Share

2. Tak Tepat Waktu

Author: Bintangjatuh
last update Last Updated: 2025-10-07 22:00:07

Aurora melangkah masuk ke lobi restoran bintang lima itu, kehadirannya langsung menarik perhatian. Malam ini, ia mengenakan dress sabrina lengan pendek berwarna maroon yang memancarkan keanggunan. Sebuah pilihan yang sebenarnya ia debat dengan Bundanya; Aurora tidak ingin terlihat spesial malam ini, ia sebenarnya lebih memilih mengenakan celana panjang yang praktis, tapi akhirnya mengalah dengan syarat gaunnya harus tetap 'wajar' dan tidak membatasi ruang gerak. Baginya, penampilan bukan soal keindahan, tapi juga soal otoritas dan kenyamanan.

Aurora menghampiri meja resepsionis dengan langkah mantap. Di sana ada dua staf yang mengangguk ramah.

"Selamat malam, Bu," sapa salah satu resepsionis, "sudah ada reservasi?"

Aurora mengangguk singkat. "Atas nama Rasya."

Staf itu mengetik sebentar di komputernya. "Maaf, Bu. Di sini ada dua reservasi atas nama Bapak Rasya. Boleh kami tahu nama lengkapnya?"

Aurora berpikir sesaat, karena tiba - tiba dia lupa kepanjangan dari orang yang akan ditemuinya malam ini. 'Konyol.. kenapa bisa lupa disaat seperti ini.' batinnya.

Resepsionis itu menunggu dengan sabar.

Dia mencoba mengingat-ingat, dan sebuah nama acak muncul di kepalanya. Dia mengucapkan dengan nada seyakin mungkin.

"Emm.. atas nama Rasya Wijaya."

'Eh, apa iya ya wijaya?' tanyanya dalam hati.

Resepsionis tersebut mengernyit bingung. "Maaf bu, tidak ada atas nama Rasya Wijaya disini."

Aurora tersenyum canggung. Wajahnya sedikit panas karena malu, tapi dia tidak berekspresi berlebihan.

"Oh maaf, sepertinya saya salah ingat," ucapnya dengan tenang, "bisa tolong sebutkan kedua nama belakangnya? Salah satunya pasti benar."

Permintaan yang lugas dan penuh kendali membuat resepsionis itu mengangguk cepat.

"Tentu, bu. Di sini tertera atas nama Rasya Alatas dan Rasya Pradana."

"Nah.. yang kedua. Rasya Pradana," ucap Aurora tanpa jeda.

"Baik bu, mari saya antar," ucap resepsionis yang berdiri di samping orang yang tadi berbicara dengan Aurora.

Aurora mengikuti resepsionis menuju area privat room.

Begitu sampai di tempat yang dituju, resepsionis tersebut pamit undur diri.

Aurora mendudukkan dirinya.

Ternyata orang yang akan ditemuinya malam ini belum datang, terlihat di ruangan itu hanya ada ia seorang.

Aurora melirik jam tangannya. Sudah lewat lima menit.

'Ck! sungguh tidak disiplin' gerutunya dalam hati

'Lupa nama lengkapnya aja sudah buat aku kesel.' batinnya sinis. 'Dan sekarang, dia terlambat. Benar-benar tidak profesional.'

Lima belas menit berlalu namun yang ditunggu tak kunjung tiba. Aurora jadi menerka nerka seperti apakah kiranya sosok anak teman Bundanya ini. Aurora berfikir, pasti dia adalah sosok laki-laki yang tidak bertanggung jawab, dan tidak bisa memegang janji. Terbukti dari hal kecil seperti ini saja dia tidak bisa tepat waktu. Atau mungkin Rasya memang tidak mau bertemu dengannya. Hati Aurora sedikit lega, itu artinya dia tidak perlu meneruskan rencana Bundanya untuk perjodohan ini.

Maka Aurora terbebas, dan bisa memberikan alasan yang pasti untuk menolak. Ia putuskan untuk menunggu sebentar lagi. Semoga Rasya benar-benar tidak datang.

Pikiran Aurora jadi melayang ke kejadian beberapa hari lalu. Ketika sang Bunda memperlihatkan foto anak temannya yang membuat Aurora seketika geleng-geleng kepala dan tertawa terpingkal-pingkal.

