Tubuh Yesha kaku seketika. Hatinya memaki tiada henti. Ia benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan orang yang paling tidak ingin ia temui, apalagi dalam waktu dekat.
Dengan cepat Yesha menuju pintu pagar rumah untuk menghindari Raefal. Namun, gerakan Raefal lebih cepat. Pemuda itu mencengkeram lengannya dan membawanya ke dalam dekapan pemuda itu.
“Lepaskan aku!” ucap Yesha sedikit berteriak dan mencoba melepaskan diri dari dekapan Raefal. Namun, laki-laki itu justru mendekap Yesha dengan lebih erat lagi.
Berdasarkan ingatan pemilik tubuh, Raefal adalah adik Rezvan dan juga orang yang dicintai oleh pemilik tubuh. Yesha benar-benar tidak mengerti kenapa mereka bisa berakhir seperti ini jika mereka berdua—pemilik tubuh dan Raefal—saling mencintai.
“Aku tidak akan melepaskanmu.”
Raefal menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Yesha. Dan itu membuat Yesha semakin berusaha keras untuk melepaskan diri dari Raefal.
Yesha tidak ingin orang-orang melihat dirinya dipeluk oleh orang lain dan membuat mereka salah paham. Dan yang paling penting, ia tidak ingin Rezvan menganggapnya wanita yang tidak bermoral karena sebagai seorang wanita bersuami, ia dengan santainya berpelukan di depan rumah mereka dengan adik iparnya.
Walaupun bukan dirinya yang memeluk pria itu lebih dulu, tetapi tetap saja orang tidak akan mau tahu kebenarannya. Karena apa yang mereka lihat, itulah yang mereka percayai.
Yesha menghentikan aksinya untuk lepas dari cengkeraman Raefal setelah berusaha keras tetapi tetap tidak berhasil. Ia hanya bisa pasrah dan menunggu kesempatan Raefal melonggarkan pelukannya untuk bisa kabur.
Raefal yang mendapati Yesha tidak memberontak pun menghela napas lega dalam hatinya.
“Aku dengar kamu mencoba bunuh diri dengan meminum obat tidur hingga overdosis,” nada bicara Raefal terdengar sedih dan khawatir. “Tapi sekarang aku bersyukur kamu sudah sehat dan baik-baik saja.”
Yesha mengernyit bingung.
Bagaimana Raefal bisa tahu jika dirinya mencoba bunuh diri?
Siapa yang telah memberitahunya?
Yesha yakin jika Rezvan tidak mungkin akan memberitahu Raefal. Karena laki-laki itu tidak peduli dengannya. Jadi sangat mustahil Rezvan akan memberitahu Raefal.
“Aku tahu aku salah,” lanjut Raefal sebelum Yesha sempat membuka mulut untuk bertanya dari mana pemuda itu tahu. “Tidak seharusnya aku memaksamu secepat mungkin untuk menceraikannya.”
Dalam ingatan pemilik tubuh, sebelum pemilik tubuh mengakhiri hidupnya, Raefal memang sering meminta dirinya untuk menceraikan Rezvan dan berlari ke pelukan Raefal. Namun, entah kenapa pemilik tubuh justru memilih untuk menghabisi nyawanya sendiri.
“Seharusnya aku bisa bersabar lebih lama lagi, tetapi aku tidak sanggup melihatmu tersiksa setiap hari di rumah itu,” lanjut Raefal. “Aku tahu kamu juga sulit untuk menghadapi ini semua. Karena itulah aku ingin kamu secepatnya menceraikannya agar kita bisa segera bersama.”
Yesha memutar mata mendengar omong kosong Raefal.
Raefal melepaskan pelukannya dan mencengkeram kedua lengan bagian atas Yesha. “Aku tahu aku salah. Aku minta maaf, oke? Jadi berhentilah menghindariku.” Raefal frustasi menghadapi Yesha yang hanya diam saja. “Yesha, katakan sesuatu!”
Yesha meringis kesakitan karena cengkeraman Raefal semakin kuat. “Raefal, sakit.”
Raefal segera melepaskan cengkeramannya dari lengan Yesha.
“Maafkan aku, Yes. Aku tidak bermaksud menyakitimu.” Raefal berkata dengan panik dan juga khawatir.
Yesha segera menjauh beberapa langkah ke belakang setelah Raefal melepaskannya. Ia tidak ingin Raefal kembali memeluknya.
Yesha dapat melihat dengan jelas sorot mata terluka Raefal. Namun, tidak ada simpati sedikitpun di benaknya. Sebab Yesha yang dikenal Raefal berbeda dengan Yesha yang sekarang. Karena Yesha yang dikenal oleh Raefal sudah mati.
