"Kang, kapan Akang akan datang kerumah untuk memastikan hubungan kita?" tanyaku pada lelaki yang berada di sebrang sana yang bernama Aldi, yang sudah mewarnai hari-hariku selama tiga tahun di pondok.
"Enggak tahu!" jawabnya ketus. Aku menahan rasa yang entah apa itu, yang pasti aku merasa dejavu dengan jawaban seperti itu. "Kenapa enggak tahu Kang? Ibu sudah sering nanyain Akang, katanya kenapa belum ke rumah lagi. Aku nggak tega melihat Ibu kang." keluhku yang membuat dia mendengus kesal."Dulu itu pertama dan terakhir Akang ke rumahmu! Jadi, jangan berharap Akang akan ke rumahmu lagi! Akang harap, kamu tidak menunggu Akang. Kamu harus menerima siapapun yang melamarmu. Akang do'ain semoga kamu hidup bahagia dengan lelaki yang datang melamarmu nanti."Deg.Aku merasakan sakit hati yang luar biasa setelah apa yang dia ucapkan. Entah kenapa, semenjak Kang Aldi dipindah tugaskan di cabang pesantren yang lain, Kang Aldi menjadi sedikit berubah. entah karena apa! yang aku tahu, bahwa ada banyak wanita yang menyukainya, sedangkan Kang Aldi tak ingin waktu belajarnya terganggu. Namun, apa katanya barusan?"Kenapa Akang berbicara seperti itu? kemana kata-kata manis yang sering Akang yakinkan selama ini padaku? yang selalu membuat aku merasa yakin atas keputusanku menunggu Akang hingga selesai belajar." Kang Aldi terdiam setelah aku berucap seperti itu."Enggak ada apa-apa, Akang seperti ini demi kebaikanmu, Sa. kalo seandainya nanti ada lelaki yang melamarmu, Akang harap kamu menerimanya.""Kalo aku tidak mau menerima yang lain gimana? " tanyaku mencoba menantang."Silahkan! kalo kamu sanggup nungguin Akang selesai belajar dua tahun lagi." Aku terdiam. Dua tahun itu bukanlah waktu yang sebentar. Aku tidak tega pada sang Ibu yang saat ini sering kambuh penyakitnya. Beliau memintaku agar segera menikah. Beliau hanya takut usianya tidak lama lagi, dan tidak bisa menyaksikan Anak bungsunya menikah."Bukannya kata kamu di sana ada Duda yang mau sama kamu, Sa? Kenapa kamu enggak terima dia? jangan nungguin aku yang belum pasti, Sa!" ucapannya mengingatkanku pada Duda tetangga rumah yang meresahkan. Karena Duda itu sudah berkoar-koar ke orang sekampung bahwa dirinya mengaku akan melamarku. Sedangkan yang sebenarnya, Duda itu enggak pernah datang ke rumah atau memberi pesan kepadaku atau keluargaku yang lainnya. Aku kesal dibuatnya. Jadi tambah kurang respect padanya. enggak ada beraninya untuk datang ke rumah. Padahal kalo serius dan gerecep bertindak, kan nanti bisa aku pertimbangkan!"Sudah nggak ada Kang gosipnya. Lagian juga aku masih nungguin Akang buat datang ke rumah.""Ya udah, tungguin Akang sadar ya, Dua tahun lagi! Kalo enggak sanggup sama yang lain aja!"Sebenarnya aku merasakan sakit hati di setiap kata yang Kang Aldi lontarkan. Namun aku menahannya, agar aku tidak menangis dihadapannya."Iyah Kang. Aku tungguin hingga waktu yang menentukan. Maaf kalo seandainya aku membuat Akang risih karena ditungguin."Kalo seandainya aku tahu Kang Aldi akan berubah, mungkin aku tidak akan berharap lebih dari dulu, mungkin aku akan menerima lamaran dari orang lain. Karena banyak laki-laki yang menginginkanku untuk menjadi pendampingnya. namun aku mencoba mempertahankan Kang Aldi karena sikap perhatiannya padaku."Kang..." panggilku padanya, karena tidak lagi terdengar suaranya, aku pun melihat layar yang sudah gelap. Ternyata, ponsel dimatikan oleh Kang Aldi tanpa pamit. 