makan siomay juga hayo," seru Arya lagi-lagi menggoda.
"Belum kena nasi mana kenyang sih," rengek Alisha lagi mencoba menarik menu di tangan kekasihnya.
"Ya udah nih ... nih, pesen yang banyak. Pasti kamu makin gemesin kalau sedikit gendut." Gelak tawa Arya pecah saat mencubit pipi Alisha dan membuat gadis itu manyun.
"Ih, aku nggak mau gendut."
"Gemoy aja kalau gitu." Arya tersenyum lebar lantas merapikan anak rambut kekasihnya ke belakang telinga.
"Sha! Sha..!" pekik seorang gadis mengalihkan perhatian sepasang kekasih itu. Ternyata Marissa sedang berjalan cepat ke arah keduanya.
"Yaah, Marimar gangguin orang pacaran aja!" decak Arya meledek kekasih dari sahabatnya itu.
"Bacot! gue ada perlu sama Alisha bukan sama elo!" cibir Marissa tak mengindahkan keberadaan Arya.
"Apaan, Kak?" sela Alisha melerai keduanya yang siap berdebat.
Marissa sedikit menunduk untuk berbisik meskipun suaranya tetap terdengar biasa saja. "Biasanya elo bawa cadangan pembalut kan? gue minta satu gih, mendadak bocor nih. Males kalau jalan jauh ke supermarket!" pinta Marisa meringis tipis.
"Ealah... bentar, bentar.." Alisha and terkekeh geli lalu mengacak ke dalam tasnya. Biasanya memang ia selalu membawa beberapa pembalut cadangan di sana. Alisha lega saat menemukan apa yang ia cari di sana. Marissa langsung mengambil salah satu untuk ia bawa cepat-cepat pergi, tanpa menghiraukan Alisha yang sedikit mengerutkan kening setelah menyerahkan benda paling pribadi seorang wanita itu padanya.
“Kenapa, Sayang? malah bengong,” panggil Arya membuat Alisha mengerjap pelan.
Alisha mengatupkan bibir dan mendadak cemas saat mengingat hal yang memang sering ia abaikan selama ini. Kepalanya menggeleng cepat dengan bibir menggumamkan sesuatu yang tak begitu jelas.
“Nggak mungin, nggak mungkin…” lirih Alisha pada dirinya sendiri.
“Apanya yang nggak mungkin, Sha?” Arya menegakkan punggung. Merasa keheranan dengan perubahan sikap kekasihnya yang tiba-tiba.
“Aku baru inget, Mas?”
Arya mengerutkan kening tak paham. “Inget apa?”
“Ak- ak- aku belum datang bulan sama sekali sejak … sejak pulang dari villa it—” tergeragap, Alisha mengusap wajahnya beberapa kali dengan kedua tangan. Kejadian di villa itu hampir terjadi dua bulan lalu, dan ia tak mendapat tamu bulannya lagi sejak saat itu.
“Mak- maksudnya?” Hati Arya dirambati cemas yang sama. Ia paham apa artinya, namun tetap saja tak siap mendengar dugaannya.
“Ak- aku nggak mungkin hami—”
“Nggak, Sha, nggak! Jangan, nggak mungkin!” potong Arya tanpa sadar sambil bangkit dari tempat duduknya.
***
Alisha hanya menggelengkan kepala pelan, masih tak habis pikir dengan jalan pikiran Arya. Bukan pernikahan bak kawin lari seperti itu yang Alisha inginkan. Bukan pernikahan sembunyi-sembunyi yang menjadi rahasia seolah-olah hanya dirinyalah yang memaksakan keadaan. Bukan.‘Tiket penerbangan sudah aku siapkan semua, aku tunggu di New York, Sha. Pin ATM-nya tanggal lahir kamu,...’Alisha kembali menutup email dan menghapus semua pesan yang dikirm Arya padanya. Tak ada gunanya. Karena Alisha masih menganggap Arya tetap enggan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Alisha lantas menutup email dan menghapus semua pesan yang dikirim Arya padanya. Sia-sia dan tak ada gunanya. Karena Alisha menganggap Arya tetap enggan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bahkan cenderung 'cari aman' dengan membawanya kabur ke luar negeri.Alisha pikir ia tak butuh laki-laki yang habis manis sepah dibuang seperti itu. Ia akui kalau kehamilannya ini juga akibat ulahnya juga, setidaknya Alisha ikut andil dengan
"Arya yang nyuruh kamu datang ke sini?" sinis Alisha ketika mendapati Yoshi sudah berada di teras kost-nya. Beberapa menit yang lalu seorang security memanggilnya, memberi tahu bahwa ada seorang kerabat jauh yang datang mengunjungi. Alisha yang sebelumnya sempat panik karena mengira tempat tinggalnya ditemukan oleh sang kakak, ternyata justru dibuat kesal karena menemukan asisten Arya itu sudah tersenyum kaku padanya.Padahal baru dua hari Alisha merasa tenang lantaran mulai menempati hunian barunya setelah sebelumnya tinggal di hotel untuk beberapa hari. Tempat kost elite yang ia temukan berkat bantuan internet. Kost mewah milik salah satu artis senior ini muncul di halaman utama pencarian. Fasilitas mewah, keamanan dan jaminan privasi yang terjaga membuat Alisha tak berpiikir dua kali untuk menyewa salah satu kamar yang terbilang cukup nyaman di bangunan ini.“Tolong bilang sama boss kamu yang cemen itu, nggak usah cari-cari aku lagi. Apalagi kalau hanya bisa mengandalkan orang lain