Mereka memang memiliki nama yang sama, hanya berbeda nama belakang saja. Walau begitu, kepribadian mereka berdua pun sangat jauh berbeda. Ia tidak mungkin akan berpura-pura menjadi pemilik tubuh.
Yesha menatap Raefal. “Raefal, mari kita akhiri hubungan kita.”
“Tidak!” Raefal berteriak cepat. “Kamu sudah berjanji kepadaku jika kamu akan menceraikan Rezvan dan kita akan bersama. Maafkan aku karena selalu mendesakmu hingga membuatmu tertekan. Aku berjanji aku tidak akan mendesakmu lagi dan akan sabar menunggumu. Jadi kumohon jangan pernah berkata ingin mengakhiri hubungan kita, Yes.”
Yesha menggeleng pelan. “Maafkan aku. Sepertinya aku harus menarik kembali kata-kataku. Aku ingin hubungan kita berakhir sampai di sini.”
“Kamu tidak bisa melakukan itu kepadaku, Yesha!” nada suara Raefal sedikit meninggi.
Ia tidak terima Yesha mengakhiri hubungan mereka begitu saja. Lagi pula Yesha sudah berjanji akan meninggalkan Rezvan dan kembali kepadanya.
“Maafkan aku, Raefal, tapi aku ingin mengakhiri hubungan kita.” Mana mungkin Yesha akan meninggalkan Rezvan dan memilih Raefal. Walau mereka saudara, tetapi Raefal tidak setampan Rezvan. Yesha tidak ingin meninggalkan orang setampan Rezvan demi laki-laki di hadapannya.
Yesha tidak peduli orang akan mencibir dirinya karena menyukai orang dari fisiknya. Lagi pula ia menikah sekali seumur hidup, jadi ia tidak ingin menghabiskan hidupnya tinggal bersama orang jelek. Walau suaminya tidak mencintai dirinya, setidaknya biarkan ia tinggal dan melihat laki-laki tampan seumur hidupnya.
Raefal menghela napas dan berkata dengan pelan, “Sepertinya kamu sangat tertekan dengan permintaanku tampo hari. Lebih baik sekarang kamu istirahat dan menenangkan diri. Aku akan sabar menunggumu.”
“Kamu tidak perlu menungguku.”
Raefal mengabaikan ucapan Yesha dan mendekati wanita itu, tetapi dengan cepat Yesha menghindar dari jangkauan Raefal.
Perasaan kecewa terpancar jelas di mata Raefal kala mendapat penolakan dari orang yang dicintainya. “Baiklah. Aku pulang dulu.”
Yesha tidak mengatakan apa-apa yang membuat Raefal semakin kecewa dan juga sedih. Ia segera pergi dari hadapan Yesha, berjalan menuju ke mobilnya yang terparkir beberapa meter dari rumah Rezvan.
Yesha menghela napas lega dan segera memasuki pagar. Ia tidak ingin berdiam diri lebih lama karena takut Raefal akan kembali lagi dan memeluk dirinya.
Di rumah, ia disambut oleh Hanna yang mengkhawatirkan dirinya. Yesha hanya tersenyum dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Ketiga anak tirinya juga sudah pulang dan makan siang saat ia bertanya kepada Hanna.
Yesha meminta Hanna untuk menyiapkan makan siangnya. Sejak keluar dari tempat Zaidan tadi, perutnya terasa lapar. Usai makan, Yesha kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Mungkin karena dirinya baru saja ditransmigrasikan ke tubuh Yesha Altezza, sehingga ia merasa lelah setelah bepergian selama setengah hari.
Yesha merasa prihatin dengan kehidupan pemilik tubuh. Sebagai nyonya rumah Wibisana, ia tidur di kamar terpisah dengan suaminya. Dan lagi, kamar yang ia tempati begitu kecil untuk seorang nyonya rumah.
Yesha tidak habis pikir dengan cara berpikir kedua orang itu—Rezvan dan pemilik tubuh. Jika mereka tidak saling menyukai, kenapa mereka masih mempertahankan pernikahan mereka dan saling menyakiti?
Bukankah lebih baik mereka berdua berpisah dan mencari kebahagiaan masing-masing?
