Share

Terkabulnya Do'a Sang Mantan
Terkabulnya Do'a Sang Mantan
Author: Mariah Siti

Do'a Yang Terkabul

"Kang, kapan Akang akan datang kerumah untuk memastikan hubungan kita?" tanyaku pada lelaki yang berada di sebrang sana yang bernama Aldi, yang sudah mewarnai hari-hariku selama tiga tahun di pondok.

"Enggak tahu!" jawabnya ketus. Aku menahan rasa yang entah apa itu, yang pasti aku merasa dejavu dengan jawaban seperti itu.

"Kenapa enggak tahu Kang? Ibu sudah sering nanyain Akang, katanya kenapa belum ke rumah lagi. Aku nggak tega melihat Ibu kang." keluhku yang membuat dia mendengus kesal.

"Dulu itu pertama dan terakhir Akang ke rumahmu! Jadi, jangan berharap Akang akan ke rumahmu lagi! Akang harap, kamu tidak menunggu Akang. Kamu harus menerima siapapun yang melamarmu. Akang do'ain semoga kamu hidup bahagia dengan lelaki yang datang melamarmu nanti."

Deg.

Aku merasakan sakit hati yang luar biasa setelah apa yang dia ucapkan. Entah kenapa, semenjak Kang Aldi dipindah tugaskan di cabang pesantren yang lain, Kang Aldi menjadi sedikit berubah. entah karena apa! yang aku tahu, bahwa ada banyak wanita yang menyukainya, sedangkan Kang Aldi tak ingin waktu belajarnya terganggu. Namun, apa katanya barusan?

"Kenapa Akang berbicara seperti itu? kemana kata-kata manis yang sering Akang yakinkan selama ini padaku? yang selalu membuat aku merasa yakin atas keputusanku menunggu Akang hingga selesai belajar." Kang Aldi terdiam setelah aku berucap seperti itu.

"Enggak ada apa-apa, Akang seperti ini demi kebaikanmu, Sa. kalo seandainya nanti ada lelaki yang melamarmu, Akang harap kamu menerimanya."

"Kalo aku tidak mau menerima yang lain gimana? " tanyaku mencoba menantang.

"Silahkan! kalo kamu sanggup nungguin Akang selesai belajar dua tahun lagi." Aku terdiam. Dua tahun itu bukanlah waktu yang sebentar. Aku tidak tega pada sang Ibu yang saat ini sering kambuh penyakitnya. Beliau memintaku agar segera menikah. Beliau hanya takut usianya tidak lama lagi, dan tidak bisa menyaksikan Anak bungsunya menikah.

"Bukannya kata kamu di sana ada Duda yang mau sama kamu, Sa? Kenapa kamu enggak terima dia? jangan nungguin aku yang belum pasti, Sa!" ucapannya mengingatkanku pada Duda tetangga rumah yang meresahkan.

Karena Duda itu sudah berkoar-koar ke orang sekampung bahwa dirinya mengaku akan melamarku. Sedangkan yang sebenarnya, Duda itu enggak pernah datang ke rumah atau memberi pesan kepadaku atau keluargaku yang lainnya. Aku kesal dibuatnya. Jadi tambah kurang respect padanya. enggak ada beraninya untuk datang ke rumah. Padahal kalo serius dan gerecep bertindak, kan nanti bisa aku pertimbangkan!

"Sudah nggak ada Kang gosipnya. Lagian juga aku masih nungguin Akang buat datang ke rumah."

"Ya udah, tungguin Akang sadar ya, Dua tahun lagi! Kalo enggak sanggup sama yang lain aja!"

Sebenarnya aku merasakan sakit hati di setiap kata yang Kang Aldi lontarkan. Namun aku menahannya, agar aku tidak menangis dihadapannya.

"Iyah Kang. Aku tungguin hingga waktu yang menentukan. Maaf kalo seandainya aku membuat Akang risih karena ditungguin."

Kalo seandainya aku tahu Kang Aldi akan berubah, mungkin aku tidak akan berharap lebih dari dulu, mungkin aku akan menerima lamaran dari orang lain. Karena banyak laki-laki yang menginginkanku untuk menjadi pendampingnya. namun aku mencoba mempertahankan Kang Aldi karena sikap perhatiannya padaku.

"Kang..." panggilku padanya, karena tidak lagi terdengar suaranya, aku pun melihat layar yang sudah gelap. Ternyata, ponsel dimatikan oleh Kang Aldi tanpa pamit.

'Sekesal itukah kmKang Aldi padaku?' gumamku dalam hati. Sakit! Sungguh, aku tidak menyangka bahwa Kang Aldi akan berubah setelah aku menaruh harapan padanya.

Aku mondok di Pesantren yang sama dengan Kang Aldi. sudah lebih tiga tahun aku mengenalnya. Namun, aku sempat mengira bahwa Kang Aldi adalah yang terakhir untukku, tapi, siapa duga dengan pernyatannya barusan. membuatku semakin tak punya harapan lagi padanya.

