Selama hari-hari berikutnya, Eliska sangat jarang keluar. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mengejar ketinggalan dalam studinya di ruang kerja.
Beberapa hari sebelum kembali ke akademi, Dwiana baru mengajak Eliska ke Paviliun Raksi untuk mengunjungi Gayatri.
Paviliun Raksi, tempat tinggal Gayatri, ditanami pohon osmanthus di kedua sisinya. Meskipun bunganya sudah layu, pohon-pohon itu masih menyebarkan aroma segar samar, sangat pantas menyandang nama Paviliun Raksi.
"Nenek!" panggil Eliska, bahkan sebelum dirinya masuk ke dalam.
"Sayang, cepat kemari, duduk di sebelah nenek," ujar Gayatri.
Segera setelah Eliska duduk, pelayan yang sedang melayani Gayatri memberinya sebuah penghangat tangan.
Gayatri mengamati gadis itu selama beberapa saat, lalu berkata, "Kamu kelihatan energik hari ini."
Dwiana yang berada di sebelah berucap sambil tersenyum, "Beberapa hari lagi, dia akan kembali ke akademi. Aku sengaja membawanya ke sini untuk memberi tahu Ibu."
Gayatri mengernyit, hatinya sedikit sedih saat berkata, "Kesehatan Eli baru saja membaik, kenapa harus terburu-buru?"
Masih sambil mengulum senyum, Dwiana menjelaskan, "Bu, tiga bulan lagi akan diadakan ujian enam seni. Eli belum lulus seni memanah. Bagaimana dia bisa berhasil kalau nggak didesak? Jangan sampai nama keluarga adipati dipermalukan nanti."
Meski para wanita biasa di Yardin lebih mementingkan kebajikan daripada bakat, para gadis bangsawan di ibu kota tetap harus mengenyam pendidikan berat dan lulus ujian enam seni.
Enam seni itu mencakup etiket, musik, memanah, berkuda, kaligrafi, dan berhitung. Gadis yang gagal dalam enam bidang itu akan membawa aib bagi nama keluarga. Sebaliknya, gadis yang lulus dengan nilai baik akan dianugerahi gelar "Gadis Berbakat" dan membawa kehormatan besar bagi keluarganya.
Pada waktu yang sama di kehidupan lampau, keterampilan memanah dan berkuda Eliska kurang baik karena fisiknya lemah. Itu sebabnya dia kehilangan kesempatan untuk dipilih sebagai "Gadis Berbakat".
Setelah beberapa bulan menikah, Eliska baru belajar berkuda dan memanah dari Arjuna. Keterampilannya ternyata cukup baik. Dia mungkin bisa memperjuangkan gelar "Gadis Berbakat" di kehidupan kali ini.
Hal yang paling dipedulikan Gayatri adalah kehormatan keluarga adipati. Pemuda bangsawan juga tidak akan mau menikahi gadis yang belum lulus ujian enam seni. Jadi, meski hatinya masih sedikit enggan, dia tidak mencegah Eliska kembali ke akademi lagi.
"Nenek, aku sudah nggak apa-apa sekarang. Nenek nggak perlu khawatir," hibur Eliska sambil menggenggam tangan Gayatri.
Gayatri menepuk kening Eliska dan mengomel, "Kalau sudah nggak apa-apa, kenapa kamu nggak datang berkunjung dari beberapa hari lalu?" Meski kata-katanya berisi omelan, nadanya terdengar lembut.
Eliska membalas, "Aku terus memikirkan Nenek. Tapi, ada banyak tugas yang masih tertunggak, jadi aku terpaksa harus menyelesaikannya dulu."
Gayatri menasihatinya dengan sungguh-sungguh, "Kali ini kamu harus lulus ujian memanah. Jangan sampai Nenek malu saat bertamu di tempat orang lain."
Eliska tahu betul betapa Gayatri sangat memperhatikan reputasi keluarga adipati. Dia pun berjanji, "Nenek, aku pasti akan pulang dengan nilai yang bagus."
Gayatri mengangguk puas. Dia lalu menyuruh Leya mengantar Eliska ke ruangan sebelah untuk menikmati camilan.
Setelah itu, Gayatri menoleh ke arah Dwiana dan berkata, "Kudengar kamu akan berkunjung ke Kediaman Raja Kawiswara besok. Aku sudah menyiapkan hadiah."