Tiga hari yang lalu...

"Sayang.. jangan sampai lupa ya. Bunda ingetin lagi, Sabtu malam, di Aetherna Gastronomy," ucap Martha antusias.

Fattah, Aurora, dan Martha sekarang sedang berada di ruang keluarga. Rutinitas mereka setelah makan malam adalah bersantai ria di ruangan itu. Sekedar ngobrol-ngobrol santai setelah seharian beraktivitas.

"Bunda terus aja bahas itu." Aurora mengerucutkan bibirnya sebal.

"Bunda hanya ingin yang terbaik untukmu, sayang." Martha mengelus puncak kepala Aurora.

"Bunda.. jangan terlalu memaksanya." ucap Fattah menyela, yang dihadiahi delikan protes dari istrinya itu.

"Tuh Ayah aja nggak maksa." Aurora menyeringai lebar ke arah ayahnya.

"Maksud ayah, jangan terlalu memaksa bukan berarti tidak setuju. Ayah setuju dengan pertemuan itu, hanya saja tidak perlu dengan paksaan." ralat Fattah seraya melirik ke arah Martha.

"Ayah gitu deh." Aurora malah tambah mengerucutkan bibirnya.

"Sayang, bunda yakin dia bisa membuatmu menjadi pribadi yang lebih kuat dan mandiri."

"Bun, tanpa dia atau tanpa siapapun itu, aku bisa menjadi apa saja yang bunda dan ayah inginkan, lagi pula aku tidak membutuhkan seorang pendamping untuk hidup aku. Bagiku, Ayah dan Bunda selalu ada di sampingku, itu sudah lebih dari cukup."

"Ya ampun, Aurora. Jangan berbicara seperti itu. Mau sampai kapan kamu terus berpikir seperti itu. Setiap manusia itu diciptakan berpasang-pasangan. Kamu masih sakit hati tentang masa lalumu, Bunda mengerti, sangat mengerti tapi mau sampai kapan kamu terkungkung oleh masa lalu. Kamu harus mulai bisa membuka hatimu lagi, terlepas dari siapapun itu meskipun bukan dengan pria yang bunda jodohkan denganmu."

Aurora menunduk tidak berniat untuk merespon ucapan bundanya.

"Selama ini bunda hanya menghargai keinginan teman-teman bunda agar anaknya bisa di kenalkan denganmu. Dan bunda nggak pernah maksa kalo kamu memang nggak cocok. Tapi untuk kali ini saja, bunda mohon sama kamu untuk menerima permintaan ini, setidaknya saling mengenal satu sama lain dulu."

Aurora masih tidak bergeming.

"Percayalah, sayang. Segala yang Bundamu lakukan, itu yang terbaik untukmu." Fattah mengelus lembut puncak kepala putrinya.

"Aurora sayang, Bunda dan Ayah sudah semakin tua, nak. Bunda ingin melihatmu menikah, dan bahagia bersama keluarga kecil kalian nantinya. Umur tidak ada yang tahu kan?" Martha tersenyum lembut.

Kali ini Aurora mendongkak menatap Martha dan Fattah bergantian.

"Aku nggak suka kalo bunda udah bicara kayak gitu."

"Bunda juga tidak suka kamu terus seperti ini," balas Martha.

Aurora menghela nafas dalam-dalam.

"Baiklah Bunda, aku akan penuhi keinginan Bunda dan Ayah."

"Nah gitu dong." Martha tersenyum senang.

"Oh ya, sebentar." Martha bangkit dari duduknya mengambil sesuatu di laci ruang tamu dan kembali ke ruang keluarga.

"Ini dia orangnya. Namanya Rasya Pradana." Martha menyodorkan sebuah foto kehadapan Aurora.

Aurora mengambil foto yang di berikan Bundanya, detik berikutnya ia malah tertawa terpingkal-pingkal. Tawa yang tak pernah Aurora perlihatkan sebelumnya.

Fattah dan Martha melihat putrinya dengan tatapan heran.

"Ayah, lihat yah. Masa bunda mau aku ketemu sama balita."