Setelah pulang dari pondok tadi, aku yang melihat Ibu berbaring merasa sedih dengan keadaan beliau, sudah lama tidak kutemui, kini Ibu berbaring lemah, Di atas punggung beliau banyak lebam keunguan, bekas beberapa kali beliau terjatuh di tangga rumah. Berat badan yang menurun, serta tatapan mata yang sayu, membuat beliau terlihat lebih memperihatinkan.

"Buu... Maaf!" Aku berucap dalam hati. Tak kuasa melihat keadaan beliau saat ini.

Di Hari itu juga, Malamnya aku langsung menghubungi Kang Aldi, dan memberitahukan keadaan Ibu, sekaligus mempertanyakan tentang hubungan yang sedang kami jalani.

Sungguh, aku kira setelah tiga bulan kami tidak komunikasi, hubungan kami akan baik-baik saja. Ternyata, hanya aku yang terlalu berharap dengannya. Aku tak ingin berhenti menunggunya, tetapi, Aku pun juga tidak tega kepada Ibu, apabila tidak memenuhi keinginannya untuk aku segera menikah.

Aku terisak, rasanya ingin kubanting ponsel yang berada dalam genggamanku saat ini. Namun, aku masih ingat, bahwa ada Ibu yang sedang tidur di kamar sebelah. Tidak mungkin juga aku membanting barang yang tidak bersalah ini, hanya karena diriku yang sedang patah hati. tidak akan!

"Ya Alloh, kuatkan aku! Siapapun lelaki yang datang pada bulan ini untuk melamarku, aku akan menerimanya! Siapapun dirinya, apapun pekerjaanya, dan bagaimanapun keadaanya, akan kuterima!" Batin-ku dengan wajah yang sudah basah. Kutatap langit-langit kamarku. sambil memikirkan Apakah ada? laki-laki yang mau menikahiku dalam waktu dekat ini. Aku menarik nafas dalam. Lalu menghempaskannya dengan pelan.

Ting.

Ku lihat ponsel jadulku yang sudah beberapa tahun menemaniku, disana ada pesan baru dari akun yang tidak dikenal. Lalu kubuka pesan itu dengan hati yang tak karuan.

Halim Maulana [Assalamu'alaikum..]

Aku menjawab dengan mata sedikit ngantuk.

Fachrisa [ Waaaikum salam. Siapa?]

Sambil menunggu balasan. Aku langsung membuka profil akun yang bernama Halim Maulana. Karena saat ini aku tidak mood kepada teman online yang banyak tanya. Sebelum melihat data dirinya terbuka, ternyata ada pemberitahuan pesan masuk darinya.

Halim Maulana [Saya Halim dari Bandung.]

Fachrisa [Ada perlu apa yaa Bang?]

Halim Maulana [ Boleh ta'aruf Teh ?]

Fachrisa [Silahkan Bang.]

Halim Maulana [Teteh berasal dari mana?]

Fachrisa [Saya berasal dari Garut.]

Halim Maulana [Namanya siapa Teh?]

Fachrisa [ Risa.]

Halim Maulana [Teteh usianya berapa tahun. Terus masih sekolah, apa sudah kerja? atau sudah menikah? Maaf yaa, biar jelas aja. kan enggak lucu kalo seandainya ngajak ta'rufan sama istri orang. [Emot ketawa]]

Fachrisa [Lagi mondok, dan belum menikah. Usia 20 tahun jalan.]

Halim Maulana [Ooh iya, Alhamdulillah. Teh, bisa tidak kita ketemuan ?]

Fachrisa [ Maaf, Bang! tidak bisa. saya bukan wanita sembarangan yang mau-mau aja kalo di ajak ketemuan. Maaf ya Bang, Kalo mau ketemu datang aja ke rumah,]

Halim Maulana [Waduhhh. Kalo langsung ke rumah saya belum siap Teh]

Fachrisa [Tadi yang ngajak Ta'arufan siapa ? Di suruh langsung ke rumah kok enggak siap.

Seperti itulah zaman sekarang, katanya pacaran islami, atau ta'arufan, tapi kok masih berani pegang-pegang atau vidio call, kan Aneh!]

Halim Maulana : [Hehe, Teteh enggak tahu kan dengan wajah asli saya. Gimana kalo seandainya langsung ke rumah, teteh enggak akan kaget dengan wajah saya yang buruk rupa?]

Fachrisa [ Saya enggak bakalan kaget, palingan juga Abang yang kaget lihat saya, saya enggak cantik Bang, Pendek, kecil. lagi pula saya seorang anak yatim, miskin, dan banyak lagi kekurangannya.

jangan mau ta'aruf sama saya! yaa, nanti bisa nyesal lho. ] Aku menjelaskan keadaan yang sebenarnya, karena aku tidak mau merasakan kecewa kesekian kalinya.

Halim Maulana [Enggak apa-apa Teh, saya juga laki-laki yang enggak punya apa-apa.]

Fachrisa [ Ya udah kalo seperti itu Bang, saya mau tidur.]

Halim Maulana : lho, Kok ditinggalin?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status