Masuk"Rasya," sapa Aurora, suaranya terdengar sangat serius. "Maaf ganggu ya, malam-malam. Apa kamu ada waktu besok pagi? Ada sesuatu yang sangat, sangat penting yang harus aku bicarakan denganmu. Langsung, berdua."
Rasya langsung menangkap nada urgensi dalam suara Aurora. Dia tidak bertanya lebih jauh. "Tentu. Jam 9? Aku akan datang ke butikmu. Atau kamu mau aku jemput?""Nggak usah, Rasya. Terima kasih," ucap Aurora pelan. "Sampai besok, ya."Aurora menutup teleponnya. Ia sudah memutuskan untuk jujur, apa pun risikonya.Keesokan paginya, sinar matahari menerobos masuk ke butik Aurora, namun tidak mampu menghangatkan suasana tegang di dalamnya.Rasya tiba tepat jam 9. Wajahnya serius, menangkap sisa-sisa kegelisahan di udara bahkan sebelum Aurora sempat berbicara.Aurora mempersilakannya duduk, sementara dia sendiri memilih untuk tetap berdiri, seolah membutuhkan pijakan yang lebih kokoh.Aurora tidak membuang waktu.Sebuah taksi online sudah menunggu di depan gerbang.Galaxy berdiri di teras dengan koper besar di sampingnya dan ransel tersandang di bahu. Ia mengenakan hoodie universitasnya, siap kembali ke realitas sebagai mahasiswa rantau.Aurora, yang kini sudah segar dengan pakaian kasual, memeluk adiknya erat-erat."Jangan lupa makan, Gal," pesan Aurora, mode 'Kakak Cerewet'-nya aktif. "Kurangi mie instan. Kalau uang bulanan kurang, bilang Kakak. Jangan minjem teman.""Iya, Kak Rara, iyaaa," jawab Galaxy, menepuk punggung kakaknya. "Uang jajan aman kok, kan sekarang punya Kakak Ipar Sultan."Galaxy melepaskan pelukan, lalu menyengir ke arah Rasya yang berdiri di samping Aurora."Ya kan, Bang Rasya?" goda Galaxy.Rasya, yang sejak tadi berusaha menyembunyikan ketegangan soal Paris di balik wajah tenangnya, tertawa kecil. "Aman. Kirim aja nomor rekening kamu kalau darurat.""Mantap!" seru Galaxy. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya, mengarahkan kamera ke wajah mereka bertiga."Oke, Guys. Gue b
Aroma biji kopi arabika yang baru digiling menguar, memenuhi udara.Rasya berdiri di depan island dapur, bertelanjang dada, hanya mengenakan celana piyama panjang berwarna abu-abu. Rambutnya masih sedikit berantakan khas bangun tidur, namun tangannya dengan terampil menuangkan air panas ke dalam dripper kopi.Ia begitu fokus pada pusaran air di serbuk kopi itu, hingga tidak menyadari langkah kaki pelan di belakangnya.Aurora melangkah tanpa suara. Ia mengenakan kemeja putih kebesaran milik Rasya—yang entah kenapa terasa lebih nyaman daripada piyama sutranya sendiri.Ia berhenti sejenak, bersandar di kusen pintu, menikmati pemandangan di depannya. Punggung lebar suaminya, otot bahunya yang bergerak pelan saat menuang air, dan ketenangan yang memancar dari pria itu.Ada perasaan hangat yang menjalar di dada Aurora. Perasaan memiliki yang begitu kuat setelah pengakuan "takdir" semalam.Aurora berjalan mendekat, lalu tanpa peringatan, ia melingkarkan kedua lengannya di pinggang Rasya dar