Begitu sampai di bandara Juanda Surabaya, lengan Alisha langsung didekap oleh Iin yang kini mensejajari langkahnya."Biar cowok-cowok aja yang ngurusin bagasi, kita langsung keluar,rame banget di sini," bisik Iin lantas menggiring Alisha menuju pintu keluar."Kamu tadi nggak mabuk waktu terbang?" tanya Iin begitu mereka berdua duduk berhadapan di salah satu cafe bandara sembari menunggu kedatangan Danesh dan Alam, suami Iin.Awalnya, Alisha mengira akan banyak mendapatkan banyak pertanyaan tentang Arya dari Iin. Namun ternyata prasangkanya tak berdasar. Meskipun cukup penasaran, Iin tak menunjukkan ketertarikannya tentang adegan kemunculan Arya sebelum keberangkatan tadi.Alisha menggeleng pelan. "Nggak kok, Kak.""Ngerasa mual-mual juga nggak?" imbuh Iin hanya memastikan kekhawatirannya saja.Alisha menunduk mengusap perutnya pelan. "Aman, Kak, Alhamdulillah.""Sha, kamu jadi tinggal di tempat sepupu kamu itu selama di Surabaya?" tanya Iin kembali mengangkat topik yang berbeda."Iya.
"Yosh? lo disuruh mama berapa lama di New York? kapan berangkat?" cecar Arya begitu ia kembali ke rumah dan menemukan Yoshi sedang menata koper miliknya."Sa- saya berangkat minggu depan, Mas. Satu minggu sebelum Mas Boss berangkat. Ibu hanya bilang untuk selalu dampingi Mas seperti biasa, jadi saya ngikut perintah Mas Boss aja setelah rapihin apartemen di sana.""Oke, good," gumam Arya lantas mengacak rambutnya lagi. "Gue punya rencana, jangan sampe bocor ke mama apalagi ke keluarga yang lain." Setelah mondar mandir tak jelas, akhirnya Arya mendaratkan bokongnya di sofa tunggal yang ada di teras samping."Rencana gimana, Mas Boss?" Perasaan Yoshi mulai tak nyaman mengingat si bungsu Dwisastro yang menjadi atasannya ini sering kali memberinya job desk di luar nalar yang bisa dibilang bisa membahayakan pekerjaannya."Sebelum berangkat, lo harus cari tahu mendetail tentang keberadaan Alisha selama ini."Alisha lagi, keluh Yoshi hanya bisa ia utarakan dalam hati. Namun ia tak punya jawaba
"Yang tadi itu … orang yang seharusnya bertanggung jawab atas dari bayi kamu?" Pria yang duduk di sebelah Alisha akhirnya bersuara juga setelah berdeham beberapa kali.Alisha yang sedang menatap nanar jendela pesawat di sebelahnya langsung menoleh. Karena sepanjang waktu tadi yang ia tahu Danesh sedang memejamkan mata tanpa berminat bersuara. Wajar, kalau Alisha sedikit terkejut pria kaku yang pernah mencegahnya melakukan percobaan bunuh diri ini malah mengajaknya berbicara."Ap- apa? ehm ... gimana maksudnya, Mas?" "Pemuda yang tadi itu, ayahnya kan?" Kali ini ekor mata Danesh melirik sekilas ke arah perut Alisha."Itu... hmm, itu, aku nggak mau jawab!" Alisha memilih acuh saja. Memilih diam itu hak prerogatifnya kan?Danesh yang hari ini mengenakan kaos causal berwarna navy hanya mengangguk samar. "Disayangkan sekali kalau memang benar pria tadi yang menyebabkan kamu frustasi dan kabur-kaburan seperti ini."Kening Alisha kembali berkerut. "Maksudnya, Mas?""Selama
"Aku janji kita akan menikah, aku akan tanggung jawab sepenuhnya."Arya berdecak frustrasi kala mengingat janji yang ia lemparkan pada sang kekasih di bawah naungan birahi. Malam itu Arya memang menjual janji akan menikahi Alisha, tapi tentu saja bukan saat ini waktunya. Masih banyak tanggung jawab lain yang harus ia tuntaskan terlebih dahulu pada kedua orangtua yang sudah banyak menaruh harapan padanya."Elo mau ngelamun sampe kiamat, Nja?" teguran dari Irawan membuat Arya mendongak seketika. 'Nja' adalah panggilan kecil dari kedua kakak Arya yang berarti 'Manja', sesuai dengan sikap si bungsu yang menurutnya sangat di luar nalar karena terlalu dimanja oleh kedua orangtua mereka."Sialan!""Itu koper di depan lo nggak akan ke isi penuh kalau lo lihatin terus, bego! buruan beresin, biar dibawa Ghidan."Keberangkatan Arya ke New York semakin dekat, namun pemuda itu sengaja mengulur waktu dengan memberi berbagai alasan agar ia bisa sedikit lebih lama tinggal di tanah air