Semua berawal ketika dua bulan lalu Alisha mengiyakan ajakan dari sang kekasih untuk merayakan kelulusannya di salah satu villa milik keluarga Dwisastro yang ada di puncak Bogor. Tak hanya berdua, tapi dengan beberapa teman dekat Arya juga. Sekitar tiga pasang sahabat Arya yang mengajak pasangannya masing-masing dalam acara dadakan itu.
"Kamu sering ngadain party-party gini ya, Mas?" tanya Alisha begitu Arya mendekat setelah kalah main billiards melawan Rakha.
"Nggak sering sih, sesekali aja kalau ada moment special. Wisuda aku kan special," jawab Arya menerima uluran susu cokelat hangat dari kekasihnya. "Kemarin kan udah ngerayain wisuda sama keluarga, naah kalau hari ini giliran sama bocah-bocah itu." Arya mengendik pada Rakha dan Dimas, dua temannya yang masih asik melanjutkan permainan billiard. Sedang seorang lainnya sedang bergurau dengan kekasihnya.
"Ngerayain berdua sama kamu belum juga kan? sibuk belajar terus sih kamunya." Arya mencubit pipi kanan kekasihnya.
"Ya harus dong, biar nanti lulusnya tepat waktu, nggak molor kayak Mas Arya," jawab Alisha terkikik pelan.
Selain harus lulus tepat waktu, Alisha juga ingin menunjukkan pada sang ayah dan kakak satu-satunya kalau ia bisa dibanggakan meskipun bersikukuh kuliah di luar kota dan jauh dari mereka. Alisha ingin menghapus predikat gadis manja kesayangan yang selalu dikekang ayahnya karena tak mampu hidup secara mandiri.
Padahal sebenarnya hal itu sangatlah wajar terjadi. Alisha adalah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga, Airlangga, kakak lelakinya sudah menikah dan hidup terpisah meski masih terbilang dekat dengan rumah kedua orang tuanya. Sedangkan sang ibu, sudah menghembuskan napas terakhir dua tahun silam karena menyerah dengan penyakit diabetes yang sudah lama menyerang tubuhnya.
"Iya, bener. Jangan ditiru bagian yang molornya ya. Mahasiswi rajin dan serba sempurna kayak kamu harusnya lulus tepat waktu dengan predikat terbaik, jangan kebanyakan bolos kayak aku." Arya tergelak lantas mengacak rambut Alisha.
Arya memang terbilang malas dan mengulur waktu saat menempuh kuliah. Terlalu sering dimanja membuat pemuda itu kerap kali seenak hati saat menjalani studi. Malah dengan santinya lebih sering menghabiskan waktunya untuk nongkrong dengan teman-temannya yang sudah lulus mendahului dirinya. Sampai di satu titik, kedua orang tuanya mulai geram dan menarik separuh dari fasilitas mewah yang selalu ia terima.
"Jangan mentang-mentang udah dijamin pegang Galeea, kamu malah sepelekan kuliah kayak gini, Dek." Arya teringat sangat sang ibu yang mendadak mengomel saat mendapat lapiran dari asiaten piribadinya tentang kenakalan putra bungsunya.
"Aku nggak pernah sepelekan, Ma. Dosen-dosen itu aja yang nggak ada belas kasih sama sekali kalau ngasih tugas." Arya tak suka disalahkan, jadi ia tuduh saja kalau dosen-dosennya itu yang kurang mumpuni dalam memberi materi.
“Kamu aja yang malas, Dek. Jangan sampe mama dapat laporan dari Ghidan kalau kamu asik pacaran mulu sampe kuliah keteteran! Kalau tahun depan belum lulus juga, mama hapus nama kamu dari kartu keluarga!” Salah satu ancaman Hanami yang membuat Arya patuh seketika.
Ghidan, ajudan yang selama ini mengikutinya dari jauh memang orang kepercayaan Hanami. Tak ayal, kegiatan Arya yang sering berganti kekasih dari satu gadis ke gadis lainnya sering bocor ke telinga sang mama. Syukurlah tak lama setelahnya Ghidan diperintahkan untuk mengawal Irawan, kakak keduanya, sehingga mau tak mau Arya memilki ajudan baru yang bisa ia sogok dan ancam sesuka hati agar hanya patuh padanya saja.