'Sekesal itukah kmKang Aldi padaku?' gumamku dalam hati. Sakit! Sungguh, aku tidak menyangka bahwa Kang Aldi akan berubah setelah aku menaruh harapan padanya.Aku mondok di Pesantren yang sama dengan Kang Aldi. sudah lebih tiga tahun aku mengenalnya. Namun, aku sempat mengira bahwa Kang Aldi adalah yang terakhir untukku, tapi, siapa duga dengan pernyatannya barusan. membuatku semakin tak punya harapan lagi padanya.Setelah pulang dari pondok tadi, aku yang melihat Ibu berbaring merasa sedih dengan keadaan beliau, sudah lama tidak kutemui, kini Ibu berbaring lemah, Di atas punggung beliau banyak lebam keunguan, bekas beberapa kali beliau terjatuh di tangga rumah. Berat badan yang menurun, serta tatapan mata yang sayu, membuat beliau terlihat lebih memperihatinkan. "Buu... Maaf!" Aku berucap dalam hati. Tak kuasa melihat keadaan beliau saat ini. Di Hari itu juga, Malamnya aku langsung menghubungi Kang Aldi, dan memberitahukan keadaan Ibu, sekaligus mempertanyakan tentang hubungan yang sedang kami jalani. Sungguh, aku kira setelah tiga bulan kami tidak komunikasi, hubungan kami akan baik-baik saja. Ternyata, hanya aku yang terlalu berharap dengannya. Aku tak ingin berhenti menunggunya, tetapi, Aku pun juga tidak tega kepada Ibu, apabila tidak memenuhi keinginannya untuk aku segera menikah.Aku terisak, rasanya ingin kubanting ponsel yang berada dalam genggamanku saat ini. Namun, aku masih ingat, bahwa ada Ibu yang sedang tidur di kamar sebelah. Tidak mungkin juga aku membanting barang yang tidak bersalah ini, hanya karena diriku yang sedang patah hati. tidak akan!"Ya Alloh, kuatkan aku! Siapapun lelaki yang datang pada bulan ini untuk melamarku, aku akan menerimanya! Siapapun dirinya, apapun pekerjaanya, dan bagaimanapun keadaanya, akan kuterima!" Batin-ku dengan wajah yang sudah basah. Kutatap langit-langit kamarku. sambil memikirkan Apakah ada? laki-laki yang mau menikahiku dalam waktu dekat ini. Aku menarik nafas dalam. Lalu menghempaskannya dengan pelan.Ting.Ku lihat ponsel jadulku yang sudah beberapa tahun menemaniku, disana ada pesan baru dari akun yang tidak dikenal. Lalu kubuka pesan itu dengan hati yang tak karuan.Halim Maulana [Assalamu'alaikum..]Aku menjawab dengan mata sedikit ngantuk.Fachrisa [ Waaaikum salam. Siapa?]Sambil menunggu balasan. Aku langsung membuka profil akun yang bernama Halim Maulana. Karena saat ini aku tidak mood kepada teman online yang banyak tanya. Sebelum melihat data dirinya terbuka, ternyata ada pemberitahuan pesan masuk darinya.Halim Maulana [Saya Halim dari Bandung.]Fachrisa [Ada perlu apa yaa Bang?]Halim Maulana [ Boleh ta'aruf Teh ?]Fachrisa [Silahkan Bang.]Halim Maulana [Teteh berasal dari mana?]Fachrisa [Saya berasal dari Garut.]Halim Maulana [Namanya siapa Teh?]Fachrisa [ Risa.]Halim Maulana [Teteh usianya berapa tahun. Terus masih sekolah, apa sudah