Johan––laki-laki tua itu mampu membuat Angela terbuai, ternyata Johan adalah seorang bandar besar.Menjelang pagi, mereka baru menyudahi semuanya. Angela pun pulang dengan perasaan bahagia. Wanita itu menang banyak malam tadi, selain mendapatkan uang yang lumayan jumlahnya ia juga puas mengonsumsi barang haram yang selama ini ia kenalkan pada Adiaz. Bedanya, biasanya ia menikmati barang haram itu harus dengan mengeluarkan uang yang nominalnya tidak sedikit, tetapi kali ini ia bisa sepuasnya tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun. Satu lagi yang membuat Angela merasa di atas angin, Johan sangat puas dengan pelayanan yang ia berikan dan berjanji akan selalu mendatanginya. Sebagai bentuk keseriusan, Johan membekali Angela satu buah kartu debit miliknya untuk dipergunakan Angela sepuasnya. “Aaahh ... akhirnya, dewa keberuntungan berpihak padaku.” Angela berkata sendiri seraya menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur.“Eh, tunggu ... tadi Johan bilang akan sesering mungkin mengunjung
Tiba di kafe, Mentari mengirimkan pesan pada Adiaz, menanyakan keberadaannya. Namun, sama sekali tidak ada balasan walaupun terkirim. Ternyata, Angela senang menikmati kebodohan Mentari. Tidak berputus asa, Mentari menunggu di salah satu sudut kafe. Sudah dua jam berlalu, tidak ada tanda-tanda kemunculan Adiaz. Sampai akhirnya, waktu sudah semakin beranjak naik, saat ini waktu sudah hampir tengah malam.“Maaf, Kak. Kami sudah mau tutup.”“Lho? kenapa cepat sekali tutupnya? Bisa kasih saya waktu sebentar? Calon suami saya sebentar lagi tiba." “Maaf, Kak. Gak bisa. Ini sudah waktunya kafe kami tutup, Kak." “Tapi … saya sedang menunggu tunangan saya datang ke sini!" Mentari menunjukkan foto Adiaz.Pelayan kafe saling memberikan tatapan penuh tanda tanya. “Maaf, Kak. Kami sama sekali tidak melihat. Yang lain juga begitu." Terpaksa Mentari keluar dari kafe dengan hati hampa. Halusinasinya, mengenai pertemuan indah yang akan dia dapatkan, malah berubah menjadi luka hati yang dalam
Adiaz segera pamit untuk pergi ke toilet. Dia tidak nyaman melihat pemandangan itu. Baginya, cukuplah Mentari wanita yang bersamanya. Wanita-wanita seperti yang di dalam itu sama sekali bukan seleranya. Lelaki itu tidak pergi ke toilet, ia hanya berpindah tempat untuk sesaat ke salah satu sudut ruangan yang tak begitu ramai. Sedikit lebih tenang, setidaknya ia bisa menghindari muncikari tadi yang sudah dipastikan akan menawarkan ‘dagangannya' secara paksa. Gadis-gadis tadi akan dengan sangat agresif melayani luar dalam para lelaki yang mencari ‘kesenangan' di tempat ini. “Ehm, sendiri? Boleh kutemani?” Tiba-tiba seorang wanita dengan penampilan sama dengan tiga gadis yang Adiaz hindari, sudah berdiri di depannya. Adiaz tak menjawab, ia hanya melirik sebentar lalu kembali membuang muka. “Aku tidak butuh teman, apalagi wanita sepertimu,” jawab Adiaz ketus. “Hahaha ... kamu yakin?” Wanita itu tertawa kecil. Adiaz menatap jijik ke arah wanita yang sedang mengepulkan asap rokoknya.