Fattah melihat foto yang di sodorkan putrinya, lantas ia ikut tertawa, yang menyebabkan Martha mendengus sebal.

"Itu waktu Rasya umur 4 tahun, Ra. Sekarang dia sudah berumur 29 tahun."

"Lagian bunda, apa tidak ada fotonya yang sekarang?" Fattah ikut bersuara.

"Tidak Ada yah. Miranda bilang anaknya tidak suka difoto. Jadi, ya cuma itu yang ada.

"Tapi, Miranda pernah mengirimkan fotonya yang sekarang. Ada di handphone Bunda. Kamu mau lihat, Ra?" Tanyanya pada Aurora.

Aurora menggeleng seraya masih tertawa melihat foto yang masih berada di tangannya. Begitu ia tersadar, ekspresinya langsung datar. Kenapa ia merasa senang saat menertawakan foto itu. Tapi memang tidak bisa dipungkiri, balita yang ada difoto itu memang menggemaskan dengan pose tersenyum lebar dengan salah satu giginya yang ompong.

"Terima kasih sudah menunggu." Sebuah suara tiba-tiba mengintrupsi lamunan Aurora.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   11. Pertemuan Dua Keluarga

    Satu minggu telah berlalu sejak pertemuan di kantor Aurora. Kontrak sponsor telah resmi ditandatangani. Bagi dunia luar, dan terutama bagi orang tua mereka, semuanya tampak berjalan mulus.Di kamarnya yang luas, Aurora sedang berdiri di depan cermin, merapikan dress yang ia kenakan. Pikirannya sama sekali tidak fokus pada penampilannya, melainkan pada undangan makan malam yang terasa janggal ini.Pintu kamarnya terbuka dan Bunda Martha masuk dengan wajah ceria.​"Wah, putri Bunda cantik sekali," puji Bunda Martha sambil merapikan rambut Aurora. "Keluarga Pradana pasti terpesona melihatmu."​Aurora menatap pantulan wajah ibunya di cermin dengan kening berkerut.​"Bun, aku masih nggak ngerti," kata Aurora, akhirnya menyuarakan kebingungannya.​"Nggak ngerti apa, sayang?"​"Ini kan butikku yang disponsori oleh perusahaan mereka," jelas Aurora, nadanya terdengar seperti sedang menganalisis sebuah kasus bisnis.

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   10. Rasa yang Aneh

    Aura dinging sangat terasa di ruangan itu. Mereka berdua berdiri di ujung prinsip masing-masing, tidak bisa maju dan tidak mau mundur. Keheningan terasa berat, dipenuhi oleh argumen yang tak terucapkan. Aurora adalah yang pertama memecah keheningan itu. Ia berpaling sebentar kesamping, menghela napas, kali ini bukan karena marah, tapi karena lelah. Tembok pertahanannya sedikit runtuh, menunjukkan wanita di baliknya yang lelah berperang.Aurora kembali menatap Rasya. "Lihat?" ucapnya, suaranya lebih pelan tapi terdengar jelas. "Kamu lihat sendiri, kan? Tidak ada satu pun titik temu di antara percakapan kita tentang perjodohan ini." Dia menatap Rasya dengan tatapan yang jujur dan putus asa. "Aku bisa membayangkan betapa kacaunya komunikasi kita nanti jika kita benar-benar terikat dalam sebuah pernikahan." Aurora berhenti sejenak, mengumpulkan keberanian untuk langkah terakhirnya. 'Salah Aurora, kamu salah. Justru, aku bisa membayangkan betapa pernikahan kita nanti tidak akan perna

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   9. Tiada Akhir

    Mereka kembali ke titik awal, dalam sebuah perang dingin di ruangan pribadi Aurora. Kalimat terakhir Rasya 'Tapi sepertinya, kamu lebih suka cara yang sulit' terngiang di telinga Aurora. Ruangan itu kembali hening, tapi kali ini dipenuhi oleh perang batin di dalam kepala Aurora. Amarah. Itulah yang pertama ia rasakan. Amarah pada pria di depannya, pada orang tuanya, pada takdir yang membuatnya terpojok seperti ini. Rasanya ia ingin berteriak dan mengusir Rasya keluar dari ruangannya. Tapi kemudian, akal sehatnya perlahan mengambil alih. 'Berteriak tidak akan ada gunanya,' pikirnya. 'Melawannya dengan emosi hanya akan memberinya kemenangan. Dia sudah membuktikannya di restoran. Dia kebal terhadap penolakan. Dia justru menikmati perlawananku.' batin Aurora bermonolog Dia menatap Rasya yang berdiri dan menatapnya dengan tenang, seolah sudah tahu dia akan menang. 'Dia menawarkan kerjasama... menjadi "mitra" mitra apa yang dia maksud? Pernikahan kontrak? Tapi... bagaimana jika itu s