"Ya ampuuuun!" pekik kedua ibu itu setengah histeris. Tangan mereka saling bertaut gembira. "Jadi anak itu...?!"Para Ayah tersenyum haru, menggelengkan kepala melihat keajaiban Tuhan.Rasya dan Aurora hanya saling menatap. Kepingan-kepingan masa lalu itu akhirnya jatuh ke tempatnya, membentuk gambar yang utuh.Gadis kecil manis dengan pita biru.Anak laki-laki baik hati dengan gantungan kunci robot.Pandangan pertama yang tak bernama itu. Ternyata... adalah satu sama lain."Jadi..." bisik Aurora, air mata haru mulai menggenang di matanya. "Selama ini..."Rasya tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa menarik istrinya ke dalam pelukan yang sangat erat, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Aurora."Selama ini," balas Rasya, suaranya serak karena perasaan yang membuncah. "Itu selalu kamu, Aurora. Selalu kamu."Cerita mereka bukan lagi tentang perjodohan paksa, tapi tentang takdir yang akhirnya menemukan jalan pulangnya.Sebuah lingkaran sempurna yang dimulai di taman rumah sakit enam be
Rasya, yang baru saja selesai membantu para ayah memanggang daging, datang menghampiri mereka sambil membawa minuman. Ia hanya tersenyum melihat interaksi itu dan dengan santai merangkul pinggang Aurora dari samping. "Jangan ganggu istriku, Gal," peringatnya pada Galaxy dengan nada jenaka namun protektif. Saat malam semakin larut dan semua orang sudah selesai makan, Rasya mengetuk gelasnya dengan sendok pelan. Ting ting ting. Semua orang menoleh. "Aku tidak pandai berpidato informal," mulainya, matanya menatap satu per satu wajah orang-orang yang paling ia sayangi. "Tapi malam ini, aku hanya ingin bilang terima kasih." Rasya menatap kedua pasang orang tua. "Terima kasih sudah 'memaksa' kami bertemu, meskipun awalnya kami berdua sangat keras kepala." Lalu, menatap Galaxy dan Naina. "Terima kasih sudah menjadi pilar kekuatan untuk Aurora." Dan terakhir, ia menatap A
Rumah yang sebulan lalu kosong melompong dan bergema, kini telah terisi sepenuhnya.Aroma lilin aromaterapi bercampur dengan aroma masakan rumahan yang menggugah selera memenuhi udara. Di ruang tengah, sofa custom yang dipilih Aurora sudah tertata rapi, dihiasi bantal-bantal yang lembut. Lukisan abstrak minimalis tergantung pas di dinding utama, memberikan nyawa pada ruangan itu.Hari ini, mereka menggelar acara syukuran kecil-kecilan. Hanya keluarga inti, dan sahabat terbaik Aurora. Naina.Suara tawa dan obrolan ramai terdengar hingga ke teras.Di ruang tamu, Miranda sedang berdiri berkacak pinggang—bukan marah, tapi sedang mengagumi chandelier modern berbentuk ranting kristal yang menggantung di plafon tinggi."Oke, Mama mengakui," ucap Miranda dramatis, menoleh pada Aurora yang sedang menata piring di meja makan."Kenapa, Ma?" tanya Aurora tersenyum."Ternyata kamu benar. Desainer Italia kenalan Mama itu mungkin bakal bikin rumah ini terlalu kaku kayak lobi hotel," aku Miranda juj
Aurora mengangguk semangat. "Banget. Mungkin karena makannya di rumah sendiri, bareng suami."Rasya tersenyum, menatap sekeliling ruangan. Dinding Ivory Mist pilihan Aurora memantulkan cahaya lampu dengan hangat. Rumah ini benar-benar punya jiwa. Jiwa Aurora."Terima kasih udah capek-capek ngurus ini semua," ucap Rasya tulus. "Padahal kamu lagi sibuk persiapan launching.""Aku nggak capek kok," jawab Aurora, menyandarkan kepalanya di bahu Rasya. "Justru ini terapi. Di sini... aku cuma mikirin apa yang bikin kita nyaman."Keheningan turun sejenak, hanya diisi oleh suara hujan yang menghantam jendela-jendela kaca besar tanpa tirai. Udara dingin dari lantai marmer mulai merambat naik, kontras dengan kehangatan tubuh mereka yang berdekatan."Dingin?" tanya Rasya pelan. Ia sudah melepas jas kerjanya, menyisakan kemeja putih yang kancing teratasnya terbuka."Sedikit," jawab Aurora, merapatkan tubuhnya.Rasya tidak menja