***
Para pelayan yang ada di dapur menatap kedatangan Yesha dengan terkejut. Pasalnya selama menjadi nyonya rumah, Yesha tidak pernah sekali pun melangkahkan kaki ke dapur. Yesha mengabaikan tatapan tidak percaya para pelayannya. Karena tujuan utamanya ke dapur adalah memasak makan malam untuk suami dan ketiga anak tirinya. “Kalian lakukan saja apa yang menjadi tugas kalian. Mulai saat ini, aku yang akan memasak makan malam untuk suami dan ketiga anakku,” ucap Yesha tegas dan tidak dapat dibantah ketika Hanna mencegah dirinya untuk memasak. “Baik, Nyonya,” jawab para pelayan secara bersamaan. Para pelayan yang berada di dapur segera mengerjakan tugas mereka masing-masing. “Hanna, apakah kamu tahu makanan kesukaan Rezvan dan anak-anak?” tanya Yesha. “Ya. Tuan suka sekali makan masakan kari, tuan muda Raka dan Revan suka rendang dan berbagai macam olahan ayam goreng. Kalau untuk tuan muda Ravindra sendiri, dia tidak pemilih dan memakan apa yang dimasak.” Yesha mengangguk pelan. “Kalau
Wajah marah Rezvan sangat mengerikan. Meskipun begitu Yesha tidak takut dengan tatapan membunuh Rezvan yang diarahkan kepadanya. “Memang apalagi yang dilakukan istri di kamar suaminya kalau tidak tidur bersama?” kata Yesha dengan santai, mencoba untuk mengabaikan tatapan Rezvan yang semakin tajam. “Keluar dari kamarku!” usir Rezvan dengan menahan geram setelah mendapatkan jawaban Yesha. “Aku tidak mau,” tolak Yesha masih dengan santainya. “Kita suami istri, apa salahnya kita tidur bersama?” Yesha menatap wajah Rezvan yang terlihat sangat marah. “Dengar,” ucap Rezvan di sela-sela giginya karena menahan amarah dengan kelancangan Yesha yang sudah berani memasuki kamarnya. “Kau tidak perlu berlagak seperti seorang istri di hadapanku. Sekarang aku minta kau cepat keluar dari kamarku. Sekarang!” “Aku tidak mau!” Yesha pun bersikeras tidak ingin meninggalkan kamar Rezvan. Rezvan sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. Ia menatap nyalang Yesha. “Apa kau lupa dengan perjanjian yang sudah
Keesokan paginya, Yesha bangun dengan wajah yang sangat kuyu dan sedikit memiliki mata panda di bawah matanya. Yesha mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja ketika Hanna bertanya dengan nada khawatir. Malam tadi dirinya membaca informasi yang diberikan Zaidan hingga larut malam. Belum lagi foto dan nama Vania Septhana terus menghantui pikirannya, membuatnya sulit untuk tidur. Yesha benar-benar tidak menyangka jika wanita yang sudah berselingkuh dengan kekasihnya di kehidupan sebelumnya adalah adik tiri dari pemilik tubuh. Ia memang pernah melihat wajah wanita itu, tetapi hanya sekilas. Saat itu ia sedang emosi dan langsung pergi ketika memergoki kekasihnya berpelukan dan berciuman dengan wanita lain. Selain itu, ingatan pemilik tubuh sangat kuat terhadap suami, ketiga anak tirinya, Raefal, Febrina dan Hanna. Sehingga ingatan mengenai Vania tidak terlalu kuat dalam ingatan pemilik tubuh. Tidak ada orang di dapur selain dirinya dan Hanna. Pasalnya malam tadi Yesha sudah berpesan kepad
Tanpa rasa takut, Yesha menatap Rezvan tepat di mata pria itu. “Aku istrimu. Itu berarti aku adalah nyonya rumah di rumah ini. Jadi aku punya hak untuk melarang mereka. Bahkan aku juga punya hak untuk melakukan apa saja kepada mereka.” Kening Rezvan berkerut dalam dengan alis sedikit terangkat. Ia tidak menyangka Yesha akan menjawab ucapannya dengan begitu lantang. Namun jika ia mengingat kembali, wanita itu memang berubah sejak selamat dari percobaan bunuh dirinya. Akan tetapi ia masih tidak percaya wanita itu akan berubah begitu drastis. Yesha menatap Rezvan dengan senyum lebar. “Lebih baik sekarang kalian makan. Nanti kalian bisa terlambat pergi ke sekolah.” “Papa, Raka tidak mau makan.” Raka bersikeras tidak mau memakan masakan yang dibuat oleh Yesha. “Revan juga.” Revan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Yesha tidak memedulikan protesan mereka. Ia memperhatikan Ravindra yang makan dengan tenang. Ia tersenyum dan berkata. “Ravindra Sayang, bagaimana masakan bunda? Ena
Yesha menyandarkan diri pada sandaran sofa. “Mama tidak bisa menyalahkanku. Jika ingin disalahkan, maka mama harus menyalahkan anak kesayangan mama. Karena dialah yang selalu menemuiku lebih dulu.” Masih jelas dalam ingatan pemilik tubuh, Febrina berulang kali memintanya untuk menjauhi Raefal. Bahkan wanita itu mengancam tidak akan segan-segan mencelakai pemilik tubuh supaya ia meninggalkan putranya. Sayangnya pemilik tubuh mengabaikan ancaman Febrina dan masih sering menemui Raefal. Hingga akhirnya pemilik tubuh dengan perlahan mulai menghindari Raefal setelah Febrina benar-benar mewujudkan ancamannya. Sudah sering kali pemilik tubuh hampir kehilangan nyawanya. Bukannya mengjauhi pemilik tubuh, Raefal justru semakin sering menemui pemilik tubuh setelah mengetahui semua perbuatan ibunya kepada pemilik tubuh. Untuk sesaat ekspresi Febrina berubah mendengar ucapan Yesha. Tidak menyangka kini Yesha berani menyahuti ucapannya. Namun dengan cepat Febrina memasang ekspresi normal kembali.
