Share

Apakah Dia Merindukanku?

Sehari setelah pernikahan, aku diajak ke rumah Bang Halim, dan berencana menginap satu malam di sana. Sebenarnya, aku kecewa dengan semua keluargaku. Dimana setelah menikah, tak ada seorangpun yang ikut menemaniku untuk pergi ke rumah Ibu Mertua.

sebagaimana teradisi di kampung setelah melaksanakan akad pernikahan. Keluarga mempelai wanita berombongan pergi ke rumah mempelai laki-laki, biasa disebut juga dengan istilah ngunduh mantu.

Namun, aku tidak melakukannya, padahal aku sangat ingin, tapi entahlah dengan semua saudaraku yang seperti enggan untuk mengantarkanku. Akhirnya, hanya aku dan Bang Halim yang pergi kerumah keluarga Bang Halim. Aku begitu perihatin dengan diriku sendiri, seakan-akan pernikahanku bukanlah hal yang penting dan istimewa bagi mereka.

Seandainya Ibu masih sehat dan ingatannya belum lemah, mungkin aku akan ditemani olehnya. Karena Ibu belum pernah bertandang ke rumah Ibunya Bang Halim. Tetapi, aku mencoba ikhlas dan ridho dengan segalanya. Yang ku harapkan saat ini, adalah menjalani rumah tangga yang baik bersama suami sahku. Dan belajar untuk tidak berandai-andai. Karena itu semua bisa membuat aku lebih kecewa dengan keluargaku sendiri bila terus menerus memikirkannya.

Hari ini, di rumah Mertuaku ada acara syukuran kecil-kecilan untuk mensyukuri pernikahanku. Ketika aku sedang memasak bersama keluarga besar Bang Halim, ada Bibinya Abang yang bertanya kepada Abang yang membuatku memperhatikan mereka.

"Gimana Bang? Sudah gol?" tanya sang Bibi dengan senyuman menyeringainya

"Apanya Bi? Baru juga muqodimah, soalnya lagi Ada tamu." Bang Halim terkekeh. Sedangkan semua yang di dapur tertawa geli mendengar jawaban Bang Halim.

"Waahh seriusan Om, lagi ada tamu?" ledek Bunga keponakan Bang Halim, "Kasihan si Om gak jadi buka puasa, wkwkwk" begitu renyahnya tawaan Bunga yg mengejek Omnya.

Aku yang sedang memasak, sontak menatap horor pada Bang Halim yang telah membeberkan urusan suami istri di atas ranjang. Sungguh! aku sangat malu dengan jawaban Bang Halim. Sedangkan orang yang ditatap malah cengengesan nggak jelas.

"Ampun, Dek! enggak lagi dah" bujuknya mengamankan situasi. Bisa-bisa enggak di izinin tidur bareng lagi kalo sudah membuat Sang Ratu kesal.

Setelah acara selesai, Aku dan Bang Halim tidur di kamar, sedangkan yang lain tidur di ruangan karena saking banyaknya saudara yang menginap disini, sehingga kamar yang ada tidak bisa menampung semua saudara Bang Halim.

Setelah semalam kami di rumah Bang Halim. Kami kembali ke rumah Ibuku. Karena Ibu hanya sendirian di rumah, jadi aku yang harus mengerti dengan ke adaan Ibu.

"Udah pulang toh, Ibu kira bakal lama di sana." katanya ketika aku mencium takdzim tangan beliau.

"Enggak Bu. Kesian Ibu di sini sendirian. Jadi pulang lagi aja, lagian Bang Halim lusa akan bekerja lagi." Aku menjawab sambil mengeluarkan oleh-oleh dari rumah Bang Halim. Sedangkan Ibu hanya memperhatikanku tanpa berbicara apapun.

Sudah seminggu Bang Halim tidak bekerja, akhirnya hari ini dirinya akan pulang ke rumahnya untuk bekerja. Aku menangis ketika Bang Halim akan berangkat ke rumahnya. Entah kenapa, aku merasa kehilangan dirinya. Padahal, tidak akan lama, ia akan kembali minggu depan. Bang Halim pun merasa kesian kepadaku, karena tidak bisa membawanya.

Bang Halim Bukan seperti Kang Aldi yang lama duduk di pesantren. Tapi Bang Halim mengerti kewajiban dan tanggung jawab yang harus dirinya lakukan. Bukankah setelah menikah Orang tua kita menjadi tiga? yaitu, orang tua yang melahirkan kita (Orang tua kandung), yang mengajari kita (Guru), terus yang menikahkan anaknya kepada kita (Mertua).

"Enggak apa-apa yaa kamu di sini temani Ibu?" tanya Bang Halim ketika dirinya akan kembali ke rumahnya.

"Hmm..." jawabku dengan bibir terkatup rapat.