Namanya Yoshi, pemuda berkulit gelap yang usianya hanya terpaut tiga tahun di atas Arya. Bisa jadi karena jarak usia yang tak terlalu jauh itu pulalah, ia dan Yoshi bisa lebih akrab layaknya teman.
“Sampe lo bilang ke nyokap tentang hubungan gue sama Alisha, gue jamin kerjaan lo yang sekarang tinggal kenangan, jangan lupakan juga kalau elo bakalan gue tuntut ratusan juta karena penyebaran informasi pribadi.” Arya mulai memainkan perannya saat pertama kali Yoshi tahu tentang hubungan dekatnya dengan Alisha. Gadis manis nan lugu yang ia kenal lewat Marissa, teman satu angkatan yang menjadi kekasih Henry. “Dari sini paham ka—”
“Emang dibolehin gitu sama orang tua Mas Arya?” lamunan Arya pecah saat suara Alisha kembali mengalun di indera pendengarannya.
“Eh, gimana-gimana?”
“Emang sama orang tua Mas Arya dibolehin gitu ngadain acara gini di villanya?”
Alisha sama sekali tak tahu menahu perihal latar belakang keluarga Arya yang tersohor di kalangan pebinis tanah air. Gadis itu hanya tahu kalau kekasihnya itu berasal dari kalangan berada yang disegani di kampus mereka.
“Astaga, Sha. Aku udah gedhe lho ini, hampir 24 tahun. Ya kali apa-apa masih ijin sama orang tua kayak anak balita. Asalkan mereka tau aku aman dan nggak aneh-aneh, semuanya sih aman.” Arya menjeda kalimatnya ketika menandaskan cokelat hangat di tangannya. "Lagi pula ya, kita tuh perlu lebih banyak menghabiskan waktu berdua kan, Sha? Beberapa bulan lagi aku terbang ke New York, tadi pagi kamu lihat sendiri gimana hasilnya. Aku berhasil lolos S2 di NYU."
Alisha mengangguk pelan seraya mengeratkan tautan jemarinya di tangan Arya. "LDR-an dong kita ya… duuh, berat kayaknya, Mas," seru gadis itu lirih, "baru juga jalan bareng berapa bulan udah ditinggalin aja aku."
"Nggak ditinggalin ah, cuma jarang ketemu aja nanti. Akan aku usahakan tiap beberapa bulan balik ke Indo biar kita bisa ketemu." Semudah itu Arya mengucap janji yang langsung dihadiahi lengkungan lebar di bibir merah muda kekasihnya.
"Janji nih?!" Alisha mengangkat jari kelingking. “New York ke Jakarta jauh lho, bukan kayak Jakarta –Bandung.”
"Apa sih yang nggak buat kamu, Sha. Terus, apaan deh ini, janji kelingking tuh kayak anak SD.” Arya malah terkikik melihat tingkah kekasihnya yang kekanakan dan cenderung menggemaskan. “Kalau udah segede kita, janjinya tuh kayak gini.."
Tanpa basa-basi Arya langsung menunduk dan menempelkan bibirnya ke bibir mungil Alisha. Membuat gadis itu terkesiap dan merona seketika. Apalagi setelah mendengar sorak sorai dari teman-teman Arya yang masih ada di sekitarnya.
"Woii, kamar kosongnya banyak kali!" teriak Rakha dan Henry semakin membuat Alisha malu dan salah tingkah.
"Mas ih," Alisha sontak mendorong dada Arya agar sedikit menjauh.
"Sorry, sorry … sampe lupa sih kalau masih ada-ada di sini," gelak Arya langsung pecah juga.
"Udah ah, aku mau ke kamar dulu. Ngantuk banget."
"Masih jam segini, Sha," cegah Arya setelah melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. "Beneran ngantuk atau malu sama anak-anak tengil itu? nggak usah didengerin mereka," lanjut Arya menahan senyum saat melihat pipi Alisha semakin merah bak tomat masak.
"Dingin banget, Mas. Dari pada aku beku cuma jadi penonton billiard di sini mending aku ke kamar aja sama Mbak Marissa." Sejak tiba di villa kemarin sore, Alisha memang berpasangan dengan Marissa menempati kamar di lantai atas. Sedangkan dua gadis lainnya menampati kamar tamu di lantai bawah.
“Paling Marissa masih sibuk pacaran sama Henry tuh,” Arya melirik Henry yang berjalan menghampiri Marissa di teras sebelah.
