Share

Bab 7 Pov Halim

"Wa'alaikum salam.." Aku menjawab dengan gugup, sambil mencium tangan Bang Halim, meski sudah menjadi suami istri, aku masih canggung dengan Bang Halim. Karena usia pernikahan kami juga belum ada dua minggu.

Aku menyuguhkan minuman untuknya. Sebentar mengobrol dan Setelahnya kami makan bersama. Ketika semuanya selesai, Bang Halim membuka tasnya, dan memberikan sebuah jam dingding yang aku pesan padanya.

Lalu Bang Halim menggenggam tanganku.

"Maaf yaa, Abang pulang enggak bawa apa-apa, karena baru beberapa hari bekerja, jadi belum dapat uang banyak. Ini Abang kasbon dulu sama bos, bos cuma kasih 50 ribu, 30 ribu abang belikan Jam. 10 ribu dibelikan buat bensin, Nah ini 10 ribu sisanya." Aku tersenyum melihat Bang Halim menjelaskan sambil menyodorkan uang 10 ribu dengan ekspresi wajah yang merah, mungkin merasa malu.

"Maaf yaa, Abang baru bisa ngasih nafkah 10 ribu buat Adek, Nanti kalo udah gajihan, Abang kasih semua ke Adek." katanya dengan senyum sumringahnya. Aku pun menganggukan kepala, dan tersenyum padanya.

"Enggak apa-apa, Ini Adek terima yaa. Semoga rizki Abang barokah dan diganti dengan yang berlipat ganda. Lagian bekal masih ada Bang, Abang tenang aja..." Aku menenangkannya.

"Sukurlah kalo masih ada, Abang jadinya nggak terlalu malu." ucapnya dengan memelukku.

"Kalo enggak ingat Abang punya Istri yang masih gadis, mungkin Abang sekarang bakalan masih kerja. Tapi enggak mungkin Abang lupa kalau Abang baru punya istri."

Aku hanya tersenyum mendengar jawabnnya. "Malam kemarin Abang kerja hingga P U kul Satu dini hari. karena kerjaan banyak, Abang paksa-paksain biar cepat beres, agar bisa pulang. Ehh paginya Abang diketawain sama Ibu-Ibu di pabrik!"

"Lho, kenapa diketawain?"

"Abang salah menjahit Dek, pokoknya parah! saking ngantuknya Abang waktu menjahit laging, sampai-sampai enggak ada tempat untuk masukin kaki!" Aku bergeming padanya. lalu mengusap tangannya yang berada di pangkuanku.

"Nanti mah hati-hati. kalau ngantuk pulang aja, jangan terlalu cape, Abang juga pasti butuh istirahat untuk memulai bekerja kembali di esok hari!" Bang Haim menganggukan kepalanya.

"Iya, itu cuma kemarin malam saja, Nanti lemburnya nggak akan terlalu malam."

**

pov Halim Maulana

Hari ini adalah hari pernikahanku bersama perempuan yang baru satu bulan aku kenal.

Aku juga tidak menyangka, menuju pernikahannya begitu lancar. Berbeda dengan mantan-mantanku yang sangat banyak tantangan hingga aku tidak bisa melanjutkan hubungannya dengan serius.

Sebelum kenal dengan Fachrisa atau biasa di panggil dengan sebutan Risa, sebenarnya aku baru saja putus dengan perempuan yang guruku jodohkan. Alesannya karena Bapaknya enggak merestui hubungan kami, meski anak sama Ibunya setuju, tetapi Ayahnya sangat kukuh tidak setuju.

Aku sadari, memang aku bukanlah pria yang mapan, aku hanya seorang pria yang sedang belajar ilmu agama dibarengi dengan berjualan. Aku merasa direndahkan oleh Ayahnya yang menjabat sebagai RW dan Jurkam alias Juragan kambing. Meski aku tidak punya apa-apa, tapi setelah menikah, aku akan berusaha untuk membahagiakannya. Tapi ya sudahlah, kuputuskan untuk berhenti menghubungi Anaknya juragan kambing itu. Aku yakin, suatu saat nanti pasti ada yang menerima aku apaadanya.

