Share

4. Cemas

Penulis: Rinai Hening
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-03 05:22:57

               “Kalian berdua kenapa sih?” Marissa mengernyit keheranan saat menatap sepasang kekasih yang saling diam di hadapannya. “Kenapa tiba-tiba batal ikut ke kebun teh?” sambung perempuan cantik berkacamata itu.

                “Kalian berantem ya semalam?” Rakha ikut menimpali setelah menghabiskan cokelat panasnya.

                “Arya kasar kali semalem? jadi Alisha trauma,” Ronald, sahabat Arya yang lain ikut menimpali.

                Sialan!! Arya melirik tajam pada pemuda berambut ikal tersebut.

                “Mulut lo sampah, Ron!” maki Arya mendelik sambil tajam.

Beralih melarikan tatapan pada Alisha yang menunduk hendak membuang muka. Wajah gadis itu kian memerah, bukan karena tersipu, namun merasa malu dengan apa yang sudah ia lalui dengan kekasihnya beberapa jam lalu. Arya menggerakkan telapak tangannya untuk meraih jemari Alisha. Di bawah meja makan, Arya sengaja menggenggam jemari dingin itu sambil mengusap perlahan. Mencoba memberi ketenangan, meski jelas-jelas ia sendiri yang menciptakan gelsah di raut wajah Alisha.

“Alisha mendadak nggak enak badan aja, makanya kita berdua nggak jadi ikut kalian ke kebun teh.” Arya memaksakan senyum saat menoleh pada kekasihnya yang memasang wajah kaku.

“Kamu sakit, Sha?” Marissa refleks meletakkan punggung tangannya di kening Alisha. “Tapi nggak panas tuh badannya.”

“Aku lagi meriang aja, Kak, nggak parah kok,” Alisha memilih mengikuti drama yang diciptakan kekasihnya. Jangan sampai teman-temannya tahu kalau semalam sudah terjadi hal yang tak semestinya di antara dirinya dengan Arya.

"Makanya aku mau balik aja, kayaknya badanku aku nggak cocok sama udara dingin di puncak gini," sambung Alisha sekilas melirik ke sampingnya. Di mana Arya juga ternyata masih menatap padanya.

"Balik ke apartemen sendirian maksudnya?" tanya Marissa memastikan.

"Iy—"

"Ya sama gue lah, Mar. Berangkat sama gue, balik juga harus sama gue," potong Arya cepat-cepat. Pemuda itu tak mengetahui rencana Alisha untuk kembali ke Jakarta secepat ini. Karena sebelumnya mereka berencana akan kembali dua hari lagi. Tapi kalaupun demikian, tetap saja Alisha tak boleh kembali seorang diri.

"Kalian kalau mau keliling kebun teh, pergi duluan aja. Terus, kalau mau pake villa ini lebih lama juga silakan, jangan sok ngerasa nggak enak karena nggak ada gue."

Arya memaksakan senyum di depan sahabat-sahabatnya. Padahal dalam hati, ia tetap saja cemas dan hilang arah setelah kejadian semalam. Dirinya juga tak ingin membuat Alisha semakin kacau perasaannya. Saat Alisha menoleh, Arya hanya bisa memasang senyum tenang seolah memberi pesan bahwa semuanya baik-baik saja.

"Tapi beneran deh, gue masih ngerasa kayak ada yang aneh gitu sama kalian berdua pagi ini. Kalian nggak lagi perang dingin atau berencana putus kan?" tanya Marissa sambil menyedok nasi goreng di depannya.

Bukan perang dingjn, tapi perang batin. Teriak Arya dalam hatinya.

"Heh, doa lo jahat banget sih, Marimar? malah doain kita putus." Arya mengeratkan genggaman tangannya di bawah meja. Seraya sesekali melirik ke arah Alisha. Memastikan kalau kekasihnya itu tak bersikap canggung yang bisa menimbulkan curiga.

Berhasil mengelak interogasi dari teman-temannya, Arya dan Alisha akhirnya bisa bernapas lega begitu Marissa dan yang lainnya berangkat beriringan menuju kebun teh milik keluarganya. Suasana syahdu di kebun teh sepagi ini memang selalu menjadi incaran banyak wisatawan. Karena itu pulalah sang mama merengek tak mau diam saat meminta dibangunkan sebuah villa keluarga di puncak.