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   8. Menawarkan Ke'mitra'an

    Kantor Aurora terbilang sangat luas, terdiri dari dua lantai. Lantai pertama, ia gunakan untuk butiknya. Dan lantai kedua, ia gunakan untuk area meeting, area menerima tamu VVIP, dan ruangan pribadinya. Akhirnya, mereka sampai di depan sebuah pintu kayu solid. Alih-alih membawa Rasya ke area VVIP, kakinya malah membawanya ke ruang pribadinya. Aurora membuka pintu ruangan itu dan masuk lebih dulu, menahan pintu untuk Rasya agar bisa masuk lebih dulu ke dalam ruangan. "Silahkan." ucap Aurora tegas. Setelah Rasya masuk, Aurora menutup pintu di belakangnya, lalu berbalik dan menyilangkan tangan di dada. Sebuah postur defensif. "Oke, kita sudah berdua. Apa yang ingin anda bicarakan, Pak Rasya? Babak kedua dari ujian tadi?" Rasya tidak langsung menjawab. Matanya berkeliling mengamati ruangan Aurora—sketsa-sketsa desain yang tertempel di dinding, tumpukan majalah mode, sampel kain yang berwarna-warni. Ruangan ini terasa sangat personal, sangat "Aurora". Akhirnya, ia berhenti dan menat

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   7. Ujian Manis

    Aurora menatap Rasya, menjaga ekspresinya tetap netral. "Silahkan, Pak Rasya." Rasya sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya tertaut di atas meja. Matanya tidak pernah lepas dari Aurora. "Anda sudah menjelaskan konsep kreatifnya dengan sangat baik, Nona Meschach," ucapnya, sengaja menggunakan nama belakangnya yang formal dan menjaga jarak. "Tapi, di luar brand awareness yang sifatnya kualitatif, bagaimana anda akan mengukur kesuksesan acara ini secara kuantitatif? Metrik spesifik apa yang akan anda berikan pada kami untuk menunjukan Return On Investment dari sponsor yang kami berikan?" Rasya memberikan serangan yang sempurna. Ia sengaja membelokan diskusi dari dunia seni dan visi—yang merupakan kekuatan Aurora ke area angka, data, dan laba. Mengujinya di wilayah paling korporat. Dia tidak bertanya apakah acaranya akan indah. Justru ia be

  • Terjerat Takdir Cinta Sang Pangeran Aetherion   6. Second Meeting

    Seminggu setelah proposal sponsornya secara "ajaib" disetujui oleh Aetherion Group dalam waktu singkat, hari pertemuan pertama itu pun tiba. Ruang meeting di kantor Aurora sudah siap. Timnya sudah berkumpul, sedikit tegang karena aura bos mereka yang sangat serius. Presentasi sudah siap di layar. Air mineral dan snack sudah tersaji. "Bisa kita mulai, Pak Frans?" tanya Aurora pada salah satu staf Aetherion Group. Perwakilan dari Aetherion Group—yang ternyata adalah tim dari Elysian Media—datang dengan tiga orang perwakilan; seorang manajer marketing dan dua stafnya. Mereka sudah saling memperkenalkan diri begitu tiba di kantor Aurora. Dalam perkenalan singkat itu, Aurora sedikit terkejut ketika sang manajer menjelaskan bahwa seluruh urusan terkait fashion show akan diawasi langsung oleh CEO mereka, CEO Elysian Media, yang merupakan salah satu perusahaan di bawah naungan Aetherion Group. Elysian Media akan menjadi mitra media promosi untuk keseluruhan acaranya. Namun, bukan nama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status