“Nggak apa-apa, aku tunggu di kamar aja,” pungkas Alisha langsung melesat pergi dari hadapan Arya. Memang ia menikmati ciuman singkat dengan kekasihnya, tapi tidak dengan ledekan dan canda tawa dari sahabat-sahabat Arya. Menurutnya itu adalah hal yang sangat memalukan.
Melihat kekasihnya memilih kabur karena malu Arya hanya bisa tergelak kecil. Baru kali ini ia berhubungan dengan gadis cantik yang selugu Alisha. Kekasih-kekasihnya yang terdahulu malah bisa dibilang lebih ‘berani’ memulai kontak fisik dengannya. Alisha ini satu-satunya gadis yang mudah sekali merasa salah tingkah dan merona.
Alisha yang sudah sampai di kamarnya, memilih langsung merebahkan diri di tepian tempat tidur. Tak berniat menunggu Marissa, gadis itu memilih memejamkan mata demi menjemput lelap. Hingga menjelang tengah malam, ia merasakan ranjang yang ia tempati memantul pelan.
‘Itu pasti Marissa.’ Alisha masih berat membuka mata hanya untuk memastikan siapa.
Namun ternyata ia salah terka begitu merasakan lengan kekar yang dengan pelan melingkari perutnya dari belakang. Ini jelas bukan lengan Marissa, melainkan lengan milik prianya. Arya.
***
Alisha hanya menggelengkan kepala pelan, masih tak habis pikir dengan jalan pikiran Arya. Bukan pernikahan bak kawin lari seperti itu yang Alisha inginkan. Bukan pernikahan sembunyi-sembunyi yang menjadi rahasia seolah-olah hanya dirinyalah yang memaksakan keadaan. Bukan.‘Tiket penerbangan sudah aku siapkan semua, aku tunggu di New York, Sha. Pin ATM-nya tanggal lahir kamu,...’Alisha kembali menutup email dan menghapus semua pesan yang dikirm Arya padanya. Tak ada gunanya. Karena Alisha masih menganggap Arya tetap enggan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Alisha lantas menutup email dan menghapus semua pesan yang dikirim Arya padanya. Sia-sia dan tak ada gunanya. Karena Alisha menganggap Arya tetap enggan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bahkan cenderung 'cari aman' dengan membawanya kabur ke luar negeri.Alisha pikir ia tak butuh laki-laki yang habis manis sepah dibuang seperti itu. Ia akui kalau kehamilannya ini juga akibat ulahnya juga, setidaknya Alisha ikut andil dengan
"Arya yang nyuruh kamu datang ke sini?" sinis Alisha ketika mendapati Yoshi sudah berada di teras kost-nya. Beberapa menit yang lalu seorang security memanggilnya, memberi tahu bahwa ada seorang kerabat jauh yang datang mengunjungi. Alisha yang sebelumnya sempat panik karena mengira tempat tinggalnya ditemukan oleh sang kakak, ternyata justru dibuat kesal karena menemukan asisten Arya itu sudah tersenyum kaku padanya.Padahal baru dua hari Alisha merasa tenang lantaran mulai menempati hunian barunya setelah sebelumnya tinggal di hotel untuk beberapa hari. Tempat kost elite yang ia temukan berkat bantuan internet. Kost mewah milik salah satu artis senior ini muncul di halaman utama pencarian. Fasilitas mewah, keamanan dan jaminan privasi yang terjaga membuat Alisha tak berpiikir dua kali untuk menyewa salah satu kamar yang terbilang cukup nyaman di bangunan ini.“Tolong bilang sama boss kamu yang cemen itu, nggak usah cari-cari aku lagi. Apalagi kalau hanya bisa mengandalkan orang lain
Begitu sampai di bandara Juanda Surabaya, lengan Alisha langsung didekap oleh Iin yang kini mensejajari langkahnya."Biar cowok-cowok aja yang ngurusin bagasi, kita langsung keluar,rame banget di sini," bisik Iin lantas menggiring Alisha menuju pintu keluar."Kamu tadi nggak mabuk waktu terbang?" tanya Iin begitu mereka berdua duduk berhadapan di salah satu cafe bandara sembari menunggu kedatangan Danesh dan Alam, suami Iin.Awalnya, Alisha mengira akan banyak mendapatkan banyak pertanyaan tentang Arya dari Iin. Namun ternyata prasangkanya tak berdasar. Meskipun cukup penasaran, Iin tak menunjukkan ketertarikannya tentang adegan kemunculan Arya sebelum keberangkatan tadi.Alisha menggeleng pelan. "Nggak kok, Kak.""Ngerasa mual-mual juga nggak?" imbuh Iin hanya memastikan kekhawatirannya saja.Alisha menunduk mengusap perutnya pelan. "Aman, Kak, Alhamdulillah.""Sha, kamu jadi tinggal di tempat sepupu kamu itu selama di Surabaya?" tanya Iin kembali mengangkat topik yang berbeda."Iya.