Ah, mengingat sang mama, hati Arya mendadak menciut tak punya kuasa. Kira-kira bagaimana respon perempuan kesayangannya itu jika tahu dirinya sudah menodai kesucian seorang gadis yang seharusnya ia jaga. Padahal sudah ratusan kali Hanami dan Adiyatma, ayahnya, mengingatkan untuk selalu menjunjung tinggi kehormatan wanita.

"Jadi ngantar aku pulang kan, Mas?" tanya Alisha membuat Arya yang sedang menunggu di ruang tamu terkesiap.

"Udah selesai siap-siapnya?" Arya hanya berbasa-basi agar ia dan Alisha tetap lancar menjaga komunikasi.

"Udah. Cuma bawa dikit kok," jawab Alisha melirik sekilas pada tas ransel yang ia tenteng di tangan kanan. Bawaannya memang tak seberapa, hanya beberapa baju ganti, make up seadanya, ponsel beserta power bank dan sepasang sepatu kets yang selalu ia pakai kemana-mana.

Tanpa menunggu perintah, Arya langsung membawakan ransel milik Alisha. Ia bawakan sampai mobil yang sudah siap menunggu mereka di depan villa.

"Yos, biar gue aja yang nyetir, elo bawa motor. Nggak perlu ikutin lagi, gue mau ke apartemen Alisha doang," seru Arya ia tujukan pada Yoshi, asistennya. Pria tinggi tegap itu langsung menangguk dan menyerahkan kunci mobil pada Arya tanpa diminta.

Sepasang kekasih itu lebih banyak diam selama perjalanan. Pertanyaan-pertanyaan sepele lebih banyak keluar dari mulut Arya yang disambut dengan jawaban singkat dari perempuan cantik di sebelahnya.

"Sha, yang semalam itu.. hmm," Arya menggenggam tangan Alisha begitu ia menghentikan mobil di basement apartment. "Apapun yang terjadi setelah itu, kamu harus yakin kalau aku akan tanggung jawab penuh ya?"

Alisha menunduk, menatap punggung tangannya yang diusap pelan oleh Arya. Tak punya jawaban lain, jadi Alisha mengangguk saja sambil menarik segaris senyum di wajahnya. Gadis itu sangat menyayangi Arya, pemuda tampan yang dulu ia kagumi diam-diam kini sudah menjadi kekasihnya. Lalu butuh apa lagi selain mempercayainya sepenuh hati?

"Aku yakin, Mas." Alisha mengangguk lagi untuk mengukuhkan hatinya. Arya yang ia kenal adalah pria baik dan bertanggung jawab. Jadi ia tak perlu khawatir apa-apa lagi.

"Hmm, kalau boleh ... kita jangan bahas yang semalam lagi ya? aku masih nggak nyaman kalau ingat kesalahan itu," pinta Alisha masih tak bisa menyembunyikan raut kecewanya. Kecewa pada dirinya sendiri, juga ada hubungannya dengan Arya yang ternyata tak bisa menjaga diri sebelum waktunya tiba.

"Maaf," lirih Arya menarik Alisha dalam pelukannya.

"Jangan bilang maaf, maaf, terus. Kan bukan hanya Mas Arya yang salah, tapi ada andilku juga. Kita sama-sama salah." Alisha mendorong dada Arya pelan.

Arya tertular senyum saat melihat wajah cemberut kekasihnya. "Iya, iya. Kita perbaiki sama-sama ya? jangan sedih lagi dong."

Kedua manusia yang saling jatuh cinta itu kembali seperti semula. Sama-sama memupuk cinta, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Arya setiap hari masih mengantar dan menjemput Alisha ke kampus. Pun demikian dengan Alisha yang sering menghabiskan waktu menemani Arya di sela-sela kesibukannya menyiapkan proposal skripsi.

"Emang nggak pusing gitu tiap hari gambar terus?" Arya sengaja merebahkan kepalanya ke pundak Alisha saat gadis itu sedang fokus menggambar rancangan yang akan ia jadikan karya utama untuk proyek tugas akhirnya.

Alisha terkekeh sekilas. "Jujur pusing sih, tapi udah jadi passion aku. Meskipun awalnya pusing, capek, stuck, tapi aku happy banget, Mas."

