LOGIN
Malam ini Aurora tengah disibukkan dengan pekerjaannya di dalam sebuah paviliun pribadi, sebuah bangunan modern minimalis yang terpisah di halaman belakang rumah utama keluarga. Paviliun yang biasa menjadi guest house itu ia sulap menjadi ruang kerja yang lengkap dengan segala fasilitasnya.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Tok.. tok.. tok... "Masuk aja, pintunya nggak aku kunci," ucapnya agak teriak. "Malam sayang," sapa bunda Aurora yang bernama Martha. "Malam bun." Aurora menoleh sekilas lalu kembali tenggelam dalam pekerjaannya. Setumpuk kertas berisi sketsa gaun berserakan di mejanya, dan di tangannya sibuk memilah mana yang akan masuk ke koleksi terbaru. "Ini sudah malam loh, harusnya kamu sudah istirahat." Martha mendudukan dirinya di sofa ruang kerja putrinya itu. "Iya bun, sebentar lagi ya, soalnya ini tanggung." Martha mendengus. "Kebiasaan." "Buat acara apa emangnya?" "Bukan buat acara apa-apa bun. Ini untuk koleksi terbaru minggu depan. Aku masih mau milih mana yang paling cocok." Martha mengangguk mengerti. "Oh iya.. untuk acara Fashion Show kamu itu. Gimana perkembangannya? Apa sekarang sudah dapat sponsor utama?" Aurora menggeleng pelan. "Belum bun, masih nyari. Hana juga masih terus ngajuin proposal ke beberapa perusahaan. Ada banyak perusahaan yang tertarik, tapi mereka belum bisa ngasih yang aku mau. Belum bisa meng-cover seluruh anggaran yang aku butuhkan. Mereka nggak berani, terlalu takut mengambil risiko." Martha mengangguk mengerti. "Bagaimana jika... kamu terima saja tawaran ayah waktu itu?" "Bunda, sudah aku katakan sebelumnya. Meskipun ayah bertindak sebagai sponsor/investor, aku tidak ingin memakai dana dari keluarga Meschach," ucap Aurora hati-hati, takut menyinggung sang Bunda. Bundanya menggeleng. Putrinya ini memang benar-benar berprinsip dan juga keras kepala. Mengingatkan dirinya di masa muda. Hening sebentar, lalu .... "Aurora, sayang.. bisa ke sini sebentar.." Martha meminta dengan intonasi serius sambil menepuk sofa di sampingnya. Mendengar permintaan itu, Aurora langsung tak enak hati, pasalnya jika sang bunda sudah berbicara dengan intonasi seperti itu, akan ada hal serius yang menyangkut kehidupannya. "Aurora?" panggilnya dengan suara yang lembut namun terkesan tegas. "Hah? Oh iya bisa bun." Aurora mengampiri bundanya dengan raut wajah yang tak terbaca. Lantas dia duduk di samping Bundanya. "Ada apa, bun?" Martha mendaratkan tangan kirinya pada paha putrinya itu. "Gini... Bunda ingin kamu bertemu dengan putra temennya bunda..." "Bunda, aku tidak mau di jodohkan," balasnya cepat. "...bukan menjodohkan. Bunda cuma pengen kamu ketemu dulu orangnya. Habis itu kamu boleh menentukan mau melanjutkan ke hubungan yang lebih serius atau tidak," sambung Martha "Itu sama saja dengan menjodohkan bun," ucap Aurora ketus. "Beda dong, ini mempertemukan bukan menjodohkan, sayang." Martha mengelus punggung putrinya. "Menurutku sama saja bun." "Kamu memang keras kepala. Intinya bunda mau kamu ketemu sama anak sahabat bunda titik," sambungnya cepat Aurora mendelik aneh. "Tadi katanya temen, sekarang sahabat. Jadi mana yang betul bun?" Martha tampak berpikir sejenak. "Ya.. pokoknya intinya sama." "Ya ampuuun... beda dong bun," "Lagi pula temen bunda yang mana sih, bun? Hampir semua temen bunda, sahabat bunda itu semuanya aku tau." "Hampir kan? berarti belum semuanya kamu tau." "Iiiih bundaaaa." Aurora memelas seraya