Angela BerulahSetelah melewati beberapa jam di dalam ruang IGD, dokter akhirnya keluar. Dia membuka masker yang berlapis-lapis.“Bagaimana keadaan teman saya, Dokter? Apa dia baik-baik saja?" tanya Rani khawatir. Dokter tampak terdiam. Sepertinya sulit untuk mengatakan kebenarannya. “Maafkan saya. Karena hal ini akan menjadi berita buruk." “Apa maksud, Anda? Tolong jangan biarkan saya merasa–“ kata-kata Rani seperti nyangkut di tenggorokan karena tersedak tangisan. “Sekarang, keadaan pasien sangat kritis. Dia mengalami koma." Mendengar hal itu, Rani terduduk lemas. Mencoba untuk mencerna perkataan dokter. Benarkah Mentari koma? “Tapi, apakah dia bisa siuman lagi, Dokter?" Dokter itu menggeleng pelan. “Belum diketahui secara pasti. Tapi, dia masih memiliki kemungkinan untuk hidup." Rani bangkit dari posisinya. Dia mencengkeram tangan dokter sangat kuat. Lalu berkata dengan emosi, “Anda seorang dokter bukan? Kalau begitu, selamatkan dia! Jika tidak …." Ran
Menjelang malam, Adiaz kembali ke apartemen tempat dirinya dan Angela tinggal selama ini. Sebenarnya, dia tidak mau mengajak Angela untuk tinggal bersamanya, karena merasa malu. Apa kata teman-temannya nanti, jika Adiaz berselingkuh dari Mentari, demi wanita malam seperti Angela. Namun, ia juga butuh Angela untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Dia juga enggan membelikan wanita itu rumah, di dalam hati kecil Adiaz, Angela tidak mendapatkan posisi lebih baik dari Mentari yang sampai saat ini tetap bertahta di hatinya. “Lho, kamu sudah pulang? Sejak kapan? Kok, aku gak tahu kamu datang?” tanya Angela kaget saat melihat Adiaz tiba-tiba saja sudah berada di ruang depan. “Aku ada masalah." “Masalah apa lagi, sih? Perusahaan? Repot ah! Kalau begitu terus, kapan bisa kembali normal, sih. Aku bosan begini terus. Mana janji kamu untuk membelikan aku rumah!?" desak Angela. Adiaz merasa kecewa. Sifat asli Angela mulai terlihat saat ini. “Bukan itu. Ini masalah lain. Kamu dengarkan dulu."
HalusinasiTetesan darah membasahi area kasur. Seprei yang semula berwarna putih, kini sudah ternoda oleh warna merah darah yang pekat, juga berbau amis. Adiaz melihat laki-laki itu sempoyongan hingga mundur beberapa langkah, sepertinya pukulan yang dilayangkannya pada laki-laki itu cukup membuat dia kepayahan. Seketika tubuhnya ambruk menimpa meja rias yang penuh dengan alat-alat mekap Angela. Pecahan kaca melukai sebelah mata laki-laki itu, dia mengerang kesakitan membuat Adiaz panik, pendengarannya berdengung seperti ada ribuan lebah mengelilinginya. dan tanpa memedulikan teriakan dari Angela, ia terus berlari menyusuri jalanan sepi nan panjang. Adiaz tidak tahu dirinya berada di mana, yang dilakukannya hanya berlari dan terus berlari, langkahnya sungguh terasa ringan. Tak ada satu orang pun yang ia temui, semuanya lengang, sesekali pandangannya tertutup kabut hingga akhirnya dia melihat rumah yang sangat sederhana berada tepat di depannya. Adiaz men
Hingga akhirnya langkah kaki Adiaz terhenti di tepi jurang yang curam, sedangkan di seberang jurang sana ia melihat telaga yang sangat indah dengan banyak sekali burung merpati beterbangan, bunga-bunga yang sangat indah, dan juga ... seorang gadis!Adiaz seperti mengenali siapa gadis yang duduk menyendiri di tepi telaga itu, ya, Adiaz sangat mengenalinya. Dia adalah ... Mentari! “Mentari! Sayang! Kau kah itu?” Adiaz berteriak di antara curamnya jurang dan semilir angin. Gadis di seberang sana tetap tenang dalam posisinya tanpa sedikit pun menoleh ke arah Adiaz yang terus-terusan memanggil nama Mentari. Adiaz hampir kehabisan suara karena terus berteriak, tetapi gadis itu seperti tak mendengar suatu apa pun. Perlahan gadis itu bangkit dari posisinya dan melangkah menjauhi tempat di mana Adiaz hanya bisa menatap tanpa bisa menyentuh. Satu ... dua ... tiga, tepat dalam hitungan ketiga, tiba-tiba langkah gadis itu terhenti dan menoleh ke arah Adiaz. Mentari. Ya, ternyata dia memang
Setelah menunggu sekitar tiga puluh menit lamanya, akhirnya si BD datang juga. Dua kali kerlipan lampu dari kendaraan yang ia bawa adalah kode jika ia sudah mengamankan barang dan itu artinya Angela pun harus menyerahkan uangnya. Tanpa membuang waktu lagi, Angela segera menghampiri dan meletakkan amplop cokelat di jok belakang. “Sekitar tiga puluh meter dari sini, lu belok kiri, nanti akan ada bambu melintang, ikuti arah bambu runcing dan ambil bungkusan yang tertimbun dedaunan kering,” ucap si BD tanpa menunggu jawaban dari Angela, dia pun berlalu. Bagi Angela, itu bukan hal yang aneh, memang seperti itu cara aman bertransaksi, no transfer and no hand to hand. Urusan mereka pun selesai. Keesokan harinya, Angela pulang ke apartemen, ia mendapati Adiaz sedang menunggunya. Wajahnya sangat kusut, pakaiannya juga acak-acakan. Kantung matanya lebar. “Ke mana saja kamu!?" bentak Adiaz marah. Masih tidak terima dengan perlakuan Angela kemarin. “Aku ada urusan penting, kenapa?" jawab