"Aku bantuin ngerjain aja gimana? aku beneran nggak tega lihat kamu pusing, apalagi sampe cemberut-cemberut gitu," seru Arya kini merebahkan kepala pada siku lantas menatap kekasihnya dari dekat.

"Bantuin gimana? Mas Arya kan jurusan bisnis bukan jurusan desain," cibir Alisha mencebik.

"Aku punya banyak kenalan desainer ternama. Biar mereka aja yang gambar, mereka yang kerjain juga. Tapi semuanya pake nama kamu, gimana? aku yang bayar deh," tawar Arya  semakin percaya diri. Uang dan kekuasaam memang kadang bisa membuat orang lupa daratan.

"Iya, Mas, percaya. Kalau dilihat dari latar belakang keluarga Mas Arya sih, pasti nggak akan susah meskipun harus nyuruh desainer top tanah air." Alisha terkekeh samar. "Tapi kalau pakai cara curang gitu, kapan bakatku terasah coba? masa maunya instan? percuma dong belajar tiap hari.”

"Duuh, iya deh si paling demen belajar." Arya gemas, jadi ia acak saja rambut sebahu Alisha yang tadinya dikuncir tinggi.

"Mas pesen makanan lagi yukk, gambar terus bikin aku cepet laper." Alisha yang sedari tadi menghabiskan waktu di salah working space di dekat kampusnya langsung menarik buku menu di dekat Arya.

"Bukannya tadi udah habis salah buah dua porsi ya?" Arya terkekeh saat mencoba menahan buku menu di tangannya.

"Salad buah doang mana kenyang sih, Mas."

"Tapi sebelumnya udah makan siomay juga hayo," seru Arya lagi-lagi menggoda.

"Belum kena nasi mana kenyang sih," rengek Alisha lagi mencoba menarik menu di tangan kekasihnya.

"Ya udah nih ... nih, pesen yang banyak. Pasti kamu makin gemesin kalau sedikit gendut." Gelak tawa Arya pecah saat mencubit pipi Alisha dan membuat gadis itu manyun.

"Ih, aku nggak mau gendut."

"Gemoy aja kalau gitu." Arya tersenyum lebar lantas merapikan anak rambut kekasihnya ke belakang telinga.

"Sha! Sha..!" pekik seorang gadis mengalihkan perhatian sepasang kekasih itu. Ternyata Marissa sedang berjalan cepat ke arah keduanya.

"Yaah, Marimar gangguin orang pacaran aja!" decak Arya meledek kekasih dari sahabatnya itu.

"Bacot! gue ada perlu sama Alisha bukan sama elo!" cibir Marissa tak mengindahkan keberadaan Arya.

"Apaan, Kak?" sela Alisha melerai keduanya yang siap berdebat.

Marissa sedikit menunduk untuk berbisik meskipun suaranya tetap terdengar biasa saja. "Biasanya elo bawa cadangan pembalut kan? gue minta satu gih, mendadak bocor nih. Males kalau jalan jauh ke supermarket!" pinta Marisa meringis tipis.

"Ealah... bentar, bentar.." Alisha and terkekeh geli lalu mengacak ke dalam tasnya. Biasanya memang ia selalu membawa beberapa pembalut cadangan di sana. Alisha lega saat menemukan apa yang ia cari di sana. Marissa langsung mengambil salah satu untuk ia bawa cepat-cepat pergi, tanpa menghiraukan Alisha yang sedikit mengerutkan kening setelah menyerahkan benda paling pribadi seorang wanita itu padanya.

“Kenapa, Sayang? malah bengong,” panggil Arya membuat Alisha mengerjap pelan.

Alisha mengatupkan bibir dan mendadak cemas saat mengingat hal yang memang sering ia abaikan selama ini. Kepalanya menggeleng cepat dengan bibir menggumamkan sesuatu yang tak begitu jelas.

“Nggak mungin, nggak mungkin…” lirih Alisha pada dirinya sendiri.

“Apanya yang nggak mungkin, Sha?” Arya menegakkan punggung. Merasa keheranan dengan perubahan sikap kekasihnya yang tiba-tiba.

“Aku baru inget, Mas?”

Arya mengerutkan kening tak paham. “Inget apa?”