"Yosh? lo disuruh mama berapa lama di New York? kapan berangkat?" cecar Arya begitu ia kembali ke rumah dan menemukan Yoshi sedang menata koper miliknya."Sa- saya berangkat minggu depan, Mas. Satu minggu sebelum Mas Boss berangkat. Ibu hanya bilang untuk selalu dampingi Mas seperti biasa, jadi saya ngikut perintah Mas Boss aja setelah rapihin apartemen di sana.""Oke, good," gumam Arya lantas mengacak rambutnya lagi. "Gue punya rencana, jangan sampe bocor ke mama apalagi ke keluarga yang lain." Setelah mondar mandir tak jelas, akhirnya Arya mendaratkan bokongnya di sofa tunggal yang ada di teras samping."Rencana gimana, Mas Boss?" Perasaan Yoshi mulai tak nyaman mengingat si bungsu Dwisastro yang menjadi atasannya ini sering kali memberinya job desk di luar nalar yang bisa dibilang bisa membahayakan pekerjaannya."Sebelum berangkat, lo harus cari tahu mendetail tentang keberadaan Alisha selama ini."Alisha lagi, keluh Yoshi hanya bisa ia utarakan dalam hati. Namun ia tak punya jawaba
"Yang tadi itu … orang yang seharusnya bertanggung jawab atas dari bayi kamu?" Pria yang duduk di sebelah Alisha akhirnya bersuara juga setelah berdeham beberapa kali.Alisha yang sedang menatap nanar jendela pesawat di sebelahnya langsung menoleh. Karena sepanjang waktu tadi yang ia tahu Danesh sedang memejamkan mata tanpa berminat bersuara. Wajar, kalau Alisha sedikit terkejut pria kaku yang pernah mencegahnya melakukan percobaan bunuh diri ini malah mengajaknya berbicara."Ap- apa? ehm ... gimana maksudnya, Mas?" "Pemuda yang tadi itu, ayahnya kan?" Kali ini ekor mata Danesh melirik sekilas ke arah perut Alisha."Itu... hmm, itu, aku nggak mau jawab!" Alisha memilih acuh saja. Memilih diam itu hak prerogatifnya kan?Danesh yang hari ini mengenakan kaos causal berwarna navy hanya mengangguk samar. "Disayangkan sekali kalau memang benar pria tadi yang menyebabkan kamu frustasi dan kabur-kaburan seperti ini."Kening Alisha kembali berkerut. "Maksudnya, Mas?""Selama
"Aku janji kita akan menikah, aku akan tanggung jawab sepenuhnya."Arya berdecak frustrasi kala mengingat janji yang ia lemparkan pada sang kekasih di bawah naungan birahi. Malam itu Arya memang menjual janji akan menikahi Alisha, tapi tentu saja bukan saat ini waktunya. Masih banyak tanggung jawab lain yang harus ia tuntaskan terlebih dahulu pada kedua orangtua yang sudah banyak menaruh harapan padanya."Elo mau ngelamun sampe kiamat, Nja?" teguran dari Irawan membuat Arya mendongak seketika. 'Nja' adalah panggilan kecil dari kedua kakak Arya yang berarti 'Manja', sesuai dengan sikap si bungsu yang menurutnya sangat di luar nalar karena terlalu dimanja oleh kedua orangtua mereka."Sialan!""Itu koper di depan lo nggak akan ke isi penuh kalau lo lihatin terus, bego! buruan beresin, biar dibawa Ghidan."Keberangkatan Arya ke New York semakin dekat, namun pemuda itu sengaja mengulur waktu dengan memberi berbagai alasan agar ia bisa sedikit lebih lama tinggal di tanah air