kerja? atau sudah menikah? Maaf yaa, biar jelas aja. kan enggak lucu kalo seandainya ngajak ta'rufan sama istri orang. [Emot ketawa]]Fachrisa [Lagi mondok, dan belum menikah. Usia 20 tahun jalan.]Halim Maulana [Ooh iya, Alhamdulillah. Teh, bisa tidak kita ketemuan ?]Fachrisa [ Maaf, Bang! tidak bisa. saya bukan wanita sembarangan yang mau-mau aja kalo di ajak ketemuan. Maaf ya Bang, Kalo mau ketemu datang aja ke rumah,]Halim Maulana [Waduhhh. Kalo langsung ke rumah saya belum siap Teh]Fachrisa [Tadi yang ngajak Ta'arufan siapa ? Di suruh langsung ke rumah kok enggak siap. Seperti itulah zaman sekarang, katanya pacaran islami, atau ta'arufan, tapi kok masih berani pegang-pegang atau vidio call, kan Aneh!]Halim Maulana : [Hehe, Teteh enggak tahu kan dengan wajah asli saya. Gimana kalo seandainya langsung ke rumah, teteh enggak akan kaget dengan wajah saya yang buruk rupa?]Fachrisa [ Saya enggak bakalan kaget, palingan juga Abang yang kaget lihat saya, saya enggak cantik Bang, Pendek, kecil. lagi pula saya seorang anak yatim, miskin, dan banyak lagi kekurangannya. jangan mau ta'aruf sama saya! yaa, nanti bisa nyesal lho. ] Aku menjelaskan keadaan yang sebenarnya, karena aku tidak mau merasakan kecewa kesekian kalinya.Halim Maulana [Enggak apa-apa Teh, saya juga laki-laki yang enggak punya apa-apa.]Fachrisa [ Ya udah kalo seperti itu Bang, saya mau tidur.]Halim Maulana : lho, Kok ditinggalin?Ke esokan harinya. Aku membantu Ibu di dapur. Di rumah hanya ada kami berdua. Karena semua Kakak-ku sudah mempunyai rumah sendiri.Apabila aku di pondok, Ibu terkadang menginap di rumah Kakak. Terkadang juga sendirian di rumah. Semenjak pembicaraan kemarin, tak ada pesan lagi dari Kang Aldi untuk memberi kepastian tentang hubungannya. 'Mungkin lagi sibuk' batinku.Sempat merasa kecewa padanya, tapi aku tidak bisa apa-apa."Gimana dengan Aldi? Apa dia akan kesini?" pertanyaan Ibu yang membuatku tambah merasa bersalah."Enggak tahu Bu. Lagi sibuk mengajar di pesantren yang lain Kang Aldinya, Ibu jangan ngarep-ngarep dia ya, Do'akan aku ya Bu, semoga secepatnya bisa menikah." jawabku dengan senyum sumringah yang di buat-buat."Ibu pasti do'ain kamu. Kamu jangan sedih! Enggak apa-apa kalo enggak jodoh sama Aldi juga. Pasti Allah memberi gantinya dengan yang lebih baik." Beliau mencoba menenangkanku. Padahal yang aku tahu, beliau sangat berharap kepada Aldi. Tapi mungkin beliau tahu, bah
"Bang! ini kuncinya ketinggalan." seruku padanya. kulihat Bang Halim memeriksa saku jaketnya, dia menepuk jidatnya lalu menghampiriku. "Hati-hati di jalan." kataku padanya, sedangkan dia hanya menjawab dengan menganggukan kepalanya. dia pun pamit untuk pulang, karena waktu semakin malam. Dua hari berlalu setelah pertemuan pertamaku dengan Bang Halim. Hubunganku dengan Bang Halim berlanjut. Aku sempat berpikir bahwa apabila setelah pertemuan pertama kami Bang Halim berubah, oke, berarti kami tidak berjodoh, tetapi hingga kini bukannya Bang Halim menjauh, tetapi malah semakin dekat.Sedangkan Kang Aldi belum tahu tentang aku yang sudah dilamar orang lain. Aku belum siap bicara, karena belum ada kepastian yang sebenarnya dari pihak orang tua Bang Halim.Demi kehidupanku yang lebih baik untuk kedepannya. aku kencengin berdo'a kepada-Nya, agar diberi jalan yang pasti. Setiap malam aku selalu terbangun untuk melaksanakan Qiyamul lail. Sebelum sholat, ku tengok Ibu di kamarnya, karena aku