Hanna menatap Yesha, ada keraguan di matanya untuk memberitahu wanita itu apa yang telah terjadi. Namun ketika melihat sorot mata penuh khawatir milik Yesha, akhirnya Hanna memberitahu bahwa yang baru saja menelepon adalah pihak sekolah Revan. Kening Yesha berkerut dalam. “Untuk apa pihak sekolah menelepon?” “Pihak sekolah meminta wali Tuan Muda Revan untuk datang ke sekolah.” Masih sedikit ragu untuk memberitahu apa yang telah terjadi. Namun Hanna kembali melanjutkan ucapannya kala Yesha terus menatapnya. “Sesuatu terjadi dengan Tuan Muda Revan. Pihak seko—” “Cepat siapkan mobil!” perintah Yesha memotong ucapan Hanna. Ia hilang akal hanya karena mendengar bahwa sesuatu telah terjadi kepada Revan. Untuk sesaat Hanna terkejut sebelum bergegas pergi meminta Andi untuk menyiapkan mobil. Selama di perjalanan, Yesha duduk dengan gelisah. Jantungnya berrdetak kencang. Rasa khawatir dan takut menjadi satu menghantui dirinya. Pikirannya penuh dengan sosok Revan. Tidak henti-hentinya ia ra
Revan hanya diam dan tidak mengatakan apapun, walau hanya sekedar bergumam. Ia merasa tidak nyaman dengan sikap Yesha yang tiba-tiba perhatian kepadanya. Selama ini, jangankan para pelayan, ayahnya sendiri tidak pernah menanyakan apapun yang telah ia dan Raka lakukan. Meski begitu ia dan Raka tidak pernah menuntut lebih. Yang ia tahu adalah bahwa ayahnya sangat menyayangi mereka. Itu saja sudah lebih dari cukup. “Bunda tahu Revan tidak akan memulai perkelahian lebih dulu.” Yesha melanjutkan ucapannya karena Revan yang tidak kunjung membuka suara. Ia kembali memeluk, tangannya tidak pernah berhenti mengelus kepala Revan. “Bunda yakin Revan bukanlah anak nakal seperti yang ibu guru katakan. Revan adalah anak bunda yang paling baik.” “Tentu saja!” sahut Revan dengan suara serak. “Danu yang lebih dulu menyebutku anak pembawa sial dan tidak memiliki ibu. Dia memukulku lebih dulu karena aku mengabaikan dia saat dia menyebutku anak sial dan tidak memiliki ibu, jadi aku balas memukul dan men
Dadanya sakit, tetapi sebisa mungkin Yesha tidak menunjukkan emosi apapun pada raut wajahnya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tubuhnya bergetar karena menahan emosi. Walau ia tidak sudi untuk berbicara dan mendengar suara laki-laki itu, tetapi saat ini ia tidak memiliki pilihan lain selain meladeni pria di hadapannya. Bagaimanapun saat ini ia bukan berada di tubuhnya sendiri, melainkan di tubuh orang lain. “Ya, kebetulan sekali,” ucapnya dengan senyum kecil menghiasi wajahnya, tetapi di dalam hati merutuki kesialannya hari ini karena bertemu dengan Arian. Ya, pria di hadapannya ini adalah Arian Rahandika, kekasihnya di kehidupan sebelumnya. Pria berengsek yang telah mengkhianatinya. “Kak Yesha, bisakah kita mengobrol sebentar?” ajak Arian penuh harap. “Maaf, Arian, aku tidak bisa.” Yesha menolak cepat. “Hanya sebentar saja, Kak.” “Maaf, Arian, tetapi sebentar lagi Raka pulang sekolah dan aku harus menjemput Raka.” “Kak, tolong bantu aku berbaikan dengan Vania. Sudah empat har