"Terima kasih sudah repot-repot, Bu," ujar Dwiana.
Gayatri berucap lagi, "Suamimu nggak mewarisi gelar adipati, jadi dia hanya bisa menggantungkan masa depannya di karier resmi pemerintahan."
"Raja Kawiswara disukai Kaisar, kalau Raditya dan Putra Ketiga menginginkan karier yang lancar, mereka butuh dukungan Raja Kawiswara. Jadi, bagaimana kita bisa mengabaikan Keluarga Raja Kawiswara? Hadiah yang kusiapkan secara pribadi akan menunjukkan ketulusan kita," tambah Gayatri.
Putra ketiga yang disebut Gayatri adalah Raynar, putra Dwiana dan kakak Eliska.
"Ibu perhatian sekali," puji Dwiana.
Dalam hati, Dwiana tahu bahwa Gayatri melakukan hal ini bukan hanya demi keluarga cabang, tetapi karena keluarga inti juga ingin mengambil hati Raja Kawiswara.
Keluarga Adipati Madaharsa sedang mengalami kemerosotan. Ini merupakan fakta yang tidak bisa disangkal.
Keluarga inti awalnya berniat menjadikan Gita menantu Keluarga Raja Kawiswara. Mereka sudah berusaha keras demi tujuan itu.
Sayangnya, usaha mereka sia-sia karena ditolak oleh Talita yang memiliki standar tinggi. Tentu saja, alasan utamanya karena Arjuna juga tidak menyukai Gita.
Gita adalah putri sah Sadali, adipati dari Keluarga Madaharsa. Dengan paras elok dan bakatnya, tadinya dia adalah gadis yang angkuh. Namun, dia merendahkan diri untuk menulis surat permohonan agar Arjuna bersedia menemuinya. Miris, pemuda itu bahkan tidak repot-repot untuk membalas suratnya.
Gita patah hati dan depresi cukup lama karena hal ini. Belakangan, akhirnya dia menikah dengan putra Keluarga Pradaya.
Demi menjaga reputasi Gita, keluarga inti merahasiakan masalah ini. Meski begitu, Dwiana tetap mengetahuinya.
"Tahun depan Eli sudah mencapai usia dewasa. Apa kamu sudah punya rencana atas pernikahannya?" tanya Gayatri tiba-tiba.
Dwiana tidak menjawab secara langsung, melainkan berkata, "Bu, sekarang aku sudah cukup dipusingkan dengan studi Eli. Bagaimana aku sempat untuk memikirkan hal lain? Masalah pernikahan bisa kita pikirkan saat waktunya tiba."
Gayatri berucap penuh arti, "Pernikahan Eli akan memengaruhi seluruh keluarga adipati. Kamu harus memikirkannya baik-baik."
Dwiana hanya tersenyum sebagai tanggapan. Dalam hati, dia memutuskan tidak akan membiarkan Eli menjadi batu loncatan bagi keluarga adipati.
Udara pagi itu dingin menusuk tulang. Eliska baru merasa sedikit hangat setelah naik ke kereta kuda.
Widya, nyonya dari Keluarga Bramantya sedang pergi mengunjungi keluarganya. Jadi, hari ini Eliska hanya perlu mengunjungi Kediaman Raja Kawiswara.
"Dandananmu sederhana sekali hari ini," ucap Dwiana, merasa sangat puas.
"Aku masih muda, belum pantas mengenakan perhiasan berkilau. Lebih cocok kalau Ibu yang pakai. Mulai sekarang Ibu harus lebih sering memakainya, Ayah juga pasti suka melihatnya," sahut Eliska.
Eliska berharap hubungan kedua orang tuanya bisa membaik. Dengan begitu, tidak ada yang bisa memanfaatkan celah di antara mereka.
Dwiana mendengus dan membalas, "Hati ayahmu nggak tertuju pada Ibu."
Eliska berucap, "Bu, Ayah tampan dan menawan. Kalau Ayah menyukai Lestari, mana mungkin Lestari masih mencari kekasih gelap? Ayah hanya menikahi Lestari karena dipaksa Nenek. Kalau hubungan kalian nggak membaik, Nenek pasti akan kembali memaksa Ayah mengambil selir lain."
Raditya mencintai Dwiana. Hanya saja, dia tidak tahan terus diperlakukan dengan dingin.