Setelah kejadian Ibu yang jatuh, dan Bapak Bang Halim melamar di hari yang sama, semua Anak-Anak Ibu berkumpul untuk bermusyawarah. Karena keadaan Ibu yang semakin parah. Kami putuskan untuk segera melaksanakan pernikahan. Aku dan Kak Akbar langsung berangkat kepondok pesantren tempatku belajar. Guna untuk meminta izin kepada Guruku untuk menentukan tanggal pernikahan."Jodoh itu gak bisa disangka-sangka ya... baru juga kemarin Risa daftar kesini mau belajar, sekarang sudah izin aja mau menikah." kata Kiyai terkekeh, "Iyah, Pak, Alhamdulillah.""Kenal dimana? keseharian Risa kan di Asrama, baru juga kemarin libur ngajinya." tanya Bu Nyai padaku. "Dikenalkan sama teman Bu, kebetulan itu juga saudaranya. kenalnya juga baru-baru ini." jawabku berusaha untuk sopan. "Alhamdulillah... Mungkin sudah jodohnya ya. Mudah-mudahan lancar hingga hari H nya." "Sekarang tanggal berapa Bu?" tanya Pak Kiyai kepada Istri beliau. "Tanggal satu Pak." Kulihat Guru sedang mengitung tanggal. "Dua ming
Setelah pembicaraan dengan Kang Aldi Dua minggu yang lalu, Hari ini adalah hari pernikahanku. Saat ini, aku sedang menunggu kedatangan rombongan keluarga Bang Halim. Pernikahanku tidak megah, hanya acara Walimatul Ursy tanpa resepsi. Karena aku dan Bang Halim tidak mau terlalu membebani orang tua.Bang Halim dan rombongannya datang, ku lihat Bang Halim dari jendela kaca kamarku. Ia memakai kemeja putih dibalut dengan jas hitam tanpa dasi. Sungguh rupawan Bang Halim. Diantara semua mantanku, hanya Bang Halim lah yang paling oke. Meski tidak segagah yang sering aku baca di Novel, meski tak setampan oppa oppa korea, tapi Bang Halim tetap termanis dari yang pernah kenal denganku, termasuk mantanku. Ternyata Allah kabulkan keinginanku yang dulu pernah aku utarakan didepan teman-temanku. Yaitu ingin memiliki suami yang hitam manis.Jantungku berdetak dengan cepat, Aku gugup.Sebentar lagi Bang Halim akan melaksanakan Ijab Qabul dengan Waliku, yaitu Kak Akbar Kakak sulungku. Sebentar lagi s
Sehari setelah pernikahan, aku diajak ke rumah Bang Halim, dan berencana menginap satu malam di sana. Sebenarnya, aku kecewa dengan semua keluargaku. Dimana setelah menikah, tak ada seorangpun yang ikut menemaniku untuk pergi ke rumah Ibu Mertua. sebagaimana teradisi di kampung setelah melaksanakan akad pernikahan. Keluarga mempelai wanita berombongan pergi ke rumah mempelai laki-laki, biasa disebut juga dengan istilah ngunduh mantu. Namun, aku tidak melakukannya, padahal aku sangat ingin, tapi entahlah dengan semua saudaraku yang seperti enggan untuk mengantarkanku. Akhirnya, hanya aku dan Bang Halim yang pergi kerumah keluarga Bang Halim. Aku begitu perihatin dengan diriku sendiri, seakan-akan pernikahanku bukanlah hal yang penting dan istimewa bagi mereka. Seandainya Ibu masih sehat dan ingatannya belum lemah, mungkin aku akan ditemani olehnya. Karena Ibu belum pernah bertandang ke rumah Ibunya Bang Halim. Tetapi, aku mencoba ikhlas dan ridho dengan segalanya. Yang ku harapkan sa