Saat ini aku sudah tidak lagi belajar ilmu agama di tempat yang sama dengan sang mantan. begitu juga dengan dagang, Aku berhenti. Aku pulang ke rumah karena ada pekerjaan di rumah Saudara, bekerja menjahit dan berjaga toko, bekerja seperti itu membuatku tidak merasa dikekang. Sekali-kali aku main ke tempatku belajar ilmu. Agar aku tidak di cap sebagai murid tidak tahu terima kasih kepada sang guru.

Disela-sela sibuknya pekerjaan, aku mencoba membuka sosial media. Aku stalking updatean dari teman-temanku. Namun, dari banyaknya updatean status orang, ada status dari nama akun Fachrisa M yang membuatku penasaran. kucoba melihat profilnya, siapa tahu orangnya kenal denganku.

Namun, ternyata orangnya misterius, tidak ada satupun fotonya yang ia pajang ke publik. hanya ada kata-kata Mario Kukuh yang kata-katanya mungkin membuatnya termotivasi.

Jiwa lelakiku tertantang untuk mencoba menyapanya. Tanpa pikir panjang, aku imbox dirinya, Semoga saja direspon. Pikir-ku.

[Assamu'alaikum.. ] Kukirim pesan padanya. Tak lama dari itu ia menjawab pesanku.

[Wa'alaikum sallam..]

Namun, yang membuat aku tambah penasaran adalah dirinya yang selalu menjawab pertanyaanku dengan ketus. Katanya jangan mau ta'ruf dengannya, karena dirinya miskin, jelek dan sebagainya.

Aneh! Biasanya juga perempuan sering menutup-nutupi keadaan apabila berkenalan dengan orang baru. Sedangkan wanita ini malah secara blak-blakan memberitahu keadaannya tanpa aku tanya.

"Dil, tahu tidak kepada santriah yang bernama Fachrisa?" Aku bertanya kepada Fadil sepupuku. Ketika dirinya belanja ke toko tempatku bekerja, Karena kebetulan Fadil mondok di pesantren yang sama dengan fachrisa.

"Tahu! dia salah satu pengurus." jawabnya ketika membeli Bensin motor di tempatku bekerja. "Memangnya kenapa, Bang?" lanjutnya

"Enggak apa-apa, cuma memastikan saja, kita baru kenalan kok. Tapi belum tahu wajah aslinya." Aku sedikit insecure ketika mengetahui bahwa perempuan misterius itu seorang pengurus. setahuku, seorang pengurus di pondok itu bisa dibilang sudah lama mondoknya atau keilmuannya sudah lumayan tinggi. Sedangkan diriku hanya seorang santri kalong, yang hanya bisa bolak-balik dari rumah ke majelis, apalagi sekarang enggak punya pekerjaan yang tetap, hmm tambah geude insecure-nya.

"Cantik aslinya Bang, seriusin saja, Bang! kesian, dia punya kekasih, udah lama, cuma kagak ada kejelasan hubungannya, digantung terus kaya jemuran." Aku terkekeh dengan penuturan Fadil. 'Ternyata dia punya kekasih, tapi digantung. ckckck... Pantesan jawabannya ketus mulu'. Batinku.

"Baru saja kenal, masa langsung gas aja."

"Enggak apa-apa Bang! dia pasti mau kok. Dia punya Ibu yang mulai sakit-sakitan, jadi bakal cepat dapat restu." Aku terdiam dengan penjelasan Fadil.

"Kalau seandainya Aku udah dewasa, udah aku lamar dia Bang. tapi ya itu, aku masih seumuran sama dia Bang." Fadil tersenyum mungkin dia merasa bahagia denganku yang akan segera mendapatkan target untuk ia jodohkan.. " Kalau nanti mau kesana biar aku antar ke rumahnya, ya!"

"Emang kamu tahu rumahnya dimana? tanyaku pada Fadil.

"Tahu lah! Ya sudah, kalo nanti mau ke rumahnya aku antar. Datang aja Abang ke pondok, berangkat bareng dari pondok"

"Hmmm, nanti minta izin dulu orang rumah, takutnya enggak setuju." Fadil mangut-mangut.

"siaap Bang! Mari Bang, aku mau berangkat kepondok lagi hari ini."