Eliska tahu bahwa ayahnya tidak pernah menyentuh Lestari. Namun, dia khawatir ibunya akan terkejut jika mendengar hal ini.
"Bu, kalau Ibu mau bersikap hangat pada Ayah, dia pasti senang," ujar Eliska lagi.
"Ibu nggak mau mendengar omong kosong ini lagi," tandas Dwiana.
Meski berkata begitu, Dwiana mempertimbangkan nasihat putrinya. Bagaimanapun, jika sang suami memihaknya, dia bisa merencanakan masa depan yang lebih baik untuk anak-anaknya.
Satu jam kemudian, kereta kuda berhenti di depan kediaman raja.
Kediaman Raja Kawiswara adalah kediaman yang diberikan secara pribadi oleh Kaisar. Letaknya berada di wilayah paling makmur di ibu kota, yakni di ujung Jalan Giribangun.
Birainya diukir dengan rumit, bangunannya dihias indah, dindingnya dicat merah cerah, dan ubin gentingnya berkilauan di bawah sinar matahari. Secara keseluruhan, kediaman ini mewah sekaligus elegan.
Para pelayan menyambut Dwiana dan Eliska masuk ke Kediaman Raja Kawiswara. Mereka menyusuri sebuah taman kecil yang dipenuhi deretan bunga di kedua sisi. Aroma bunga segar di udara membuat hati terasa gembira.
Setelah berjalan masuk lebih dalam, mereka tiba di Paviliun Kemuning. Eliska melihat Talita dan seorang wanita lain di sebelahnya. Wanita itu adalah Sartika, istri dari adik Raja Kawiswara dan ibu Banyu.
Tahun ini Talita berusia 40 tahun. Penampilannya sangat sederhana, tetapi fitur wajahnya sangat menawan. Arjuna jelas mewarisi pesona ibunya.
Talita juga memandangi Eliska. Baru enam bulan tidak bertemu, gadis yang tadinya masih hijau itu sudah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Postur tubuhnya yang indah samar-samar mulai terlihat. Lekuk tubuhnya juga memancarkan keanggunan. Dua tahun mendatang, entah seberapa eloknya dia nanti.
Namun, kecantikan wanita yang terlalu mencolok bukanlah hal yang terlalu baik. Pria selalu mudah tergoda dengan nafsu.
Talita sudah berpengalaman dan tahu betul betapa banyak kesempatan yang Raja Kawiswara lewatkan karena dirinya. Meskipun hal itu terasa manis, dia tidak ingin putranya jatuh ke dalam perangkap serupa.
"Eli makin cantik saja sekarang," puji Talita sambil tersenyum.
"Apa artinya kecantikan seorang wanita? Bakat masih lebih penting," balas Dwiana. Meski berkata begitu, dalam hati dia merasa sangat bangga.
Di kehidupan lampau, mungkin demi menebus sikap dingin Arjuna, ibu mertua Eliska ini memperlakukannya dengan cukup baik. Jadi, Eliska juga benar-benar peduli padanya.
"Kudengar Ratu mengalami ruam belum lama ini. Apa Ratu sudah pulih?" tanya Eliska dengan perhatian.
Talita tidak menyambut keramahan Eliska. Di matanya, gadis itu hanya berusaha untuk menjilatnya demi tujuan tertentu. Dia menyahut dengan tenang, "Sudah lumayan sembuh. Dari mana Eli tahu aku punya ruam?"
Eliska sudah memikirkan cara menjawab pertanyaan ini. Dia segera menyahut, "Waktu tabib memeriksa denyut nadiku sebelumnya, dia berkata sambil lalu kalau dirinya datang dari kediaman raja. Aku mengobrol sebentar dengannya, dari situlah aku tahu."
Talita tidak bertanya lebih jauh dan mulai mengobrol santai dengan Dwiana.
Sartika tersenyum ramah dan berucap, "Kalau bosan, Nona Eliska bisa berkeliling kediaman dengan pelayan."
"Yani, bawa Nona Eliska berkeliling," perintah Talita.
Eliska berterima kasih, lalu mengikuti Yani ke bagian belakang kediaman.
Raja Kawiswara menyukai aneka bunga, tanaman, dan pepohonan di kediamannya. Bahkan taman di istana pun tidak bisa menandinginya. Biarpun sudah musim gugur, taman di kediaman ini masih sangat hidup.
Namun, berhubung Eliska sudah tinggal selama tiga tahun di kediaman ini, dia tidak lagi merasa takjub.