"Wa'alaikum salam.." Aku menjawab dengan gugup, sambil mencium tangan Bang Halim, meski sudah menjadi suami istri, aku masih canggung dengan Bang Halim. Karena usia pernikahan kami juga belum ada dua minggu.Aku menyuguhkan minuman untuknya. Sebentar mengobrol dan Setelahnya kami makan bersama. Ketika semuanya selesai, Bang Halim membuka tasnya, dan memberikan sebuah jam dingding yang aku pesan padanya.Lalu Bang Halim menggenggam tanganku."Maaf yaa, Abang pulang enggak bawa apa-apa, karena baru beberapa hari bekerja, jadi belum dapat uang banyak. Ini Abang kasbon dulu sama bos, bos cuma kasih 50 ribu, 30 ribu abang belikan Jam. 10 ribu dibelikan buat bensin, Nah ini 10 ribu sisanya." Aku tersenyum melihat Bang Halim menjelaskan sambil menyodorkan uang 10 ribu dengan ekspresi wajah yang merah, mungkin merasa malu."Maaf yaa, Abang baru bisa ngasih nafkah 10 ribu buat Adek, Nanti kalo udah gajihan, Abang kasih semua ke Adek." katanya dengan senyum sumringahnya. Aku pun menganggukan ke
[Akang kapan Menikah? dengan siapa? aku enggak nyangka Akang bisa secepat ini bisa melupakanku!] kubaca pesan itu. Aku mengernyitkan dahi dengan pesan yang dia kirim. Maksudnya apa? Kenapa dia berbicara seperti itu? Bukankah dirinya yang memutuskan untuk menghentikan hubungannya. apa dia kira aku menemuinya waktu itu adalah main-main? [Baru dua hari yang lalu. Saya menikah dengan perempuan yang menerima Saya apa adanya.] kucoba menjawab dengan menyindirnya, agar dirinya tahu bahwa setiap orang itu berbeda cara berpikirnya, jangan mentang-mentang saat ini aku belum punya perkerjaan, hingga orang tuanya menolakku sebelum mencoba maju.[Syukurlah, maaf kalau seandainya dulu perkataan Bapak menyakiti hati Akang.][Iyah, tidak apa-apa. lagian juga udah berlalu. lagi pula saya juga sekarang udah punya istri, jadi enggak perlu dipikirkan.][Hmmm.. Yaudah terimakasih sebelum ya Kang. maaf sudah lancang bertanya. semoga rumah tangganya samawa][Oke. Aammiinn.]"Siapa?" tanya Risa yang melihat
"Assalamu'alaikum.." Aku dan Bang halim bersamaan mengucapkan salam. kulihat Ibu sedang berbaring di atas kasurnya. "Wa'alaikum salam..." jawabnya lirih. Aku langsung masuk ke dalam kamar yang ditempati Ibu, lalu mencium tangannya diikuti oleh Bang Halim. Lalu aku ke dapur untuk mengambil air minum untuk Bang Halim.Karena merasa lelah dengan perjalanan jauh, aku dan Bang Halim duduk menonton televisi. Kulihat Ibu masuk ke dapur, aku tak menghiraukan beliau, aku hanya berpikir mungkin beliau mau ke kamar mandi. ternyata setengah jam berlalu, Ibu tak kunjung keluar juga dari arah dapur. Karena merasa khawatir dengan keadaan Ibu, akupun beranjak untuk melihatnya. Aku bernafas lega, ternyata Ibu sedang mengupas jagung. ku lihat juga di tungku ternyata Ibu sudah merebusnya sebagian."Ibu Lagi rebus jagung?" Aku bertanya ketika Ibu sedang meniup api di tungku. Lalu beliau menoleh padaku."Iyah, ini jagung manis pemberian dari tetangga." jawabnya. Sembari membenarkan letak kayu api."Padah