“Ak- ak- aku belum datang bulan sama sekali sejak … sejak pulang dari villa it—” tergeragap, Alisha mengusap wajahnya beberapa kali dengan kedua tangan. Kejadian di villa itu hampir terjadi dua bulan lalu, dan ia tak mendapat tamu bulannya lagi sejak saat itu.

“Mak- maksudnya?” Hati Arya dirambati cemas yang sama. Ia paham apa artinya, namun tetap saja tak siap mendengar dugaannya.

“Ak- aku nggak mungkin hami—”

“Nggak, Sha, nggak! Jangan, nggak mungkin!” potong Arya tanpa sadar sambil bangkit dari tempat duduknya.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjerat Pria Masa Lalu   67. Memastikan Sesuatu

    "Mas Yoshi masih lama ya?" tanya Alisha begitu ia sudah sampai di rumahnya.Telinga Arya mendadak gatal saat mendengar sebutan ‘Mas’ dari Alisha untuk ajudan. Mengendikkan bahu malas, pria yang masih betah bertahan di ruang tamu Alisha itu berlagak tak mengetahui keberadaan Yoshi. Padahal tanpa diketahui, Arya sendiri yang sengaja memerintahkan Yoshi untuk mengulur waktu agar ia bisa berduaan dengan Alisha sedikit lebih lama."Kenapa? kamu udah ngantuk ya?" Arya balik bertanya setelah ia memeriksa jam tangan yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam.Alisha menggeleng menutupi kenyataan bahwa ia memang sudah mengantuk. "Aku biasa lembur kelarin gambar. Kamu yang seharusnya cepet pulang, berduaan di rumah cewek yang tinggal sendirian nggak baik, Ya. Tetangga aku julidnya luar biasa asal kamu tahu," seru Alisha melirik ke arah pintu dan pagar yang sengaja ia buka lebar.Arya membasahi bibirnya sambil menahan senyum. Mana ada tetangga sok peduli seperti itu di ibukota yang pe

  • Terjerat Pria Masa Lalu   66. Memberi Waktu

    Rezeki itu bisa datang dalam bentuk apa saja, begitu katanya. Tapi bagi Arya, musibah yang menegangkan bahkan berujung menyakitkan baginya, ternyata adalah perwujudan rezeki untuknya. Luka terbuka di lengan sebelah kiri yang mengeluarkan banyak darah bukanlah apa-apa. Karena sudah ada penawar utamanya yang bernama Alisha.Arya tak merasakan sakit sama sekali, apalagi ketika matanya menangkap sorot khawatir dari wajah sayu Alisha. Perempuan yang sejak tadi menatap cemas tindakan demi tindakan yang dilakukan oleh dokter jaga di salah satu klinik 24 jam dekat lokasi kejadian. Sayatan pisau tajam sepanjang tujuh centi itu harus mendapatkan jahitan karena ternyata lukanya cukup dalam.Alih-alih meringis menahan sakit, wajah Arya justru terlihat cerah ceria karena sedari tadi sibuk menyembunyikan senyum di bibirnya. Alisha masih begitu peduli dan mengkhawatirkan dirinya sebesar ini, jadi boleh saja kan kalau Arya berbesar kepala dengan berharap perasaannya tak bertepuk sebelah tangan?"Kamu

  • Terjerat Pria Masa Lalu   65. Insiden

    Arya mengacak rambutnya untuk kesekian kali. Membiarkan mahkota hitamnya yang biasa tersisir rapi, kini harus acak-acakan bak sarang burung lama tak ditempati. Semua karena Alisha, perempuan cantik itu kembali bisa menjungkirbalikkan hatinya tak menentu. Bukan dulu, bukan sekarang, ibu dari putrinya itu tetap saja menjadi magnet yang sanggup membuatnya nyaris gila karena dilanda asmara.“Apa susahnya sih, Sha nerima tawaran aku? aku cuma mau nemenin kamu sampai selesai gambar. Nggak lebih.” Arya mengatakannya dengan wajah memelas.“Aku nggak bisa konsen gambar kalau ada orang di sekitar aku, Ya. Jadi mending kamu pulang aja deh.” Alisha tak sepenuhnya berbohong, pikirannya memang sedang sulit berkonsentrasi sejak Arya mengutarakan rasa cemburunya pada Danesh beberapa waktu lalu. Tahu sendiri kan artinya cemburu?“Aku tunggu di depan kalau gitu?”Alisha memutar bola matanya malas. “Keras kepala! sana deh pulang aja,” serunya kembali mengusir.“Kalau aku balik duluan, kamu nanti pulangn