"Kasihan Ibu sendirian di sini, kalo kamu ikut Abang, Ibu sama siapa? Kasihan Beliau sudah sepuh, bukannya Abang enggak sayang sama Adek, membiarkan Adek di sini. Tapi... Pasti Adek ngerti, keadaanya tidak mendukung. " Bang Halim menenangkanku yang sedang menahan tangis. Entah lah, aku seperti anak kecil yang akan ditinggalkan ayahnya pergi, Begitu berat rasaku ditinggal olehnya.

"Iyah enggak apa-apa, tapi Abang harus pulang minggu depan, ya.."

"Iyaahh Sayang... Abang akan pulang minggu depan. Tapi kalo seandainya minggu depan Abang enggak bawa uang gimana? Masih boleh pulang kesini enggak?" tanya Bang halim menggoda. Mungkin agar suasana hatiku tidak terlalu sedih.

"Terserah Abang aja!"

"Kesian kalo enggak pulang, kan kamu belum di unboxing sama Abang." Repleks, aku menepuk paha Bang Halim mendengar candaanya, yang sedang duduk di sisiku. Sedangkan Bang Halim malah terkekeh dan merangkulku, serta mendaratkan kecupan-kecupan ke wajahku.

"Gemass.." Kata-nya.

"Ya udah kalo mau pulang, ini sudah siang, nanti malah terlambat." halauku dengan mendorong pelan dadanya.

"Abang kerjanya bebas Dek, mau kapanpun berangkatnya enggak akan ada yang marah, palingan juga gajinya kecil." jawabnya santai, karena Bang Halim bekerja sebagai mandor di sebuah konveksi kecil, jadi dirinya memiliki kebebasan dalam bekerja.

"Yaa udah, Adek hati-hati di sini ya, do'akan Abang semoga dapart rizki yang halal serta berkah ya Dek. Kalo kangen telepon Abang aja." Aku hanya menganggukkan kepala menanggapinya. Lalu mencium ta'dzim tangan yang akan melindungiku suatu saat nanti.

Bang Halim pamit pada Ibu yang sedang berjemur. Lalu Bang Halim pergi dengan motor kesayangannya.

**

"Gimana kabarnya?" Tanya Kang Aldi yang tiba-tiba menghubungiku di suatu sore.

"Alhamdulillah baik, Akang sendiri gimana kabarnya?"

"Alhamdulillah, Suamimu di mana?"

"Lagi kerja, sudah beberapa hari di Bandung."

"Kenapa enggak ikut?"

"Ibu sendirian di rumah, Kang. Ibu sakit parah nggak ada yang jagain." kataku memberitahu keadaan dari sebelum menikah.

"Ohh.. Semoga Ibu secepatnya sehat lagi." Aku mengaminkan do'a yang Akang Aldi panjatkan. "Lagi apa?" tanya Kang Aldi padaku yang sungguh sedang keheranan.

"Lagi duduk-duduk aja Kang, Ini ada apa ya Kang, tumben menguhubungiku?" tanyaku penasaran, karena tidak biasanya Kang Adi mendahului menghubungiku. 'Apa kang Aldi merinduiku?' ah nggak usah kepedean, nyatanya kamu ditinggalin.

"Enggak ada apa-apa, pengen nelepon aja!" jawabnya.

"Akang gimana kabarnya? Apa masih di pondok?"

"Iya, Alhamdulillah masih"

"Alhamdulillah, semoga dapat Ilmu yang barokah ya Kang."

"Aammiin."

"Oiya kang! ini beneran nggak ada apa-apa? tumben-tumbenan menghubungi Risa?" tanyaku the point aja.

"Beneran enggak ada apa-apa. Akang cuma inget aja sama Risa. Jadi ini nelepon biar benar-benar tuntas." katanya lagi yang membuatku mengerutkan dahi.

"Oohh. Ya sudah, kalo enggak ada apa-apa, ini aku matiin ya Kang teleponnya, enggak baik, karena aku sudah menikah." jelasku padanya.

"Iya, enggak apa-apa. Silahkan." ucapnya pasrah. "Terima kasih!" lanjutnya.

"hmm ama-sama."

Setelahnya aku berpamitan dan menutup panggilan. Aku terdiam memikirkan Kang Aldi yang tiba-tiba menghubungiku. Apakah dia rindu? Karena enggak ada lagi yang bawel minta dihalalin secepatnya. Atau hanya penasaran saja? . Entahlah! Semenjak aku resmi menjadi bini orang. Aku eggak peduli lagi dengan keadaanya. Takut kena dosa kalau masih dekat-dekat yang bukan mahram. aku juga memikirkan perkataannya tadi, Biar tuntas katanya. Tuntas apaan?

**

Beberapa hari kemudian...

"Assamu'aulaikum.. " sapa Bang Halim yang baru saja sampai di rumah Ibu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status