menggelengkan kepalanya. "Bunda ingat terakhir kali aku ketemu anak temen Bunda? nggak berhasil bun. Jangan aneh aneh lagi deh. Pokoknya rencana bunda menjodohkan aku nggak akan berhasil, serius deh bun." Aurora mengerling kepada Bundanya. "Itu karena kamu tidak ada niat dan kamu terlalu cuek." "Kan memang dari awal aku bilang nggak mau. Lagi pula, aku masih muda, masih mau berkarir, belum mau terikat dengan siapapun." "Setidaknya kamu harus mencoba dulu. Yang ini, bunda jamin kamu bakalan suka deh," ucapnya sedikit antusias. "Dengarkan Bunda, Ra. Peraturannya masih sama dengan yang lalu. Kalau kamu ngerasa nggak match atau dia yang menolak, maka pertemuan berakhir di kali pertama kalian bertemu." "Lagian... Bunda juga nggak habis pikir sih. Kenapa Anak cantik, cerdas dan membanggakan seperti kamu bisa-bisanya di tolak. Apa jangan-jangan kamu yang mengancam mereka?" tanya Bundanya penuh selidik. Aurora lantas bangkit dari duduk nya seraya berucap, "Apa sih Bun? jangan ngaco ah." Aurora lalu berjalan ke arah meja kerjanya. "Bun, kalo nggak ada yang mau disampaikan lagi. Aku mau lanjutin kerjaan dulu yaa." Martha mendengus geli, selalu seperti ini. "Yasudah silahkan lanjutkan, nanti kita bicarakan lagi. Jangan terlalu malam, ingat! Kamu itu manusia, bukan robot. Butuh istirahat juga." "Iya bun." "Bunda tetap mengharapkan pertemuan antara kamu dan anak sahabat bunda itu terjadi," ucap Martha sambil bangkit dari sofa lalu keluar. Selepas Bundanya keluar, lantas Aurora termenung sesaat. "Maafkan aku bun, aku tidak bermaksud membangkang. Aku hanya tidak ingin menambah luka dihatiku lagi" Aurora Iskandar Meschach adalah anak pertama dari salah satu pasangan dokter paling dihormati di kota itu. Ayahnya, Fattah Iskandar Meschach, adalah seorang dokter ahli bedah kardiotoraks legendaris yang kini memimpin sebuah rumah sakit swasta miliknya sendiri. Sementara ibunya, Martha Adinda Meschach, adalah seorang dokter bedah saraf yang brilian. Tumbuh di tengah dunia medis yang penuh presisi dan kecerdasan, Aurora justru memilih jalan yang berbeda. Alih-alih mengikuti jejak orang tuanya, ia lebih memilih menjadi seorang Desainer Busana dan merintis usahanya sendiri, ia menjadi pemilik sebuah butik yang mulai dikenal masyarakat luas. Dan, diusianya yang sudah menginjak seperempat abad ini, dia masih nyaman dengan status lajangnya. Bukan tidak mau membuka hati untuk para pria diluaran sana, hanya saja kejadian di masa lalu membuatnya berfikir ribuan kali untuk menjalin suatu hubungan.Satu minggu telah berlalu sejak pertemuan di kantor Aurora. Kontrak sponsor telah resmi ditandatangani. Bagi dunia luar, dan terutama bagi orang tua mereka, semuanya tampak berjalan mulus.Di kamarnya yang luas, Aurora sedang berdiri di depan cermin, merapikan dress yang ia kenakan. Pikirannya sama sekali tidak fokus pada penampilannya, melainkan pada undangan makan malam yang terasa janggal ini.Pintu kamarnya terbuka dan Bunda Martha masuk dengan wajah ceria."Wah, putri Bunda cantik sekali," puji Bunda Martha sambil merapikan rambut Aurora. "Keluarga Pradana pasti terpesona melihatmu."Aurora menatap pantulan wajah ibunya di cermin dengan kening berkerut."Bun, aku masih nggak ngerti," kata Aurora, akhirnya menyuarakan kebingungannya."Nggak ngerti apa, sayang?""Ini kan butikku yang disponsori oleh perusahaan mereka," jelas Aurora, nadanya terdengar seperti sedang menganalisis sebuah kasus bisnis.