Eliska hanya melirik sekilas saat melewati Paviliun Ramaya, tempat tinggalnya di kehidupan lampau. Berbagai pikiran hinggap di benaknya.
"Itu tempat tinggal Putra Bangsawan Arjuna." Yani menjelaskan sambil tersenyum, "Putra Bangsawan Arjuna bukannya sangat menyukai ketenangan, tapi dia memilih paviliun yang tenang ini sendiri. Ratu sering menggodanya, berkata kalau dia memilih paviliun ini untuk pendampingnya di masa depan."
Eliska tidak menyukai Paviliun Ramaya. Orang yang menyukai desain paviliun seperti ini mungkin adalah Adelia. Talita maupun Arjuna jelas tidak pernah menyangka bahwa yang akan menjadi menantu Keluarga Raja Kawiswara pada akhirnya bukanlah Adelia.
"Nona Eliska mau naik ke bukit batu dan melihat-lihat?" tanya Yani.
Eliska membeku, lalu memandang ke arah bukit batu familier di depannya. Tak pernah terpikir olehnya bahwa dia akan datang ke sini.
Ini adalah lokasi tempat Eliska mengalami kecelakaan. Rasa sendu datang tanpa diundang ke dalam hatinya.
"Nona Eliska?" panggil Yani, khawatir melihat gadis itu melamun.
"Aku nggak naik," ucap Eliska sambil tersenyum ramah, menyembunyikan kesedihannya. "Aku sedikit trauma karena pernah jatuh dari tempat tinggi."
Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mengulangi hidupnya. Kali ini, Eliska harus menghargai nyawanya.
....
Di atas bukit batu, Arjuna dan Banyu sedang bermain catur. Dari meja batu, mereka bisa leluasa melihat Eliska yang berjalan pergi.
"Kenapa Nona Eliska terlihat sedih tadi?" tanya Banyu dengan bingung.
Arjuna menaruh pion putih dan berucap perlahan, "Aku justru penasaran bagaimana dia bisa begitu familier dengan lingkungan di kediaman ini."
Banyu teringat ketika Eliska memasuki taman mendahului pelayan tanpa mengambil jalan yang salah. Pemikiran ini membuatnya mengernyit.
Sebelum Arjuna mencapai usia dewasa, seorang gadis pernah menyuap pelayan untuk mendapatkan peta tata letak kediaman raja. Selama jamuan makan di kediaman raja, gadis itu menyelinap ke kamar Arjuna, mencoba untuk memfitnah Arjuna telah menodainya.
Dengan begitu, gadis itu bisa menuntut pertanggungjawaban Arjuna. Untungnya, rencananya terbongkar dan krisis bisa dihindari tepat waktu.
"Sepertinya Keluarga Adipati Madaharsa sudah bertekad untuk menjadikan salah satu putri mereka sebagai pendampingmu. Nona Gita saja belum cukup, sekarang juga datang Nona Eliska," kata Banyu.
Arjuna melirik saudaranya dan membalas, "Aku bukan satu-satunya tuan muda di kediaman raja ini."
Banyu mengerti maksud ucapannya dan berkata, "Aku akan hati-hati. Kamu juga harus lebih waspada, jangan sampai termakan tipuannya."
Selain tidak disukai Kaisar, Raditya juga pendukung Taraka. Hanya tunggu waktu hingga dia disingkirkan. Walau apa pun yang terjadi, kediaman raja tidak boleh dikaitkan dengan keluarganya.
"Apa yang sebenarnya dipikirkan Keluarga Adipati Madaharsa? Nona Gita adalah putri sah Adipati Sadali, tapi Nona Eliska hanyalah putri dari keluarga cabang. Bakatnya bahkan nggak sebaik Nona Gita. Kamu sudah menolak Nona Gita, jadi mana mungkin kamu mau menerima Nona Eliska?" ujar Banyu lagi.
Arjuna teringat pada buku ilustrasi berani tempo hari. Tampaknya Eliska memiliki beberapa keahlian dalam merayu pria. Namun, ini bukanlah keterampilan yang seharusnya dimiliki wanita baik-baik.
Banyu berpikir sejenak, lalu menyarankan, "Kurasa sebaiknya pernikahanmu dengan Nona Adelia segera ditetapkan. Itu cara terbaik untuk menghindari masalah yang nggak perlu."