"Hmm..." Aku hanya mengacungkan jempol padanya. dan Fadil pun berlalu dengan motor bebeknya.

Karena merasa terdukung oleh sepupuku, akupun mencoba meminta restu kepada Orang tuaku, sebelum meminta izin sama Bapak, terlebih dahulu aku berbicara sama Mamah.

"Mah." Aku mencoba memelai percakapan dengan Beliau.

"Hmm?"

"Ada yang mau Abang omongin. Abang punya kenalan dari Garut lewat Online. Dia mondok di pesantren Si Fadil. Tadi Abang nanya-nanya sama dia, kata dia Abang disuruh menemui peremuan itu ke ruamhnya."

"Yaa udah, silahkan! samperin dulu aja, biar jelas kedepannya gimana." Akupun menganggukan kepala tanda akan menuruti perintahnya.

Seperti itulah percakapan aku dan adik sepupuku, setelah meminta izin kepada orang tua, aku langsung berangkat ke rumah guruku. dan Alhamdulillahnya beliaupun mengizinkan aku untuk menemuinya.

Aku berharap semoga dengan restu orang-orang terdekatku, aku bisa berjodoh dengannya. meski belum pernah bertemu, namun rasa nyaman sudah menelusup dalam diriku terhadapnya. Hingga aku lupa, bahwa aku baru saja pataha hati karena tidak direstui oleh Ayahnya mantanku.

Aku datang kerumahnya bersama Fadil. dengan modal niat yang baik aku berusaha untuk yakin bahwa aku akan diterima olehnya.

Pertama aku bertemu dengannya, Aku sedikit kaget! karena sangat jauh dengan foto yang dirinya kirim padaku. jujur! aku langsung tertarik dipandangan pertama dengan perempuan yang sekarang menjadi istriku.

Seminggu berlalu, Pertemuanku dengannya berhasil. Meski ada hal yang membuatku merasa malu saat bertemu dengannya, yaitu ketika kunci motorku ketinggalan di rumahnya.

Saat itu aku semakin tertarik padanya. Aku kira mendapatkan calon istri seorang santriah itu enggak mudah, ternyata apabila meminta istri yang baik kepada yang kuasaa, semua jadi mudah. Akupun juga berhasil melamarnya, didukung oleh orang tuaku. Alhamdulillah, ku panjatkan syukur pada-Nya. Karena telah memberiku amanah seorang perempuan yang aku harapkan, meski saat itu aku belum dapat pekerjaan.

Tapi, aku selau beripikir! Apakah aku menjadi pria pembinor? Karena katanya saat itu dia masih punya kekasih. Eh! Tapi dia kan bukan bini orang. Jadi sah-sah aja yaa aku ambil, kesian digantung terus kaya jemuran. Ya udah aku ambil aja!

"Kalau punya uang, langsung dinikahkan aja Pak! takutnya diambil orang kalau dinanti-nanti." kata Mamaku saat itu, Beliau begitu takut Fachrisa di lamar oleh orang lain. Aku hanya bisa menggeleng dengan keantusian orang tuaku untuk segera menikahkanku dengan Fachrisa.

Sebulan adalah waktu perkenalan kami, sesingkat itu kah? Benar memang kata orang. Kalo sudah berjodoh, meski terpisahkan oleh lautan dan pegunungan, pasti Allah mudahkan untuk bertemu.

Meski baru berkenalan, tapi rasa nyaman itu sudah hinggap dijiwaku. Padahal aku belum punya pekerjaan yang menetap, tapi aku malah ingin secepatnya menikahinya. 'biar tambah semangat' pikirku saat itu, tanpa memikirkan keadaan setelah menikah.

**

Sehari setelah Menikah, Aku upload fotoku dengan Fachrisa dengan memakai baju pengantin. Ternyata banyak yang kaget aku menikah secepat itu.

Lalu akupun dibuat kaget oleh pesan yang dikirim oleh mantan padaku. Aku membuka pesan itu, entah dia mengirm pesan apa, yang pasti membuatku penasaran.

[Akang kapan Menikah? dengan siapa? aku enggak nyangka Akang bisa secepat ini bisa melupakanku]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status