Aura dinging sangat terasa di ruangan itu. Mereka berdua berdiri di ujung prinsip masing-masing, tidak bisa maju dan tidak mau mundur. Keheningan terasa berat, dipenuhi oleh argumen yang tak terucapkan. Aurora adalah yang pertama memecah keheningan itu. Ia berpaling sebentar kesamping, menghela napas, kali ini bukan karena marah, tapi karena lelah. Tembok pertahanannya sedikit runtuh, menunjukkan wanita di baliknya yang lelah berperang.Aurora kembali menatap Rasya. "Lihat?" ucapnya, suaranya lebih pelan tapi terdengar jelas. "Kamu lihat sendiri, kan? Tidak ada satu pun titik temu di antara percakapan kita tentang perjodohan ini." Dia menatap Rasya dengan tatapan yang jujur dan putus asa. "Aku bisa membayangkan betapa kacaunya komunikasi kita nanti jika kita benar-benar terikat dalam sebuah pernikahan." Aurora berhenti sejenak, mengumpulkan keberanian untuk langkah terakhirnya. 'Salah Aurora, kamu salah. Justru, aku bisa membayangkan betapa pernikahan kita nanti tidak akan perna
Mereka kembali ke titik awal, dalam sebuah perang dingin di ruangan pribadi Aurora. Kalimat terakhir Rasya 'Tapi sepertinya, kamu lebih suka cara yang sulit' terngiang di telinga Aurora. Ruangan itu kembali hening, tapi kali ini dipenuhi oleh perang batin di dalam kepala Aurora. Amarah. Itulah yang pertama ia rasakan. Amarah pada pria di depannya, pada orang tuanya, pada takdir yang membuatnya terpojok seperti ini. Rasanya ia ingin berteriak dan mengusir Rasya keluar dari ruangannya. Tapi kemudian, akal sehatnya perlahan mengambil alih. 'Berteriak tidak akan ada gunanya,' pikirnya. 'Melawannya dengan emosi hanya akan memberinya kemenangan. Dia sudah membuktikannya di restoran. Dia kebal terhadap penolakan. Dia justru menikmati perlawananku.' batin Aurora bermonolog Dia menatap Rasya yang berdiri dan menatapnya dengan tenang, seolah sudah tahu dia akan menang. 'Dia menawarkan kerjasama... menjadi "mitra" mitra apa yang dia maksud? Pernikahan kontrak? Tapi... bagaimana jika itu s
Kantor Aurora terbilang sangat luas, terdiri dari dua lantai. Lantai pertama, ia gunakan untuk butiknya. Dan lantai kedua, ia gunakan untuk area meeting, area menerima tamu VVIP, dan ruangan pribadinya. Akhirnya, mereka sampai di depan sebuah pintu kayu solid. Alih-alih membawa Rasya ke area VVIP, kakinya malah membawanya ke ruang pribadinya. Aurora membuka pintu ruangan itu dan masuk lebih dulu, menahan pintu untuk Rasya agar bisa masuk lebih dulu ke dalam ruangan. "Silahkan." ucap Aurora tegas. Setelah Rasya masuk, Aurora menutup pintu di belakangnya, lalu berbalik dan menyilangkan tangan di dada. Sebuah postur defensif. "Oke, kita sudah berdua. Apa yang ingin anda bicarakan, Pak Rasya? Babak kedua dari ujian tadi?" Rasya tidak langsung menjawab. Matanya berkeliling mengamati ruangan Aurora—sketsa-sketsa desain yang tertempel di dinding, tumpukan majalah mode, sampel kain yang berwarna-warni. Ruangan ini terasa sangat personal, sangat "Aurora". Akhirnya, ia berhenti dan menat
Aurora menatap Rasya, menjaga ekspresinya tetap netral. "Silahkan, Pak Rasya." Rasya sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya tertaut di atas meja. Matanya tidak pernah lepas dari Aurora. "Anda sudah menjelaskan konsep kreatifnya dengan sangat baik, Nona Meschach," ucapnya, sengaja menggunakan nama belakangnya yang formal dan menjaga jarak. "Tapi, di luar brand awareness yang sifatnya kualitatif, bagaimana anda akan mengukur kesuksesan acara ini secara kuantitatif? Metrik spesifik apa yang akan anda berikan pada kami untuk menunjukan Return On Investment dari sponsor yang kami berikan?" Rasya memberikan serangan yang sempurna. Ia sengaja membelokan diskusi dari dunia seni dan visi—yang merupakan kekuatan Aurora ke area angka, data, dan laba. Mengujinya di wilayah paling korporat. Dia tidak bertanya apakah acaranya akan indah. Justru ia be
Seminggu setelah proposal sponsornya secara "ajaib" disetujui oleh Aetherion Group dalam waktu singkat, hari pertemuan pertama itu pun tiba. Ruang meeting di kantor Aurora sudah siap. Timnya sudah berkumpul, sedikit tegang karena aura bos mereka yang sangat serius. Presentasi sudah siap di layar. Air mineral dan snack sudah tersaji. "Bisa kita mulai, Pak Frans?" tanya Aurora pada salah satu staf Aetherion Group. Perwakilan dari Aetherion Group—yang ternyata adalah tim dari Elysian Media—datang dengan tiga orang perwakilan; seorang manajer marketing dan dua stafnya. Mereka sudah saling memperkenalkan diri begitu tiba di kantor Aurora. Dalam perkenalan singkat itu, Aurora sedikit terkejut ketika sang manajer menjelaskan bahwa seluruh urusan terkait fashion show akan diawasi langsung oleh CEO mereka, CEO Elysian Media, yang merupakan salah satu perusahaan di bawah naungan Aetherion Group. Elysian Media akan menjadi mitra media promosi untuk keseluruhan acaranya. Namun, bukan nama