  • Terjerat Pria Masa Lalu   64. Mabuk

    Hampir lima belas menit berlalu, sejak Alisha berdiri menyandarkan bahu di daun pintu rumah kontrakannya. Bukan tanpa alasan, karena ia sedang tercenung sambil mengamati seseorang yang berdiri di balik pagar rumahnya yang memang tak terlalu tinggi.Arya Rivan Dwisastro, sudah beberapa menit pula pria itu berdiri di depan pagar dan memanggil namanya dengan suara lantang. Begitu Alisha membuka pintu, barulah Arya berhenti memanggilnya."Ada apa?" Alisha akhirnya melangkah mendekati pagar namun tak langsung ia buka pintu berbahan besi itu.Arya tak langsung menjawab, pria itu justru terlihat celingukan sambil mengamati tempat tinggal Alisha yang nampak sepi. Tak ada siapa pun selain mantan kekasihnya itu. Bahkan sosok Danesh yang dikatakan ibunya tadi tak ada jejaknya sama sekali. Jadi Arya sedikit lega karena perkataan Hanami tak terbukti nyata."Ya? Ada apa? mendadak banget ke sini?" ulang Alisha membuat Arya terkesiap."Kamu sendirian kan?"Pertanyaan Arya membuat kening Alisha berker

  • Terjerat Pria Masa Lalu   63. Mana Mungkin?

    Arya terperanjat bukan kepalang ketika baru saja tiba di rumah sepulang dari kantor harus berpapasan dengan sang mama yang juga baru keluar dari mobil. Dengan langkah cepat perempuan yang telah melahirkannya itu mendekati Arya. Tanpa senyum, tanpa sapa, karena yang terlihat hanya raut wajah kusut penuh tanda tanya saat perempuan berdarah Jepang itu berjalan cepat ke arahnya."Nyokap lo lagi di Jakarta, Ya?" Arya tak sendiri, pria di samping yang barusan mengajukan pertanyaan adalah Ronald. Sahabat baik yang kini juga menjadi partnernya menjalankan bisnis."Iya, baru selasa kemaren nyampe. Besok bokap juga dateng, ada meeting rutin pemegang saham besok lusa.""Sungkem dulu deh gue, siapa tau jadi dicomblangin sama keponakannya yang dari Jepang itu," seru Ronald hanya membuat Arya geleng-geleng kepala. Sudah paham bagaimana kedekatan sang mama dengan teman-temannya, Arya membiarkan saja saat Ronald berjalan cepat untuk menyambut Hanami."Tante Hana ke Jakarta dadakan ya? tau gitu bisa a

  • Terjerat Pria Masa Lalu   62. Belum MOve On

    "Mas Danesh kenapa jawab Bu Hana kayak gitu sih? abu-abu banget tau!" omel Alisha sambil mengaduk isi tasnya untuk menemukan kunci rumahnya."Emang sengaja gitu," kekeh Danesh tak peduli dengan wajah Alisha yang mulai manyun.Alisha menoleh sekilas lantas memutar bola matanya ke atas. "Biar apa coba?"“Ya biar mereka sedikit menyesal lah, karena anaknya udah pernah menyia-nyiakan kamu.”Senyum Danesh belum sepenuhnya menghilang dari wajah tampannya, terlihat sekali kalau pria itu menikmati bagaimana raut wajah Hanami beberapa menit yang lalu saat ia dengan entengnya menjawab.‘Kami belum menikah kok, Tante. Doakan secepatnya…’ Lengkap dengan senyum lebar saat Danesh gesit meraih pergelangan tangan Alisha agar perempuan cantik itu segera masuk dan tak mengelak kalimatnya terlalu cepat.“Iish … kan aku udah bilang, aku sudah berdamai dengan masa lalu, Mas. Kata psikiaterku nggak baik memelihara rasa sakit hati dan dendam terlalu lama.”Berpulangnya Magika yang secara tiba-tiba bisa dibi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status